Asysyariah
Asysyariah

tawaran kepada orang shalih

13 tahun yang lalu
baca 10 menit

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah)

 

Kemapanan adalah alasan yang kerap dikemukakan orangtua atau wali kala menerima atau menolak pinangan seorang laki-laki terhadap putrinya. Mereka berargumen, kemapanan calon suami menjadi kunci utama dari kebahagiaan putrinya. Bagaimana dengan keteladanan salafus shalih dalam hal ini?

Abu Hurairah z mengabarkan bahwa Rasulullah n pernah bersabda:

إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ

“Apabila seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya datang kepada kalian untuk meminang wanita kalian, maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al-Imam Al-Albani t dalam Al-Irwa’ no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)

Abu Hatim Al-Muzani z juga menyampaikan hadits yang sama namun dengan lafadz sedikit berbeda:

إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوْهُ إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ

“Apabila datang kepada kalian seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian menikahkannya dengan wanita kalian. Bila tidak, akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan.” (HR. At-Tirmidzi no. 1085, hadits ini derajatnya hasan dengan dukungan hadits Abu Hurairah z di atas)

Ketika para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kami tetap menerimanya walaupun pada diri orang tersebut ada sesuatu yang tidak menyenangkan kami?” Rasulullah n menjawab pertanyaan ini dengan kembali mengulangi hadits di atas sampai tiga kali.

Ucapan Rasulullah n dalam hadits di atas ditujukan kepada para wali, إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ yakni bila seorang lelaki meminta kepada kalian agar menikahkannya dengan wanita yang merupakan anak atau kerabat kalian, sementara lelaki tersebut kalian pandang baik sisi agama dan pergaulannya, maka nikahkanlah dia dengan wanita kalian. إِلاَّ تَفْعَلُوا yakni bila kalian tidak menikahkan orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya tersebut dengan wanita kalian, malah lebih menyukai lelaki yang meminang wanita kalian adalah orang yang punya kedudukan/kalangan ningrat, memiliki ketampanan ataupun kekayaan, niscaya akan terjadi fitnah dan kerusakan yang besar. Karena bila kalian tidak mau menikahkan wanita kalian kecuali dengan lelaki yang berharta atau punya kedudukan, bisa jadi banyak dari wanita kalian menjadi perawan tua dan kalangan lelaki kalian menjadi bujang lapuk (lamarannya selalu ditolak karena tidak berharta dan tidak punya kedudukan). Akibatnya banyak orang terfitnah untuk berbuat zina dan bisa jadi memberi cela kepada para wali, hingga berkobarlah fitnah dan kerusakan. Dampak yang timbul kemudian adalah terputusnya nasab, sedikitnya kebaikan dan sedikit penjagaan terhadap kehormatan dan harga diri. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab An-Nikah, bab Ma Ja’a: Idza Ja’akum Man Tardhauna Dinahu Fa Zawwijuhu)

Kenapa kita bawakan hadits di atas dalam rubrik ini? Ya, karena tak jarang kita dapati pihak kerabat dari seorang wanita yang punya hak perwalian terhadapnya mempersulit pernikahan si wanita. Setiap lelaki yang datang meminang si wanita, mereka tolak bila tidak sesuai dengan kriteria mereka, walaupun si wanita senang dan mau menikah dengan si pelamar. Kalau lelaki yang melamar tersebut seorang yang pendosa, terkenal suka bermaksiat, memang sangat bisa diterima bila wali si wanita menolaknya. Permasalahannya sekarang, orang yang jelas baik sisi agamanya dan bagus akhlaknya pun ikut ditolak dengan berbagai alasan. Terhadap para wali yang berlaku demikian, kita hadapkan hadits Rasulullah n yang mulia di atas.

Para pendahulu kita yang shalih, sangat mempermudah urusan pernikahan wanita-wanita yang di bawah perwalian mereka, karena mereka lebih mementingkan sisi agama dan kemuliaan akhlak. Bahkan bila lelaki yang shalih belum kunjung datang meminang wanita mereka, tak segan mereka tawarkan putri atau saudara perempuan mereka kepada seorang yang shalih.

Al-Qur’an yang mulia telah berkisah tentang tawaran seorang lelaki tua yang shalih di negeri Madyan1 kepada Nabi Musa q agar bersedia menikahi salah seorang“Dan tatkala Musa sampai di sumber air negeri Madyan, ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternak mereka) dan di belakang orang banyak itu, ia dapati dua orang wanita yang sedang menghambat (ternak mereka). Musa bertanya, ‘Ada apa dengan kalian (hingga tidak ikut meminumkan ternak sebagaimana mereka)?’ Kedua wanita itu berkata, ‘Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami) sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternak mereka), sedangkan ayah kami adalah orang tua yang telah lanjut usia.’ Maka Musa menolong kedua wanita tersebut dengan memberi minum ternak keduanya. Setelahnya, ia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa, ‘Ya Rabbku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.’ Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita tadi, ia berjalan dengan malu-malu. Ia berkata, ‘Ayahku memanggilmu untuk membalas (kebaikan)mu memberi minum ternak kami.’ Tatkala Musa menemui ayah si wanita dan menceritakan kisah dirinya, ayah si wanita berkata, ‘Janganlah engkau takut. Engkau telah selamat dari orang-orang yang dzalim itu.’ Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, ‘Wahai ayahku, ambillah orang itu sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sebaik-baik orang yang engkau ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.’ Berkatalah ayah si wanita kepada Musa, ‘Sungguh aku bermaksud menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua putriku ini, atas dasar engkau bekerja denganku selama delapan tahun dan jika engkau cukupkan sampai sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) darimu karena aku tidak ingin memberatkanmu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik’. Dia (Musa) berkata: ‘Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. Mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). Dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan’.” (Al-Qashash: 23-28)

Lihat pula apa yang dilakukan seorang sahabat Rasul yang kita tidak menyangsikan kemuliaan dan kedudukannya, ‘Umar ibnul Khaththab z. Ketika putrinya Hafshah x menjanda karena ditinggal mati suaminya, Khunais bin Hudzafah As-Sahmi z di Madinah, ‘Umar z mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan z yang belum lama ditimpa musibah dengan meninggalnya istrinya, Ruqayyah bintu Rasulullah n, guna menawarkan putrinya kepada ‘Utsman, sekiranya ‘Utsman berhasrat menikahinya. Namun ternyata ‘Utsman berkata, “Saya akan pertimbangkan urusanku.” ‘Umar pun menunggu beberapa hari. Ketika bertemu lagi, ‘Utsman berkata, “Aku putuskan untuk tidak menikah dulu dalam waktu-waktu ini.” Karena ‘Utsman telah memberikan isyarat penolakannya untuk menikah dengan Hafshah, ‘Umar pun menemui Abu Bakr Ash-Shiddiq z dengan maksud yang sama, “Jika engkau mau, aku akan nikahkan engkau dengan Hafshah bintu ‘Umar,” kata ‘Umar. Namun Abu Bakr diam tidak berucap sepatah kata pun. Sikap Abu Bakr seperti ini membuat ‘Umar marah. Selang beberapa hari, ternyata Rasulullah n meminang Hafshah. Betapa bahagianya ‘Umar dengan pinangan tersebut. Ia pun menikahkan Hafshah dengan Rasulullah n. Setelah pernikahan yang diberkahi tersebut, Abu Bakr menjumpai ‘Umar dan berkata, “Mungkin engkau marah kepadaku ketika engkau tawarkan Hafshah kepadaku namun aku tidak berucap sepatah kata pun? “

“Iya,” jawab Umar.

“Sebenarnya tidak ada yang mencegahku untuk menerima tawaranmu. Hanya saja aku tahu Rasulullah n pernah menyebut-nyebut Hafshah, maka aku tidak suka menyebarkan rahasia Rasulullah n tersebut. Seandainya Rasulullah n tidak jadi meminang Hafshah, aku tentu mau menikahi Hafshah,” jawab Abu Bakr menjelaskan. (HR. Al-Bukhari no. 5122)

Satu kisah yang menghiasi kitab-kitab tarikh (sejarah) juga patut kita bawakan di sini. Kisah seorang tokoh tabi’in, Sa’id ibnul Musayyab t, yang menawarkan putrinya kepada muridnya, Abdullah ibnu Abi Wada’ah. Abdullah ini bercerita, “Aku biasa duduk di majelis Sa’id ibnul Musayyab guna mendengarkan ilmu. Namun dalam beberapa hari aku absen dari majelisnya, hingga Sa’id merasa kehilangan diriku. Hingga suatu hari ketika aku menemuinya, ia bertanya, “Dari mana engkau?”

“Istriku meninggal dunia sehingga aku tersibukkan dengannya,” jawabku.

“Kenapa engkau tidak memberitahukan kepadaku hingga kami bisa menghadiri jenasahnya?” tanya Sa’id.

Setelah beberapa lama berada dalam majelis, aku ingin bangkit untuk pulang. Namun Sa’id menodongku dengan pertanyaan, “Apakah engkau ingin mencari istri yang baru?”

“Semoga Allah l merahmatimu. Siapa yang mau menikahkan aku dengan wanitanya, sementara aku tidak memiliki apa-apa kecuali uang sebesar dua atau tiga dirham?” jawabku.

“Aku orangnya,” kata Sa’id.

“Engkau ingin melakukannya?” tanyaku

“Iya,” jawab Sa’id.

Ia pun memuji Allah l dan bershalawat kepada Nabi n, kemudian menikahkan aku dengan putrinya dengan mahar sebesar dua atau tiga dirham. Setelahnya aku bangkit untuk kembali pulang dalam keadaan aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat karena bahagianya. Aku kembali ke rumahku dan mulailah aku berpikir hingga tiba waktu maghrib. Usai mengerjakan shalat maghrib, aku kembali ke rumahku. Kuhidupkan pelita. Ketika itu aku sedang puasa, maka aku persiapkan makan malamku berupa roti dan minyak untuk berbuka. Tiba-tiba pintu rumahku diketuk. “Siapa?” tanyaku.

“Sa’id,” jawab si pengetuk.

Aku pun berpikir siapa saja orang yang bernama Sa’id, tanpa terlintas di benakku tentang Sa’id ibnul Musayyab, karena telah lewat waktu 40 tahun ia tak pernah terlihat ke mana-mana kecuali di antara rumahnya dan masjid2. Aku pun keluar menemui si pengetuk dan ternyata ia adalah Sa’id ibnul Musayyab. Semula aku menyangka ia akan membatalkan pernikahanku dengan putrinya. Aku berkata, “Wahai Abu Muhammad! Seandainya engkau mengutus seseorang untuk memanggilku niscaya aku akan mendatangimu.”

“Oh tidak! Engkau lebih pantas untuk didatangi,” ujarnya.

“Apa yang engkau perintahkan kepadaku?” tanyaku.

“Engkau tadinya membujang lalu engkau menikah, maka aku tidak suka engkau melewati malam ini sendirian. Ini istrimu!” kata Sa’id menunjuk seorang wanita yang berdiri tersembunyi di belakangnya. Ia membawa wanita yang telah menjadi istriku itu ke pintuku lalu menutupnya. Aku pun masuk menemui istriku. Ternyata kudapati ia wanita yang sangat cantik dan paling hafal terhadap Kitabullah, serta paling tahu tentang Sunnah Rasulullah n, dan tentunya paling mengerti tentang hak suami.”

Demikian kisah Abdullah ibnu Abi Wada’ah yang beruntung mempersunting putri Sa’id ibnul Musayyab yang shalihah, jelita lagi cendekia. Padahal putri Sa’id ini pernah dipinang oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan untuk putranya, Al-Walid. Namun Sa’id enggan menikahkan putrinya dengan putra khalifah. Ia lebih memilih menawarkan putrinya kepada muridnya yang hidup penuh dengan kesederhanaan, namun sarat dengan ilmu dan keshalihan. (Siyar A’lamin Nubala`, 4/233-234)

Dari kisah-kisah di atas yakinlah kita bahwa menawarkan anak gadis, saudara perempuan atau keponakan kepada seorang lelaki yang shalih, bukanlah suatu cela. Bahkan hal itu menunjukkan itikad yang baik dari wali si wanita, yaitu memilihkan orang yang baik untuk wanitanya. Karena, seorang yang shalih bila mencintai istrinya ia akan memuliakannya. Namun bila tidak mencintai istrinya, ia tidak akan menghinakannya. Karenanya, janganlah para wali mempersulit urusan pernikahan wanita mereka dengan seseorang yang baik agama dan akhlaknya!

Wallahu a’lam bish-shawab.


1 Faedah: Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang siapa lelaki ini. Ada beberapa pendapat dalam hal ini. Salah satunya adalah pendapat yang mengatakan lelaki itu adalah Nabi Syu’aib q yang diutus Allah k kepada penduduk Madyan. Inilah yang masyhur menurut kebanyakan ulama. Al-Hasan Al-Bashri t dan selainnya berpendapat demikian.

Pendapat lain mengatakan bahwa lelaki tersebut adalah saudara Nabi Syu’aib. Adapula yang berpendapat dia adalah lelaki mukmin dari kaum Syu’aib. Yang lain mengatakan, Syu’aib diutus pada masa yang jauh dari zaman Musa q, karena Syu’aib berkata kepada kaumnya:

“Tidaklah kaum Luth berada jauh dari kalian.” (Hud: 89)
Sementara masa kebinasaan kaum Luth terjadi di zaman Nabi Ibrahim q sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur`an. Dan diketahui bahwa jarak antara masa Nabi Ibrahim dengan Nabi Musa amatlah jauh, lebih dari 400 tahun, sebagaimana disebutkan lebih dari seorang ulama. Termasuk yang memperkuat pendapat bahwa lelaki itu bukanlah Nabi Syu’aib adalah seandainya benar dia Nabi Syu’aib niscaya Al-Qur`an akan menyebut namanya dalam ayat tersebut. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 6/110)
2 Karena Sa’id memakmurkan hari-harinya untuk memberikan pengajaran ilmu kepada manusia di rumah Allah k.