(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin)
Kehidupan dunia adalah tempat kesusahan dan kepayahan, bukan tempat untuk bernikmat-nikmat dan bersenang-senang tanpa rintangan. Allah l menciptakan makhluk-Nya agar mereka beribadah hanya kepada-Nya. Dia menguji mereka dengan kebaikan dan keburukan agar diketahui siapa yang paling baik amalannya. Dia menguji untuk mengangkat derajat dan memperbesar pahala mereka, serta memisahkan orang yang buruk dari yang baik, memisahkan orang mukmin dari orang munafik.
Allah l berfirman:
“Supaya Allah memisahkan (golongan) yang buruk dari yang baik dan menjadikan golongan yang buruk itu sebagian di atas sebagian yang lain, lalu semuanya Dia tumpuk, kemudian Dia masukkan ke dalam neraka Jahannam. Mereka itulah orang-orang yang merugi.” (al-Anfal: 37)
Musibah apa pun yang menimpa manusia, daerah dan negeri mana pun yang dilanda, telah ditetapkan dan ditakdirkan oleh Allah l. Sakit yang diderita dan bencana merata yang menimpa adalah karena perbuatan tangan manusia.
Manusia telah melakukan berbagai upaya untuk mencari solusi dari musibah dan bencana. Untuk menghadapi musibah yang akan terjadi, dibuatlah berbagai solusi berdasarkan pengalaman yang telah lalu. Untuk bencana tsunami, mereka membuat suatu alat yang berfungsi mengeluarkan peringatan jika terdapat ancaman tsunami di wilayah tertentu. Di wilayah sekeliling Samudra Pasifik, mereka memiliki PTWC (Pacific Tsunami Warning Centre). Di Indonesia, juga dikembangkan sistem peringatan dini tsunami: InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System) yang berpusat di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Jakarta. Sistem ini dibantu oleh seismograf (alat pencatat gempa), yang melalui satelit, informasi gempa (kekuatan, lokasi, waktu kejadian) dikirimkan ke BMKG Jakarta.
Menghadapi letusan gunung berapi, pemerintah membuat rambu-rambu peringatan sebagai isyarat akan terjadinya bahaya. Dibuatlah derajat keaktifan gunung berapi di Indonesia: normal (tidak ada gejala aktivitas tekanan magma), waspada (ada aktivitas apa pun bentuknya), siaga (sedang bergerak ke arah letusan/ada bencana), dan awas (sedang terjadi letusan atau keadaan kritis).
Hampir semua pihak berusaha mencari solusi dari musibah dan bencana agar didapatkan keamanan dan keselamatan, tidak ada kerugian dalam bentuk apa pun. Namun, bertolak dari sikap kebanyakan orang terhadap musibah dan bencana—yang menganggapnya sebatas fenomena dan proses alam semata—kebanyakan solusi yang ditempuh juga sebatas tinjauan materi, dunia, dan keselamatan nyawa, tanpa memerhatikan sisi keselamatan akidah atau agama. Betul, setiap orang pasti ingin menyelamatkan jiwa dan harta bendanya. Namun, apabila hal itu menyebabkan binasa akhiratnya, apalah arti sebuah kehidupan baginya?
Perlu diketahui bersama, bukanlah maksud dan tujuan yang paling utama dalam masalah ini adalah semata-mata keselamatan badan atau perbaikan sisi duniawi/lahiriah. Bahkan, yang lebih penting dari itu semua adalah keselamatan hati (perbaikan sisi batiniah). Jika hatinya baik dan istiqamah, seseorang akan memperoleh keselamatan jiwa dan hati, di dunia dan akhirat. Namun, jika hati telah rusak, keinginan hawa nafsu akan menguasai dirinya dan menuntutnya untuk memenuhi segala hal yang menjadi kesenangannya, walaupun Allah l tidak menyukainya. Urusannya bisa sampai pada menghadapi kemurkaan Allah l dan hukuman-Nya. Tipu daya dan usaha apa pun yang dia lakukan untuk menyelamatkan badan dari malapetaka dan bencana, tidak mungkin mampu mencegah azab Allah l, jika telah ditetapkan bahwa ia terkena azab karena dosanya, meskipun ia membuat tempat tinggalnya semua dari besi atau dibangun di lapisan bumi yang paling dalam. Hal ini tidak bermanfaat karena ia telah meninggalkan penjagaan yang bersifat syar’i. Andaikata Allah l menyelamatkannya di dunia, ia telah menawarkan dirinya untuk azab akhirat. Padahal, azab akhirat lebih keras dan lebih menghancurkan.
Oleh sebab itu, tatkala terjadi gempa di Madinah di masa Umar bin al-Khaththab z, beliau berkhutbah. Isinya tidak mengarahkan manusia ke tempat perlindungan (tempat pengungsian), mendirikan bangunan dengan sifat tertentu (seperti rumah antigempa, dan sebagainya). Beliau z justru mengarahkan manusia menuju perkara yang lebih penting, yaitu bertaubat karena yang menyebabkan terjadinya gempa adalah kemaksiatan. Demikian pula apa yang diucapkan oleh Abdullah bin Mas’ud z ketika terjadi gempa bumi di masa beliau. Beliau z berkata, “Sesungguhnya Rabb kalian meminta—dengan gempa ini—supaya kalian kembali kepada apa yang menjadi keridhaan-Nya.”
Hal ini tidak berarti mengesampingkan usaha-usaha yang bersifat materi karena keselamatan jiwa juga dijaga oleh Islam. Itu semua termasuk usaha yang penting. Namun, ada yang lebih penting dan tidak boleh dikesampingkan, yaitu apa yang akan disebutkan di bawah ini.
Perhatian yang bersifat materi, semata-mata hanya untuk keselamatan badan dan mengharapkan tetap hidup termasuk sifat orang-orang kafir, sebagaimana firman Allah l:
“Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba/tamak kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (al-Baqarah: 96)
Seorang mukmin yang benar imannya akan menempuh jalan menuju keridhaan Allah l meskipun dengan risiko kehilangan nyawa dan rusaknya badan, seperti yang terjadi pada orang yang berjihad fi sabilillah.
Berikut ini beberapa solusi dari musibah.
1. Taubat dan istighfar
Sebab terbesar untuk menggapai rahmat Allah l dan memperoleh kebaikan serta berkah adalah bertaubat kepada Allah l dan memohon ampun kepada-Nya. Nabi Nuh q berkata ketika mengingatkan kaumnya, sebagaimana firman Allah l:
“Maka aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Rabbmu—sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun—, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, membanyakkan harta dan anak-anakmu, serta mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai’.” (Nuh: 10—12)
Hal yang semisal juga dilakukan oleh Nabi Shalih dan Nabi Syu’aib e kepada kaumnya. Nabi kita Muhammad n pun memperbanyak istighfar. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi, dari Ibnu Umar c, ia berkata, “Kami menghitung istighfar Rasulullah n dalam satu kali majelis sebanyak seratus kali. Beliau membaca:
رَبِّ اغْفِرْ لِي وَتُبْ عَلَيَّ، إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Wahai Rabbku, ampunilah aku dan terimalah taubatku. Sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat lagi Maha Pennyayang.”
‘Aisyah berkata, “Adalah Rasulullah n memperbanyak dalam istighfarnya sebelum beliau meninggal dengan membaca:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي
”Mahasuci Engkau ya Allah, Rabb kami, dengan memuji-Mu ya Allah, ampunilah aku.”
Kemudian, istighfar dengan lisan tanpa disertai meninggalkan dosa tidaklah cukup. Ibnul Qayyim t berkata, ”Orang yang terang-terangan melakukan dosa lalu memohon kepada Allah l ampunan-Nya, ini tidak termasuk bentuk istighfar yang mutlak. Oleh karena itu, hal ini tidak menghalangi (pembacanya) dari berbuat dosa.”
2. Menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar
Allah l berfirman:
“Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, melainkan sebagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka, dan orang-orang yang zalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa. Dan Rabbmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedangkan penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Hud: 116—117)
Al-Hafizh dalam al-Fath menukil ucapan sebagian ahlul ilmi, “Orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar adalah orang-orang mukmin yang sesungguhnya. Tidak akan dikirim azab bahkan kepada mereka. Karena merekalah Allah l menjauhkan azab.”
3. Berjihad di jalan Allah l
Berjihad di jalan Allah l dengan jiwa dan harta adalah solusi penolak bala.
4. Sedekah dan berbuat ihsan
Memperbanyak sedekah dan berbuat ihsan (baik), juga menjadi sebab tertolaknya bencana.
Dari Abu Umamah z, Rasulullah n bersabda:
صَنَائِعُ الْمَعْرُوفِ تَقِي مَصَارِعَ السُّوءِ، وَصَدَقَةُ السِّرِّ تُطْفِئُ غَضَبَ الرَّبِّ، وَصِلَةُ الرَّحِمِ تَزِيدُ فِي الْعُمُرِ
“Penyeru kebaikan mencegah pengajak keburukan, sedekah yang dirahasiakan akan meredam kemurkaan Rabb, menyambung tali silaturahim akan menambah umur.” (HR. ath-Thabarani)
5. Berlindung hanya kepada Allah l
Termasuk perkara yang menjadi sebab keberuntungan dan solusi dari musibah adalah kesungguhan dalam memohon hanya kepada Allah l, merendahkan diri kepada-Nya, berlindung hanya kepada-Nya, dan meminta tolong hanya kepada-Nya.
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri.” (al-An’am: 42)