Kaum muslimin yang “hobi” melakukan ziarah kubur, hampir dipastikan mereka juga memiliki agenda untuk melakukan tawassul. Ritual doa melalui perantara ini sepertinya telah menjadi menu wajib dari rangkaian kegiatan ziarah kubur. Sayang, perbuatan tawassul itu mayoritas menjurus kepada amalan syirik yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Ketika diingatkan, mereka menolak dengan keras karena mereka juga punya “dalil”. Apa saja “dalil” mereka itu dan bagaimana bantahannya?
Sebagai lanjutan dari pembahasan tentang tawassul yang disyariatkan pada edisi lalu, kali ini akan dibahas tentang tawassul yang dilarang.
Kedua, tawassul yang diharamkan dan tidak disyariatkan oleh Allah. Bentuknya ialah bertawassul kepada Allah subanahu wa ta’ala dengan sesuatu yang bukan wasilah atau sesuatu yang tidak ditetapkan oleh syariat sebagai wasilah.
Bentuk tawassul ini ada dua:
Tawassul semacam ini diharamkan. Contohnya, bertawassul dengan jah (kedudukan) seseorang yang memiliki kedudukan di sisi Allah subanahu wa ta’ala atau tawassul dengan diri seseorang. Perbuatan ini menjadi bid’ah dari satu sisi dan syirik (kecil-red) dari sisi yang lain.
Termasuk jenis ini adalah tawassul para pengagung kuburan dengan wali-wali mereka. Mereka meminta-minta langsung kepada ahli kubur atau berhala, dengan dalih bertawassul. Ini adalah tawassul yang merupakan syirik akbar.
Pertanyaan
Jawabannya ada rincian, yaitu:
Hal ini telah dilakukan oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada beliau. Telah dilakukan pula oleh Umar bin al-Khaththab kepada paman Rasulullah, Abbas bin Abdul Muththalib radhiallahu ‘anhu.
Bertawassul dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk sederetan musibah yang besar. Jawaban terhadap pertanyaan ini adalah:
Contohnya dengan mengatakan, “Ya Allah, dengan imanku kepada Nabi-Mu, aku memohon kepada-Mu…
Hal ini diperbolehkan sebagaimana di atas. Adapun setelah beliau wafat, tidak boleh bertawassul melainkan dengan mengikuti dan mengimani beliau.
radhiallahu ‘anhuma. Bertawassul dengan kedudukan dan dzat beliau, baik semasa hidup maupun setelah beliau wafat.
Hal ini termasuk kebid’ahan.
Beberapa Masalah Penting
Setelah mengetahui jenis-jenis tawassul, baik yang disyariatkan maupun yang mengundang murka Allah, ada beberapa masalah penting yang harus dipahami.
Mereka berusaha menghalangi segala kemungkinan pembaruan akidah dengan cara apa pun, walaupun harus memakan waktu yang cukup lama.
Mereka memakai senjata-senjata kebatilan untuk membendung kebenaran dan pengikutnya, seperti dusta, tuduhan keji, menipu, janji-janji palsu, mencacimaki, dan sebagainya.
Jadi, tidak aneh lagi apabila di antara kaum muslimin ada yang menjadi pembela kebatilan dan penebar kesesatan.
Allah subanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (Saba’: 13)
Bagaimanapun dan di mana pun mereka bersembunyi dengan kebatilan mereka, niscaya Allah subanahu wa ta’ala akan menampilkan sosok ulama yang akan menyeret mereka dan kebatilannya hingga tampak di hadapan kaum muslimin bahwa mereka adalah pengusung kebatilan.
Ini sebagai kebenaran janji Allah dalam al-Qur’an,
“Sesungguhnya Kami yang telah menurunkan adz-Dzikr (al-Qur’an) dan Kami yang akan menjaganya.” (al-Hijr: 9)
Tidak ada kejahatan sekecil apa pun yang diperbuat dalam agama-Nya atau mengatasnamakan agama-Nya, melainkan Allah subanahu wa ta’ala akan membongkar kedoknya. Tidak ada makar tersembunyi sekecil apa pun yang dilakukan oleh pengusung kebatilan melainkan Allah subanahu wa ta’ala akan membongkarnya, walaupun mereka bersembunyi di lubang-lubang biawak. Tidak ada syubhat sesulit apa pun yang mereka lontarkan melainkan Allah subanahu wa ta’ala akan menampakkan kebatilannya.
Itulah bentuk rahmat Allah atas para hamba-Nya yang beriman. Itulah yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,
“Barang siapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, niscaya Allah akan memberikan kefakihan di dalam agama. Sesungguhnya aku adalah sebagai pembagi (harta sedekah) dan yang memberi adalah Allah. Terus menerus akan ada (sebagian) dari umat ini (Islam) tegak di atas perintah Allah, tidak akan membahayakan mereka siapapun yang menyelisihi mereka,sampai datang keputusan Allah.”
