Turunnya Nabi Isa alaihis salam di akhir zaman merupakan salah satu perkara gaib. Karena hal ini merupakan bagian dari ranah keimanan, ia tentu tak bisa ditelisik hanya dengan mengandalkan indra manusia yang terbatas. Siapa saja yang tidak menundukkan akalnya di bawah keimanan, niscaya ia akan berada di tengah barisan pasukan pengingkar.
Salah satu bentuk penyimpangan dalam bab akidah adalah mengingkari turunnya Nabi Isa. Pengingkaran ini bisa terjadi pada individu tertentu, sebagaimana yang dilakukan oleh Mahmud Syaltut, guru besar Universitas al-Azhar, Mesir[1]; atau pada sebuah kelompok, seperti halnya sebagian kelompok Mu’tazilah, para filsuf, dan ateis. (Iqamatul Burhan, hlm. 6)
Beberapa alasan yang mereka ungkapkan untuk menolak peristiwa turunnya Nabi Isa adalah:
Syubhat: Hadits-hadits mengenai permasalahan tersebut adalah hadits palsu dan tidak masuk akal.
Hadits-hadits yang menerangkan hal ini sangatlah banyak. Bahkan, para ulama menggolongkannya sebagai hadits mutawatir (sangat banyak).
Syaikh Hamud at-Tuwaijiri rahimahullah menyatakan bahwa jumlahnya mencapai lebih dari lima puluh hadits; mayoritasnya sahih dan sebagian lagi hasan. Adapun anggapan mereka bahwa hadits-hadits tersebut tidak masuk akal, Syaikh at-Tuwaijiri juga telah menyanggahnya.
Beliau mengatakan, “Fitrah yang lurus dan akal yang sehat akan selalu mengikuti kebenaran, ke mana pun kebenaran tersebut mengarah. Dengan demikian, ia tidak akan ragu untuk menerima kebenaran yang datang dari Kitabullah atau yang disebutkan secara mutawatir dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengenai peristiwa turunnya al-Masih (Isa) di akhir zaman. Akan tetapi, sangat disayangkan, karena fitrahnya yang telah melenceng dan akalnya yang telah rusak, ia tidak segan-segan menolak kebenaran. Maka dari itu, mereka yang akalnya telah rusak ini tidak perlu dianggap (pernyataannya).”
Syubhat: Turunnya Nabi Isa itu mustahil karena Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam adalah penutup para nabi, sebagaimana yang disebutkan dalam nas al-Qur’an.
Nabi Isa turun di akhir zaman tidak membawa syariat yang baru, tidak pula berhukum dengan Injil. Namun, beliau akan berhukum dengan syariat Allah subhanahu wa ta’ala dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Beliau juga akan menjadi bagian dari umat ini (sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits sebelumnya—pent.).
Baca juga: Misi Nabi Isa Turun ke Bumi
Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dengan sanad yang sahih, sesuai dengan syarat al-Bukhari dan Muslim, dari Samurah bin Jundub radhiallahu anhu bahwa Nabi Allah (Muhammad) pernah bersabda,
إِنَّ الدَّجَّالَ خَارِجٌ -فَذَكَرَ الْحَدِيْثَ وَفِيْهِ- ثُمَّ يَجِيءُ عِيْسَى بْنُ مَرْيَمَ عَلَيْهِمَا السَّلَامُ مُصَدِّقاً بِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى مِلَّتِهِ، فَيَقْتُلُ الدَّجَّالَ ثُمَّ إِنَّمَا هُوَ قِيَامُ السَّاعَةِ
“Dajjal pasti akan keluar—lalu beliau melanjutkan haditsnya, dalam hadits itu. Kemudian datanglah Isa bin Maryam membenarkan Muhammad, dan beliau berada di atas agama Muhammad, lalu setelah itu tegaklah Hari Kiamat.” (HR. ath-Thabarani. Al-Haitsami mengatakan, “Para perawinya adalah perawi kitab Shahih.”) [Iqamatul Burhan, at-Tuwaijiri]
Syubhat: Seandainya peristiwa turunnya Nabi Isa termasuk prinsip keimanan, tentu hal itu akan disebutkan dalam al-Qur’an dengan tegas.
Semua hadits sahih yang memberitakan suatu peristiwa yang akan terjadi, adalah sesuatu yang wajib kita imani karena merupakan bentuk realisasi terhadap syahadat “Muhammad Rasulullah”. Perwujudan (realisasi) ini termasuk salah satu prinsip keimanan. Seorang hamba tidak akan menjadi seorang mukmin yang terjaga darah dan hartanya hingga ia merealisasikan syahadat atas kerasulan Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
Hal ini berdasarkan sabda beliau,
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَيُؤْمِنُوا بِي وَبِمَا جِئْتُ بِهِ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang berhak disembah kecuali Allah, serta mengimaniku dan mengimani apa yang aku bawa. Apabila mereka melakukannya, darah dan harta mereka telah terjaga dariku (yakni tidak boleh dilanggar), kecuali dengan haknya. Adapun hisabnya diserahkan kepada Allah.” (Sahih. HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Baca juga: Makna Syahadat Muhammad Rasulullah
Telah ada sebuah riwayat yang sahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau memberitakan kemunculan Imam Mahdi di akhir zaman, keluarnya Dajjal, serta turunnya Nabi Isa. Oleh sebab itu, kita wajib mengimani semua ini sebagai bukti bahwa kita membenarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰٓ ٣ إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡيٌ يُوحَىٰ ٤
“Dan tidaklah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut keinginannya. Tidak lain (al-Qur’an itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (an-Najm: 3—4)
Selain itu, bukti bahwa kita telah mengamalkan firman-Nya,
وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ
“… Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (al-Hasyr: 7)
Syubhat: Berita-berita semacam ini akan membuka celah bagi orang-orang untuk mengaku bahwa dirinya adalah Imam Mahdi atau bahkan al-Masih putra Maryam alaihis salam.
Hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang sahih tidaklah bisa ditolak dengan alasan adanya berbagai kemungkinan atau argumen semacam ini. Bahkan, semua hadits sahih tersebut haruslah diterima dan dibenarkan walaupun ada sebagian orang yang mungkin tergoda dengan kandungannya (sehingga akan mengaku-ngaku—pent.).
Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintah Rasul-Nya untuk mengatakan kepada manusia,
وَأَنۡ أَتۡلُوَاْ ٱلۡقُرۡءَانَۖ فَمَنِ ٱهۡتَدَىٰ فَإِنَّمَا يَهۡتَدِي لِنَفۡسِهِۦۖ وَمَن ضَلَّ فَقُلۡ إِنَّمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلۡمُنذِرِينَ
“Dan agar aku membacakan al-Qur’an (kepada manusia). Barang siapa mendapat petunjuk, sesungguhnya dia mendapat petunjuk untuk (kebaikan) dirinya, dan barang siapa sesat, maka katakanlah, ‘Sesungguhnya aku (ini) tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan.’” (an-Naml: 92)
Demikianlah beberapa cara menyikapi berita-berita (hadits) yang sahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, yaitu dengan menerima dan memercayainya sepenuhnya; tidak perlu menoleh kepada para juru fitnah yang menyelewengkannya kepada makna yang tidak semestinya dan menempatkannya tidak pada tempatnya.
Baca juga: Meraih Hidayah dengan Dakwah Salafiyah
Adapun orang yang mengaku bahwa dirinya adalah al-Masih putra Maryam alaihis salam, padahal Dajjal belum keluar, maka dia adalah seorang pendusta. Al-Masih putra Maryam alaihis salam memiliki dua tanda (bukti) yang tidak dimiliki oleh manusia selain beliau:
Dengan dua tanda ini, terkuburlah segala harapan para pendusta yang mengaku dirinya adalah al-Masih putra Maryam alaihis salam. (Diringkas dari kitab Iqamatul Burhan, hlm. 11—27, karya Syaikh Hamud at-Tuwaijiri)
Golongan lain yang menyimpang dalam hal keimanan akan turunnya al-Masih putra Maryam alaihis salam adalah Ahmadiyah. Aliran yang diprakarsai oleh seorang bernama Mirza Ghulam Ahmad al-Qadyani ini mengklaim bahwa dirinya adalah Isa bin Maryam yang disebutkan dalam berbagai hadits.
Namun, karena ia sendiri mengetahui bahwa dirinya bukanlah al-Masih putra Maryam, dia menciptakan suatu doktrin bagi para pengikutnya bahwa al-Masih putra Maryam telah mati. Ini ia lakukan demi mencapai sebuah tujuan, yakni bahwa yang akan muncul sebenarnya bukanlah al-Masih, melainkan orang yang diserupakan dengannya. Lantas, siapakah dia? Tentu saja, yang dia maksudkan adalah dirinya sendiri.
Amat mudah sebenarnya mengungkap kedustaan mereka dan membantah pembodohan mereka terhadap umat. Saya nyatakan bahwa mereka tentu mengimani hadits-hadits yang menerangkan peristiwa turunnya Nabi Isa. Jika tidak, bagaimana mungkin mereka akan mengklaim bahwa yang dijanjikan dalam hadits adalah orang yang menyerupai al-Masih?
Sejak awal, pernyataan mereka bahwa Mirza adalah orang yang dijanjikan dalam hadits, sudah runtuh. Sebab, seandainya mereka mengimani hal itu (peristiwa turunnya Nabi Isa), semestinya mereka beriman pula dengan sifat fisik al-Masih, bagaimana peristiwa turunnya, misi yang diembannya, serta kondisi alam pada zamannya; termasuk juga dua tanda/bukti yang disebutkan oleh at-Tuwaijiri di atas, bahwa ia akan membunuh Dajjal dan bahwa setiap orang kafir yang mencium napasnya pasti akan mati.
Baca juga: Nabi Isa Membunuh Dajjal
Apakah semua ini terjadi pada Mirza Ghulam Ahmad al-Qadyani, apabila ia benar-benar orang yang dijanjikan dalam hadits? Tentu setiap orang akan tahu—termasuk Mirza sendiri—bahwa itu semua tidak terjadi pada dirinya.
Ahmadiyah menakwilkan lafaz “turun” dalam ayat (yang tidak menunjukkan adanya kematian) sehingga mereka tidak mengimani apa adanya. Mereka menyelewengkannya pada makna yang lain, seperti “keluar” atau “kebangkitan”.
Anggapan Ahmadiyah bahwa Nabi Isa alaihis salam telah wafat, tidak diangkat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, ini juga merupakan kebatilan yang sangat jelas. Melalui pembahasan sebelumnya, pembaca dapat menimbang sendiri seberapa “benar” keyakinan ini.
Meskipun demikian, mereka tetap berupaya melegitimasi keyakinan tersebut dengan ayat yang mereka selewengkan maknanya. Di antara ayat tersebut ialah
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدۡ خَلَتۡ مِن قَبۡلِهِ ٱلرُّسُلُۚ أَفَإِيْن مَّاتَ أَوۡ قُتِلَ ٱنقَلَبۡتُمۡ عَلَىٰٓ أَعۡقَٰبِكُمۡۚ
“Dan Muhammad hanyalah seorang rasul, sebelumnya telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)?” (Ali Imran: 144)
Ahmadiyah menganggap bahwa para nabi, seluruhnya, telah wafat atas dasar makna (خَلَتۡ), yang bermakna ‘telah mati’. Mereka juga menyatakan bahwa Abu Bakr berdalil dengan ayat ini atas kematian Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam karena para nabi sebelumnya telah mati. Demikian pula para sahabat bersepakat atas wafatnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dan para rasul sebelumnya.
Seandainya kita terima bahwa (خَلَتۡ) bermakna mati, dalil-dalil selainnya menunjukkan pengkhususan Nabi Isa dari hukum ini. Artinya, mereka semua mati kecuali Nabi Isa. Lalu, siapakah yang menukilkan “ijmak para sahabat” bahwa mereka bersepakat atas kematian seluruh nabi, termasuk Nabi Isa? Bukankah ini benar-benar kedustaan?
Tentang ayat
إِذۡ قَالَ ٱللَّهُ يَٰعِيسَىٰٓ إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ وَمُطَهِّرُكَ مِنَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ وَجَاعِلُ ٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوكَ فَوۡقَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْ إِلَىٰ يَوۡمِ ٱلۡقِيَٰمَةِۖ ثُمَّ إِلَيَّ مَرۡجِعُكُمۡ فَأَحۡكُمُ بَيۡنَكُمۡ فِيمَا كُنتُمۡ فِيهِ تَخۡتَلِفُونَ
“(Ingatlah), ketika Allah berfirman, ‘Wahai Isa! Aku mengambilmu dan mengangkat kamu kepada-Ku, serta menyucikanmu dari orang-orang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikutimu di atas orang-orang yang kafir hingga Hari kiamat. Kemudian kepada-Ku engkau kembali, lalu Aku beri keputusan tentang apa yang kamu perselisihkan.” (Ali Imran: 55)
Ahmadiyah mengatakan bahwa Ibnu Abbas radhiallahu anhuma menafsirkan kata مُتَوَفِّيكَ (mewafatkanmu) dengan “mematikanmu”.
Maksud Ibnu Abbas ialah Allah akan mewafatkannya di akhir zaman setelah beliau turun ke muka bumi. Yang semakin menguatkan hal ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Ishaq bin Bisyr dan Ibnu Asakir, dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, ketika menafsirkan ayat ini. Beliau mengatakan, “Allah subhanahu wa ta’ala akan mengangkatmu kemudian mewafatkanmu di akhir zaman.” (Lihat ad-Dur al-Mantsur, 2/36)
Bahkan, Ibnu Abbas radhiallahu anhuma sendirilah yang menjelaskan maksud ucapannya tersebut sehingga kita tidak memerlukan ucapan orang-orang Ahmadiyah yang menyelewengkan maknanya menurut keinginan mereka.
Demikian pula riwayat-riwayat lain dari beliau (Ibnu Abbas) yang menunjukkan keimanan tentang diangkatnya Nabi Isa dan turunnya beliau. Di antaranya ialah tafsir beliau terhadap ayat ke-61 dari surah az-Zukhruf,
وَإِنَّهُۥ لَعِلۡمٌ لِّلسَّاعَةِ
“Sungguh, dia (Isa) itu benar-benar menjadi pertanda akan datangnya Hari Kiamat.”
Beliau mengatakan, “Maksudnya, munculnya Isa bin Maryam alaihis salam sebelum Hari Kiamat.” (HR. Ahmad)
Baca juga: Turunnya Nabi Isa di Akhir Zaman
Kemudian, lafaz مُتَوَفِّيكَ (mewafatkanmu) dalam bahasa Arab—yang merupakan bahasa al-Qur’an—tidak terbatas pada makna “kematian”. Ia bisa bermakna “mengambil” atau “menangkap”, bisa juga bermakna “menidurkan”.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala,
إِذۡ قَالَ ٱللَّهُ يَٰعِيسَىٰٓ إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ وَمُطَهِّرُكَ مِنَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ وَجَاعِلُ ٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوكَ فَوۡقَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْ إِلَىٰ يَوۡمِ ٱلۡقِيَٰمَةِۖ ثُمَّ إِلَيَّ مَرۡجِعُكُمۡ فَأَحۡكُمُ بَيۡنَكُمۡ فِيمَا كُنتُمۡ فِيهِ تَخۡتَلِفُونَ
‘(Ingatlah), ketika Allah berfirman, ‘Wahai Isa! Aku mengambilmu dan mengangkat kamu kepada-Ku, serta menyucikanmu dari orang-orang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikutimu di atas orang-orang yang kafir hingga Hari kiamat. Kemudian kepada-Ku engkau kembali, lalu Aku beri keputusan tentang apa yang kamu perselisihkan.’ (Ali Imran: 55)
justru menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak memaksudkan dengan lafaz مُتَوَفِّيكَ adalah ‘mati’. Seandainya yang Allah subhanahu wa ta’ala maksudkan adalah ‘kematian’, tentu Nabi Isa akan sama keadaannya dengan kaum mukminin yang lain. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala juga mengambil roh mereka dan mengangkatnya menuju langit. Jika demikian, tidak ada keistimewaan (pada Nabi Isa—pent.).
Baca juga: Rambu-Rambu Penting dalam Mengkaji, Memahami, dan Menafsirkan al-Qur’an
Padahal, dalam ayat yang lain, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَقَوۡلِهِمۡ إِنَّا قَتَلۡنَا ٱلۡمَسِيحَ عِيسَى ٱبۡنَ مَرۡيَمَ رَسُولَ ٱللَّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَٰكِن شُبِّهَ لَهُمۡۚ وَإِنَّ ٱلَّذِينَ ٱخۡتَلَفُواْ فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِّنۡهُۚ مَا لَهُم بِهِۦ مِنۡ عِلۡمٍ إِلَّا ٱتِّبَاعَ ٱلظَّنِّۚ وَمَا قَتَلُوهُ يَقِينَۢا ١٥٧ بَل رَّفَعَهُ ٱللَّهُ إِلَيۡهِۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا
‘Dan kami hukum juga mereka karena ucapan mereka, ‘Sesungguhnya kami telah membunuh al-Masih, Isa putra Maryam.’ Yang mereka ejek dengan menamainya Rasul Allah padahal mereka tidak beriman kepadanya. Mereka mengatakan telah membunuhnya, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi diserupakan bagi mereka orang yang dibunuh itu dengan Nabi Isa. Sesungguhnya mereka yang berselisih pendapat tentangnya, yakni tentang Nabi Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai sedikit pun pengetahuan tentang siapa yang dibunuh itu, dan apa yang mereka katakan kecuali mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak membunuhnya dengan yakin. Akan tetapi, Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya.’ (an-Nisa: 157—158)
Firman Allah subhanahu wa ta’ala
بَل رَّفَعَهُ ٱللَّهُ إِلَيۡهِۚ
“Allah mengangkatnya kepada-Nya” menerangkan bahwa ia (Nabi Isa) diangkat dengan jasad dan rohnya. Oleh karena itu, para ulama mengatakan bahwa makna مُتَوَفِّيكَ adalah ‘mengambilmu’[2], yakni mengambil roh dan badanmu.
Baca juga: Metode Tafsir Al-Qur’an
Terkadang, ia bisa juga bermakna ‘menidurkan’, sebagaimana firman-Nya,
ٱللَّهُ يَتَوَفَّى ٱلۡأَنفُسَ حِينَ مَوۡتِهَا وَٱلَّتِي لَمۡ تَمُتۡ فِي مَنَامِهَاۖ
‘Allah memegang nyawa (seseorang) pada saat kematiannya dan nyawa (seseorang) yang belum mati ketika dia tidur.’ (az-Zumar: 42)
وَهُوَ ٱلَّذِي يَتَوَفَّىٰكُم بِٱلَّيۡلِ وَيَعۡلَمُ مَا جَرَحۡتُم بِٱلنَّهَارِ ثُمَّ يَبۡعَثُكُمۡ فِيهِ لِيُقۡضَىٰٓ أَجَلٌ مُّسَمًّىۖ ثُمَّ إِلَيۡهِ مَرۡجِعُكُمۡ ثُمَّ يُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ
‘Dan Dialah yang menidurkan kamu pada malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari. Kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umurmu yang telah ditetapkan. Kemudian kepada-Nya tempat kamu kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.’ (al-An’am: 60).” [Majmu’ Fatawa, 4/322—323]
Ahmadiyah mengatakan bahwa maksud “diangkatnya Nabi Isa” adalah diangkat derajatnya. Allah subhanahu wa ta’ala mengangkat derajat dan roh beliau, sebagaimana halnya roh kaum mukminin. Hal ini sebagaimana keadaan Nabi Idris alaihis salam,
وَٱذۡكُرۡ فِي ٱلۡكِتَٰبِ إِدۡرِيسَۚ إِنَّهُۥ كَانَ صِدِّيقًا نَّبِيًّا ٥٦ وَرَفَعۡنَٰهُ مَكَانًا عَلِيًّا ٥٧
“Dan ceritakanlah (wahai Muhammad) kisah Idris di dalam Kitab (al-Qur’an). Sesungguhnya dia seorang yang sangat mencintai kebenaran dan seorang nabi, dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi.” (Maryam: 56—57)
Tentang Nabi Idris alaihis salam, para ulama memiliki beberapa penafsiran mengenai ayat tersebut. Sebagian mereka mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengangkatnya ke langit dalam keadaan hidup, lalu beliau meninggal di sana. Ini adalah tafsir Ibnu Abbas, Mujahid, dan para ulama selain keduanya. Dengan tafsir ini, ayat tersebut justru menjadi dalil yang mematahkan pendapat mereka.
Yang lain berpendapat bahwa maknanya ialah diangkatnya derajat Nabi Idris di dalam surga. Hal ini, tanpa diragukan lagi, terjadi dengan jasad dan rohnya.
Seandainya ayat yang berkaitan dengan Nabi Idris bermakna “terangkatnya derajat”, hal itu tidak selalu bermakna demikian pada ayat yang berkaitan dengan Nabi Isa. Sebab, mengenai Nabi Isa sendiri sangat jelas bahwa maksudnya adalah terangkatnya roh dan jasad beliau dengan dalil firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَرَافِعُكَ إِلَيَّ
“Dan mengangkatmu kepada-Ku….”
بَل رَّفَعَهُ ٱللَّهُ إِلَيۡهِۚ
“… bahkan, Allah mengangkatnya kepada-Nya.”
Kaum muslimin telah bersepakat bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berada pada ketinggian. Oleh sebab itu, arti kalimat “diangkat kepada-Nya” adalah diangkat ke langit. Berbeda dengan ayat yang berkaitan dengan Nabi Idris, yang berbunyi,
وَرَفَعۡنَٰهُ مَكَانًا عَلِيًّا
“Dan Kami mengangkatnya pada tempat yang tinggi.”
Dalam ayat ini tidak ada kata “kepada-Ku” atau “kepada-Nya”. Orang yang hanya mengetahui sedikit bahasa Arab pun akan mengetahui perbedaan susunan kedua kalimat itu.
Baca juga: Prinsip-Prinsip Mengkaji Agama
Seandainya—kita mengalah dalam diskusi—ayat tersebut tidak menunjukkan diangkatnya jasad Nabi Isa ke langit, telah ada sekian banyak hadits yang dengan tegas menunjukkan demikian. Kalau begitu, apa keistimewaan yang dimiliki Nabi Isa jika beliau disamakan layaknya kaum muslimin yang lain?
Dalam surah an-Nisa ayat 157—158 di atas terdapat dalil yang dengan jelas menunjukkan perkara yang telah diterangkan di atas dan diimani oleh kaum mukminin. Firman-Nya,
بَل رَّفَعَهُ ٱللَّهُ إِلَيۡهِۚ
“Bahkan, Allah mengangkatnya kepada -Nya,” menunjukkan diangkatnya roh dan jasad. Seandainya Allah memaksudkan kematian, tentu ayat tersebut akan berbunyi, “ … padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi ia mati.” (Lihat at-Taudhih li Ifkil Ahmadiyah fi Za’mihim Wafatal Masih, karya Shalih bin Abdul Aziz as-Sindi)
Wallahu a’lam bish-shawab.
[1] Dalam buku kumpulan fatwanya, hlm. 59—82. Lihat Asyrathus Sa’ah, hlm. 349, ash-Shahihah no. 1529.
[2] Bukan “mewafatkanmu”.