Tayammum adalah kemudahan dari Allah subhanahu wa ta’ala yang khusus diberikan kepada umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Posisi tayammum adalah sebagai pengganti wudhu saat tidak dijumpai air atau saat seseorang tidak boleh terkena air karena sedang sakit. Bolehkah orang yang junub bersuci dengan cara tayammum?
Yang Digunakan Untuk Tayammum
Sebagaimana disebutkan dalam ayat tayammum pada pembahasan kita sebelumnya, bahwa bila tidak mendapatkan air kita bisa menggunakan (الصَّعِيْدُ /ash-sha’id).
Namun yang menjadi permasalahan adalah makna atau pengertian ash-sha’id dalam ayat tersebut. Al-Fairuz Abadi dalam al-Qamus (hlm. 266) berkata, “Ash-Sha’id adalah tanah/debu atau permukaan bumi.”
Demikian juga yang dikatakan dalam al-Misbahul Munir fi Gharibis Syarhil Kabir (hlm. 339-340), “Ash-Sha’id adalah permukaan bumi, sama saja apakah itu tanah/debu atau yang selainnya. Az-Zujaj berkata, ‘Saya tidak mengetahui adanya perselisihan di antara ahli bahasa dalam masalah pemaknaan ini.’ Bahkan disebutkan juga, ash-sha’id dalam perkataan orang Arab dapat dimutlakkan terhadap beberapa hal, seperti tanah/debu yang berada di permukaan bumi, atau permukaan bumi dan jalanan.” (al-Misbahul Munir fi Gharibisy Syarhil Kabir hlm. 340)
Walaupun didapatkan juga di antara ahli bahasa ada yang menyebutkan ash-sha’id hanya tanah/debu yang berada di permukaan bumi dan tidak menyebutkan yang lainnya seperti ats-Tsa’labi di dalam Fiqhul Lughah (sebagaimana dinukilkan dalam Nailul Authar, 1/364).
Sehingga dalam masalah ini kita dapatkan para ulama berselisih pandangan. Ibnu Rusyd berkata dalam Bidayatul Mujtahid (hlm. 63): “Ulama sepakat bahwa thaharah (bersuci) itu dengan debu dari tanah yang baik/suci. Namun mereka berselisih, apakah boleh tayammum dengan selain debu.”
Di antara mereka ada yang mengatakan hanya debu saja yang bisa digunakan untuk tayammum. Demikian pendapat yang dipegangi oleh kebanyakan ahlul ilmi, di antaranya al-Imam asy-Syafi’i, al-Imam Ahmad, dan Dawud azh-Zhahiri, berdalil dengan hadits Hudzaifah Ibnul Yaman radhiallahu ‘anhu dalam Shahih Muslim (no. 522) bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Kita dilebihkan dari manusia (umat) yang lain dengan tiga perkara yaitu dijadikan shaf-shaf kita seperti shaf-shaf malaikat, dijadikan bumi seluruhnya sebagai masjid (tempat shalat) dan dijadikan tanah/debunya bagi kita sebagai sarana bersuci apabila kita tidak mendapatkan air.”
Adapun ahlul ilmi yang lainnya mengatakan ash-sha’id adalah permukaan bumi semuanya dan apa yang berada di atasnya, seperti pendapat al-Imam al-Auza’i, Sufyan ats-Tsauri, ‘Atha, Malik, Abu Hanifah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Muflih, dan yang lainnya. (Tafsirul Qur’anil ‘Azhim, 2/230; Nailul Authar, 1/364; Adhwa’ul Bayan tafsir Surat an-Nisa ayat 43)
Asy-Syaikh Abdullah Alu Bassam berkata, “Abu Hanifah dan Malik berpendapat bolehnya tayammum dengan seluruh yang menonjol di permukaan bumi. Sama saja, baik permukaan bumi itu berdebu ataupun tidak berdebu seperti pasir, kerikil, tanah berair, tanah lembab, tanah kering, tanah yang terbakar, batu, rumput kering, pohon dan selainnya. Demikian pula pendapat al-Auza’i, Sufyan ats-Tsauri, salah satu riwayat lain dari al-Imam Ahmad dan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qayyim. Pendapat ini dizahirkan oleh Ibnu Muflih dalam al-Furu’ dan dibenarkannya dalam al-Inshaf, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Sehingga dengan keumuman nash memberikan faedah bolehnya tayammum dengan seluruh apa yang tampak di permukaan bumi.” (Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, 1/427)
Dari perselisihan ahlul ilmi yang kami paparkan di atas, penulis dalam hal ini lebih condong pada pendapat yang menyatakan bolehnya bertayammum dengan seluruh permukaan bumi dan apa yang berada di atasnya, wallahu ta’ala a’lam.
‘Allamatusy Syaikh asy-Syinqithi rahimahullah dalam tafsir beliau terhadap ayat:
“Maka bertayammumlah kalian dengan tanah/debu yang baik/suci, usaplah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian dengannya.” (an-Nisa: 43)
menyatakan bahwa huruf min (مِن) dalam ayat ini bukanlah bermakna tab’idh (sebagian)[1], tetapi maknanya ibtida’ul ghayah[2], sehingga untuk bertayammum tidak harus menggunakan tanah yang berdebu. Selain itu di kebanyakan negeri didapatkan tidak ada padanya kecuali pasir atau pegunungan, maka mengharuskan tayammum dengan tanah debu yang dapat menempel pada tangan merupakan perkara yang memberatkan.[3]
Yang menguatkan pendapat ini juga adalah hadits yang diriwayatkan dalam ash-Shahihain dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Diberikan kepadaku lima perkara yang tidak diberikan kepada seorang nabi pun sebelumku; (pertama) aku ditolong dengan diberikan rasa takut pada musuh-musuhku terhadapku walaupun jarak (aku dan mereka) masih sebulan perjalanan, (kedua) bumi dijadikan untukku sebagai masjid (tempat mengerjakan shalat) dan sebagai sarana bersuci, maka siapa saja dari umatku didapati waktu shalat, hendaklah ia shalat.” (HR. al-Bukhari no. 335, 438 dan Muslim no. 521)
Hadits ini merupakan nash yang jelas yang menunjukkan bila waktu shalat mendapati seseorang sementara ia berada di tempat yang padanya hanya ada pegunungan atau pasir maka sha’id yang thayyib yang berupa bebatuan atau pasir merupakan penyuci baginya dan tempat shalatnya/masjidnya. (Adhwa’ul Bayan tafsir surat an-Nisa ayat 43)
Al-Imam ash-Shan’ani rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan bolehnya tayammum dengan seluruh bagian bumi.” (Subulus Salam, 1/146)
Adapun hadits Hudzaifah yang seakan membatasi tayammum dengan menggunakan tanah berdebu maka bisa diterangkan dari beberapa sisi:
Karena itulah ulama bersepakat membolehkan makan dendeng daging ikan, padahal Allah mengkhususkan penyebutan daging ikan yang segar dalam firman-Nya,
“Dialah yang menundukkan lautan (untuk kalian) agar kalian dapat makan daging (ikan) yang segar dari lautan tersebut.” (an-Nahl: 14)
Sebab, penyebutan dalam ayat adalah untuk menunjukkan anugerah yang dilimpahkan-Nya maka tidak bisa dipahami dengan mafhum mukhalafah bahwa selain daging segar tidak boleh dimakan.
Oleh karena itu tidak teranggap dan tidak bisa dipakai/diamalkan menurut para imam ahli ushul. Inilah pendapat yang benar sebagaimana dimaklumi dalam ilmu ushul.
“Jagalah oleh kalian shalat-shalat dan shalat wustha (yakni shalat Ashar).” Atau disebutkan dalam dua nash seperti hadits:
“Apabila kulit telah disamak berarti ia telah suci.” (HR. Muslim no. 366 dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma)
dengan hadits:
“Tidakkah kalian memanfaatkan kulitnya (yakni kulit kambing yang telah menjadi bangkai)?” (HR. al-Bukhari no. 1492 dan Muslim no. 363 dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma)
Penyebutan shalat wustha pada contoh yang awal dan kulit kambing pada contoh yang berikutnya, tidaklah menunjukkan bahwa selain shalat wustha tidak dijaga, dan selain kulit kambing tidak boleh dimanfaatkan.
(Raudhatun Nadiyyah bersama at-Ta’liqat ar-Radhiyah, 1/202; Subulus Salam, 1/146; Adhwa’ul Bayan tafsir surat an-Nisa ayat 43, 2/37-38)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Dalam bertayammum tidak harus (tidak khusus) menggunakan tanah/debu, bahkan bisa digunakan seluruh apa yang menonjol di permukaan bumi. Dalilnya:
“Maka bertayammumlah kalian dengan sha’id yang baik/suci.”
Sha’id adalah seluruh yang menonjol yang ada di permukaan bumi. Dalam keadaan Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui bahwa manusia dalam safar mereka akan menempuh tanah yang berpasir, berbatu dan berdebu, namun Allah subhanahu wa ta’ala tidak mengkhususkan satu dari yang lainnya.
Tidak Disyariatkan Membawa Debu dalam Perjalanan
Tidak disyariatkan bagi musafir untuk membawa debu bila dimungkinkan tidak mendapatkan air dalam perjalanannya. Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam safar bersama para sahabatnya dalam perang Tabuk, air yang mereka bawa sangat sedikit namun tidak disebutkan bahwa Nabi membawa debu. Tidak ada pula perintah dari beliau dan tidak ada seorang sahabatpun yang melakukannya. (Zadul Ma’ad, 1/50)
Sebagian ahlul ilmi mengingkari hal tersebut dan mengatakan perbuatan ini tidak ada contohnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Fathul Bari, Ibnu Rajab, 2/31)
Siapa Saja yang Diberikan Keringanan untuk Tayammum?
Dalam hal ini ada dua ketentuan, yaitu tayammum berlaku ketika tidak ada air dan ketika ada air namun ada kemudaratan atau kesulitan bagi seseorang dalam penggunaannya.
Jadi, kapan saja seseorang dalam dua keadaan ini maka dibolehkan baginya untuk bertayammum oleh syariat yang mudah ini. Seperti ketika tidak ada air, atau tidak didapatkannya air bagi seseorang yang sedang bepergian (safar) ataupun ia tidak sedang melakukan perjalanan (muqim), maka dibolehkan untuk tayammum.
Sebagaimana disebutkan Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya,
“Apabila kalian sakit atau sedang bepergian (safar) atau salah seorang dari kalian datang dari tempat buang air besar (selesai membuang hajat) atau kalian menyentuh wanita (jima’) sedangkan kalian tidak mendapatkan air maka bertayammumlah dengan permukaan bumi yang baik (suci)….” (al-Maidah: 6)
Sedangkan dalil bolehnya tayammum bagi orang yang mukim sebagaimana disebutkan dalam hadits Abul Juhaim radhiallahu ‘anhu, ia berkata,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dari Bi’r Jamal. Lalu ada seseorang bertemu dengan beliau. Orang itu pun mengucapkan salam namun beliau tidak membalasnya hingga beliau menghadap ke tembok lalu mengusap wajah dan kedua tangan beliau (bertayammum). Setelahnya baru beliau membalas salam orang tersebut.” (HR. al-Bukhari no. 337 dan Muslim no. 369)
Hadits di atas ditempatkan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah dalam kitab Shahih-nya dalam bab yang berjudul “Tayammum ketika tidak sedang bepergian apabila seseorang tidak mendapatkan air.”
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini dipahami, tayammum beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang tidak mendapatkan air.” (Syarh Shahih Muslim, 4/64)
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Apabila orang yang muqim tidak mendapatkan air disebabkan tidak ada air di lingkungan mereka, atau air yang ada tertahan pada satu tempat, maka boleh bagi mereka tayammum dan shalat dengan tayammum tersebut. Ini adalah pendapat Malik, ats-Tsauri, al-Auza’i, dan asy-Syafi’i.” (al-Mughni,1/148)
Masalah muqim bisa bertayammum ketika tidak mendapatkan air di sisinya, ditunjukkan juga oleh hadits yang menyebutkan kisah seorang laki-laki yang menyendiri, tidak shalat bersama orang-orang yang shalat karena sedang junub dan tidak mendapatkan air. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menuntunnya:
“Silakan engkau menggunakan permukaan bumi (untuk bertayammum), sesungguhnya hal itu mencukupimu.” (HR. al-Bukhari no. 344, 348 dan Muslim no. 682)
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan disyariatkannya tayammum untuk mengerjakan shalat ketika tidak ada air, tanpa membedakan antara orang yang junub dan yang selainnya.
Hal ini disepakati para ulama, dan tidak ada seorang dari kalangan khalaf (orang yang belakangan) dan dari kalangan salaf yang menyelisihinya, kecuali ‘Umar ibnul Khaththab dan Abdullah bin Mas’ud.
Namun, dikatakan bahwa mereka berdua telah rujuk (kembali kepada pendapat yang benar dan tidak lagi berpendapat dengan pendapat yang sebelumnya -pen.).
Dihikayatkan pula tentang tidak bolehnya tayammum bagi orang yang junub ini dari Ibrahim an-Nakha’i. Namun, terdapat hadits-hadits yang sahih yang menunjukkan bolehnya tayammum bagi orang yang junub. Apabila orang yang junub ini shalat dengan tayammumnya kemudian dia mendapatkan air maka wajib baginya untuk mandi dengan kesepakatan ulama.