Hadits ini diriwayatkan dari sejumlah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti Mu’awiyah bin Abu Sufyan (HR. al-Bukhari no. 71, Muslim no. 1037, dan Ahmad no. 16246) Tsauban, al-Mughirah bin Syu’bah, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash, Abu Hurairah, Mu’awiyah bin Qurrah, Zaid bin Arqam, ‘Imran bin Hushain, Uqbah bin ‘Amir, Abu Umamah radhiallahu ‘anhum, dan lainnya. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dalam Sunan beliau, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah.
Dalam lafadz yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, “Mereka adalah golongan yang selalu memperjuangkan kebenaran dan selalu tertolong di atasnya sampai datang keputusan Allah.”
Siapakah yang dimaksud dengan sekelompok kecil tersebut?
Ibnu Hajar al-’Asqalani rahimahullah mengatakan, “Al-Bukhari telah memastikan bahwa yang dimaksud adalah ulama dan ahli hadits.”
Al-Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, “Kalau bukan ahli hadits yang dimaksud, saya tidak mengetahui siapa lagi mereka.”
Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud oleh Ahmad adalah Ahlus Sunnah dan orang-orang yang mengikuti mazhab mereka.” (Lihat Fathul Bari, 1/200, cet. Darul Hadits, Mesir)
Di antara syubhat yang dilontarkan oleh penyeru kebatilan dalam masalah tawassul adalah sebagai berikut.
Syubhat pertama: “Orang-orang yang membolehkan tawassul dengan jah (kedudukan) seseorang, kehormatan, dzat dan haknya, berdalil dengan hadits Anas bin Malik, yang diriwayatkan al-Bukhari dalam dua tempat.
“Sesungguhnya ‘Umar bin al-Khaththab beristisqa’ (minta turun hujan) melalui ‘Abbas bin Abdul Muththalib bila ditimpa musim kering (yang berakibat terjadinya paceklik). Beliau (‘Umar) berkata, “Ya Allah, sesungguhnya kami dahulu bertawassul dengan Nabi-Mu dan Engkau menurunkan air hujan. Sekarang kami bertawassul dengan paman Nabi-Mu, maka turunkanlah atas kami hujan.” Beliau berkata, ‘Lalu turun hujan buat mereka’.”
Mereka (penyeru kebatilan) mengatakan, “Hadits ini menyebutkan bahwa Umar bertawassul dengan jah (kedudukan), dan dia memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah. Tawassul ‘Umar hanya sebatas menyebut nama al-’Abbas dalam doa beliau, lalu meminta kepada Allah untuk menurunkan hujan. Ditambah lagi, para sahabat menyetujui hal itu.
Adapun sebab ‘Umar berpaling dari bertawassul dengan Rasulullah hanyalah sebatas ingin menjelaskan bolehnya bertawassul dengan yang “mafdhul” (orang yang lebih rendah kedudukannya) meski ada yang lebih afdal.”
Bantahan:
Pemahaman mereka tentang hadits di atas dengan maksud demikian sangatlah keliru dari banyak sisi.
Berdasarkan hal ini, hadits ‘Umar harus dipahami dengan riwayat-riwayat lain yang menjelaskan tentang tawassul.
Riwayat-riwayat yang banyak tersebut menjelaskan, ketika ditimpa oleh paceklik, para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertawassul dengan doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara mendatangi beliau ketika masih hidup. Mereka meminta beliau berdoa kepada Allah agar diturunkan hujan. Mereka tidak bertawassul diri (dzat) dan kedudukan beliau yang tinggi di sisi Allah.
Dijelaskan dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu yang sahih,
“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah pada hari Jum’at, tiba-tiba seseorang datang lalu berkata, ‘Ya Rasulullah, hujan tertahan (menyebabkan paceklik). Berdoalah kepada Allah agar menurunkan hujan untuk kami.’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa dan hujan turun atas kami. Hampir-hampir kami tidak bisa pulang ke rumah-rumah kami. Hujan tersebut berlangsung sampai Jum’at berikutnya.
(Anas) berkata, “Orang tersebut atau–yang lain–bangkit dan berkata, ‘Ya Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar Allah memalingkan hujan dari kami.’ Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, ‘Ya Allah, palingkan hujan itu dari kami dan jangan dijadikan sebagai bahaya bagi kami.’
Anas berkata, “Sungguh,aku menyaksikan gumpalan awan terpisah-pisah ke arah kanan dan kiri, lalu turun hujan untuk mereka (selain penduduk Madinah). Hujan tidak turun bagi penduduk Madinah.”
Jadi, dalam ucapan Umar,
“Sesungguhnya kami dahulu bertawassul dengan Nabi-Mu dan Engkau menurunkan air hujan. Sekarang kami bertawassul dengan paman Nabi-Mu…”
ada sebuah kata yang terbuang.
Dengannya, makna akan sempurna dan sesuai dengan nash-nash lain yang sahih. Kata yang terbuang itu harus didatangkan. Kata yang terbuang itu ada dua kemungkinan:
Untuk menghukumi mana yang benar dari dua kemungkinan ini, kita harus kembali kepada as -Sunnah dan yang sesuai dengan riwayat-riwayat yang sahih. Yang benar dan sesuai dengan riwayat yang sahih adalah kemungkinan yang kedua.
Gambarannya, engkau memiliki hajat kepada seseorang yang memiliki kedudukan (misalnya) sebagai pimpinan. Engkau lalu mendatangi seseorang yang lebih didengar suaranya oleh pimpinan tersebut. Engkau mengutarakan hajatmu kepadanya untuk disampaikan kepada pimpinan.
Demikianlah definisi tawassul di kalangan orang Arab sejak dahulu. Makna tawassul bukanlah engkau datang kepada pimpinan itu lalu mengatakan, ‘Hai pimpinan, karena jah (kedudukan) orang tersebut dan dekatnya posisinya di sisimu, tunaikanlah hajatku.’
Mereka merestuinya karena memang perbuatan ‘Umar tidak menyelisihi Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika perbuatan ‘Umar menyelisihi Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, niscaya mereka (para sahabat) akan menentangnya. Mustahil mereka bersepakat dalam kebatilan, padahal mereka adalah sebaik-baik umat yang dikeluarkan bagi manusia, menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar.
Perbuatan Umar, menurut riwayat-riwayat yang sahih di atas, ialah mendatangi al-’Abbas dan memintanya berdoa kepada Allah agar Dia menurunkan hujan. Ini sebagaimana permintaan yang terjadi semasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup.
Makna hadits Umar di atas telah dijelaskan oleh Ibnu Hajar al-’Asqalani rahimahullah dalam kitab beliau Fathul Bari (2/571, cet. Darul Hadits, Mesir), “Telah dijelaskan oleh Az-Zubair bin Bakkar dalam kitab al-Ansab, tentang bentuk doa al-’Abbas dalam peristiwa ini dan waktu terjadi hal itu.
Beliau meriwayatkan dengan sanadnya, saat ‘Umar bertawassul dengan al-’Abbas dalam istisqa’, al-’Abbas berdoa,
“Ya Allah, sesungguhnya tidaklah turun bala melainkan karena sebuah dosa dan tidak akan dihilangkan melainkan dengan bertobat. Kaum itu telah mendatangiku untuk menyampaikan hajat mereka kepada-Mu karena kedudukan diriku di hadapan Nabi-Mu. Ini tangan-tangan kami berlumuran dosa dan ubun-ubun kami (mengikarkan) tobat. Turunkanlah hujan kepada kami.”
Kemudian hujan turun dari langit sehingga bumi menjadi subur dan manusia bisa hidup.
Kalau benar ‘Umar bertawassul dengan jah (kedudukan) al-’Abbas niscaya beliau tidak akan meninggalkan bertawassul dengan jah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam walaupun telah wafat. Sebab, bertawassul dengan jah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa dilakukan meskipun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat.
Jika benar yang mereka katakan, tentu saja para sahabat yang lain akan menegur ‘Umar, mengapa tidak bertawassul dengan jah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan justru berpaling kepada al-’Abbas.
Sungguh, kita telah mengetahui semangat para sahabat untuk melakukan sesuatu yang lebih utama.
Alasan ini adalah batil dari beberapa sisi:
Bagaimana mereka akan pergi ke makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menjelaskan keadaan mereka dan meminta agar beliau berdoa kepada Allah supaya dibebaskan dari bala yang menimpa, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghadap Allah?
Karena memang tidak diperbolehkan itulah, ‘Umar bertawassul dengan doa paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-’Abbas. Apabila hal itu diperbolehkan setelah wafat beliau namun ‘Umar tidak melakukannya, berarti ‘Umar meninggalkan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ini tidak mungkin terjadi pada orang terbaik dari umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah Abu Bakr radhiallahu ‘anhu.
Jika tawassul dengan jah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diperbolehkan, mengapa ‘Umar mencari yang mafdhul (kurang afdal) dan meninggalkan yang afdal?
Apakah hal itu juga terbetik pada diri Mu’awiyah dan adh-Dhahhak bin Qais, saat keduanya bertawassul dengan doa seorang tabi’in yang mulia, Yazid bin al-Aswad al-Jurasyi, dan tidak mencukupkan dengan apa yang dilakukan oleh ‘Umar? Tentu ini adalah alasan yang berlebihan.
Ucapan ini menjelaskan bahwa Umar sering melakukan yang serupa setiap kali terjadi musim kemarau yang panjang.
Kalau tujuannya adalah menjelaskan hukum fikih di atas, niscaya ‘Umar tidak akan melakukannya berulang-ulang, tetapi cukup satu kali.
Syubhat kedua: Mereka berdalil dengan hadits riwayat al-Imam Ahmad dan selainnya, dengan sanad yang sahih dari ‘Utsman bin Hunaif. Seorang buta mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata,
“Doakanlah untukku agar Allah menyembuhkanku.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalau engkau kehendaki, aku akan mendoakan untukmu. Jika kamu menghendaki juga, aku tidak mendoakan untukmu, dan itu lebih baik buatmu.’
Dalam sebuah riwayat, ‘Kalau mau, engkau bersabar. Itu lebih baik buatmu.’
Dia berkata, ‘Berdoalah.’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhnya untuk mengambil air wudhu dan menyempurnakan wudhunya, lalu shalat dua rakaat dan berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu dan aku menghadap-Mu dengan (doa) Nabi-Mu Muhammad, Nabi rahmah. Hai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap Allah dengan (doa) mu dalam semua hajatku hingga tertunaikan untukku. Ya Allah, terimalah syafaatnya (Nabi-Mu) bagiku. Ya Allah, terimalah doaku agar Engkau mengabulkan syafaatnya untukku’.
Orang tersebut melakukannya dan sembuh.”[3]
Mereka mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bolehnya bertawassul dalam doa dengan jah (kedudukan) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau orang saleh selain beliau. Sebab, beliau mengajari orang buta tersebut agar bertawassul dengan beliau dalam doanya. Dia melakukannya dan kemudian sembuh.”
Bantahannya:
Sesungguhnya dalil ini menjelaskan jenis tawassul yang disyariatkan, sebagaimana dijelaskan di atas, yaitu tawassul dengan doa beliau.
Bukti yang menjelaskan demikian dalam hadits tersebut banyak sekali. Yang terpenting adalah:
Hal ini jelas di dalam ucapannya,
Apabila memaksudkan bertawassul dengan jah dan diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia tidak perlu mendatangi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Meski demikian, beliau menasihatinya dengan sesuatu yang lebih utama, yaitu bersabar.
Inilah makna hadits yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apabila aku menguji hamba-Ku dengan kedua matanya lantas dia bersabar, niscaya Aku akan menggantikan keduanya dengan surga.”[4]
Ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakannya. Beliau adalah sebaik-baik orang dalam hal memenuhi janji.
Ucapan ini mustahil mengandung makna bahwa dia bertawassul dalam doanya dengan jah (kedudukan) atau dzat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, makna ucapan tersebut adalah “Ya Allah, terimalah syafaatnya buatku.” Artinya, terimalah doanya agar aku mendapatkan kesembuhan dan penglihatanku pulih.
Maksudnya, terimalah doaku agar Engkau menerima syafaat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untukku. Artinya, terimalah doanya (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) agar penglihatanku kembali.
Oleh karena itu, para ulama meletakkan hadits ini dan yang semisalnya dalam karya tulis mereka pada bab “Bukti-bukti kenabian.” Hal ini dilakukan oleh al-Imam Al-Baihaqi dan selain beliau.
Semua keterangan di atas dengan gamblang menjelaskan bahwa rahasia kesembuhan orang tersebut datang dari Allah, kemudian berkat doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mustajab.
Jika hal ini telah jelas, sampailah kita kepada pengertian ucapan orang buta tersebut, “Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepada-Mu dan aku bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad….”; maksudnya adalah dengan doa Nabi-Mu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(Bersambung, Insya Allah)
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah
[1] Taqdir (kemungkinan kata yang terbuang) yang pertama.
[3] HR. Ahmad dalam Musnad 4/138, at-Tirmidzi no. 3831, Ibnu Majah dalam Sunan beliau no.1385, ath-Thabarani 3/2/2, dan al-Hakim 1/313; dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam kitab Shahih Sunan at-Tirmidzi 3/183 no. 2832 dan Shahih Sunan Ibnu Majah 1/232 no. 1138.
Beliau mengisyaratkan pada kitab beliau, at-Tawassul Anwa’uhu Wa Ahkamuhu hlm. 76, ar-Raudh hlm. 661, at-Ta’liq ar-Raghif 1/142-242, dan at-Ta’liq ‘ala Shahih Ibnu Huzaimah 1219.
[4] HR. al-Bukhari no. 5221 dari Anas bin Malik, Ahmad no. 7380, at-Tirmidzi no. 2675 dan ad-Darimi no. 2325 dari Abu Hurairah. At-Tirmidzi mengatakan, hadits ini juga diriwayatkan dari ‘Irbadh bin Sariyah.