Asysyariah
Asysyariah

suapan pertama untuk anakku

13 tahun yang lalu
baca 5 menit

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran)

Ada banyak cara yang berkembang di masyarakat untuk menyambut datangnya bayi. Islam mengajarkan agar bayi yang baru lahir ditahnik, yaitu memberi kurma (atau makanan manis) yang sudah dilumatkan lebih dulu.

Lahirnya seorang bayi merupakan awal dari kehidupannya di dunia. Dia mulai merasakan aktivitas hidup di dunia ini. Tentunya tak patut ayah dan ibu yang menginginkan buah hatinya menjadi anak yang shalih membiarkan hari-hari pertamanya berjalan tanpa dihiasi tuntunan syariat yang mulia ini, bahkan dikotori oleh hal-hal yang tidak diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya r.
Banyak hal yang dipandang oleh masyarakat sebagai adat untuk menyambut kelahiran seorang bayi. Ada yang memasang lentera di kuburan ari-ari (plasenta) bayi, ada yang memasang gunting atau senjata tajam lain di dekat kepala bayi, ada yang meletakkan rangkaian bawang dan cabai merah di atas kepala bayi, ada pula yang memasang gelang dari benang untuk penangkal bala bagi si bayi. Bahkan sebagian orang meyakini, kalau hal itu tidak dilakukan, maka keselamatan si jabang bayi pun terancam. Kalau sudah begini, dikhawatirkan kesyirikan akan masuk tanpa terhindarkan.
Sebenarnya apa yang harus dilakukan pada hari-hari pertama setelah kelahiran telah diajarkan oleh Allah I. Melalui perbuatan Rasulullah r kita bisa melihat dengan jelas penetapan syariat dalam hal ini. Kita simak, apa yang dilakukan oleh Rasulullah r terhadap seorang bayi yang baru saja lahir, sebagaimana penuturan istri beliau, ‘Aisyah bintu Abi Bakr Ummul Mukminin:
“Apabila didatangkan bayi yang baru lahir ke hadapan Rasulullah r, maka beliau mendoakan barakah kepadanya dan mentahniknya.” (Shahih, HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5468 dan Al-Imam Muslim no. 2147)
Tahnik adalah mengunyah kurma sampai lumat hingga bisa ditelan, kemudian menyuap­kannya ke mulut bayi. Apabila tidak didapatkan kurma, maka diganti dengan makanan manis lain yang bisa digunakan untuk mentahnik. Para ulama bersepakat bahwa istihbab (disenangi) melakukan tahnik pada hari kelahiran seorang anak. Demikian dijelaskan oleh Al-Imam An-Nawawi t ketika menerangkan tentang tahnik ini.
Gambaran perbuatan Rasulullah r ini bisa kita lihat dalam hadits Anas bin Malik z:
“Aku membawa Abdullah bin Abi Thalhah Al-Anshari kepada Rasulullah r pada hari kelahirannya, dan waktu itu beliau mengenakan mantelnya sedang mengecat untanya dengan ter. Lalu beliau bertanya, “Apakah engkau membawa kurma?” Aku menjawab, “Ya.” Kemudian kuberikan pada beliau beberapa buah kurma, lalu beliau masukkan ke mulut dan mengunyahnya. Kemudian beliau membuka mulut bayi dan meludahkan kurma itu ke mulut bayi itu. Mulailah bayi itu menggerak-gerakkan lidahnya untuk merasakan kurma tersebut. Maka Rasulullah r bersabda, “Kesukaan Anshar adalah kurma.” dan beliau memberinya nama Abdullah. (Shahih, HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5470 dan Al-Imam Muslim no. 2144)
Hadits Anas bin Malik z di atas juga memberikan penjelasan kepada kita bahwa tahnik dilakukan dengan menggunakan kurma, dan ini yang disenangi. Apabila dilakukan dengan selain kurma, maka tahnik itu pun telah terlaksana, namun kurma lebih utama. Dari sini pula kita memetik faidah bahwa tahnik dilakukan oleh orang yang shalih, baik laki-laki ataupun perempuan. (Syarh Shahih Muslim)
Begitu pula bisa kita simak kisah-kisah tentang pelaksanaan tahnik yang datang dari shahabat-shahabat yang lainnya. Abu Musa al-Asy’ari z menceritakan:
“Telah lahir anak laki-lakiku, lalu aku membawanya kepada Nabi r, kemudian beliau memberinya nama Ibrahim dan mentahniknya dengan kurma.” (Shahih, HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5467 dan Al-Imam Muslim no. 2145)
Asma‘ bintu Abi Bakr c mengisahkan ketika dia mengandung anaknya, Abdullah ibnu Az-Zubair di Makkah:
“Dia mengatakan: Aku keluar (untuk hijrah), sementara telah dekat waktuku melahirkan. Maka aku pergi ke Madinah dan aku singgah di Quba`, serta melahirkan di sana. Kemudian aku mendatangi Rasulullah r, lalu beliau meletakkan anakku di pangkuannya. Kemudian beliau meminta kurma dan mengunyahnya lalu meludahkannya ke dalam mulut anakku. Maka yang pertama kali masuk ke perutnya adalah ludah Rasulullah r. Beliau mentahniknya dengan kurma, kemudian mendoakannya dan memintakan barakah baginya. Dan dia adalah bayi pertama yang dilahirkan dalam Islam (dari kalangan Muhajirin).” (Shahih, HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5469 dan Al-Imam Muslim no. 2146)
Kisah Asma‘ x ini memberikan faidah kepada kita tentang disenanginya mendoakan bayi yang dilahirkan itu ketika tahnik. (Syarh Shahih Muslim)
Tak luput dari perhatian kita, semua yang kita simak dari Anas bin Malik, Abu Musa Al-Asy’ari serta Asma‘ bintu Abi Bakr g di atas menunjukkan bolehnya memberi nama anak pada hari kelahirannya.
Ini pun diperkuat oleh penuturan shahabat yang mulia, Sahl bin Sa’d z:
“Didatangkan Al-Mundzir putra Abu Usaid ke hadapan Rasulullah r ketika dia dilahirkan. Maka Nabi r meletakkannya di atas pangkuannya, sedangkan Abu Usaid duduk. Pada waktu itu Rasulullah sedang sibuk sehingga Abu Usaid memerintahkan agar anaknya dibawa kembali, maka anak itu diangkat dari pangkuan Rasulullah r dan mereka pun mengembalikannya pada Abu Usaid. Ketika Rasulullah r selesai dari kesibukannya, beliau bertanya, “Di mana bayi tadi?” Abu Usaid pun menjawab, “Kami membawanya kembali, ya Rasulullah!” Lalu beliau bertanya, “Siapa namanya?” Jawab Abu Usaid, “Fulan, ya Rasulullah!” Beliau pun bersabda, “Tidak, akan tetapi namanya Al-Mundzir.” Kemudian pada hari itu beliau memberinya nama Al-Mundzir. (Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim no. 2149)
Inilah tuntunan syariat bagi setiap orang tua yang mengharap kebaikan bagi anaknya. Tak layak semua ini dilewatkan begitu saja, karena sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah r… Wallahu ta’ala a’lam.