Termasuk tabarruk yang diizinkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala adalah bertabarruk dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tabarruk dengan beliau, meliputi dua hal:
Tabarruk jenis pertama ini terwujud dengan mengamalkan ajaran beliau dengan penuh keikhlasan, mengharapkan wajah Allah subhanahu wa ta’ala. Jenis pertama ini telah kita sebutkan dalam pembahasan tabarruk yang disyariatkan.
Contohnya, rambut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, keringat, ludah, dan sisa air wudhu beliau, atau apa yang beliau pakai berupa pakaian, cincin, dan semisalnya.
Tabarruk jenis yang kedua ini juga disyariatkan sebagaimana ditunjukkan oleh dalil. Tabarruk jenis ini dilakukan oleh para sahabat di masa hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan setelah wafat beliau, dengan izin dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tabarruk ini dilakukan pula oleh sebagian tabi’in yang masih mendapatkan sisa-sisa dari tubuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti rambut beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Merekalah generasi yang mungkin mendapatkan sisa air wudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, rambut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, air ludah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan semisalnya. Tabarruk para sahabat dengan jasad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk tabarruk yang disyariatkan dan diizinkan oleh syariat. Hanya saja, harus kita ingat bahwa tabarruk yang seperti ini adalah kekhususan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hakikat Tabarruk Para Sahabat radhiallahu ‘anhum dengan Jasad Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Para sahabat meyakini sepenuhnya bahwa barakah hanya dari Allah subhanahu wa ta’ala, bukan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Keyakinan ini sangat menancap pada diri mereka radhiallahu ‘anhum, sebagai generasi yang paling sempurna akidahnya dan generasi terbaik dari umat ini.
Tidak henti-hentinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan akidah yang pasti ini. Di hari Hudaibiyah saat air keluar deras dari jari-jemari Rasulullah, beliau bersabda,
“Barakah dari Allah.”
Berdasarkan hal ini, Anda harus mengerti bahwa tindakan para sahabat meminum sisa air Rasul, mengusapkan ludah Rasul pada wajah dan tubuh mereka, bukan karena keyakinan mereka bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mampu memberi manfaat atau menolak mudarat. Tidak, demi Allah! Mereka semata-mata melakukan apa yang diizinkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, tanpa ada ketergantungan pada selain Allah subhanahu wa ta’ala.
Disebutkan oleh riwayat-riwayat yang sahih bahwa para sahabat bertabarruk dengan meminum sisa air minum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau mengambil sisa air wudhu beliau, ludah, dan keringat beliau. Mereka juga bertabarruk dengan memakai apa yang pernah dipakai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti cincin beliau.
Semua yang mereka tempuh adalah sebab yang diizinkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Perhatikan kisah berikut.
Anas berkata, “Suatu saat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke tempat kami, lalu beliau tidur siang. Beliau berkeringat ketika itu. Kemudian ibuku mengambil botol dan mengumpulkan keringat itu di dalamnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terbangun dan bertanya, ‘Wahai Ummu Sulaim, apa yang sedang engkau lakukan ini?’ Dijawab, ‘Ini adalah keringatmu yang akan kami campur dalam parfum kami, dan itu adalah parfum terbaik’.”
Dalam sebagian riwayat, Rasulullah bertanya, “Apa yang sedang engkau perbuat?”
Ummu Sulaim menjawab,
“Kami mengharap mendapatkan barakah keringat ini untuk anak-anak kami.”
Rasul pun berkata, “Engkau benar.”
Dalam sebuah riwayat, Abu Musa radhiallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah meminta didatangkan bejana berisi air. Beliau mencuci dua tangan dan wajahnya dalam bejana itu, lalu berkumur dan menyemburkan air ke dalamnya. Lalu beliau bersabda kepada keduanya, ‘Minumlah air dalam bejana ini, tuangkan pada wajah kalian berdua, dan siramkan pada tubuh kalian’.”[1]
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu Sulaim radhiallahu ‘anha, “Engkau benar.”; demikian pula perintah beliau kepada sahabat untuk meminum air yang telah tercampur dengan air kumur beliau, menunjukkan bahwa perbuatan ini—yakni tabarruk para sahabat dengan keringat, sisa wudhu, dan peninggalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti cincin beliau—diizinkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan jasad dan sisa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diberkahi. Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan meminum sisa atau menyentuh tubuh Rasul sebagai sebab barakah dari-Nya subhanahu wa ta’ala. Jadi, jelaslah bahwa perbuatan para sahabat yang bertabarruk dengan jasad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah disyariatkan.
Riwayat Tabarruk Sahabat dengan Jasad dan Peninggalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Setelah kita mengetahui hakikat tabarruk para sahabat dengan jasad dan peninggalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mari kita baca bersama beberapa riwayat yang menunjukkan hal tersebut.
Di antara riwayat yang sampai kepada kita adalah tabarruk para sahabat dengan ludah dan sisa air wudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Al-Imam Ahmad meriwayatkan dari hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu,
“… Demi Allah, tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meludah, melainkan ludah itu pasti jatuh pada telapak tangan salah seorang sahabat (yang berhasil mendapatkannya –pen.) lalu ia usapkan ludah tersebut pada wajah dan kulit (jasad) nya. Jika Rasulullah memerintahkan sesuatu, para sahabat berkumpul untuk menjalankan perintahnya. Apabila beliau berwudhu para sahabat hampir-hampir berperang (yakni berdesakan dan berebut –pen.) mendapatkan sisa wudhu beliau.” (HR. Ahmad no. 18166)
Hadits ini menunjukkan bahwa para sahabat bersemangat mendapatkan ludah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mereka usapkan pada wajah dan badan. Hal ini mereka lakukan tidak lain karena keyakinan bahwa ludah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diberkahi oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan mengusapkannya menjadi sebab Allah subhanahu wa ta’ala memberkahi mereka.
Dari Abu Juhaifah radhiallahu ‘anhu, ia berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kami saat hari panas terik. Air wudhu disiapkan untuk beliau. Seusai wudhu mulailah manusia mengambil sisa wudhu beliau dan mereka usap-usapkan (pada jasad mereka). Kemudian beliau shalat zhuhur dua rakaat dan ashar dua rakaat. Beliau shalat menghadap sebuah tombak kecil.”[2]
Muhammad ibnul Munkadir mengatakan bahwa dia mendengar Jabir radhiallahu ‘anhu berkata,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjengukku saat aku sakit dan hilang kesadaranku. Beliau berwudhu lalu beliau kucurkan padaku dari sisa air wudhu beliau. Aku pun tersadar.
Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, untuk siapakah harta warisan itu (seandainya aku mati) dan aku tidak memiliki orang tua dan anak-anak (kalalah)?”
Turunlah ayat-ayat tentang waris. (HR. al-Bukhari, Kitab al-Wudhu, Bab “Shabbu an-Nabi Wadhu’ahu” no. 187)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan air liur beliau untuk mengobati penyakit. Beliau mencampur air liur beliau dengan sedikit tanah dan diiringi doa,
“Dengan nama Allah subhanahu wa ta’ala, tanah dari bumi kita, dengan air liur sebagian dari kita, (dengan sebab itu) akan disembuhkan penyakit kita dengan izin Rabb kita.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dalil lain yang menunjukkan disyariatkan tabarruk dengan ludah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah apa yang diriwayatkan oleh ulama ahlul hadits bahwa beliau pernah memerintah sahabat untuk membawa bayi mereka yang baru lahir, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan doa dan memasukkan ludah beliau ke dalam mulut bayi-bayi itu.[3]
Riwayat Tabarruk Sahabat radhiallahu ‘anhum dengan Rambut dan Kuku Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Di masa hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau pernah membagi-bagikan rambut beliau kepada para sahabat.
Anas berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melempar batu di al-Jamra, kemudian berkurban, dan menyuruh seorang tukang cukur untuk mencukur rambut beliau di bagian kanan lebih dulu, lalu memberikan rambut tersebut pada orang-orang.” ( HR. Muslim)
Kata Anas, “Thalhah adalah orang yang membagi-bagikannya.” ( HR. Muslim, at–Tirmidzi, dan Abu Dawud)
Anas shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pula, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencukur kepalanya (setelah haji), Abu Thalhah adalah orang pertama yang mengambil rambutnya.” (HR. al-Bukhari)
Anas berkata, “Saat mencukur rambut kepala di Mina, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan rambut sisi kanan kepala beliau dan bersabda, ‘Anas, bawa ini ke Ummu Sulaim (ibu Anas).’ Ketika para sahabat radhiallahu ‘anhum melihat apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikan pada kami, mereka berebut mengambil rambut shallallahu ‘alaihi wa sallam sisi kiri kepala beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap orang mendapat bagiannya masing-masing.” (HR. Ahmad)
Rambut yang dibagi-bagikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka simpan hingga wafat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnus Sakan meriwayatkan melalui Shafwan ibnu Hubairah, dari ayahnya bahwa Tsabit al-Bunani berkata, “Anas bin Malik berkata kepadaku (menjelang wafatnya), ‘Ini adalah sehelai rambut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku ingin kau menempatkannya di bawah lidahku’.”
Tsabit melanjutkan, “Aku menaruhnya di bawah lidahnya. Dia (Anas) dikubur dengan rambut itu berada di bawah lidahnya.”
Ibnu Abi Zaid al-Qairawani meriwayatkan bahwa al-Imam Malik berkata, “Khalid ibnul Walid memiliki sebuah peci berisi beberapa helai rambut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan itulah yang dia pakai pada Perang Yarmuk.”
Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya dari ‘Utsman bin Abdillah bin Mauhab berkata,
“Keluargaku mengutusku membawa sewadah air untuk Ummu Salamah, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
—Israil (perawi hadits) menggenggam tiga jarinya (mengisyaratkan) ukuran wadah yang berisi beberapa helai rambut dari rambut-rambut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.—
Utsman melanjutkan, “Jika seseorang sakit karena ‘ain atau penyakit lainnya, dia akan mengirimkan suatu wadah berisi air ke Ummu Salamah. Aku melihat ke wadah dan aku melihat beberapa helai rambut kemerahan.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari (10/353) mengatakan, “Mereka biasa menyebut botol perak tempat menyimpan rambut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu sebagai juljul. Botol itu disimpan di rumah Ummu Salamah radhiallahu ‘anha.”
Al-‘Aini dalam kitabnya ‘Umdatu al-Qari (18/79) berkata, “Ummu Salamah memiliki beberapa helai rambut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah botol perak. Jika orang jatuh sakit, mereka akan pergi dan bertabarruk dengan rambut-rambut (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) tersebut (yakni dengan mengalirkan air kepada rambut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminumnya –pen.) dan mereka sembuh dengan sebab itu….”[4]
Rambut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat berharga di hadapan para sahabat dan salaf umat ini, karena rambut beliau tidak sama dengan rambut umatnya. Rambut beliau mubarak (diberkahi oleh Allah subhanahu wa ta’ala) dan disyariatkan bertabarruk dengannya.
Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya dengan sanadnya hingga Ibnu Sirin, ia berkata kepada ‘Abidah, “Aku memiliki beberapa helai rambut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kami peroleh dari Anas—atau keluarga Anas. ‘Abidah berkata,
“Sungguh, aku memiliki sehelai dari Rambut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih aku sukai daripada dunia dan seisinya.”
Dalam riwayat al-Isma’ili dikatakan,
“Lebih aku cintai dari semua emas dan perak.”
Adapun tentang kuku-kuku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-Imam Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani rahimahullah meriwayatkan dalam Musnad-nya (4/42) dari Yahya bin Abi Katsir, dari Abu Salamah, dari Muhammad bin Abdillah bin Zaid, dari ayahnya yang mengisahkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memotong kukunya dan membagikannya ke orang-orang.
Demikian beberapa riwayat sahih yang menunjukkan tabarruk para sahabat dan salaf umat ini dengan jasad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di samping sekian banyak riwayat yang lain. Telah kita sebutkan pula riwayat yang sahih dari Anas bin Malik bahwa Ummu Sulaim mengambil keringat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bertabarruk dengan keringat tersebut. Sebagian riwayat ini insya Allah sudah mencukupi.
Masih Adakah Bagian Jasad Rasul yang Tersisa?
Seandainya saat ini masih tersisa bagian jasad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti rambut, atau sesuatu yang pernah beliau pakai, seperti cincin dan pedang, niscaya diperbolehkan bagi umat ini bertabarruk dengan peninggalan tersebut.
Akan tetapi, masih adakah peninggalan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tersisa, yang kita disyariatkan bertabarruk dengannya, seperti baju, senjata, rambut, atau kuku?
Allahu a’lam.
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc.
[1] Al-Bukhari meletakkan hadits ini dalam kitab al-Wudhu bab “Isti’mal Fadhl Wudhu” no. 181.
[2] Al-Bukhari meletakkan hadits ini dalam kitab al-Wudhu bab “Isti’mal Fadhl Wudhu”
[3] Hadits-hadits yang menjelaskan tentang hal ini amatlah banyak, dapat Anda lihat di antaranya dalam kitab Fathul Bari (10/255—256).
[4] ‘Umdatu al-Qari (18/79).