Kecuali pendapat yang dihikayatkan dari Abu Salamah bin Abdirrahman, seorang imam dari kalangan tabi’in, ia berpendapat tidak wajib mandi. Namun, pendapatnya ini ditinggalkan dengan kesepakatan ulama yang sebelum beliau dan setelahnya, juga tertolak dengan hadits-hadits yang sahih yang masyhur tentang perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang junub untuk mandi apabila ia mendapatkan air.” (Nailul Authar, 1/358)
Dari penjelasan dan dalil di atas, alhamdulillah, kita tahu bahwa ketidakadaan air merupakan sebab dibolehkannya tayammum, sama saja baik ketika sedang bepergian ataupun sedang muqim. Adapun dalam ayat tayammum hanya disebutkan safar karena keumumannya memang demikian, yakni orang yang sedang bepergian biasanya kekurangan air atau tidak mendapatkannya, wallahu a’lam.
Adapun bagi orang yang sakit, dalam banyak keadaan termudaratkan ketika berhubungan ataupun bersentuhan dengan air sehingga ia pun dibolehkan tayammum. Ulama berkata, “Siapa yang ketika menggunakan air ia khawatir akan membahayakan badannya, seperti sakit yang ditakutkan akan bertambah parah, atau khawatir memperlambat kesembuhan, atau akan meninggalkan atsar/bekas dan semisalnya, maka ia meninggalkan penggunaan air dalam berwudhu atau mandi dan beralih kepada tayammum sampai ia sembuh.”
Demikian pula semata-mata karena khawatir kemudaratan yang akan dialami—meski tidak sampai pada kematian—ketika menggunakan air maka dibolehkan tayammum berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Allah tidak menjadikan dalam agama ini satu keberatan pun bagi kalian.” (al-Hajj: 78)
Sementara syariat tayammum ini ditetapkan untuk mengangkat keberatan dari umat ini. Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
“Allah tidak membebani suatu jiwa melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286) [al-Muhalla, 1/346; as-Sailul Jarrar, 1/308-310; ar-Raudhatun Nadiyyah bersama at-Ta’liqat ar-Radhiyah, 1/202; Taudhihul Ahkam 1/429]
‘Amr ibnul ‘Ash radhiallahu ‘anhu tatkala diutus oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada peperangan Dzatus Salasil, pada hari yang sangat dingin ia ihtilam (mimpi basah) kemudian bertayammum karenanya dan menunaikan shalat mengimami teman-temannya. Tatkala mereka pulang, mereka menyebutkan hal ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau pun bertanya kepada ‘Amr: “Wahai ‘Amr, apakah engkau shalat mengimami teman-temanmu dalam keadaan junub?”
‘Amr menjawab, “Aku ingat dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian sesungguhnya Allah Maha penyayang terhadap kalian.” (an-Nisa: 29)
Aku pun tayammum lalu mengerjakan shalat.”
Mendengar penjelasan ‘Amr tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa dan tidak mengatakan sesuatupun. (HR. Abu Dawud no. 334 dan Ahmad, 4/203-204, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam al-Irwa’ no. 154)
Al-Imam al-Bukhari mengeluarkan hadits ini secara mu’allaq dalam kitab at-Tayammum, bab “Diperkenankan tayammum bagi orang yang junub apabila mengkhawatirkan dirinya jatuh sakit, meninggal, atau khawatir kehausan karena kehabisan air.”
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Ulama sepakat bahwa apabila seseorang berada di negeri yang dingin lalu junub dan khawatir dirinya akan meninggal apabila menggunakan air untuk mandi, ia boleh tayammum.” (Mushannaf Abdur Razzaq 1/226, no. 877)
Al-Imam al-Majd Ibnu Taimiyah[4] rahimahullah berkata, “Di sini didapatkan, penetapan tayammum karena takut hawa yang dingin, gugurnya kewajiban (berwudhu) dalam keadaan dingin yang sangat, dan sahnya shalat seorang yang berwudhu di belakang imam yang berthaharah dengan tayammum….” (Nailul Authar, 1/360—361)
(bersambung insya Allah)
Ditulis oleh Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
[1] Bila maknanya tab’idh berarti yang digunakan untuk tayammum harus tanah berdebu yang dapat melekat/menempel pada tangan.
[2] Kata مِنْ yang menunjukkan ibtida`ul ghayah seperti seseorang mengatakan:
سِرْتُ مِنْ مَكَّةَ إِلَى الْمَدِينةِ
“Aku berjalan dari Makkah ke Madinah.”
[3] Padahal syariat tayammum diturunkan untuk meringankan hamba bukan memberatkannya.
[4] Al-Majd Ibnu Taimiyah, penulis Muntaqal Akhbar, adalah kakek Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.