Amarah bis suu’ adalah salah satu predikat yang nyata tersematkan pada jiwa manusia. Ammarah bis suu’ dimaknakan dengan sifat yang selalu mengajak, mendorong, dan menggoda untuk bertindak jelek, melakukan dosa, dan “menikmati” hawa nafsu. Seperti itulah watak asli seorang manusia! Seperti itulah Allah subhanahu wa ta’ala memberitakan tentang jiwa kita! Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang ucapan Nabi Yusuf ‘alaihissalam,
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya jiwa itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali jiwa yang diberi rahmat oleh Rabbku. Sesungguhnya Rabbku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Yusuf: 53)
Dalam konteks sederhana hidup Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar Ibnu Rifai berumah tangga, ditemukan banyak kesalahan dan keburukan dalam perangai seorang suami. Menurut syariat, hal-hal tersebut dilarang karena akan merusak keharmonisan rumah tangga yang berujung pada ketidaknyamanan dalam realisasi ibadah.
Nah, sebagai seorang suami yang ideal, ada baiknya Anda mengenali perilaku-perilaku “terlarang” berikut ini lalu menjauhinya agar Anda menjadi sosok yang dicintai, selalu dirindukan dan disayang oleh istri.
Barangkali saja, istri Anda terlihat kurang mengasihi dan mencintai Anda karena ada perilaku “terlarang” yang ada pada diri Anda. Na’udzu billah min dzalik (Kita berlindung kepada Allah dari hal tersebut).
Inilah dosa terbesar seorang suami kepada istrinya! Amanat pernikahan yang dititipkan di pundaknya diabaikan begitu saja. Seringkali seorang suami melupakan hak-hak istri karena ia hanya mengejar istrinya agar menunaikan kewajiban-kewajibannya. Tidak jarang konflik keluarga, bahkan perceraian, terjadi karena sang istri tidak tertunaikan hak-haknya dengan baik.
Padahal secara tegas Allah subhanahu wa ta’ala mengingatkan kaum suami tentang hal ini dalam firman-Nya,
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (al-Baqarah: 228)
Kenyataannya, tidak semua suami mengerti dan memahami tentang hak-hak istrinya. Jika Anda ditanya, “Apa saja hak-hak istri yang harus Anda berikan?” kira-kira apa jawaban Anda? Tidak usah malu, tidak perlu sungkan untuk bertanya. Pelajarilah hukum-hukum agama tentang hak-hak istri. Janganlah rasa malu dan gengsi membuat kita terjatuh dalam sebuah dosa; kurang memerhatikan hak-hak istri.
Lihat saja semangat para sahabat dalam bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam! Al-Imam Abu Dawud rahimahullah (no. 2141) meriwayatkan dari sahabat Mu’awiyah bin Haidah radhiallahu ‘anhu. Beliau radhiallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Apa saja hak-hak seorang istri yang mesti dipenuhi oleh suaminya?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
“Engkau beri makan istrimu jika engkau makan. Engkau beri pakaian istrimu jika engkau berpakaian. Jangan pukul wajahnya. Jangan menjelek-jelekkannya. Jangan engkau diamkan istrimu kecuali di dalam rumah.”
Apakah sebatas ini saja hak-hak istri? Tidak. Masih banyak lagi hak-hak istri yang disebutkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits-hadits yang lain. Apakah Anda telah memahami hak-hak istri secara lengkap dan utuh? Jika belum, mengapa tidak bersegera mempelajarinya? Bukankah rumah tangga yang harmonis adalah cita-cita kita semua? Jika memang demikian, tunaikanlah hak-hak istri Anda! Barakallahu fikum.
Pasti Anda pernah marah kepada istri, bukan? Sejatinya, marah kepada istri sah-sah saja asalkan memiliki alasan yang tepat, cara yang benar, dan waktu yang pas. Maksudnya, marah janganlah dijadikan sebagai karakter sehari-hari ketika bersama istri.
Anda belum bisa dikategorikan suami ideal jika sering marah tanpa sebab yang jelas, melontarkan kata-kata kasar ketika marah, atau marah di sembarang waktu. Ingat, seorang wanita cenderung menyimpan luka di hati dibanding harus membalas kemarahan suami. Sudah berapa banyak luka yang Anda goreskan di hati istri?
Di mata seorang istri, suami yang mampu mengendalikan amarah sangatlah spesial. Sikap lembut dan kasih jauh lebih menghunjam dan menyentuh hati istri dibandingkan dengan dimarahi dengan kata-kata kasar, walaupun istri memang merasa bersalah.
Cobalah Anda merenungkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini,
“Orang yang disebut kuat itu bukan karena mampu mengalahkan lawannya (dengan kekuatan fisik). Orang kuat itu sejatinya adalah yang mampu mengendalikan diri ketika marah.” (HR. al-Bukhari no. 6114 dan Muslim no. 2609 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Alangkah banyak problem rumah tangga yang berawal dari marah yang tak terkendali. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), anak-anak yang broken home, bahkan kasus perceraian, seringnya disebabkan marah yang tak terkendali. Betapa sering seorang suami mengancam istrinya untuk dicerai dengan kata dan nada yang kasar!
Memang, benar sekali kalimat bijak dari seorang sahabat Nabi, ”Aku renungkan hadits ini. Ternyata sikap marah itu menghimpun seluruh bentuk keburukan!”
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam saat itu sedang istirahat di rumah salah seorang istri beliau. Tiba-tiba seorang pelayan suruhan dari istri beliau yang lain datang sambil membawa talam berisi makanan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Langsung saja istri beliau yang berada di samping Nabi memukul tangan pelayan tersebut sehingga talam yang dibawanya jatuh dan pecah. Apakah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam marah?
Beliau ternyata malah mengumpulkan pecahan-pecahan talam tersebut. Beliau juga mengumpulkan makanan yang jatuh berserakan sambil bersabda,
“Ibunda kalian cemburu rupanya.” (HR. al-Bukhari no. 5225 dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu)
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menahan si pelayan tersebut kemudian memberikan talam yang masih utuh milik istri beliau yang sedang cemburu sebagai pengganti. Adapun talam yang pecah disimpan di rumah istri beliau yang memecahkannya.
Subhanallah! Demikianlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meneladankan untuk kita, wahai kaum suami. Masih berniat marah kepada istri?
Egois artinya selalu mementingkan diri sendiri. Egois adalah penyakit yang sering dialami oleh kaum suami di dalam lingkup sebuah rumah tangga. Barangkali faktor penyebab yang terbesar adalah kesan bahwa suami harus serbabisa, serba lebih baik, dan serba powerful. Padahal, rumah tangga semestinya dibangun di atas asas saling pengertian, saling memaklumi, saling mengisi, dan saling menyempurnakan.
Masih ingat dengan Perjanjian Hudaibiyah? Setelah gagal melaksanakan umrah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sekitar 1.400 orang sahabat membuat kesepakatan dengan kaum kafir Quraisy di daerah Hudaibiyah. Seusai perjanjian tersebut ditulis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat untuk menyembelih hewan hadyu dan mencukur rambut. Namun, saat itu tidak ada seorang pun sahabat yang bangkit melaksanakan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Meskipun perintah itu diulang sampai tiga kali, tetap saja para sahabat diam.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu masuk ke dalam tenda Ibunda Ummu Salamah radhiallahu ‘anha. Kepadanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan peristiwa yang baru saja terjadi. Apa saran dan gagasan Ibunda Ummu Salamah?
“Wahai Nabiyullah, apakah Anda menginginkan hal itu? Silahkan Anda keluar kembali. Jangan Anda berbicara sepatah kata pun kepada seorang pun. Anda lakukan itu sampai Anda menyembelih sendiri unta Anda dan Anda memanggil tukang cukur agar ia mencukur Anda.” (HR. al-Bukhari no. 2731)
Inilah sosok Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam! Seorang suami yang tidak sungkan untuk bermusyawarah, berbagi cerita dengan istrinya. Adakah suami yang lebih baik dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Lihatlah sosok suami seperti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mau bermusyawarah dengan istrinya.
Setelah itu apa yang terjadi? Melihat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih dan mencukur rambut, langsung saja para sahabat bergegas untuk menyembelih dan mencukur rambut mereka.
Wahai suami ideal, buanglah jauh-jauh sifat egois dari diri kita! Istri kita pun memiliki harapan yang sama dengan harapan kita. Kebaikan dan “kesempurnaan” apa pun yang kita impikan dari istri, ingat-ingatlah bahwa istri pun mendambakan yang sama.
Cukuplah sebagai pelajaran penting untuk kita, sentuhan penuh kasih dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma di dalam pernyataan beliau,
“Sungguh, aku semangat sekali berhias untuk istriku, sebagaimana halnya aku pun ingin istriku berdandan untukku. Sebab, Allah Yang Mahatinggi sebutan-Nya berfirman, ‘Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf’.” (al-Baqarah: 228) (Tafsir ath-Thabari)
Nasihat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma di atas bukan hanya dalam hal berpakaian! Nasihat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma di atas hanyalah salah satu bentuk realisasi ayat yang beliau baca. Maknanya, janganlah bersikap egois! Berikanlah hak-hak istri Anda sebagaimana Anda ingin hak-hak Anda dipenuhi oleh istri Anda.
Andai saja perangai “terlarang” ini mampu kita jauhkan sejauh-jauhnya dari rumah tangga, berharaplah dan tersenyumlah sebab sakinah, mawaddah, dan rahmah akan bertaburan di setiap sentimeter rumah Anda, insya Allah.
Semoga doa-doa penuh harap dari seluruh istri di atas muka bumi agar suaminya menjadi suami ideal, selaras, dan serasi dengan doa-doa para suami,
“Ya Allah, bantulah aku dan mudahkanlah aku untuk menjadi seorang suami yang saleh, ideal, dan istimewa untuk istriku.”
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (al-Baqarah: 186)
Peran Istri Mewujudkan Suami Ideal
Percaya atau tidak, kenyataannya memang demikian. Istri salihah adalah unsur penting dan salah satu komponen utama untuk menjadi suami ideal. Ibarat dua sisi mata uang, suami ideal dan istri salihah memang tidak dapat dipisahkan. Walhasil, hidup berumah tangga adalah wujud dari interaksi sederhana namun mengandung berjuta-juta warna.
Pernahkah mendengar tentang cemburu yang dirasakan oleh Ibunda ‘Aisyah radhiallahu ‘anha? Biarlah kita mendengar sendiri pengakuan jujur Ibunda ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, “Aku tidak pernah cemburu kepada istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana rasa cemburuku kepada Khadijah. Padahal aku belum pernah melihatnya sama sekali. Akan tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sering sekali mengenang Khadijah. Kadang-kadang beliau menyembelih seekor kambing lalu memotong-motongnya. Setelah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimnya untuk sahabat-sahabat dekat Khadijah. Terkadang aku mengatakan, ‘Seolah-olah di dunia ini tidak ada lagi wanita selain Khadijah!’.”
Bagaimanakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menanggapi Ibunda ‘Aisyah? Beliau justru mengenang Ibunda Khadijah dengan menyebutkan kebaikan-kebaikan Ibunda Khadijah. Bahkan, di dalam sebuah riwayat, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Ibunda ‘Aisyah,
“Sungguh, aku telah diberi rezeki berupa mencintai Khadijah!” ( HR. al-Bukhari no. 3818 dan Muslim no. 2435)
Sejarah telah mengabadikan peran, jasa, dan pengorbanan Ibunda Khadijah demi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tak terhitung lagi peristiwa-peristiwa penting yang telah dilewati oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara itu istri beliau—Ibunda Khadijah—berdiri di sisinya dengan tegar dan tabah. Masih ingatkah kita dengan hiburan indah dalam kata-kata penuh semangat yang diucapkan Ibunda Khadijah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Ya, saat itu beliau baru pulang ke rumah dari Gua Hira. Masih dalam suasana kekhawatiran di wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ibunda Khadijah dengan pandainya menenangkan hati sang suami, “Tidak, demi Allah. Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan mungkin menghinakan Anda selamanya. Anda selama ini selalu menyambung tali silaturahmi, membantu orang yang kesusahan, memberi orang yang tak punya, memuliakan tamu, dan Anda selalu menolong orang-orang yang sedang membutuhkan.”
Pantas saja jika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu terkenang dengan Ibunda Khadijah walaupun beliau telah meninggal dunia. Pantas saja apabila Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam masih terus menjalin hubungan baik dengan sahabat-sahabat dekat Ibunda Khadijah. Pantas saja demikian, sebab beliau telah menyatakan, “Sungguh, aku telah diberi rezeki berupa mencintai Khadijah!”
Jika seorang istri mendambakan suaminya menjadi ideal, bantulah dirinya untuk menemukan titik tepat guna memulai. Tebarkanlah kenyamanan dan doronglah dirinya dengan cara-cara hikmah penuh sensasi. Kirimkanlah pesan kepada suami Anda dengan tatapan mata, bukan hanya dengan kata-kata. Seolah-olah Anda tengah berpesan, ”Wahai suamiku, jadikanlah dirimu sungguh-sungguh ideal dan spesial untukku.”
Tentu berbeda rasanya bagi seorang suami ketika sang istri mengatakan, “Mengapa Abah selalu tampil tidak rapi?!” atau “Abah itu dari dulu tidak berubah-ubah, selalu asal-asalan kalau berpakaian!”
Sungguh, amat berbeda dengan pesan penuh cinta, “Sebaiknya Abah memakai pakaian yang telah saya setrika. Jadi, Abah selalu merasa saya ada di samping Abah.”
Jika Anda seorang laki-laki yang belum menikah, berusahalah untuk menemukan wanita salihah agar Anda pun terbantu untuk menjadi ideal baginya. Jika Anda telah menjadi seorang suami, tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri. Kesempatan menjadi suami ideal selalu terbuka. Apalagi istri Anda tidak pernah berhenti untuk berdoa dan berharap, “Ya Allah, bimbinglah suamiku untuk menjadi suami yang saleh.”
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar Ibnu Rifai