(ditulis oleh: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin)
Jangan terkejut dan heran apabila pada masa sekarang dijumpai anak berusia sepuluh tahun—atau bahkan lebih rendah—mampu bertutur secara lancar dan tanpa malu masalah hubungan suami istri. Jangan kaget dan heran pula jika dijumpai anak-anak usia sekolah dasar mengetahui beberapa kosakata terkait masalah seksual. Masalah yang masih relatif dianggap sebagai barang sensitif dan tabu. Pertanyaannya, mengapa anak-anak yang masih relatif ingusan itu bisa mengetahui hal-hal yang dianggap sensitif dan tabu tersebut?
Dari survei yang ada, ternyata mereka mengenal masalah seputar seks dari media, seperti situs internet, majalah, novel, cakrampadat (CD), dan telepon seluler (HP). Bahkan, telepon seluler menempati urutan pertama sebagai media yang bisa diakses untuk mendapat informasi masalah seks. (Pornografi Dilarang Tapi Dicari, Azimah Soebagijo, hlm. 84)
Kini, melalui kemajuan teknologi yang ada, siapa pun bisa dengan mudah teracuni barang haram. Berdasar laporan American Demographics Magazine, yang mengutip data sextracker.com, disebutkan bahwa jumlah situs porno meningkat pesat dari 22.100 pada 1997 menjadi 280.300 pada 2000. Dalam kurun waktu tiga tahun telah terjadi lonjakan 10 kali lipat. (Pornografi Dilarang Tapi Dicari hlm. 9)
Ini baru dari media internet. Media lainnya, seperti VCD porno, koran, majalah, buku/novel, telepon seluler, dan film tentu akan menjadikan para orang tua, pendidik, dan ustadz lebih miris lagi. Keadaan masyarakat tidak lagi dikepung oleh pornografi, bahkan telah disuguhi langsung masalah itu di hadapannya. Tinggal mengunduh. Jadi, sangat masuk akal sekali apabila anak-anak usia sekolah dasar banyak pengetahuannya tentang pornografi. Bagaimana dengan kalangan remaja?
Kalangan remaja pun tak jauh berbeda. Meningkatnya kenakalan remaja merupakan salah satu dampak media informasi. Misalnya, program televisi yang tidak mendidik. Televisi telah menjadi sarana tersampaikannya pesan-pesan pergaulan bebas. Itu bisa dilihat dari tayangan yang mengandung unsur pornografi, kekerasan, dan budaya hedonisme. Industri sinetron dan film lebih senang menyusupkan unsur-unsur pornografi, kekerasan, dan budaya hedonisme ke dalam alur ceritanya. Dengan demikian, secara sadar atau tidak, masyarakat dididik untuk menirunya. Dengan tayangan semacam itu, jangan terkejut jika perilaku sebagian remaja perkotaan—bahkan perdesaan—berubah menjadi liar dan beringas. Tayangan pergaulan bebas sudah menjadi menu utama, seperti tayangan mengonsumsi obat-obat terlarang, berpakaian minim, setengah telanjang, seksi, goyang sensual/erotis para pedangdut, kisah percintaan hingga seks bebas, atau dalam bentuk ucapan-ucapan yang bermuatan porno, memaki, menghina, kasar, dan bentuk-bentuk ucapan sarkasme lainnya. Akibat dari suguhan tontonan yang demikian, bentuk penyimpangan perilaku pada remaja pun terjadi. Mereka diberi contoh, mereka meniru. (Anakku Diasuh Naruto, Imam Musbikin, hlm. 42—43)
Dari pesan-pesan pergaulan bebas yang ditayangkan di berbagai media, terjadilah berbagai kasus. Di Gemolong, Sragen—sebuah kecamatan di pinggiran utara Solo—sampai pertengahan tahun 2011 ini telah terjadi dua puluh kasus pernikahan karena ‘kecelakaan’. Yang menjadi salah satu sebab adalah lingkungan yang permisif. Nilai-nilai dalam masyarakat, terutama nilai ajaran Islam, semakin longgar. Jumlah tersebut berdasarkan surat keterangan dari Puskesmas setempat yang terlampir dalam persyaratan permohonan nikah di Kantor Urusan Agama (KUA). (Espos, 20 Juli 2011)
Di Klaten pun terjadi kasus yang sama. Berdasar laporan Kantor Kementerian Agama Kabupaten Klaten, rata-rata setiap bulan terjadi 2—3 kasus hamil sebelum menikah. (Espos, 20 Maret 2011)
Data Lembaga Pemasyarakatan Anak Tangerang pada 2006 menunjukkan bahwa tindak pidana dengan pelaku anak-anak, yang tertinggi adalah kasus narkoba. Kasus kejahatan seksual merupakan urutan kedua tertinggi. Sementara itu, Yayasan Kita dan Buah Hati juga menemukan data yang mencengangkan, yaitu dari 1.705 murid Sekolah Dasar (SD) yang menjadi responden penelitian, ternyata 25% dari mereka terbiasa mengakses pornografi. (Pornografi Dilarang Tapi Dicari, hlm. 134)
Pergaulan bebas memicu lonjakan kasus HIV/AIDS. Dilaporkan untuk tahun 2011 ini sampai bulan April, di Solo telah ada korban terinfeksi HIV/AIDS. Kalangan ibu rumah tangga yang terkena tercatat 141 orang. Mereka terkena melalui kontak dengan suami yang suka “jajan”. Adapun pria tercatat 242 orang. Kemudian yang terkena melalui narkoba suntik sebanyak 78 orang. Kalangan wanita tuna susila 58 orang. Sekali lagi, ini adalah akibat pergaulan bebas. Ini baru yang terdata, belum yang dilakukan secara liar sehingga tak bisa didata. (Espos, 7 Juni 2011)
Perubahan global yang berlangsung dewasa ini telah membuka sekat-sekat antarruang. Perubahan tersebut melahirkan implikasi yang serius terhadap tatanan nilai yang telah dianut oleh suatu masyarakat. Perubahan itu tentu saja akan membentuk satu pola perilaku tertentu yang sama sekali baru yang sebelumnya tak ada. Peralihan pola perilaku itulah yang sedikit banyak akan memunculkan ketegangan-ketegangan dalam kehidupan masyarakat.
Tindakan aborsi adalah salah satu hasil dari tatanan nilai peralihan, meskipun aborsi itu sendiri bukan merupakan satu pola perilaku yang baru atau sebelumnya tidak pernah ada. Tindak aborsi merupakan salah satu dari sekian banyak fenomena yang menunjukkan bukti telah terjadinya konflik-konflik kepentingan internal individu, meski sebenarnya tindak aborsi ini merupakan rentetan panjang dari sebuah proses keterpurukan moral masyarakat. Apabila pola perilaku ini semakin menggelombang, tidak menutup kemungkinan akan terbentuk satu peradaban yang meluluhlantakkan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Dari berbagai hasil temuan disebutkan bahwa di Jakarta, tidak kurang dari 5.000 orang per tahun melakukan aborsi. Rinciannya, 48% berusia 20 tahun ke atas, 46,5% berusia 16—19 tahun, dan 5,5% berusia 12—15 tahun. Ini data pada 1992.
Di Yogyakarta, selama Januari sampai Oktober 1993 diperoleh angka yang menyebutkan bahwa 328 pelajar dan mahasiswa melakukan aborsi. Jumlah tersebut menunjukkan peningkatan 300% lebih dari jumlah tindak aborsi sebelumnya. Pada tahun 1992, jumlah pelajar dan mahasiswa yang melakukan aborsi tercatat 97 orang, dengan rincian Januari hingga Juli sebanyak 35 orang dan Juli hingga Desember sebanyak 62 orang. Data tersebut belum termasuk aborsi yang dilakukan sendiri menggunakan obat atau jamu tradisional, atau melalui bantuan dukun. Seluruh alasan pelaku tindak aborsi adalah karena kehamilan yang tidak dikehendaki (zina). (Republika, 30 Agustus 1994)
Di Medan, pada tahun 1990 tercatat 80 remaja usia 14—24 tahun hamil sebelum menikah. Prediksi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jumlah aborsi di Indonesia mencapai 1,5 juta janin per tahun, sedangkan keguguran alamiah mencapai 750 ribu atau 15% dari lima juta kehamilan setiap tahunnya. (Republika, 13 Juni 1998)
Angka kematian ibu di Indonesia menduduki posisi teratas di kawasan Asia Tenggara. Pada 2005, angka kematian tercatat 365 dari 100.000 orang. Yang memprihatinkan, penyebab kematian itu adalah komplikasi kehamilan dan melahirkan, infeksi, dan pendarahan akibat aborsi. Angka total dari upaya aborsi yang dilakukan pada tahun 2005 mencapai 51% dari jumlah kematian ibu. Sebesar 12% di antaranya dilakukan oleh remaja yang berusia di bawah 21 tahun. (Pornografi Dilarang Tapi Dicari, hlm. 73)
Mencermati angka-angka di atas, tampak adanya penonjolan secara kuantitas di kalangan remaja dalam melakukan tindakan aborsi. Fenomena-fenomena yang ada tersebut terjadi saat keberadaan media internet, VCD, HP belum sedahsyat sekarang ini. Apatah jadinya apabila data terkait masalah itu diambil pada tahun terakhir ini, ketika sarana untuk menumbuhsuburkan pergaulan bebas merebak tak terkendali. Sungguh, ini merupakan fenomena sosial yang menjadikan para pecinta kebaikan mengelus dada.
Pergaulan bebas akan mendorong sikap desakralisasi seks, yaitu suatu konsep yang merujuk pada penolakan atas prinsip bahwa seks adalah sesuatu yang suci dan hanya boleh dilakukan dalam ikatan pernikahan. Ini berarti bahwa seks dapat dilakukan secara bebas, baik sesama jenis maupun lain jenis, di luar pernikahan. Apabila desakralisasi seks ini telah menjadi budaya, akan berdampak banyak secara sosial. Salah satu yang utama adalah hancurnya lembaga pernikahan. Lembaga pernikahan menjadi tidak penting. Tidak ada keharusan pada seseorang untuk hanya setia kepada pasangan tetap dalam lembaga (ikatan) pernikahan. Akibatnya, orang bisa bersama dengan orang lain dalam waktu tertentu tanpa perlu menikah (kumpul kebo, -pen.). Tanpa ikatan pernikahan, maka tanggung jawab terhadap pasangan juga melemah. Begitu salah satu pasangan terpesona dengan orang lain, dengan mudah ia akan meninggalkan pasangannya sebelumnya tanpa harus “terbelenggu” oleh ikatan apa pun.
Hal serupa juga dapat menimpa mereka yang sudah “kepalang” menikah. Desakralisasi seks membuat hubungan di luar nikah menjadi seolah-olah “tidak haram”. Suami atau istri tidak akan merasa berdosa berhubungan seks dengan orang lain. Kondisi inilah yang rentan mendatangkan masalah. Karena, betapa pun rasionalnya masyarakat, perilaku berpindah-pindah pasangan semacam itu lazim dianggap sebagai “pengkhianatan”. Biasanya, solusi utama dari kondisi pernikahan saat salah satu pasangan merasa dikhianati adalah perceraian.
Hancurnya lembaga pernikahan pada gilirannya akan memunculkan anak-anak yang tumbuh tidak dalam keluarga yang “lengkap”, yang biasanya dikenal dengan single parenthood. Keluarga tidak lengkap ini umumnya tanpa ayah. Apabila ini terjadi, yang akan terbebani umumnya adalah ibu. Dalam kondisi ini, sang ibu akan terpaksa bekerja untuk menafkahi dirinya dan anaknya. Sementara itu, anak hidup dan tumbuh tanpa figur ayah dan ibu yang sudah sedemikian sibuk mencari nafkah. Akibatnya, praktis sang anak dibesarkan oleh lingkungan yang tidak kondusif, bahkan tak menutup kemungkinan anak dibesarkan di jalanan, tanpa bekal pendidikan yang cukup, perhatian, dan kasih sayang dari kedua orang tuanya.
Dampak lain dari desakralisasi seks adalah meningkatnya penyakit menular seksual, HIV/AIDS. Tanpa kesetiaan kepada pasangannya dalam sebuah lembaga pernikahan, orang akan dengan mudah berganti-ganti pasangan dalam berhubungan seks. Jadi, desakralisasi seks sangat potensial mendorong peningkatan penyebaran HIV/AIDS. Selain itu, desakralisasi seks menyuburkan pula tumbuhnya kehamilan remaja (di luar nikah), pemerkosaan, dan pelacuran. Dalam hal pelacuran, desakralisasi seks menurunkan sensitivitas masyarakat terhadap bentuk perzinaan satu ini. Karena seks bukanlah sesuatu yang suci, tindakan untuk melarang pelacuran bukanlah sesuatu yang sangat dikutuk. Masyarakat akan berlogika, “Biarkan saja, toh mereka melakukan atas dasar suka sama suka. Lagi pula, mereka melakukannya tanpa mengganggu masyarakat lainnya.” Tentu, ini sebuah logika yang sangat naif, terlalu dangkal, sangat picik, sempit, dan tidak berwawasan jauh ke depan. Logika tidak bermoral, tumpul dalam memandang nilai kebaikan dan kebenaran. (Pornografi Dilarang Tapi Dicari, hlm. 69—72)
Allah l berfirman,
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (al-Mu’minun: 5—7)
Terkait masalah di atas, Ibnu Katsir t menyebutkan dalam tafsirnya bahwa mereka adalah orang yang menjaga kemaluannya dari yang haram. Mereka tidak meletakkannya pada sesuatu yang dilarang oleh Allah l, seperti difungsikan untuk berzina, atau melakukan hubungan sesama jenis (homoseks). Tidaklah mereka mendekati selain para istri mereka atau budak yang mereka miliki. (Tafsir Ibnu Katsir, 5/475)
Rasulullah n memberikan pendidikan kepada para sahabat dalam perkara tersebut. Dalam hadits Abu Dzar z, disebutkan bahwa beberapa orang dari kalangan sahabat Rasulullah n mengadu kepada beliau n,
يَا رَسُولَ اللهِ، ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ، يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي، وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ، وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ. قَالَ: أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا تَصَدَّقُونَ، إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً، وَأَمْرٍ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةً، وَنَهْيٍ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةً، وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةً. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ؟ قَالَ: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْه وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ
“Wahai Rasulullah, orang-orang kaya itu telah pergi membawa pahala mereka. Mereka tunaikan shalat sebagaimana kami shalat. Mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa. Mereka bisa bersedekah dengan kelebihan hartanya yang mereka miliki.” Rasulullah n menanggapi pernyataan mereka, “Bukankah Allah l telah menjadikan bagimu sesuatu yang bisa kalian sedekahkan? Sungguh, tiap kali bertasbih itu adalah sedekah. Setiap kali bertakbir itu adalah sedekah. Setiap kali bertahmid itu adalah sedekah. Setiap kali bertahlil itu adalah sedekah. Memerintahkan kepada hal yang ma’ruf adalah sedekah. Mencegah dari kemungkaran pun sedekah. Kemaluanmu juga merupakan sedekah.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah jika kami menyalurkan hasrat syahwatnya menjadikan dapat pahala dalam hal itu?” Jawab Beliau n, “Apa pendapatmu jika seseorang menyalurkan syahwatnya di tempat yang haram menjadikannya menuai dosa? Demikian pula apabila seseorang menyalurkan syahwatnya pada tempat yang halal, niscaya dia akan meraup pahala.” (HR. Muslim no. 1006)
Hadits di atas mengungkap keluhan orang-orang fakir dari kalangan sahabat kepada Nabi n. Keluhan lantaran didorong semangat untuk berbuat kebaikan, berlomba dalam amal kebaikan dengan kalangan orang berpunya dari para sahabat. Dalam hadits ini, Rasulullah n menjelaskan kepada para sahabat perihal penyaluran syahwat yang benar yang kelak akan mendatangkan pahala. Melalui metode tanya jawab yang cerdas, Rasulullah n memberikan analogi (qiyas), perbandingan: jika mengumbar syahwat secara bebas pada sesuatu yang haram adalah dosa, menyalurkan hasrat seksual pada yang halal tentu akan mendulang pahala.
Masalah hubungan suami istri adalah masalah yang sangat privasi. Islam menempatkan hal demikian dan melarang secara keras untuk membuka ke ruang publik. Apalagi sampai direkam lantas beredar di tengah masyarakat. Nas’alullaha as-salamah wal ‘afiyah (kita memohon keselamatan kepada Allah).
Abu Sa’id al-Khudri z pernah berkata bahwa Rasulullah n bersabda,
إِنَّ شَرَّ النَّاسِ مَنْزِلَةً عِنْدَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلُ يُفْضِي إِلَى امْرَأَتِهِ وَتُفْضِي إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا
“Sungguh, manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah l pada hari kiamat adalah seseorang yang bercampur dengan istrinya dan istrinya bercampur dengannya, kemudian dia menyebarkan rahasianya.” (HR. Muslim no. 1437)
Menurut al-Imam an-Nawawi t, hadits ini mengandung pengharaman menyebarkan apa yang telah terjadi antara sepasang suami istri terkait dengan urusan istimta’ (hubungan suami istri), baik sekadar mengungkapkan dalam hal sifat maupun rinciannya. Tidak boleh menyebarluaskan apa yang terjadi pada istri, baik dalam bentuk perkataan, perbuatan, atau bentuk lainnya. (al-Minhaj, Syarh Shahih Muslim, 10/250)
Jadi, hanya orang yang sudah tidak memiliki rasa malu yang akan melakukan perbuatan tidak senonoh itu. Di manakah martabatnya sebagai manusia?
Telah menjadi fitrah bagi setiap manusia untuk tertarik kepada lawan jenisnya. Namun, apabila ketertarikan terhadap lawan jenis tersebut dibiarkan bebas lepas tiada kendali, justru hanya akan merusak kehidupan manusia. Pandangan mata yang dibiarkan liar, bebas menatap lawan jenis yang tidak halal baginya, tentu banyak menimbulkan dampak negatif. Sama halnya pandangan mata yang dibiarkan menerawang, menatap sesuatu yang mengandung unsur pornografi. Ini tak ubah seperti menyiramkan bahan bakar ke dalam bara api, membakar. Menyalakan gejolak syahwat. Maka dari itu, manakala dorongan-dorongan syahwat menuntut untuk dipenuhi, bagi sebagian orang yang lupa diri kadang mengambil jalan pintas. Ada yang terjatuh melakukan masturbasi (onani) atau mendatangi sesuatu yang tak halal baginya. Nas’alullaha as-salamah wal ‘afiyah.
Zaman telah berubah drastis. Nilai, norma, dan cara pandang dalam masyarakat sudah menjadi longgar. Kemaksiatan pun kukuh mencengkeram kehidupan masyarakat. Serasa kehidupan ini diselimuti kegelapan nan sekelam malam. Beruntunglah manusia yang dijaga oleh Allah l, dilindungi dari arus budaya syahwat, dan diselamatkan dari pusaran maksiat yang menghinakan. Sungguh beruntung saat dirinya mampu tegak berjalan mengamalkan firman-Nya,
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (al-Mu’minun: 5—7)
Agar tidak terjebak arus budaya syahwat yang menyimpang, Islam telah memberikan arahan yang sangat transparan dan praktis. Di antara yang dituntunkan adalah:
1. Islam mendidik umatnya untuk senantiasa pandai menjaga pandangannya.
Allah l berfirman,
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya. Hal itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya melainkan yang (biasa) tampak darinya.” (an-Nur: 30—31)
Dari Jarir z,
سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ n عَنْ نَظَرِ الْفَجْأَةِ فَقَالَ: اصْرِفْ بَصَرَكَ
“Aku bertanya kepada Rasulullah n mengenai pandangan pertama yang tiba-tiba. Beliau n menjawab, ‘Palingkan pandanganmu’.” (HR. Muslim, no. 45)
2. Islam mendidik manusia untuk tidak melakukan ikhtilath (bercampur dengan lawan jenis yang bukan mahram) dan berkhalwat (berdua-duaan dengan lawan jenis yang bukan mahram).
Allah l berfirman,
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), mintalah dari belakang tabir.” (al-Ahzab: 53)
Dari ‘Uqbah bin Amir z, sesungguhnya Rasulullah n bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ: أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Hendaknya kalian berhati-hati masuk ke kalangan wanita.” Seorang lelaki Anshar bertanya, “Apa pendapatmu mengenai saudara ipar?” Beliau n menjawab, “Saudara ipar adalah maut (kematian).” (HR. al-Bukhari no. 5232 dan Muslim no. 20)
3. Islam mendidik (khususnya kaum wanita) untuk berpakaian menutup seluruh tubuhnya.
Allah l berfirman,
Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Hal itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (al-Ahzab: 59)
4. Islam mengatur etika berhias
Berhias berarti usaha untuk memperindah dan mempercantik diri agar bisa berpenampilan menawan. Karena sesungguhnya telah menjadi tabiat manusia untuk berpenampilan indah, menawan, dan nikmat dipandang orang. Allah l berfirman,
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (al-A’raf: 31)
Islam menganjurkan agar pemeluknya senantiasa tampil rapi, bersih, cantik, menawan, dan penuh pesona. Namun, perlu dipahami pula bahwa Islam telah mengatur kapan saatnya berhias, mengapa seseorang harus berhias, apa saja yang diperbolehkan dan dilarang dalam berhias, dan bagaimana cara berhias bagi laki-laki dan wanita, serta apa saja etika berhias yang harus diterapkan. Berbeda halnya dengan sebagian orang pada masa ini yang berdalih bahwa Islam tidak melarang berhias, lantas mereka berhias, memamerkan tubuhnya kepada yang bukan haknya. Mereka (kaum wanita) ber-tabarruj, memajang sederet perhiasan pada tubuhnya dan memperlihatkan kecantikan wajahnya. Ia berjalan dengan memikat sehingga semua yang ada dalam dirinya memesona dan mampu menggoda laki-laki. Padahal tujuan berhias dalam Islam tidaklah demikian. Allah l berfirman,
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu.” (al-Ahzab: 33)
Ketentuan-ketentuan seperti ini ditanamkan pada masyarakat adalah untuk kebaikan masyarakat itu sendiri. Termasuk apabila setiap individu menunaikannya dalam rangka ketaatan kepada Allah l dan Rasul-Nya, tentu akan memberikan banyak kebaikan bagi individu itu sendiri. Jangan sampai sikap dan perilaku keji itu tersebar di masyarakat.
Allah l berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (an-Nur: 19)
Menurut asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin t, salah satu makna “suka menyebarkan perbuatan keji (al-fahisyah) di kalangan orang-orang beriman” adalah menyukai tersebarnya al-fahisyah di tengah-tengah masyarakat muslim, termasuk dalam hal ini menyebarkan film-film porno serta media cetak (majalah, tabloid, selebaran, pamflet, dan yang sejenis, red.) yang jelek, jahat, dan porno. Sungguh, media-media semacam ini tanpa diragukan lagi termasuk yang menghendaki tersebarnya al-fahisyah di komunitas muslim. Orang-orang yang terlibat di dalamnya menginginkan timbul gejolak fitnah (kerusakan dan malapetaka) pada agama seorang muslim. Tentu, melalui apa yang mereka sebarkan di majalah, surat kabar porno yang merusak dan media-media lainnya (seperti internet, TV, dan HP). Barang siapa menyukai tersebarnya al-fahisyah (keji) pada orang tertentu (bersifat individu), bukan dalam lingkup masyarakat Islam secara menyeluruh, balasannya adalah azab yang pedih di dunia dan akhirat. (Syarhu Riyadhi as-Shalihin, 1/598)
Kini perbuatan al-fahisyah (keji) melalui media massa sudah amat dahsyat. Selera buka-bukaan untuk mempertontonkan aurat wanita menjadi bumbu wajib. Jika tidak menampilkan gemulai tubuh wanita, seakan-akan tidak ada daya tarik. Sedemikian rendah dan hinakah wanita dieksploitasi? Yang jelas, tampilan sebuah media merupakan cermin orang-orang yang berada di belakang media itu sendiri.
Wallahu a’lam.