Asysyariah
Asysyariah

surat pembaca edisi 42

13 tahun yang lalu
baca 2 menit

Menukil Ihya ‘Ulumuddin

Pada edisi 21 dibahas tentang kesesatan Ihya` ‘Ulumuddin. Tetapi pada edisi 39 dinukil panjang lebar dari kitab tersebut pada rubrik Tafsir. Penukilan Asy-Syariah dari sebuah kitab sering kali menjadi referensi juga rekomendasi bagi pembaca untuk membaca kitab tersebut lebih jauh. Bagi kami pembaca yang awam, hal ini sangat membingungkan.

Ikhwan – Solo

08121885xxx

 

Redaksi cukup banyak menerima surat senada. Berikut kami tuliskan di sini tanggapan langsung dari penulis rubrik, Al-Ustadz Askari:

Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita perlu mengetahui bahwa dalam menyikapi seseorang, kita harus menyikapinya secara adil sesuai dengan kedudukan mereka, sebagaimana yang difirmankan Allah l:

“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (Al-Ma`idah: 8)

Maka berkenaan dengan pertanyaan ini, kami jawab dari beberapa sisi:

Pertama: Saya tidak menukil perkataan beliau tersebut langsung dari kitab Ihya` Ulumuddin namun dari majalah Buhuts Al-Islamiyyah. Kita ketahui bersama bahwa majalah tersebut adalah terbitan para ulama besar Arab Saudi, yang ketika itu masih diketuai oleh Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz t, sebagaimana yang tertera pada tulisan tersebut.

Kedua: Abu Hamid Al-Ghazali yang bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thusi adalah seorang mujtahid dan bukan seorang pengikut hawa nafsu, apalagi untuk dikatakan sebagai ahli bid’ah. Sehingga para ulama Ahlus Sunnah masih menukil pendapat-pendapat beliau yang beliau benar dalam hal tersebut. Lihatlah pujian Al-Imam Adz-Dzahabi  t terhadap beliau: “Syaikh, Imam, lautan ilmu, hujjatul Islam, keajaiban zaman, zainuddin (hiasan agama),…. pemilik beberapa karangan, dan kepandaian yang luar biasa.” (Siyar A’lam An-Nubala`, 19/322-323)

Dari sini menunjukkan bahwa beliau tergolong ulama kaum muslimin, seorang mujtahid. Bukan syarat seorang alim adalah yang tidak pernah bersalah. Memang beliau sempat menggeluti ilmu filsafat dan tasawwuf dalam usahanya mencari kebenaran. Namun setelah itu beliau bertaubat dan kembali kepada mazhab salaf. Beliau berkata dalam kitabnya Iljam Al-‘Awam ‘An ‘Ilmil Kalam: “Ketahuilah, kebenaran yang jelas yang tidak terbantahkan menurut orang-orang yang berilmu adalah mazhab salaf, yaitu para sahabat dan tabi’in.” Kemudian beliau berkata: “Sesungguhnya petunjuk yang jelas bahwa kebenaran hanyalah terdapat pada mazhab salaf.” (Lihat Adhwa`ul Bayan karya Asy-Syinqithi, 7/295)

Adapun sebelum taubatnya, beliau banyak terjatuh dalam penyimpangan, termasuk apa yang beliau tulis dalam bukunya, Ihya` Ulumiddin, sehingga banyak ulama yang mengkritiknya. Bahkan ada yang memerintahkan untuk membakarnya. (ed)

Wallahul musta’an.

Sumber Tulisan:
Surat Pembaca edisi 42