Dengan segala hikmah dan kasih sayang-Nya Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan kehidupan rumah tangga sebagai kehidupan yang penuh hikmah, menyimpan segudang asa, dan menyisipkan banyak rahasia. Ada suka, ada pula duka. Walau jeram-jeram kehidupan selalu ada di hadapan, namun bunga-bunga kasih sayang dan cintalah yang kerap menjadi auranya. Dari kehidupan rumah tangga ini, lahirlah cikal bakal orang-orang besar yang mengantarkan umat menuju kejayaannya.
Itulah salah satu tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala di alam semesta. Namun, hanya kaum yang berpikirlah yang dapat mencerna dan memahaminya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (ar-Rum: 21)
Berumah Tangga, Kebutuhan Manusia yang Sangat Vital
Hidup berumah tangga merupakan kebutuhan manusia yang sangat vital. Tak heran, bila setiap pemuda dan pemudi yang memasuki usia dewasa terfitrah untuk menjalaninya. Secara manusiawi, jiwanya mendambakan seorang pendamping dalam hidupnya, membangun mahligai rumah tangga yang diliputi sakinah (ketenteraman), mawaddah (kecintaan), dan rahmah (kasih sayang).
Walaupun seseorang telah mencapai puncak keimanan yang tertinggi semisal rasul yang mulia, fitrah suci itu pun selalu bersemayam dalam kalbunya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (ar-Ra’d: 38)
Pintu Gerbang Kehidupan Rumah Tangga
Dalam pandangan Islam, hidup berumah tangga tak bisa dijalani begitu saja. Semuanya harus melalui proses nikah yang merupakan pintu gerbang kehidupan rumah tangga. Sebuah pernikahan yang dibangun di atas keridhaan keduanya (mempelai laki-laki dan wanita), diketahui/disetujui oleh wali dari pihak wanita, dengan maskawin (mahar) yang ditentukan, disaksikan minimalnya oleh dua orang saksi, dan pernikahannya tidak dibatasi dengan batasan tertentu dari masa (bukan kawin mut’ah).
Dengan itulah, hubungan sepasang insan dinyatakan sah sebagai suami-istri dalam pandangan syariat Islam dan berhak menjalani hidup bersama mengarungi bahtera rumah tangga. Demikian selektifnya Islam dalam mengesahkan hubungan sepasang insan. Semua itu menunjukkan perhatian Islam terhadap moral, kehormatan, harkat, dan martabat manusia beserta keturunannya (masa depan mereka).
Dengan nikah, akan terjaga agama dan kehormatan seseorang. Dengan nikah akan terjaga pula nasab anak keturunannya. Jiwa pun menjadi tenteram, masyarakat pun menjadi nyaman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Wahai sekalian pemuda, barang siapa di antara kalian yang mampu berumah tangga hendaknya menikah, karena sesungguhnya nikah (itu) lebih menundukkan pandangan (dari sesuatu yang haram dipandang, –pen.) dan lebih menjaga kemaluan. Bagi siapa belum mampu hendaknya berpuasa, karena sesungguhnya puasa (itu) sebagai perisai baginya (dari sesuatu yang haram, –pen.).” (HR. al-Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400, dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu)
Manakala kehidupan rumah tangga dijalani tanpa proses nikah (kumpul kebo, selingkuh, dll.) maka ia adalah zina. Islam mengharamkan zina dengan segala jenisnya. Karena ia termasuk perbuatan yang keji dan jalan yang buruk. Bahkan Islam mengharamkan segala sesuatu yang bisa mengantarkan kepada zina seperti; pacaran, berjabat tangan dengan selain mahram, berduaan dengan selain mahram (khalwat), dll. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan janganlah kalian mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (al-Isra’: 32)
Dengan zina, moral dan kehormatan seseorang akan hancur. Dengan zina, nasab anak keturunan akan rusak. Dengan zina pula, penyakit kelamin yang mematikan semisal AIDS menjalar di tengah-tengah masyarakat. Sehingga jiwa tak lagi tenteram, masyarakat pun tak lagi nyaman. Wallahul musta’an.
Memilih Pasangan Hidup
Memilih pasangan hidup termasuk masalah prinsip dalam kehidupan rumah tangga. Dalam Islam, setiap orang berhak memilih pasangan hidupnya masing-masing tanpa ada paksaan dari siapa pun. Di sisi yang lain, Islam juga memberikan batasan-batasan dan aturan yang sesuai dengan fitrah suci dan kehormatan insan yang beriman.
Islam mengharamkan nikah dengan sesama jenis; laki-laki dengan laki-laki, atau wanita dengan wanita. Allah subhanahu wa ta’ala mengutuk perbuatan tersebut dan murka terhadap pelakunya. Fitrah suci pun menolak dan membencinya. Hanya orang-orang yang jahat dan terbelenggu hawa nafsulah yang melakukannya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan (kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka, ‘Mengapa kalian mengerjakan perbuatan yang keji itu (homoseksual), yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelum kalian? Sesungguhnya kalian mendatangi laki-laki untuk melepaskan nafsu kalian (kepada mereka), bukan kepada wanita, bahkan kalian ini adalah kaum yang melampaui batas.’ Jawaban kaumnya tidak lain hanya mengatakan, ‘Usirlah mereka (Luth dan pengikutpengikutnya) dari kota kalian ini; Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura menyucikan diri.’ Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang jahat itu.” (al-A’raf: 80—84)
“Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (kami jungkir-balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.” (Hud: 77—82)
Islam mengharamkan wanita mukmin menikah dengan laki-laki musyrik atau nonmuslim secara keseluruhan (termasuk ahli kitab; Yahudi dan Nashrani) walaupun dia rupawan lagi menawan. Sebagaimana pula Islam mengharamkan laki-laki mukmin menikah dengan wanita musyrik walaupun dia cantik jelita. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menawan hati kalian. Dan janganlah kalian menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menawan hati kalian. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (al-Baqarah: 221)
Namun, Islam menghalalkan laki-laki mukmin menikahi wanita dari kalangan ahli kitab baik Yahudi maupun Nasrani yang menjaga kehormatannya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Pada hari ini dihalalkan bagi kalian yang baik-baik, makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagi kalian, dan makanan kalian halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-kitab sebelum kalian, bila kalian telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka terhapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.” (al-Maidah: 5)
Dalam memilih pasangan hidup ideal, Islam telah memberikan rambu-rambu yang jelas. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Wanita dinikahi karena empat kriteria; hartanya, kedudukannya, kecantikannya, dan agamanya. Pilihlah wanita yang kuat agamanya, niscaya kamu akan meraih keberuntungan.” (HR. al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 1466, dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Al-Hafizh an-Nawawi rahimahullah berkata, “Makna yang benar untuk hadits ini adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan tentang kebiasaan yang terjadi di tengah masyarakat (dalam hal memilih pasangan hidup, –pen.). Mereka menjadikan empat kriteria tersebut sebagi acuan dalam memilih. Kriteria agama biasanya kurang diperhitungkan oleh mereka, maka pilihlah wanita yang kuat agamanya—wahai seorang yang meminta bimbingan— niscaya akan meraih keberuntungan. Ini adalah arahan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan sebagai perintah.” (Syarah Shahih Muslim 10/51)
Tak terlewatkan pula kaum wanita, karena hadits di atas juga sebagai acuan bagi mereka dalam mendapatkan pasangan hidup yang ideal.
Mengidentifikasi Suami Ideal
Setiap wanita pasti mendambakan suami yang ideal. Seorang yang berfungsi sebagai pemimpin, pengayom, dan pembina keluarga. Keberadaannya di tengah keluarga sebagai pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk dalam kehausan. Sosoknya sebagai figur keteladanan bagi istri dan anak-anaknya.
Setiap wanita pasti mendambakan suami yang penuh pengertian, bijak, bergaul dengan istrinya secara patut, dan bersabar atas berbagai kekurangan yang ada padanya. Suami yang selalu membimbingnya menuju al-Jannah dan membentenginya dari azab an-Nar. Dengan itulah akan tergapai kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat. Allah subhanahu wa ta’ala Maha Mengetahui dambaan hamba-hamba-Nya dari kalangan wanita itu. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala menyeru kaum laki-laki terkhusus para suami untuk mewujudkan dambaan kaum wanita tersebut dengan firman-Nya,
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (lakilaki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (an-Nisa’: 34)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Dari semua ini, maka dapat diketahui bahwa seorang suami layaknya pemimpin dan tuan bagi istrinya, sedangkan sang istri layaknya bawahan, pembantu dan budaknya. Tugas suami adalah menjalankan segenap tanggung jawab kepemimpinan rumah tangga yang Allah bebankan kepadanya, sedangkan istri berkewajiban menaati Allah subhanahu wa ta’ala, kemudian menaati suaminya.” (Taisirul Karimirrahman, hlm. 177)
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (at-Tahrim: 6)
“Dan bergaullah dengan mereka (para istri) secara patut. Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (an-Nisa’: 19)
Distorsi Makna Suami Ideal
Apa yang telah disebutkan di atas merupakan rincian dari sosok suami ideal yang istiqamah di atas agamanya dan berhias dengan akhlak yang mulia. Tentu akan lebih sempurna lagi bila dia seorang yang rupawan, hartawan, atau terhormat di tengah-tengah masyarakatnya. Namun, manakala semua itu tak bisa berkumpul pada seseorang, tentu yang menjadi barometernya adalah agama dan kemuliaan akhlaknya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika datang meminang kepada kalian seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya maka nikahkanlah dia (terimalah pinangannya). Jika kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah dan kerusakan yang besar di muka bumi.” (HR. at-Tirmidzi no. 1084, dari hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu. Dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al- Albani dalam al-Irwa’ no. 1668 dan ash-Shahihah no. 1022)
Apabila seorang wanita hidup bersanding dengan suami ideal sebagaimana keterangan di atas niscaya akan terbantu bi’aunillah untuk menciptakan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Walaupun dengan latar belakang yang berbeda, karakter yang berbeda, dan kekurangan masing-masing.
Demikianlah gambaran tentang suami ideal menurut pandangan Islam dan fitrah yang suci. Namun dalam kehidupan sosial masyarakat ada beberapa versi tentang suami ideal yang hakikatnya adalah penyimpangan atau pemutarbalikan fakta (distorsi). Dengan kata lain, salah kaprah dalam mengidentifikasikan suami ideal.
Ada yang mengidentifikasikan suami ideal sebagai lelaki yang memiliki banyak uang, walaupun jauh dari agama. Dalam angan-angannya, uang adalah segala-galanya. Dengan uang, semuanya menjadi mudah, hidup pun akan serba berkecukupan.
Apakah demikian kenyataannya? Tidak. Berapa banyak rumah tangga yang motivasi awalnya karena uang akhirnya berantakan dan kesudahannya adalah cerai. Cinta dan kasih sayangnya mengalami pasang surut seiring dengan pasang surutnya uang. Tak heran bila ada celetukan, “Ada uang abang disayang, tak ada uang abang dibuang.” Wallahul Musta’an.
Kalau sekiranya angan-angan itu dapat terwujud dalam kenyataan, sehingga hidup pun serba berkecukupan, maka keberadan sang suami yang jauh dari agama akan membawa istri dan anakanaknya— dengan harta yang dimilikinya itu—kepada pola hidup mewah yang dapat melalaikan akhirat. Target hidupnya hanyalah dunia dan dunia. Kehidupannya nyaris hampa dari ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Padahal kebahagiaan yang hakiki adalah di akhirat kelak.
Ada yang mengidentifikasikan suami ideal sebagai sosok yang senantiasa memanjakan istri. Dalam angan-angannya, dengan mempunyai suami yang seperti itu niscaya semua keinginannya akan diperhatikan dan segala permintaannya akan dikabulkan. Dengan itu, diraihlah kebahagiaan. Laksana seorang ratu yang bebas berekspresi dan berinovasi.
Apakah demikian kenyataannya? Tidak. Betapa banyak rumah tangga yang motivasi awalnya adalah sikap memanjakan dari suami, akhirnya menjadi berantakan dan kesudahannya adalah cerai. Secara realitas, sikap memanjakan dari suami seringkali merusak mental dan akhlak sang istri. Peluang demi peluang yang diberikan kepadanya akan semakin membuatnya lupa daratan. Jiwanya sulit dikendalikan. Ingin lepas dari kewajiban ibu rumah tangga dan cenderung untuk hidup bebas. Akhirnya ketenteraman dan kenyamanan hidup berumah tangga tak lagi dirasakan. Bila demikian, cepat atau lambat suami akan kecewa. Rumah tangga pun dalam problema.
Ada yang mengidentifikasikan bahwa suami ideal adalah sosok yang rupawan, walaupun bukan orang yang taat beragama. Dalam angan-angannya, dengan mempunyai suami yang rupawan niscaya rumah tangganya akan selalu bahagia dan diliputi bunga-bunga cinta.
Apakah demikian kenyataannya? Tidak. Betapa banyak rumah tangga yang motivasi awalnya adalah ketampanan suami semata akhirnya menjadi berantakan. Secara realitas, kehidupan rumah tangga tidak cukup hanya dengan modal ketampanan. Kehidupan rumah tangga membutuhkan ilmu dan akhlak mulia. Kehidupan rumah tangga membutuhkan kesejukan hati sang suami di samping kesejukan wajahnya. Tak heran, telah terjadi kasus perselingkuhan yang dilakukan oleh istri, padahal suaminya jauh lebih tampan daripada laki-laki selingkuhannya. Di antara sebabnya adalah karena sang suami tidak dapat memberikan kepuasan batin kepadanya, dan itu bisa diperoleh dari laki-laki selainnya. Lebih dari itu, ketampanan seseorang tidaklah abadi. Ia akan berangsur pudar seiring dengan bertambahnya usia.
Ada yang mengidentifikasikan bahwa suami ideal adalah seorang yang berpangkat dan berkedudukan. Menyandang gelar dan mempunyai jabatan. Walaupun jauh dari agama dan akhlak yang mulia. Dalam angan-angannya, dengan mempunyai suami yang seperti ini niscaya rumah tangganya akan terhormat. Kebahagiaan pun akan selalu mengiringi.
Apakah demikian kenyataannya? Tidak. Berapa banyak rumah tangga yang motivasi awalnya adalah pangkat dan kedudukan suami lantas berakhir dengan nestapa. Secara realitas, pangkat dan kedudukan suami bukanlah jaminan kebahagiaan rumah tangga. Apalagi jika jauh dari agama dan akhlak yang mulia. Jabatan yang disandangnya pun bukanlah selamanya. Manakala masih aktif menjabat, tampak gagah dan berwibawa. Namun, semua itu akan berubah manakala pamornya menurun, atau mulai memasuki masa purna (pensiun). Kala itu sang istri akan merasakan ujian berat. Jika tak diimbangi dengan iman yang kuat dan akhlak yang mulia niscaya rumah tangga akan berantakan.
Ada yang mengidentifikasikan bahwa suami ideal adalah sosok yang sangat pengertian terhadap istri. Berjiwa besar, toleran, dan lapang dada, walaupun bukan orang yang taat beragama. Dalam angan-angannya, dengan mempunyai suami yang seperti ini niscaya rumah tangganya akan tenang dan sepi dari masalah. Kebahagiaan pun akan selalu mengiringi.
Apakah demikian kenyataannya? Tidak. Berapa banyak rumah tangga yang motivasi awalnya adalah toleransi dan kelonggaran suami, berakhir dengan berantakan. Secara realitas, kehidupan rumah tangga yang seperti ini sangat rawan masalah. Pelanggaran syar’i pun kerapkali terjadi. Istri sering keluar malam, hidup royal, dan berhubungan dengan banyak laki-laki tak jadi soal. Alhasil, apapun yang dilakukan oleh istri, tak akan dipermasalahkan. Betapa sepah kehidupan rumah tangga yang mereka jalani. Jauh dari bimbingan syar’i dan fitrah yang suci. Jauh dari manisnya cinta kasih dan kerja sama suami istri yang harmoni. Cepat atau lambat, hidup mereka akan didominasi oleh kepentingan individu dan ego pribadi. Anak-anak pun akhirnya sebagai korbannya.
Demikianlah sajian kami tentang kehidupan rumah tangga dan identifikasi suami ideal. Semoga bermanfaat bagi semuanya. Amin.
Ditulis oleh Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi