Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan apa saja musibah yang menimpa kalian maka hal itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar dari kesalahan-kesalahan kalian.” (asy-Syura: 30)
Dia juga berfirman,
Katakanlah, “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami….” (at-Taubah: 51)
Apa makna kedua ayat ini? Bagaimana menggabungkan keduanya, karena seakan-akan bertentangan?
Jawab [1]:
Tidak ada pertentangan di antara dua ayat ini, wahai saudaraku. Allah ‘azza wa jalla menerangkan kepada kita bahwa musibah yang menimpa kita karena sebab perbuatan kita dan Dia menerangkan pula bahwa apa yang terjadi itu adalah dengan ketetapan dan takdir-Nya.
Katakanlah, “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami….” (at-Taubah: 51)
Ilmu Allah, ketetapan, dan kitabah-Nya (penulisan takdir di Lauh Mahfuzh sebagaimana yang diperintahkan kepada qalam/pena) telah mendahului segala sesuatu. Namun Allah ‘azza wa jalla mengaitkan perkara yang memudaratkan kita karena sebab maksiat-maksiat yang kita lakukan, walaupun semua itu juga sudah tertulis dan sudah ditakdirkan. Sebab, kita memiliki upaya, kita yang berbuat, dan kita sendiri yang memilih.
Segala sesuatu terjadi dengan takdir-Nya, sama saja apakah berupa ketaatan ataupun kemaksiatan. Namun, maksiat yang terjadi pada kita itu adalah usaha kita dan amalan kita, karenanya kita akan dihukum. Kita memiliki akal, keinginan, kemampuan, dan amalan. Karena itulah, Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan apa saja musibah yang menimpa kalian maka hal itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar dari kesalahan-kesalahan kalian.” (asy-Syura: 30)
Dalam ayat yang lain,
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari kesalahan/ulah dirimu sendiri.” (an-Nisa: 79)
Takdir dan amal usaha tidaklah saling bertentangan. Takdir itu telah terdahulu dan Allah ‘azza wa jalla memiliki hikmah yang tinggi dalam apa yang ditetapkan-Nya. Perbuatan yang terjadi adalah amal usaha kita, seperti maksiat berupa zina, minum khamr, meninggalkan shalat, berbuat durhaka, dan memutus hubungan rahim. Semuanya kita yang berbuat, bukan siapa-siapa, sehingga kita pantas mendapatkan hukuman karena sikap kita yang meremehkan. Kita sadar bahwa kita bisa memilih tanpa paksaan dalam berbuat, sehingga perbuatan yang ada pantas bila disandarkan kepada kita walaupun memang ilmu Allah ‘azza wa jalla, penulisan, dan ketetapan-Nya telah jauh mendahului.
Takdir tidak boleh menjadi alasan atas perbuatan tercela dan kemungkaran yang dilakukan seorang hamba. Allah ‘azza wa jalla memiliki hikmah yang tinggi dalam apa yang telah lewat pada takdir-Nya, ilmu, dan kitabah-Nya. Kita akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan kita dan sikap kita yang menggampangkan berbuat dosa. Kita bisa disiksa karena perbuatan tersebut terkecuali bila Allah ‘azza wa jalla mengampuni.
Dengan demikian, Anda sekarang telah mengetahui tidak adanya pertentangan antara kedua ayat yang ditanyakan. Yang satu menunjukkan bahwa amalan itu merupakan hasil usaha kita, sehingga kita pantas mendapatkan hukuman bila perbuatan yang dilakukan bukan amalan yang salih. Semua itu adalah amalan kita dengan pilihan kita sendiri.
Ayat yang lain menunjukkan musibah yang terjadi itu telah terdahulu dalam ilmu Allah ‘azza wa jalla, kitabah, dan takdir-Nya. Ada hadits yang sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bunyinya,
“Sungguh, Allah ‘azza wa jalla telah menetapkan takdir-takdir makhluk sebelum Dia menciptakan langit-langit dan bumi 50 ribu tahun dan arsy-Nya di atas air.” (HR. Muslim dalam Shahihnya)
Allah Yang Maha Memiliki hikmah lagi Maha Mengetahui, Dia mengetahui segala sesuatu, ilmu-Nya telah mendahului segala sesuatu, dan Dia telah mencatat segala sesuatu. Dalam satu ayat, Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Tidak ada satu bencana pun yang menimpa di bumi dan tidak pula pada diri kalian sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (al-Hadid: 22)
Penulisan takdir Allah ‘azza wa jalla telah terdahulu, ilmu-Nya pun telah terdahulu, demikian pula ketetapan-Nya. Amal kita dihitung untuk kita, disandarkan kepada kita, dicatat untuk kita, karena amal tersebut adalah hasil usaha kita, yang kita lakukan dengan pilihan kita, tanpa ada pemaksaan. Karena itu, perbuatan kita yang baik, berupa ketaatan, macam-macam kebaikan dan zikir, dibalas dengan balasan yang baik pula. Sebaliknya kita pantas mendapatkan hukuman atas amalan buruk yang kita lakukan, apakah berupa kedurhakaan, zina, mencuri, seluruh maksiat, dan perbuatan penyelisihan. Wallahul musta’an. (hlm. 128-130)
[1] Semua fatwa yang dibawakan kali ini diambil dari kitab Fatawa Nur ‘ala ad-Darb, Masalah Akidah, dari jawaban Samahatusy Syaikh al-Imam Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah.