Satu di antara tanda seorang dai yang lurus dan bermanhaj sahih adalah menyerukan akidah yang benar kepada umat, mengikhlaskan peribadahan hanya tertuju kepada Allah subhanahu wa ta’ala, mencegah beragam kesyirikan, serta menghidupkan sunnah dan menepis bermacam bid’ah. Ia juga memerintahkan shalat, menunaikan segenap yang wajib, dan meninggalkan segala bentuk yang diharamkan.
Dakwah kepada tauhid dengan mengikhlaskan peribadahan hanya tertuju kepada Allah subhanahu wa ta’ala merupakan dakwah para rasul Allah subhanahu wa ta’ala. Ini merupakan asas yang harus ada tatkala seorang hamba hendak membangun amalannya. Tanpa asas satu ini, amalan yang dilakukan seorang hamba akan sia-sia, tak akan terbangun kokoh, bahkan bakal runtuh meluluh. Dari sisi inilah para rasul memulai dakwah kepada kaumnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan sungguh Kami telah mengutus pada setiap umat seorang rasul (yang menyerukan), ‘Sembahlah Allah saja dan jauhilah thaghut!’.” (an-Nahl: 36)
“Dan tiadalah Kami mengutus seorang rasul sebelummu kecuali Kami wahyukan kepadanya, sesungguhnya tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Aku. Maka, beribadahlah hanya kepada-Ku.” (al-Anbiya’: 25)
Allah subhanahu wa ta’ala telah menjelaskan pada ayat-ayat-Nya perihal tugas yang diemban oleh seorang rasul di tengah-tengah kaumnya yaitu upaya menanamkan tauhid yang semurni-murninya, mengikhlaskan segenap amal hanya bagi Allah subhanahu wa ta’ala tidak bagi selain-Nya. Itulah dakwah yang lurus. Dakwah yang telah dilalui dan dicontohkan para rasul yang mulia.
Hingga kini, dakwah itu tetap relevan. Tak basi dimakan usia. Tak aus seiring masa berlalu. Dakwah tauhid tetap urgen. Penting dan teramat penting dalam setiap jengkal kurun. Sebab, sesungguhnya kesyirikan beserta para pelakunya senantiasa ada. Mereka tetap bercokol dan selalu menularkan kesyirikan dengan segala ragamnya yang banyak menipu dan menistakan umat.
Islam sebagai satu-satunya agama yang benar di sisi Allah subhanahu wa ta’ala, telah memberikan segala hal bagi umatnya. Semua perangkat aturan, sistem, serta petunjuk mengaplikasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari telah secara sempurna dipaparkan. Tinggal manusia menelaah, memahami, meyakini, lalu mengamalkannya dengan penuh ikhlas seraya mengharap diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala sebagai ibadah.
Islam Itu Sempurna dan Menyempurnakan
Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus membawa syariat yang sempurna dan menyempurnakan. Setelah Islam hadir, syariat yang dibawa oleh para rasul terdahulu disempurnakan. Islam datang sebagai penyempurna syariat-syariat sebelumnya.
Asy-Syaikh Abdus Salam bin Barjas rahimahullah menuturkan bahwa syariat Islam adalah syariat yang sempurna dari semua sisi. Tidak mengandung unsur kekurangan di dalamnya. Allah subhanahu wa ta’ala telah menyebutkan perihal tersebut,
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, telah Aku cukupkan nikmat-Ku untukmu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu.” (al-Maidah: 3)
Tiada sesuatu pun yang diperlukan umat, baik di era sekarang maupun yang akan datang, kecuali Allah subhanahu wa ta’ala telah menjelaskannya. Umat akan dapati segenap masalah terkait hukum halal dan haramnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Tidak ada sedikit pun yang Kami luputkan di dalam al-Kitab.” (al-An’am: 38)
“Dan segala sesuatu telah Kami terangkan secara jelas.” (al-Isra: 12)
Ayat-ayat yang semakna di atas berjumlah banyak. Dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, ayat yang semisal itu banyak jumlahnya dalam al-Qur’an. Allah subhanahu wa ta’ala telah menjelaskan bahwa Kitab-Nya telah menjelaskan seluruhnya, menerangkan jalan petunjuk, mencukupi bagi yang mau mengikutinya. Ia tak memerlukan tambahan dari selainnya. Karena itu, wajib untuk mengikutinya dan terlarang mengikuti selainnya. (Dar’u Ta’arudh al-Aql wa an-Naql, 10/304. Lihat al-Hujaju al-Qawiyyah ‘ala Anna Wasail ad-Da’wah Tauqifiyyah, hlm. 19 dan 21)
Betapa sempurna syariat mengatur. Betapa sempurna nilai-nilai Islam menjelaskan setiap masalah yang muncul di tengah umat. Tak ada agama apa pun di muka bumi ini yang sempurna selain Islam. Tak ada sebuah ajaran yang serinci dan seterang Islam dalam menjelaskan permasalahan. Islam adalah satu-satunya agama yang diridhai oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Kesempurnaan syariat Islam mengatur semua sisi kehidupan manusia. Syariat mengatur hubungan suami-istri dalam berumah tangga, mengatur adab bersuci dan buang hajat, mengatur pula muamalah antara manusia terkait bisnis, kehidupan bertetangga, dan bermasyarakat.
Syariat menetapkan pula halal-haram satu barang yang dikonsumsi manusia, serta menetapkan pula kaidah hukum dalam urusan politik, ekonomi, sosial, dan lainnya. Demikian terang benderang Islam memberi tuntunan kepada umatnya.
Karena itu, seorang muslim yang telah mempelajari hakikat Islam akan menemukan kesahajaan dalam beragama. Ia akan temukan ketenangan dalam hidup.
Islam telah memberikan lebih dari cukup bimbingan guna menggapai keselamatan hidup, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Cukuplah Islam baginya, dan tiada selainnya.
Islam Rahmat Bagi Alam Semesta
Syariat yang diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa muatan kasih sayang bagi segenap alam. Tak semata manusia yang merasakan kasih, namun segenap jin, bebatuan, hewan melata, tumbuhan, ikan di lautan, dan semua makhluk yang ada di alam semesta pun turut merasakannya.
Betapa tidak. Islam mengajari manusia untuk bersikap ramah terhadap alam dan tidak tamak. Sikap ini bisa memberi pengaruh yang bagus terhadap keberadaan makhluk Allah subhanahu wa ta’ala lainnya, dengan izin-Nya.
Bukankah hutan menjadi gundul dan rusak ekosistemnya, di antara sebabnya lantaran sikap tamak dan ketiadaan sikap ramah terhadap lingkungan? Saat ketamakan menggayuti jiwa manusia, pepohonan ditebang habis. Manusia berlomba meraup dunia melalui industri perkayuan. Setelah hutan ditebang habis, tak ada lagi kemauan untuk mengeluarkan dana bagi kelestarian lingkungan.
Tamak. Yang dipikirkan hanya keuntungan diri semata. Adapun hutan dibiarkan gundul merana. Hewan yang biasa hidup di dalam hutan pun entah kemana. Tak ada lagi air yang bisa diserap akar pepohonan. Tak ada lagi mata air yang bisa mengairi sungai. Bila hujan tiba, air yang jatuh ke bumi langsung mengikis tanah. Dengan kehendak Allah subhanahu wa ta’ala, terjadilah tanah longsor.
“Sungguh, seorang alim akan dimintakan ampun baginya oleh segenap sesuatu hingga ikan yang berada di air sekalipun.”
Kehadiran seorang alim akan memberi manfaat bagi segenap alam. Dengan ilmu yang dimiliki, dirinya bisa memberi pencerahan kepada siapa pun. Seorang alim tidak menabur kerusakan. Seorang alim menyeru manusia agar berbuat kebaikan. Tak semata kebaikan untuk dirinya. Namun, kebaikan untuk pepohonan, hewan melata, gunung dan bukit, dan segenap alam semesta.
Kehadiran seorang alim akan berperan memerangi ketamakan. Kehadiran seorang alim akan menebar kasih sayang kepada siapa pun, termasuk kepada alam semesta. Dengan kehadiran seorang alim, dengan izin Rabbul ’alamin, akan terjaga ekosistem. Ikan-ikan di air pun bisa hidup leluasa tanpa terganggu kelangkaan air.
Ya, seorang alim yang mengamalkan ilmunya. Kata al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah,
“Seseorang senantiasa terkungkung dalam kejahilan dengan apa yang ia ketahui hingga ia beramal. Bila telah mengamalkannya, ia menjadi seorang alim.” (Tarikh Madinah Dimasyqi, karya Ibnu Asakir, 48/427 dan Iqtidha’ al-’Ilmi al-Amal, karya al-Khathib al-Baghdadi, 1/37. Lihat Nasha’ih li asy-Syababi as-Sunnah, asy-Syaikh Abdus Salam bin Barjas rahimahullah, hlm. 26 dan 40)
Tepat apabila dinyatakan bahwa seorang alim lebih memiliki keutamaan dibanding dengan seorang ahli ibadah. Kehadiran seorang alim memberi manfaat yang lebih besar kepada makhluk Allah subhanahu wa ta’ala lainnya.
Berbeda halnya dengan seorang ahli ibadah yang beribadah untuk kepentingannya sendiri. Sungguh benar apa yang dinyatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Keutamaan seorang alim dibanding seorang ahli ibadah, seperti keutamaan bulan dibanding bintang-bintang.” (idem, hlm. 37)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus membawa rahmah. Tak semata bagi manusia, rahmah ditebar bagi segenap alam semesta. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan tiadalah Kami mengutusmu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi alam semesta.” (al-Anbiya’: 107)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merealisasikan nilai-nilai rahmah tersebut kepada segenap alam. Di antaranya beliau memerintahkan untuk berhemat menggunakan air, adanya larangan buang hajat di tempat bernaung, fasilitas umum, dalam air menggenang, larangan menganiaya hewan, bahkan umatnya didorong menyayanginya, menghormati orang yang lebih tua dan menyayangi kepada yang lebih muda, menjaga keberadaan tetangga, jujur dalam berkata, amanah dalam bermuamalah, serta semua sikap dan perilaku terpuji lainnya dalam balutan akhlak mulia.
Satu hari, Malik bin al-Huwairits radhiallahu ‘anhu mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Kami masih berusia belia,” kata Malik. “Saat itu kami telah berada di Madinah selama dua puluh hari,” lanjutnya. Malik meminta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk pulang ke kampung halamannya. Katanya, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang penyayang dan lembut.” (HR. al-Bukhari no. 685)
Itulah prinsip mendasar yang diajarkan syariat. Prinsip yang didasari kasih sayang dan penuh rahmah dipegang kuat oleh para ulama ketika melahirkan fatwafatwa kontemporer. Dengan demikian, fatwa-fatwa yang dikeluarkan selaras dengan tujuan diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menebar kasih sayang.
Betapa syariat ini diliputi sifat rahmah. Orang yang tak mampu untuk menunaikannya diberi keringanan karena alasan yang diterima syariat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (al-Baqarah: 286)
“Bertakwalah kalian kepada Allah berdasar kemampuan yang ada pada kalian.” (at-Taghabun: 16)
Demikian prinsip dasar Islam yang teramat agung. Prinsip dasar ini melahirkan beragam ketetapan hukum yang sangat penting dan relevan dengan zamannya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul serta ulil amri (penguasa dan ulama) di antara kalian. Kemudian jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul apabila kalian beriman kepada Allah dan Hari Akhir.” (an-Nisa’: 59)
Asy-Syaikh Abdus Salam bin Barjas rahimahullah menyebutkan, Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintah hamba-Nya untuk mengembalikan urusan, tatkala terjadi perbedaan pendapat dalam urusan agama mereka, kepada apa yang telah menjadikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus (yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah). (Nashaih li Syabab as-Sunnah, hlm. 46)
Para sahabat di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memberi teladan perihal tersebut. Ketika terjadi permasalahan, mereka langsung merujuk kepada ahlul ilmi, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam sebuah riwayat dari Abi Tsa’labah al-Khusyani radhiallahu ‘anhu, ia menuturkan, “Saya bertanya, wahai Rasulullah, sesungguhnya kami berada di bumi kaum Ahlu Kitab. Apakah boleh kami makan menggunakan bejana mereka?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jangan kalian makan dengan bejana mereka. Kecuali jika kalian tidak mendapati bejana lainnya, cucilah bejana tersebut. Setelah itu, makanlah menggunakan bejana mereka.” (HR. al-Bukhari no.5478 dan Muslim no.1930)
Menurut asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan y, hadits Abi Tsa’labah al-Khusyani radhiallahu ‘anhu di atas menunjukkan disyariatkannya bertanya kepada ahlul ilmi. Sebab, Abi Tsa’labah al-Khusyani mengajukan pertanyaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika masalah menggayutinya, yaitu terkait menggunakan bejana Ahlu Kitab. Ini menjadi dalil disyariatkannya merujuk (bertanya) kepada ahlul ilmi (para ulama) kala masalah melekat.
Sungguh, Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman,
“Bertanyalah kalian kepada Ahlu adz-Dzikri jika kalian tidak mengetahui.” (al-Anbiya’: 7) (Tashil al-Ilmam bi Fiqhi al-Ahadits min Bulughi al-Maram, hlm. 85—86)
Prinsip merujuk kepada ahlul ilmi merupakan bagian manhaj Salaf dalam mengurai beragam masalah yang merundung umat. Prinsip ini menjadi sisi unggul dari metode beragama di kalangan salaf sehingga umat mendapat bimbingan langsung dari para ulama.
Berbeda halnya dengan sebagian umat yang terkontaminasi cara pandang pergerakan dan liberal. Mereka tak mengenal metodologi merujuk kepada ahlul ilmi. Pengamalan agama yang melekat padanya berjalan di atas hawa nafsu dan absurd (tak bisa dinalar akal sehat).
Merujuk kepada ulama berarti memohon bimbingan langsung kepada para pewaris nabi yang memiliki otoritas untuk memberi fatwa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Berilah keputusan (dalam perkara) di antara manusia dengan haq dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Sungguh orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan Hari Hisab.” (Shad: 26)
Sebelum Islam datang, keadaan masyarakat Arab masa itu diliputi beragam kebiasaan tak baik. Kegelapan menyelimuti kehidupan masyarakat Arab. Keburukan akhlak, akidah, dan perilaku keseharian lainnya turut mewarnai masyarakat Arab.
Benar-benar sebuah bala yang mengerikan. Bayi perempuan dikubur hidup-hidup, khamr merajalela, wanita direndahkan, perang antarkabilah kerap terjadi, dan berbagai perilaku busuk lainnya melekat dalam struktur masyarakat. Berbagai penyimpangan sosial merebak.
Setelah Islam datang, kegelapan pun sirna. Kehidupan masyarakat berubah. Kemuliaan perilaku menjadi ciri peradaban bangsa Arab. Islam mencelup masyarakat Arab menjadi masyarakat sarat rahmah. Peduli terhadap sesama. Penuh damai dan sahaja. Pancaran tauhid kukuh menyinari setiap pribadi masyarakat Arab. Lahirlah pribadi-pribadi agung hasil didikan manusia teragung, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari masyarakat Arab yang telah tercelup akidah nan lurus itulah cahaya kemilau Islam merambah ke belahan bumi lainnya. Islam menyentuh setiap relung kehidupan. Roda kehidupan pun menjadi dinamis beradab.
Potret kehidupan masyarakat Arab— dan tentu saja masyarakat lainnya yang telah tersentuh Islam—menjadi bukti otentik sejarah kehidupan umat manusia, bahwa syariat Allah subhanahu wa ta’ala seluruhnya senantiasa mendatangkan maslahat bagi peradaban manusia serta mencegah munculnya mafsadat bagi umat manusia.
Tak bisa dimungkiri peran Islam dalam membangun peradaban dunia. Itulah hasil generasi salaf, dengan izin Rabbnya. Generasi terbaik dan pemilik keutamaan yang telah disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sudah dipastikan, pemberlakuan syariat Allah subhanahu wa ta’ala akan mendatangkan maslahat dan mencegah mafsadat. Sebuah bukti yang tak diragukan lagi, bila syariat Islam ditegakkan—dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala—bakal mendatangkan kebaikan. Sebab, agama seluruhnya hendak mendatangkan sesuatu yang membawa maslahat dan mencegah yang mafsadat. Tak satu pun ketentuan di dalam Islam bakal membinasakan manusia. Tak satu pula yang bakal memunculkan kerusakan.
Syariat Islam senantiasa mengarahkan umat untuk selalu melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan. Syariat Islam menghalalkan yang baik dan mengharamkan yang buruk. Allah subhanahu wa ta’ala menegaskan dalam firman-Nya,
“… dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka….” (al-A’raf: 157)
Syariat melarang seseorang menjatuhkan diri pada kebinasaan. Di sisi lain, syariat memotivasi seseorang untuk melaksanakan kebaikan. Orang yang menunaikan kebaikan itulah yang kelak dicintai Allah subhanahu wa ta’ala. Firman-Nya,
“… dan janganlah kamu menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan dengan tanganmu sendiri. Sungguh, Allah mencintai orangorang yang berbuat kebaikan.” (al-Baqarah: 195)
Dalam kerangka inilah lahir fatwa, nasihat, bimbingan, dan tahdzir (peringatan) dari para ulama. Tiada lain yang hendak digapai selain mendatangkan maslahat dan mencegah mafsadat.
Selisiklah pelajaran yang teramat bernilai dari firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Dan janganlah kalian mencaci maki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan mencaci maki Allah dengan melampaui batas tanpa ilmu.” (al-An’am: 108)
Sesembahan yang mereka sembah selain Allah subhanahu wa ta’ala tentu sesuatu yang batil. Namun, guna meraih maslahat seseorang terlarang untuk mencaci makinya. Sebab, caci maki itu bakal memunculkan mafsadat dalam bentuk tindakan mereka mencaci maki Allah subhanahu wa ta’ala dengan tanpa ilmu dan melampaui batas.
Sebuah gambaran nyata yang pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Peristiwa yang dituturkan Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berikut kiranya bisa memberi gambaran tersebut.
Saat para sahabat duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid. Tiba-tiba datang seorang a’rabi (badui) lalu buang air kecil di sudut masjid. Para sahabat pun berupaya mencegahnya. Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menahan para sahabat. Ketika si badui telah selesai menunaikan hajatnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihati badui tersebut. Beliau memerintahkan untuk diambilkan seember air, lalu disiramkan ke tempat air seni. (Terjemah secara makna. Lihat HR. al-Bukhari no. 221 dan Muslim no. 284)
Kisah di atas merupakan contoh yang sangat transparan, jelas, dan terang yang menggambarkan prinsip Islam untuk selalu menebarkan maslahat dan meredam mafsadat. Sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menahan para sahabat untuk tidak bertindak terlebih dulu, merupakan sikap yang mengedepankan sisi maslahat dan mencegah munculnya mafsadat. Sebuah tindakan yang penuh hikmah, bijak dan tanpa ketergesa-gesaan.
Inilah salah satu metodologi yang dijadikan prinsip dalam pengambilan sikap di tengah umat. Metodologi ini pula yang dijadikan dasar pijak kala menarik sebuah konklusi fikih. Inilah prinsip yang diajarkan salaf
Ketentuan agama itu semuanya dalam rangka menggapai yang maslahat dan meredam hal yang menimbulkan mafsadat (kerusakan).
Allahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin