Berbaring miring di atas sisi kanan lebih afdal (daripada sisi kiri). Jika tidak memungkinkan menghadap kiblat, hendaknya tetap shalat dengan menghadap ke mana saja. Shalatnya tetap sah dan tidak perlu mengulanginya.
Lebih afdal jika kepalanya diangkat sedikit supaya bisa menghadap ke arah kiblat. Apabila tetap tidak mampu menghadapkan kakinya ke arah kiblat, hendaknya dia shalat sesuai dengan kemampuan. (Shalatnya tetap sah, -pent.) dan tidak perlu mengulanginya.
Apabila tidak mampu, hendaknya ia rukuk dan sujud dengan mengisyaratkan (menundukkan) kepalanya. Pada saat sujud, hendaknya isyarat kepalanya lebih menunduk daripada ketika rukuk.
Apabila dia hanya mampu rukuk tanpa sujud, hendaknya dia tetap rukuk (seperti biasanya) dan bersujud dengan isyarat (menundukkan kepalanya). Sebaliknya, jika ia hanya mampu sujud tanpa rukuk, hendaknya ia tetap sujud (seperti biasanya) dan rukuk dengan isyarat (menundukkan kepalanya).
Caranya ialah dengan sedikit menutup mata ketika rukuk dan memejamkannya sewaktu sujud.
Adapun (shalat dengan) mengisyaratkan jari—sebagaimana hal ini dilakukan oleh sebagian orang yang sakit—, hal tersebut tidak benar. Saya tidak mengetahui dalilnya dari Al-Qur’an, As-Sunnah (hadits), ataupun pendapat ulama.
Dia bertakbir dan membaca (bacaan shalat) serta meniatkan rukuk, sujud, berdiri, dan duduknya; di dalam hatinya. Setiap hamba akan mendapatkan apa yang dia niatkan.
Jika dia mengalami kesulitan/masyaqqah dalam mengerjakan setiap shalat pada waktunya, dia boleh menjamak antara shalat Zuhur dan Asar, demikian pula antara shalat Magrib dan Isya. Dia boleh melakukan jamak takdim dengan melakukan shalat Asar pada waktu zuhur atau melakukan shalat Isya pada waktu magrib.
Demikian pula ia boleh melakukan jamak takhir dengan melakukan shalat Zuhur pada waktu asar atau melakukan shalat Magrib pada isya. (Dia boleh memilih jamak takdim atau jamak takhir) sesuai dengan yang paling mudah baginya. Adapun shalat Subuh tidak boleh dijamak.
Dia mengerjakan shalat Zuhur, Asar, dan Isya; dengan dua rakaat dua rakaat hingga ia pulang ke negerinya, baik safarnya tersebut jangka waktunya lama maupun singkat.
Kaifa Yatathahhar al-Mariidh wa Yushallii dari Risaalah fii al-Wudhuu` wa al-Ghusl wa ash-Shalaah, hlm. 12—16 karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah