Asysyariah
Asysyariah

syarat sahnya shalat

3 tahun yang lalu
baca 27 menit
Syarat Sahnya Shalat

Definisi Syarat

Sebagai salah satu bentuk ibadah, shalat memiliki syarat-syarat. Pengertian syarat menurut ulama ilmu ushul adalah sesuatu yang keberadaan suatu hukum tergantung padanya. Dalam arti, apabila ia tidak ada, pasti tidak ada hukum. Namun, keberadaan perkara tersebut tidak mengharuskan adanya hukum.

Contohnya, wudhu adalah salah satu syarat dalam ibadah shalat. Akan tetapi, wudhu tidak mengharuskan adanya shalat. Bisa jadi, orang berwudhu bukan untuk shalat, melainkan untuk menjaga agar ia selalu di atas taharah atau ia berwudhu karena hendak tidur. Sebaliknya, apabila tidak ada wudhu (atau penggantinya), shalatnya tidak sah.

Contoh lain, adanya dua saksi merupakan syarat sahnya akad nikah. Namun, keberadaan dua saksi tidak mengharuskan adanya akad nikah. Sebaliknya, apabila tidak ada dua saksi, suatu pernikahan tidak sah. (asy-Syarhul Mumti’ 1/396, al-Mulakhkhash al-Fiqhi 1/86)

Syarat Sahnya Shalat

Setelah kita memahami makna syarat, kita akan masuk pada pembahasan tentang syarat-syarat shalat[1]. Syarat sahnya shalat adalah sebagai berikut.

  1. Sudah masuk waktu.
  2. Suci dari hadats.
  3. Suci pakaian, badan, dan tempat shalat dari najis.
  4. Menutup aurat.
  5. Menghadap kiblat.
  6. Niat.

Penjelasan Syarat Sahnya Shalat

  1. Telah Masuk Waktu

Allah azza wa jalla berfirman,

إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتۡ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ كِتَٰبًا مَّوۡقُوتًا

“Sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban yang ditetapkan waktunya bagi kaum mukminin.” (an-Nisa: 103)

Dalam hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam banyak sekali kita dapatkan dalil tentang masalah ini. Kaum muslimin pun bersepakat bahwa shalat tidak sah apabila dikerjakan sebelum masuk waktunya.

Apabila seseorang mengerjakan shalat sebelum waktunya dengan sengaja, shalatnya batil/tidak sah. Di samping itu, dia tidak selamat dari dosa. Namun, apabila tidak sengaja, yakni dia mengira telah masuk waktu shalat padahal belum, dia tidak berdosa. Shalatnya tersebut teranggap shalat nafilah (shalat sunnah). Dia wajib mengulangi shalatnya setelah masuk waktunya. (asy-Syarhul Mumti’ 1/398)

  1. Suci dari Hadats

Allah azza wa jalla berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ وَإِن كُنتُمۡ جُنُبًا فَٱطَّهَّرُواْۚ

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak menegakkan shalat, basuhlah wajah kalian dan lengan kalian sampai siku, lalu usaplah kepala kalian dan cucilah kaki kalian sampai mata kaki. Dan jika kalian junub, bersucilah….” (al-Maidah: 6)

Dalam ayat di atas, Allah azza wa jalla memerintah hamba-hamba-Nya yang ingin shalat dalam keadaan belum bersuci agar membasuh wajah dan tangan mereka sampai siku dengan menggunakan air, dan amalan-amalan wudhu yang selanjutnya. (Jami’ul Bayan fit Ta`wil Ayil Qur`an, 4/50)

Al-‘Allamah Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah mengatakan bahwa dalam ayat yang agung ini terkandung banyak hukum, di antaranya:

  • Disyaratkannya taharah untuk sahnya shalat. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala memerintah hamba-hamba-Nya untuk bertaharah ketika hendak menunaikan shalat. Sementara itu, hukum asal suatu perintah adalah wajib.
  • Taharah tidak wajib dilakukan ketika telah masuk waktu shalat, tetapi hanya diwajibkan ketika seseorang ingin mengerjakan shalat.
  • Seluruh amalan yang dinamakan shalat, baik shalat wajib atau sunnah, maupun shalat yang fardhu kifayah seperti shalat jenazah, disyaratkan taharah sebelumnya. (Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 222)
Baca juga: Perbedaan Hukum Bersuci dari Hadats & dari Najis

Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ

“Tidak diterima shalat seseorang yang berhadats hingga ia berwudhu.” (HR. al-Bukhari no. 135 dan Muslim no. 536)

Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan makna hadits di atas, “(Tidak diterima shalat seseorang yang berhadats) hingga ia bersuci dengan air atau tanah/debu. Dalam hadits, Nabi shallallahu alaihi wa sallam hanya menyebut wudhu karena hukum asal bersuci ialah dengan wudhu[2] dan wudhu itulah yang lebih banyak dilakukan. Wallahu a’lam.” (al-Minhaj, 3/99)

Ibnu Umar radhiallahu anhuma berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُوْرٍ ….

“Shalat tidak diterima tanpa bersuci ….” (HR. Muslim no. 534)

Hadits di atas merupakan nas yang menunjukkan wajibnya taharah bila hendak mengerjakan shalat dan ia dalam keadaan berhadats. Ulama bersepakat bahwa taharah merupakan syarat sahnya shalat. (Tharhut Tatsrib 2/400, 409; al-Minhaj 3/98)

Hadats yang dimaksud di sini mencakup hadats besar—seperti janabah—dan hadats kecil—seperti buang air besar, kencing, dan buang angin.

  1. Suci Pakaian, Badan dan Tempat Shalat dari Najis

Dalil tentang sucinya pakaian sebagai syarat sahnya shalat ialah firman Allah azza wa jalla,

وَثِيَابَكَ فَطَهِّرۡ

“Dan pakaianmu sucikanlah.” (al-Muddatstsir: 4)

Sebagian ulama menafsirkan ayat ini dengan makna, “Sucikanlah pakaianmu dari najis untuk mengerjakan shalat.” Adapun ulama yang lain menafsirkan dengan selain makna ini. (Ma’alimut Tanzil 4/383, Adhwa`ul Bayan 8/619)

Dari As-Sunnah ada banyak dalil bahwa taharah adalah syarat sahnya shalat. Di antaranya, hadits Asma bintu Abi Bakr radhiallahu anhuma. Dia berkata,

“Ada seorang wanita bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, ‘Wahai Rasulullah, apa pendapatmu apabila pakaian salah seorang dari kami terkena darah haid? Apa yang harus dia lakukan?”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda memberi bimbingan,

إِذَا أَصَابَ ثَوْبَ إِحْدَاكُنَّ الدَّمَ مِنَ الْحَيْضَةِ فَلْتُقْرِصْهُ ثُمَّ لِتَنْضَحْهُ بِمَاءٍ ثُمَّ لِتُصَلِّي فِيْهِ

“Apabila pakaian salah seorang dari kalian terkena darah haid, hendaklah ia mengeriknya kemudian membasuhnya dengan air. Setelah itu, ia boleh mengenakannya untuk shalat.” (HR. al-Bukhari no. 307 dan Muslim no. 673)

Kata al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah, dalam hadits ini terdapat isyarat dilarangnya shalat mengenakan pakaian yang terkena najis. (Fathul Bari, 1/532)

Baca juga: Tata Cara Bersuci dari Haid

Demikian pula hadits Abu Said al-Khudri radhiallahu anhu yang menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melepas sandalnya ketika shalat.

بَيْنَمَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِأَصْحَابِهِ إِذْ خَلَعَ نَعْلَيْهِ، فَوَضَعَهُمَا عَنْ يَسَارِهِ. فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ الْقَوْمُ أَلْقَوْا نِعَالَـهُمْ. فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَتَهُ قَالَ: مَا حَمَلَكُمْ عَلَى إِلْقَائِكُمْ نِعَالَكُمْ؟ قَالُوا: رَأَيْنَاكَ أَلْقَيْتَ نَعْلَيْكَ فَأَلْقَيْنَا نِعَالَنَا. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ جِبْرِيْلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَتَانِي فَأَخْبَرَنِي أَنَّ فِيْهِمَا قَذَرًا -أَوْ قَالَ: أَذًى-. وَقَالَ: إِذَا جاَءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلْيَنْظُرْ، فَإِنْ رَأَى فِي نَعْلَيْهِ قَذَرًا أَوْ أَذًى فَلْيَمْسَحْهُ وَلْيُصَلِّ فِيْهِمَا

Tatkala Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sedang shalat bersama para sahabat beliau, tiba-tiba beliau melepas kedua sandalnya[3] lalu meletakkannya di sebelah kiri beliau. Ketika melihat hal tersebut, mereka (para sahabat) pun melepaskan sandal mereka. Setelah selesai shalat, Rasulullah bertanya, “Ada apa kalian melepaskan sandal-sandal kalian?”

Mereka menjawab, “Kami melihatmu melepas sandalmu, maka kami melepaskan sandal-sandal kami.”

Baca juga: Beberapa Hal yang Perlu Diperhatikan ketika Hendak Shalat

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan, “Tadi Jibril mendatangiku dan mengabarkan bahwa pada kedua sandalku ada kotoran/najis. Aku pun melepaskan keduanya.”

Beliau juga mengatakan, “Apabila salah seorang dari kalian datang ke masjid, sebelum masuk masjid hendaklah ia melihat kedua sandalnya. Apabila dia lihat ada kotoran atau najis, hendaklah membersihkannya. Setelah bersih, ia boleh shalat mengenakan kedua sandalnya.” (HR. Abu Dawud no. 650, dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Abi Dawud, Irwa`ul Ghalil no. 284, dan Ashlu Shifati Shalatin Nabi, 1/110)

Tentunya, kesucian badan lebih utama daripada sucinya pakaian yang dikenakan. Di samping itu, ada pula hadits yang menunjukkan wajibnya membersihkan najis yang ada pada badan. Anas radhiallahu anhu berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

تَنَزَّهُوْا مِنَ الْبَوْلِ، فَإِنَّ عَامَّةَ عَذَابِ الْقَبْرِ مِنْهُ

“Bersucilah kalian dari kencing karena kebanyakan azab kubur disebabkan oleh kencing.” (HR. ad-Daraquthni dalam Sunan-nya hlm. 7, dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam al-Irwa` no. 280)[4]

Baca juga: Amalan yang Menyelamatkan dari Azab Kubur

Demikian pula hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu, ia berkata,

كُنْتُ رَجُلاً مَذَّاءً فَكُنْتُ أَسْتَحْيِي أَنْ أَسْأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَكَانِ ابْنَتِهِ، فَأَمَرْتُ الْـمِقْدَادَ بْنَ الْأَسْوَدِ فَسَأَلَهُ، فَقَالَ: يَغْسِلُ ذَكَرَهَ ويَتَوَضَّأُ

“Aku seorang lelaki yang banyak mengeluarkan madzi. Namun, aku malu menanyakannya langsung kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam karena keberadaan putri beliau (sebagai istriku). Aku menyuruh al-Miqdad ibnul Aswad untuk menanyakannya. Ia pun bertanya kepada beliau. Beliau shallallahu alaihi wa sallam memberikan tuntunan, ‘Hendaklah ia mencuci kemaluannya kemudian berwudhu[5]’.” (HR. al-Bukhari no. 132 dan Muslim no. 693)

Adapun dalil tentang kesucian tempat shalat adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,

أَن طَهِّرَا بَيۡتِيَ لِلطَّآئِفِينَ وَٱلۡعَٰكِفِينَ وَٱلرُّكَّعِ ٱلسُّجُودِ

“Bersihkanlah rumah-Ku (Baitullah), (wahai Ibrahim dan Ismail), untuk orang-orang yang thawaf, yang iktikaf, yang rukuk, dan yang sujud.” (al-Baqarah: 125)

Demikian pula perintah Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk menyiram kencing seorang Arab badui sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik radhiallahu anhu,

أَنَّ أَعْرَابِيًّا قَامَ إِلَى نَاحِيَةِ الْمَسْجِدِ فَبَالَ فِيْهَا، فَصَاحَ بِهِ النَّاسُ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: دَعُوهُ. فَلَمَّا فَرَغَ أَمَرَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِذَنُوْبٍ فَصُبَّ عَلَى بَوْلِهِ

Ada seorang Arab badui bangkit menuju ke pojok masjid lalu buang air kecil di tempat tersebut. Melihat hal itu, orang-orang berteriak menghardiknya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun menegur, “Biarkan ia menyelesaikan kencingnya.” Setelah si Arab badui itu selesai buang air kecil, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan agar mengambil air satu ember penuh, lalu dituangkan di atas kencingnya.” (HR. al-Bukhari no. 221 dan Muslim no. 658)

Mengetahui Ada Najis Setelah Selesai Shalat

Pertanyaan:

Apabila seseorang melihat pada tubuh, pakaian, atau tempat shalatnya ada najis setelah selesai shalat, apakah ia harus mengulangi shalatnya?

Jawaban:

Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Namun, pendapat yang lebih kuat, wallahu a’lam, orang itu tidak wajib mengulangi shalatnya, baik keberadaan najis tersebut telah diketahuinya sebelum shalat tetapi ia lupa, atau lupa mencucinya, ataupun ia tidak tahu bahwa najis itu mengenai dirinya, atau ia tidak tahu kalau itu najis, atau ia tidak tahu hukumnya, atau ia tidak tahu apakah najis itu mengenainya sebelum shalat ataukah sesudah shalat.

Pendapat ini yang dipilih oleh al-Muwaffaq Ibnu Qudamah, al-Majd, Syaikhul Islam, Ibnul Qayyim, dan selain mereka rahimahumullah.

Dalilnya adalah kaidah umum yang agung yang Allah subhanahu wa ta’ala letakkan bagi hamba-hamba-Nya, yaitu firman-Nya,

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ

“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau keliru ….” (al-Baqarah: 286)

Dalil yang lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melepas sandal beliau dalam shalatnya setelah Jibril alaihis salam mengabarkan bahwa pada sandalnya ada kotoran/najis. Beliau tidaklah membatalkan shalatnya, tetapi melanjutkannya setelah melepas kedua sandalnya. (al-Mughni, “Kitab ash-Shalah”,  “Fashl Man Shalla Tsumma Ra`a ‘Alaihi Najasah fi Badanihi au Tsiyabihi”; asy-Syarhul Mumti’ 1/485; al-Mulakhkhash al-Fiqhi, 1/94; Taudhihul Ahkam 2/33)

  1. Menutup Aurat

Allah azza wa jalla berfirman,

يَٰبَنِيٓ ءَادَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمۡ عِندَ كُلِّ مَسۡجِدٍ

“Wahai anak Adam, kenakanlah zinah[6] kalian setiap kali menuju masjid.” (al-A’raf: 31)

Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Mereka diperintah untuk mengenakan zinah ketika datang ke masjid guna melaksanakan shalat atau thawaf di Baitullah. Ayat ini menjadi dalil wajibnya menutup aurat di dalam shalat. Demikian pendapat jumhur ulama. Bahkan, menutup aurat ini wajib dalam segala keadaan, sekalipun seseorang shalat sendirian sebagaimana ditunjukkan oleh hadits-hadits yang sahih.” (Fathul Qadir, 2/200)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, “(Perintah Allah subhanahu wa ta’ala dalam ayat di atas adalah) perintah untuk mengenakan zinah setiap kali ke masjid. Para fuqaha menamainya “Bab Sitrul ‘Aurah fish Shalah” (Bab Menutup aurat dalam shalat).” (Hijabul Mar`ah wa Libasuha fish Shalah, hlm. 14)

Ibnu Abbas radhiallahu anhuma menerangkan sebab turunnya ayat di atas, “Dahulu pada masa jahiliah, wanita biasa thawaf di Ka’bah dalam keadaan tanpa busana. Yang tertutupi hanyalah bagian kemaluannya. Ia thawaf seraya bersyair,

Pada hari ini tampak tubuhku sebagiannya atau pun seluruhnya

Maka apa yang tampak darinya, tidaklah aku halalkan.

Lalu turunlah ayat di atas.” (HR. Muslim no. 7467)

Imam al-Baghawi rahimahullah dalam tafsirnya terhadap firman Allah subhanahu wa ta’ala di atas menyatakan, “Yang dimaksud dengan zinah adalah pakaian. Mujahid berkata, ‘(Zinah adalah) apa yang menutupi auratmu walaupun berupa ‘aba`ah.’ Al-Kalbi berkata, ‘Zinah adalah apa yang menutupi aurat setiap kali ke masjid untuk thawaf dan shalat’.” (Ma’alimut Tanzil, 2/157)

Baca juga: Adab-Adab di dalam Masjid

Dahulu orang-orang jahiliah thawaf di Ka’bah dalam keadaan telanjang. Mereka melemparkan pakaian mereka dan membiarkannya tergeletak di atas tanah terinjak-injak oleh kaki orang-orang yang lalu lalang. Mereka tidak lagi mengambil pakaian tersebut selamanya hingga usang dan rusak. Demikian kebiasaan jahiliah ini berlangsung hingga Islam datang dan Allah azza wa jalla memerintah mereka untuk menutup aurat, “Wahai anak Adam, kenakanlah zinah kalian setiap kali menuju masjid.”

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَطُوْفُ بِالْبَيْتِ عُرْياَنٌ

“Tidak boleh orang yang telanjang thawaf di Ka’bah.” (HR. al-Bukhari no. 369, 1622 dan Muslim no. 3274) (Lihat al-Minhaj 18/357)

Imam al-Bukhari rahimahullah membawakan hadits di atas dalam Shahih-nya pada “Kitab al-Hajj”, Bab Tidak boleh orang yang telanjang thawaf di Baitullah dan tidak boleh orang musyrik melaksanakan haji. Beliau juga menyebutkan hadits ini pada “Kitab ash-Shalah”, Bab Wajibnya shalat mengenakan pakaian.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menjelaskan hadits di atas, “Sisi pendalilan hadits ini terhadap judul bab yang diberikan Imam al-Bukhari rahimahullah (Bab Wajibnya shalat dengan mengenakan pakaian) adalah apabila dilarang telanjang dalam thawaf, larangan akan hal ini dalam shalat tentu lebih utama. Sebab, apa yang disyaratkan di dalam shalat sama dengan apa yang disyaratkan di dalam thawaf, bahkan dalam shalat ada tambahan. Selain itu, jumhur ulama juga berpendapat bahwa menutup aurat termasuk syarat shalat.” (Fathul Bari, 1/604)

Tidak Sekadar Menutup Aurat

Menutup aurat dalam shalat tidaklah cukup dengan berpakaian ala kadarnya, yang penting menutup aurat. Tidak peduli apakah pakaian itu bau dan kotor, misalnya. Dalam hal ini seseorang perlu memperhatikan sisi keindahan dan kebersihan pakaiannya. Sebab, Allah azza wa jalla memerintahkan untuk mengenakan zinah (pakaian sebagai perhiasan) ketika shalat, sebagaimana dalam ayat di atas.

Jadi, seorang hamba sepantasnya melaksanakan shalat mengenakan pakaiannya yang paling bagus dan paling indah karena dia akan bermunajat dengan Rabb semesta alam dan berdiri di hadapan-Nya. (al-Ikhtiyarat Ibnu Taimiyah rahimahullah hlm. 43)

Perbedaan Menutup Aurat di Dalam dan di Luar Shalat

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

“Mengenakan zinah di dalam shalat merupakan hak Allah subhanahu wa ta’ala. Oleh karena itu, seseorang tidak boleh thawaf di Ka’bah dalam keadaan telanjang walaupun bersendiri pada waktu malam. Dia tidak boleh pula melaksanakan shalat dalam keadaan telanjang walaupun sendirian. Jadi, mengenakan zinah dalam shalat bukanlah untuk menutup tubuh dari manusia, melainkan dalam rangka menunaikan hak Allah azza wa jalla.

Dengan demikian, menutup aurat di luar shalat berbeda dengan menutup aurat di dalam shalat. Seseorang yang shalat menutup bagian tubuhnya yang justru boleh tampak saat ia sedang tidak shalat (di luar shalat)[7]. Sebaliknya, dia menampakkan dalam shalatnya sesuatu yang justru harus ditutupnya di luar shalat[8]. (Hijabul Mar`ah wa Libasuha fish Shalah hlm. 23)

Baca juga: Pakaian Wanita dalam Shalat

Sebenarnya, yang diperintahkan dalam shalat adalah berhias dan berpenampilan bagus karena hendak berdiri di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala. Apabila seseorang merasa malu bertemu dengan seorang raja atau pembesar di muka bumi ini dengan pakaian kotor, bau, kusut masai, atau terbuka separuh tubuhnya, bagaimana dia tidak malu berdiri di hadapan Raja Diraja, Penguasa alam semesta dengan pakaian yang tidak patut dikenakannya ketika shalat?

Karena itulah, Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma pernah bekata kepada maulanya, Nafi’, yang shalat dalam keadaan tidak menutup kepala (dengan peci dan semisalnya), “Tutuplah kepalamu! Apakah engkau biasa keluar ke hadapan manusia dalam keadaan membuka kepalamu?”

Nafi’ menjawab, “Tidak pernah.”

“Allah adalah Dzat yang lebih pantas untuk engkau berhias bila hendak menghadap-Nya,” kata Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma. (Syarh Ma’anil Atsar, 1/377)

Dengan demikian, semakin pahamlah kita bahwa yang sebenarnya dituntut dalam shalat tidak sekadar menutup aurat, tetapi mengenakan zinah. Seseorang yang hendak shalat dituntut agar berada dalam penampilan yang bagus dan indah karena ia akan berdiri di hadapan Allah azza wa jalla. (adz-Dzakhirah karya al-Qarafi 2/102, al-Mulakhkhash al-Fiqhi 1/93)

Hukum Menutup Pundak bagi Laki-laki Saat Shalat

Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يُصَلِّي أَحَدُكُمْ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ لَيْسَ عَلَى عَاتِقَيْهِ شَيْءٌ

“Seorang lelaki di antara kalian tidak boleh shalat dengan hanya mengenakan satu kain, sementara tidak ada di atas pundaknya sedikit pun dari kain tersebut[9].” (HR. al-Bukhari no. 359 dan Muslim no. 1151)

Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberikan bimbingan kepada orang yang shalat dengan mengenakan satu kain saja tanpa ada pakaian lain, agar tidak mengikat kainnya pada bagian tengah tubuhnya sehingga dua pundaknya dibiarkan terbuka. Hendaknya ia berselubung dengan kain tersebut, dua ujung kainnya diangkat lalu disilangkan dan diikatkannya di atas pundaknya. Jadi, kain tersebut seperti izar dan rida`.

Hal ini mungkin dilakukan apabila kainnya lebar/lapang. Apabila kainnya sempit, terpaksa diikatkan pada pinggang. Dalam hadits Jabir radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepadanya,

فَإِنْ كَانَ وَاسِعًا فَلْتَحِفْ بِهِ وَإِنْ كَانَ ضَيِّقًا فَاتَّزِرْ بِهِ

“Apabila kainmu lebar, berselimutlah dengannya (menutupi tubuh bagian bawah dan atas dengan menyilangkan dua ujungnya di atas dua pundak). Namun, apabila kainmu sempit, ikatkanlah pada setengah tubuhmu yang bagian bawah[10].” (HR. al-Bukhari no. 361) (Syarhus Sunnah karya al-Baghawi 2/433)

Baca juga: Hukum Melipat Pakaian Saat Shalat

Dari dua hadits di atas, tergambar bagi kita hukum menutup pundak dalam shalat. Dalam masalah ini memang ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.

Imam Ahmad rahimahullah dalam pendapatnya yang masyhur menyatakan bahwa hukumnya wajib bagi orang yang memiliki kemampuan. Beliau berdalil dengan lahiriah hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu di atas.

Sementara itu, jumhur ulama, di antaranya imam yang tiga, berpandangan bahwa hukumnya mustahab (sunnah). Sebab, yang wajib ditutup hanyalah aurat, sementara dua pundak bukanlah aurat. Adapun larangan dalam hadits tidaklah menunjukkan haram karena adanya hadits Jabir radhiallahu anhu di atas. Jadi, larangan shalat dalam keadaan pundak terbuka mereka pahami sebagi nahyut tanzih wal karahah, yaitu makruh, bukan haram. Wallahu a’lam. (al-Umm, “Kitab ash-Shalah”, Bab Jima’i Libasil Mushalli; al-Majmu’ 3/181; al-Mughni “Kitab ash-Shalah” Fashl Hukmi Sitril Mankibain; Raddul Mukhtar ‘Ala ad-Darril Mukhtar Syarhu Tanwiril Abshar karya Ibnu Abidin 2/76; Subulus Salam 1/211; Taisirul Allam 1/259—260; Tamamul Minnah hlm. 163)

Apabila Bagian Tubuh Tersingkap Saat Shalat

Apakah shalat seseorang batal bila di tengah shalatnya tersingkap bagian tubuhnya yang mesti ditutupi dalam shalat?

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menerangkan sebagai berikut.

  • Apabila dia melakukannya dengan sengaja, shalatnya batal; sedikit atau banyak bagian tubuhnya yang tersingkap, lama ataupun sebentar.
  • Apabila tidak sengaja dan yang tersingkap hanya sedikit, shalatnya tidak batal.
  • Jika tidak sengaja, tetapi yang tersingkap banyak dalam waktu yang singkat, shalatnya tidak batal.
  • Jika banyak bagian tubuhnya tersingkap tanpa sengaja dalam waktu yang lama, ia tidak tahu kecuali di akhir shalatnya atau setelah salam, shalatnya tidak sah.

Misalnya, seseorang shalat memakai sirwal (celana panjang yang luas/longgar) dan kain. Selesai salam dari shalatnya, ia dapatkan sirwalnya sobek besar pada bagian kemaluannya hingga menampakkannya. Dalam keadaan ini, shalatnya tidak sah. Dia harus mengulangi shalatnya karena menutup aurat termasuk syarat sahnya shalat. Adapun apabila dia mengetahuinya di tengah-tengah shalat bahwa pakaiannya sobek besar lantas segera dia pegang bagian yang sobek itu, shalatnya sah. (asy-Syarhul Mumti’ 1/446—447)

  1. Menghadap Kiblat

Yang dimaksud dengan kiblat adalah Ka’bah. Ia dinamakan kiblat karena manusia menghadapkan wajah mereka dan menuju kepadanya. (al-Majmu’ 3/193; ar-Raudhul Murbi’ Syarhu Zadil Mustaqni’ 1/119; asy-Syarhul Mumti’ 1/501; al-Mulakhkhash al-Fiqhi, 1/96)

Awalnya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam shalat menghadap ke Baitul Maqdis. Kemudian Allah azza wa jalla memerintah beliau shalat menghadap ke Ka’bah, kiblat yang beliau cintai. Allah azza wa jalla berfirman,

قَدۡ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجۡهِكَ فِي ٱلسَّمَآءِۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبۡلَةً تَرۡضَىٰهَاۚ فَوَلِّ وَجۡهَكَ شَطۡرَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِۚ وَحَيۡثُ مَا كُنتُمۡ فَوَلُّواْ وُجُوهَكُمۡ شَطۡرَهُۥۗ وَإِنَّ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ لَيَعۡلَمُونَ أَنَّهُ ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّهِمۡۗ وَمَا ٱللَّهُ بِغَٰفِلٍ عَمَّا يَعۡمَلُونٍَ

“Kami sering melihat wajahmu menengadah ke langit[11], maka sungguh Kami akan memalingkanmu ke kiblat yang engkau sukai. Hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Di mana saja kalian berada, hadapkanlah wajah-wajah kalian ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Al-Kitab (dari kalangan Yahudi dan Nasrani) memang mengetahui bahwa menghadap ke Masjidil Haram itu benar dari Rabb mereka, dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (al-Baqarah: 144)

Baca juga: Membela Kehormatan Negeri Dua Tanah Suci

Al-Bara bin Azib radhiallahu anhu berkata,

صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ شَهْرًا، حَتَّى نَزَلَتِ الْآيَةُ الَّتِي فِي الْبَقَرَةِ {وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ} فَنَزَلَتْ بَعْدَمَا صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَانْطَلَقَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ، فَمَرَّ بِنَاسٍ مِنَ الْأَنْصَارِ وَهُمْ يُصَلُّوْنَ، فَحَدَّثَهُمْ فَوَلَّوْا وُجُوْهَهُمْ قِبَلَ الْبَيْتِ

“Aku shalat bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam menghadap ke arah Baitul Maqdis selama enam belas bulan hingga turun ayat dalam surah al-Baqarah, ‘Dan di mana saja kalian berada, palingkanlah (hadapkanlah) wajah kalian ke arahnya.’ Ayat ini turun setelah Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat. Salah seorang dari menghadiri shalat berjamaah bersama Nabi lantas pergi. Dia melewati orang-orang Anshar yang sedang shalat (dalam keadaan masih menghadap ke arah Baitul Maqdis). Dia pun menyampaikan kepada mereka tentang perintah perpindahan arah kiblat. Mendengar hal tersebut orang-orang Anshar menghadapkan wajah-wajah mereka ke arah Baitullah.” (HR. Muslim no. 1176) (al-Hawil Kabir 2/68)

Apabila Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bangkit untuk shalat, beliau menghadap Ka’bah, baik dalam shalat wajib maupun shalat sunnah. Kata Syaikh al-Albani rahimahullah, “Berita ini adalah pasti karena mutawatirnya ….” (Ashlu Shifati Shalatin Nabi shallallahu alaihi wa sallam, 1/55)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata kepada orang yang salah shalatnya,

إِذَا قُمْتَ إِلىَ الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوْءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ …

“Apabila engkau bangkit untuk menegakkan shalat, baguskanlah wudhu. Kemudian, menghadaplah kiblat. Setelah itu, bertakbirlah ….” (HR. al-Bukhari no. 6251 dan Muslim no. 884)

Orang yang Melihat Ka’bah dan yang Tidak Melihatnya

Orang yang shalat dalam keadaan dapat melihat Ka’bah, dia wajib shalat menghadap persis ke Ka’bah. Misalnya, orang yang shalat di Masjidil Haram.

Adapun orang yang tidak bisa menyaksikan Ka’bah secara langsung karena negerinya jauh dari Makkah misalnya, dia wajib menghadap ke arah Ka’bah. Dalam hal ini urusannya lapang. Artinya, apabila seseorang shalat dalam keadaan menyimpang sedikit dari arah kiblat, hal itu tidak menjadi masalah karena dia telah menghadap ke arah kiblat. Hal ini berdasarkan firman Allah azza wa jalla,

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ

“Allah tidak membebani suatu jiwa kecuali sekadar kesanggupannya.” (al-Baqarah: 286)

Dalil lainnya ialah hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ

“Antara timur dan barat adalah kiblat.” (HR. at-Tirmidzi no. 342, Ibnu Majah no. 1011, dan selain keduanya; Syaikh Al-Albani rahimahullah menilainya sahih dalam al-Irwa` no. 292) (Lihat al-Umm, “Kitab ash-Shalah”, Bab Istiqbalil Qiblah; al-Majmu’ 3/195; Subulus Salam 1/214; asy-Syarhul Mumti’ 1/509; al-Mulakhkhash al-Fiqhi 1/96—97; Taudhihul Ahkam 2/17—18)

Keberadaan arah kiblat di antara timur dan barat ini berlaku bagi penduduk Madinah dan negeri-negeri yang searah dengan Madinah. Arah selatan seluruhnya adalah kiblat bagi mereka. Adapun yang tidak searah dengan Madinah, tentunya akan berbeda. Arah kiblatnya bukan antara timur dan barat. Seperti kita di Indonesia, arah kiblatnya justru antara utara dan selatan. Wallahu a’lam.

Kapan Gugur Kewajiban Menghadap Kiblat?

Kewajiban menghadap kiblat sebagai salah satu syarat shalat dapat gugur dalam keadaan-keadaan berikut ini.

a. Shalat tathawwu’ (shalat sunnah) bagi orang yang berkendara.

Dalam hal ini, sama saja apakah kendaraannya berupa hewan tunggangan atau alat transportasi modern, seperti mobil, kereta api, dan kapal laut.

Jabir bin Abdillah al-Anshari radhiallahu anhuma berkata,

رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزْوَةِ أَنْمَارٍ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ مُتَوَجِّهًا قِبَلَ الْمَشْرِقِ مُتَطَوِّعًا

“Aku melihat Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam Perang Anmar mengerjakan shalat sunnah di atas hewan tunggangannya, sementara hewan tersebut menghadap ke timur.” (HR. al-Bukhari no. 4140)

Jabir radhiallahu anhu juga mengabarkan,

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ، فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيْضَةِ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengerjakan shalat sunnah di atas hewan tunggangannya ke arah mana saja hewan itu menghadap. Namun, apabila beliau hendak mengerjakan shalat fardhu, beliau turun dari tunggangannya dan menghadap kiblat.” (HR. al-Bukhari no. 400)

Amir bin Rabi’ah radhiallahu anhu berkata,

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهرَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الرَّاحِلَةِ يُسَبِّحُ، يُومِئُ بِرَأْسِهِ قِبَلَ أَيِّ وَجْهٍ تَوَجَّهَ، وَلَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ ذَلِكَ فِي الصَّلاَةِ الْمَكْتُوْبَةِ

“Aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam shalat sunnah di atas hewan tunggangannya menghadap ke arah mana saja hewan itu menghadap. Beliau memberi isyarat dengan kepalanya (ketika melakukan rukuk dan sujud, –pent.). Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah melakukan hal itu dalam shalat fardhu.” (HR. al-Bukhari no. 1097)

b. Shalat orang yang dicekam rasa takut seperti dalam keadaan perang, orang yang sakit, orang yang lemah, dan orang yang dipaksa (di bawah tekanan).

Orang yang tidak mampu menghadap kiblat karena takut, sakit, dipaksa, ataupun dalam situasi perang berkecamuk, dia diberi uzur untuk shalat tidak menghadap kiblat. Hal ini berdasarkan firman Allah azza wa jalla,

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ

“Allah tidak membebani suatu jiwa kecuali sekadar kesanggupannya.” (al-Baqarah: 286)

فَإِنۡ خِفۡتُمۡ فَرِجَالًا أَوۡ رُكۡبَانًاۖ

“Jika kalian dalam keadaan takut, shalatlah dalam keadaan berjalan kaki atau berkendaraan.” (al-Baqarah: 239)

Baca juga: Tata Cara Shalat Orang yang Sakit

Setelah menjelaskan tata cara shalat khauf, Ibnu Umar radhiallahu anhuma berkata,

فَإِنْ كَانَ خَوْفَ هُوَ أَشَدُّ مِنْ ذَلِكَ، صَلُّوا رِجَالاَ قِيَامًا عَلَى أَقْدَامِهِم أَوْ رُكْبَانًا مُسْتَقْبِلِي الْقِبْلَةَ أَوْ غَيْرَ مُسْتَقْبِلِيْهَا

“Apabila keadaan ketakutan lebih dahsyat daripada itu, mereka shalat dengan berjalan di atas kaki-kaki mereka atau berkendaraan, dalam keadaan mereka menghadap kiblat ataupun tidak.” (HR. al-Bukhari no. 4535)

Ibnu Umar radhiallahu anhuma juga berkata,

غَزَوْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِبَلَ نَجْدٍ، فَوَازَيْنَا الْعَدُوَّ، فَصَافَفْنَا لَـهُمْ فَقَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي لَنَا …

“Aku pernah berperang bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di arah Najd. Kami berhadapan dengan musuh. Beliau mengatur shaf/barisan kami untuk menghadapi musuh. Setelah itu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam shalat mengimami kami ….” (HR. al-Bukhari no. 942)

Hadits di atas menunjukkan, ketika situasi perang, seseorang tidak harus menghadap kiblat. Dia bisa menghadap ke mana saja sesuai dengan keadaan dan posisi musuh. (al-Umm “Kitab ash-Shalah”, Bab al-Halain al-Ladzaini Yajuzu Fihima Istiqbalu Ghairil Qiblah; al-Hawil Kabir 2/70, 72—73; al-Majmu’ 3/212—213; ar-Raudhul Murbi’ 1/119; al-Muhalla bil Atsar 2/257; adz-Dzakhirah 2/118—122; Subulus Salam 1/214—215; al-Mulakhkhash al-Fiqhi 1/97; Taudhihul Ahkam 2/20—21)

Orang yang Tersamar baginya Arah Kiblat

Amir bin Rabi’ah radhiallahu anhu mengabarkan,

غَكُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فِي لَيْلَةٍ مُظْلِمَةٍ فَلَمْ نَدْرِ أَيْنَ الْقِبْلَةُ، فَصَلَّى كُلُّ رَجُلٍ مِنَّا عَلَىحِيَالِهِ، فَلَمَّا أَصْبَحْنَا ذَكَرْنَا ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَزَلَ {فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ}

“Kami pernah bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam satu safar pada malam yang gelap. Ketika hendak shalat, kami tidak tahu di mana arah kiblat. Setiap orang shalat menghadap arah depannya. Pagi harinya, kami ceritakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Lalu turunlah ayat, ‘Ke mana saja kalian menghadap, di sanalah wajah Allah’.” (HR. at-Tirmidzi no. 345, Ibnu Majah no. 1020; Syaikh al-Albani rahimahullah menilainya hasan dalam Shahih at-Tirmidzi, Shahih Ibni Majah, dan al-Irwa` no. 291)

Jabir radhiallahu anhu berkata,

“Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam satu pasukan perang. Ketika itu, kami ditimpa mendung hingga kami bingung dan berselisih tentang arah kiblat. Akhirnya, masing-masing shalat menurut arah yang diyakininya. Mulailah salah seorang dari kami membuat garis di hadapannya guna mengetahui posisi kami. Ketika pagi hari, kami melihat garis tersebut. Dari situ kami tahu bahwa kami shalat tidak menghadap arah kiblat. Kami ceritakan hal tersebut kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Namun beliau tidak menyuruh kami mengulang shalat. Beliau bersabda, “Shalat kalian telah mencukupi.” (HR. ad-Daraquthni, al-Hakim, dll; Syaikh al-Albani rahimahullah menilainya hasan dalam al-Irwa` 1/323)

Baca juga: Salah Kiblat Saat Shalat

Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma berkata,

“Tatkala orang-orang sedang mengerjakan shalat Subuh di Quba, tiba-tiba ada orang yang datang seraya berkata, ‘Semalam telah diturunkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ayat Al-Qur`an. Beliau diperintah untuk shalat menghadap ke Ka’bah.’ Mendengar hal tersebut, orang-orang yang sedang shalat mengubah posisi menghadap ke arah Ka’bah. Sebelumnya, wajah mereka menghadap ke arah Syam, kemudian mereka membelakanginya untuk menghadap ke arah Ka’bah.” (HR. al-Bukhari no. 403, 4491, 7251 dan Muslim no. 1178)

Hendaknya seseorang mencurahkan segala upayanya untuk mengetahui arah kiblat. Apabila jelas baginya setelah selesai shalat bahwa ia menghadap selain arah kiblat, ia tidak perlu mengulang shalatnya karena shalat yang telah dikerjakannya telah mencukupi. (Subulus Salam, 1/213)

  1. Niat

Niat ialah ketetapan hati untuk melakukan suatu ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah azza wa jalla. Tempat niat adalah di dalam hati, tidak dibenarkan—bahkan termasuk bid’ah—apabila diucapkan dengan lisan. (Raddul Mukhtar 2/90—91; al-Mulakhkhash al-Fiqhi, 1/98—99)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

“Hanyalah amalan-amalan itu dengan niat ….” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Baca juga: Arti Sebuah Niat

Sebagai bagian amalan ibadah, shalat tentu harus diawali dan disertai dengan niat.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.


Catatan Kaki

[1] Termasuk syarat sahnya shalat adalah Islam, balig/tamyiz, dan berakal. Tiga syarat ini harus ada dalam seluruh ibadah. (ar-Raudhul Murbi’ 1/98)

[2] Apabila tidak ada air, baru menggantinya dengan yang lain. (-pent.)

[3] Termasuk sunnah adalah shalat memakai sandal (sebagaimana perincian para ulama). Dalilnya adalah hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

خَالِفُوا الْيَهُوْدَ فَإِنَّهُمْ لاَ يُصَلُّوْنَ فِي نِعَالِهِمْ وَلاَ خِفَافِهِمْ

“Selisihilah Yahudi karena mereka tidak shalat mengenakan sandal dan khuf mereka.” (HR. Abu Dawud no. 652, Syaikh al-Albani rahimahullah menilai hadits ini sahih. Beliau membahas hadits ini dalam kitab Ashlu Shifati Shalatin Nabi, 1/109)

[4] Dalam Shahihain, ada hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

مَرَّ النَّبِيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَبْرَيْنِ فَقَالَ: إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ، وَمَا يُعَذَّباَنِ فِي كَبِيْرٍ، بَلَى، أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لاَ يَسْتَنْزِهُ مِنَ الْبَوْلِ (وَ فِي رِوَايَةٍ: بَوْلِهِ)…

Nabi shallallahu alaihi wa sallam melewati dua kuburan. Beliau berkata, “Kedua penghuni kuburan ini sedang diazab. Tidaklah mereka diazab karena sesuatu yang dianggap besar (oleh manusia), padahal sungguh, urusannya sebenarnya besar. Adapun salah satunya (diazab karena) tidak bersuci dari kencingnya (dalam satu riwayat: diazab karena kencingnya/ia tidak menjaga dari percikan najisnya) ….”

[5] Maksudnya, apabila dia hendak mengerjakan shalat. Sebab, keluarnya madzi merupakan salah satu pembatal wudhu.

Baca juga: Pembatal-Pembatal Wudhu

[6] Zinah adalah sesuatu yang dikenakan untuk berhias/memperindah diri, seperti pakaian. (Mukhtarush Shihah, hlm. 139)

[7] Pundak laki-laki bukanlah aurat di luar shalat. Sebab, batas aurat laki-laki dengan sesama lelaki adalah antara pusar dan lutut. Namun, di dalam shalat ada perintah untuk menutup pundak.

[8] Misalnya, wajah dan kedua telapak tangan wanita boleh ditampakkan ketika shalat, selama tidak ada lelaki ajnabi (nonmahram). Namun, di luar shalat ia harus menutupnya dari pandangan laki-laki yang bukan mahramnya.

[9] Maksudnya, shalat dalam keadaan kedua pundak terbuka, tidak ada pakaian yang menutupi.

[10] Daerah aurat antara pusar dan lutut harus tertutup.

[11] Dalam keadaan beliau shallallahu alaihi wa sallam berdoa dan menunggu-nunggu turunnya wahyu dari langit yang memerintah beliau untuk menghadap ke Baitullah ketika shalat.

(Ustadz Abu Ishaq Muslim)

Sumber Tulisan:
Syarat Sahnya Shalat