Asysyariah
Asysyariah

talak sunnah dan talak bid’ah

3 tahun yang lalu
baca 10 menit
Talak Sunnah dan Talak Bid’ah

Talak Sunnah

Dalam hal menalak istri, seseorang wajib mengikuti tuntunan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam. Yang disyariatkan dalam menalak istri adalah menalaknya selagi suci yang belum digauli atau menalaknya ketika dia hamil.

Dalilnya adalah sebagai berikut.

  1. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ إِذَا طَلَّقۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ

“Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, ceraikanlah mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya.” (ath-Thalaq: 1)

Maksud ayat ini adalah agar istri ditalak pada saat suci yang belum digauli atau pada saat hamil sehingga mereka dapat langsung beriddah. Hal ini sebagaimana ditafsirkan pada hadits Ibnu Umar radhiallahu anhuma berikut.

  1. Hadits Ibnu Umar radhiallahu anhuma

Ibnu Umar menyebutkan bahwa ia menalak istrinya selagi haid. Umar radhiallahu anhu pun menanyakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا، ثُمَّ لِيَتْرُكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ، ثُمَّ تَحِيضَ، ثُمَّ تَطْهُرَ، ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ، وإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ، فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِيْ أَمَرَ اللهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ.

“Perintahkan kepadanya agar merujuk istrinya kemudian membiarkannya bersamanya hingga suci, kemudian haid lagi, kemudian suci. Lantas setelah itu terserah kepadanya, ia mempertahankannya jika mau dan ia bisa menalaknya jika mau. Itulah iddah yang Allah perintahkan agar para istri ditalak pada waktu mereka dapat langsung menghadapinya.” (Muttafaqun alaih)

Pada riwayat Muslim lainnya dengan lafaz,

مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا، ثُمَّ لْيُطَلِّقْهَا طَاهِرًا أَوْ حَامِلاً

“Perintahkanlah kepadanya agar merujuk istrinya, kemudian menalaknya selagi suci atau hamil.”

Hadits ini menafsirkan ayat di atas. Artinya, istri yang ditalak pada masa suci yang belum digauli akan langsung menghadapi iddahnya hingga tiga kali haid. Sementara itu, istri yang ditalak pada saat hamil akan langsung menghadapi iddahnya hingga dia melahirkan.

Baca juga: Definisi dan Hukum Talak

Inilah talak yang dituntunkan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam, yaitu:

  1. Menalak istri di masa suci yang belum digauli.

Maksudnya adalah setelah mandi suci, menurut pendapat yang rajih. Ini adalah salah satu riwayat dari Ahmad, dirajihkan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Hajar.

Dalilnya adalah hadits Ibnu Umar radhiallahu anhuma riwayat an-Nasai dengan lafaz,

مُرْ عَبْدَ اللهِ فَلْيُرَاجِعْهَا، فَإِذَا اغْتَسَلَتْ فَلْيَتْرُكْهَا حَتَّى تَحِيضَ، فَإِذَا اغْتَسَلَتْ مِنْ حَيْضَتِهَا الْأُخْرَى فَلاَ يَمَسَّهَا حَتَّى يُطَلِّقَهَا، فَإِنْ شَاءَ أَنْ يُمْسِكَهَا فَلْيُمْسِكْهَا، فَإِنَّهَا الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ

“Perintahkan Abdullah agar merujuk istrinya. Kemudian jika istrinya telah mandi, hendaklah ia membiarkannya sampai haid. Kemudian jika istrinya telah mandi dari haid berikutnya, janganlah ia menggaulinya sampai ia menalaknya. Jika ia ingin mempertahankannya, hendaklah ia melakukannya. Itulah iddah yang Allah perintahkan agar para istri ditalak pada waktu mereka dapat langsung menghadapinya.” (HR. an-Nasai, dinilai sahih oleh al-Albani)[1]

Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan dalam Majmu’ al-Fatawa, “Talak yang dibolehkan oleh syariat menurut kesepakatan ulama adalah menalak istri dengan satu talak pada saat istri telah mandi suci dari haidnya sebelum digauli, kemudian membiarkannya tanpa menyusulnya dengan talak berikutnya hingga iddahnya berakhir. Talak seperti ini disebut talak sunnah (yakni sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu alaihi wa sallam).”

  1. Menalak istri pada masa hamil.

Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan sebagaimana dalam Majmu’ al-Fatawa, “Apabila kehamilannya telah tampak jelas dan suaminya ingin menalaknya, diperbolehkan, baik disebut sebagai talak sunnah, bukan talak sunnah, maupun talak bid’ah. Perbedaan pendapat ini hanya dalam istilah, tidak dalam hal hukum (khilaf lafzhi).”

Talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntunan syariat adalah talak yang dianggap sah dan diperhitungkan. Wallahu a’lam.

Baca juga: Mempersaksikan Talak dan Rujuk

Dikecualikan dari hukum ini adalah:

a. Istri yang beriddah dengan tiga bulan (bukan dengan tiga kali haid) boleh ditalak kapan saja.

Misalnya, istri yang belum terkena haid dan yang tidak haid lagi karena telah menopause, operasi angkat rahim, atau semisalnya; boleh ditalak kapan saja.

b. Istri yang tidak punya kewajiban iddah boleh ditalak kapan saja, yaitu istri yang ditalak sebelum digauli.

Talak Bid’ah

Menalak istri selagi haid atau suci tetapi telah digauli, hukumnya haram. Talak seperti ini dinamakan talak bid’ah karena menyelisihi syariat Allah subhanahu wa ta’ala dalam menalak istri. Penjelasannya sebagai berikut.

1, Istri yang ditalak selagi haid, maka haidnya yang sekarang tidak dihitung sebagai iddah.

Artinya, dia akan melewati haid tersebut hingga suci tanpa dihitung sebagai iddah. Ini bermakna menalaknya bukan pada saat istri langsung menghadapi iddahnya. Hal ini berakibat panjangnya masa penantian yang akan dijalaninya. Hal ini memudarati istri.

2. Istri yang ditalak selagi suci yang telah digauli berarti ditalak untuk menghadapi iddah yang tidak meyakinkan.

Sebab, boleh jadi dia hamil sehingga iddahnya adalah melahirkan. Bisa jadi pula, dia tidak hamil sehingga iddahnya adalah tiga kali haid. Benar bahwa dia dapat langsung menghadapi iddahnya salah satu dari dua kemungkinan tersebut, tetapi iddah yang akan dihadapinya tidak menentu.

Namun, menurut pendapat yang rajih, talak yang dijatuhkan dalam kondisi ini tetap sah sebagai talak yang dihitung atas pelakunya. Inilah pendapat empat imam mazhab yang masyhur (Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i, dan Ahmad), al-Bukhari, dan jumhur (mayoritas) ulama. Pendapat ini yang dirajihkan oleh asy-Syaukani dalam as-Sail al-Jarrar dan al-Albani.

Baca juga: Talak Raj’i dan Talak Ba’in

Berbeda halnya dengan pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim, yang dirajihkan oleh Ibnu Utsaimin dan al-Lajnah ad-Daimah (yang diketuai oleh Ibnu Baz) bahwa talak yang seperti ini tidak sah.

Ibnul Qayyim secara panjang lebar mendiskusikan dalil-dalil kedua belah pihak dalam Zadul Ma’ad yang akan membuat pembacanya condong kepadanya.

Akan tetapi, al-Albani membantahnya dalam Irwa’ al-Ghalil[2] dengan singkat dari segi ilmu hadits dan kandungan makna lafaz, yang menampakkan secara jelas bahwa yang benar ialah talak tersebut sah.

Kesimpulannya, hadits Ibnu Umar yang sahih dan datang dari banyak jalan perawinya, mengalami kegoncangan dalam hal apakah dianggap sah atau tidak talak yang dia jatuhkan ketika istrinya sedang haid tersebut?

Ternyata riwayat bahwa talak tersebut dianggap sah lebih kuat ditinjau dari dua sisi.

  1. Telah tsabit (tetap) dua riwayat yang marfu’ (disandarkan sebagai sabda Nabi) bahwa talak tersebut dihitung sebagai satu talak yang sah, yaitu:

a. Riwayat yang dikeluarkan oleh ath-Thayalisi dan ad-Daraquthni, dari jalan Nafi’, dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma, dengan lafaz,

مُفَأَتَى عُمَرُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ، فَجَعَلَهَا وَاحَدَةً.

“Umar kemudian mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan menceritakan peristiwa itu kepada beliau. Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjadikannya satu talak.”

Al-Albani menilai riwayat ini sahih menurut syarat al-Bukhari dan Muslim.

b. Riwayat yang dikeluarkan oleh ad-Daraquthni dan al-Baihaqi, dari jalan asy-Sya’bi, dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma, dengan lafaz,

فَانْطَلَقَ عُمَرُ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَخْبَرَهُ، فَأَمَرَهُ أَنْ يُرَاجِعَهَا، ثُمَّ يَسْتَقْبِلَ الطَّلاَقَ فِيْ عِدَّتِهَا، وَتُحْتَسَبُ بِهَذِهِ التَّطْلِيْقَةِ الَّتِيْ طَلَّقَ أَوَّلَ مَرَّةٍ

“Umar pun menemui Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan menceritakannya kepada beliau. Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan agar Ibnu Umar merujuk istrinya, kemudian melakukan talak pada waktu istrinya langsung menghadapi iddahnya. Adapun talak yang pertama kali dijatuhkannya itu dihitung satu talak.”

Baca juga: Tahapan Talak

Al-Albani menilai riwayat ini sahih menurut syarat al-Bukhari dan Muslim. Riwayat ini semakin kuat dengan adanya tiga jalan riwayat yang mauquf atas Ibnu Umar radhiallahu anhuma bahwa hal itu dihitung sebagai satu talak atasnya.

Al-Albani berkata, “Riwayat ini memiliki hukum hadits yang marfu’ (disandarkan kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam). Sebab, riwayat ini bermakna bahwa Ibnu Umar mengamalkan hukum yang ditetapkan pada riwayat yang marfu’. Maka dari itu, tidak diragukan lagi bahwa riwayat mauquf ini menguatkan riwayat yang marfu’. Hal ini tampak secara jelas.”

Riwayat ini lebih kuat daripada riwayat marfu’ lainnya yang dijadikan dalil akan ketidakabsahan talak tersebut, yaitu:

a. Riwayat yang dikeluarkan oleh Muslim, asy-Syafi’i, Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya, dari jalan Abu az-Zubair, dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma, dengan lafaz,

فَرَدَّهَا عَلَيَّ وَلَمْ يَرَهَا شَيْئًا.

“Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengembalikannya kepadaku dan tidak menganggapnya.”

Riwayat ini dinilai sahih oleh Ibnu Hajar dan al-Albani.

b. Riwayat yang dikeluarkan oleh an-Nasai, ath-Thahawi, ath-Thayalisi, dan lainnya dari jalan Said bin Jubair dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma dengan lafaz,

فَرَدَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَلِكَ عَلَيَّ حَتَّى طَلَّقْتُهَا وَهِيَ طَاهِرٌ.

“Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengembalikan hal itu kepadaku sampai aku menalaknya di saat suci.”

Riwayat ini dinilai sahih oleh al-Albani menurut persyaratan al-Bukhari dan Muslim. Tidak ada riwayat mauquf yang menguatkan riwayat ini.

  1. Kuatnya dalil riwayat yang pertama terhadap kandungan maknanya, karena jelas menunjukkan maknanya tanpa bisa ditakwil lagi bahwa talak tersebut dianggap sah.

Jadi, riwayat ini adalah nas (dalil yang tidak bisa ditafsirkan lain) bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam menghitungnya sebagai talak yang sah. Berbeda halnya dengan riwayat kedua yang tidak jelas penunjukannya dan bisa ditakwil ke makna lain.

Seperti kata asy-Syafi’i, “Makna,

وَلَمْ يَرَهَا شَيْئًا

‘Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menganggapnya benar.’

bukan nas (dalil yang tidak bisa ditafsirkan lain) bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menganggapnya sebagai talak yang sah. Dengan demikian, riwayat pertama harus didahulukan daripada riwayat kedua.”

Al-Albani berkata, “Sesungguhnya Ibnul Qayyim sendiri mengakui hal ini. Akan tetapi, ia meragukan keabsahan riwayat marfu’ yang jelas menunjukkan sahnya talak tersebut.”

Jumhur juga berhujah dengan perintah Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada Ibnu Umar agar merujuk istrinya, yang maksudnya adalah raj’ah syar’iyah (rujuk yang syar’i). Ini menunjukkan talak benar-benar jatuh karena rujuk syar’i hanya dilakukan jika talak raj’i jatuh. Wallahu a’lam.

Hukum Menalak Istri yang Sedang Nifas

Terdapat perbedaan pendapat di antara ulama.

  1. Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat haram seperti halnya menalak istri selagi haid.

Dalilnya adalah keumuman hadits Ibnu Umar radhiallahu anhuma,

ثُمَّ لْيُطَلِّقْهَا طَاهِرًا أَوْ حَامِلاً

“Kemudian menalaknya selagi suci atau hamil.”

Wanita yang nifas tentu saja tidak suci. Pendapat ini yang difatwakan oleh al-Lajnah ad-Daimah (yang diketuai oleh Ibnu Baz) sebagaimana dalam Fatawa al-Lajnah.

  1. Sebagian ulama berpendapat boleh.

Alasannya, istri yang ditalak selagi nifas akan langsung menghadapi iddahnya. Dia langsung menanti sampai mengalami haid tiga kali. Sebab, nifas itu sendiri tidak diperhitungkan dalam iddah. Adapun perintah Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada Ibnu Umar radhiallahu anhuma agar menalak istrinya saat suci maksudnya adalah suci dari haid karena ia telah menalaknya selagi haid.

Ibnu Utsaimin menyatakan dalam Fath Dzil Jalal wal Ikram, pendapat ini lebih tampak kebenarannya. Sepertinya, inilah yang rajih (kuat), mengingat ilat (sebab) dilarangnya menalak istri selagi haid tidak ada pada istri yang ditalak selagi nifas. Wallahu a’lam.


Catatan Kaki:

[1] Lihat kitab Shahih Sunan an-Nasai no. 3396.

[2] Lihat kitab Irwa’ al-Ghalil (7/124—136).

 

(Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini)