(ditulis oleh: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari)
Isti’adzah
Isti’adzah adalah bersandar kepada Allah l dan mendekat ke sisi-Nya, untuk berlindung dari kejelekan setiap makhluk yang memiliki kejelekan. ‘Iyadzah itu untuk mencegah kejelekan.
Setelah beristiftah, sebelum membaca Al-Qur’an dalam shalat, Rasulullah n membaca ta’awudz (memohon perlindungan) kepada Allah l terlebih dahulu dengan mengucapkan:
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ
“Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terusir/dijauhkan (dari rahmat1) dari was-wasnya2, dari kesombongannya, dan dari sihirnya.”3 (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 1/92/1, Ath-Thabarani dalam Al-Kabir 1/78/2, dari Jubair ibnu Muth’im z, dishahihkan dalam Irwa’ul Ghalil hadits no. 342)
Terkadang dalam ta’awudz tersebut, Rasulullah n menambah dengan:
أَعُوْذُ بِاللهِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ
“Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari setan yang terusir/dijauhkan dari rahmat, dari was-wasnya, dari kesombongannya, dan dari sihirnya.” (HR. Abu Dawud no. 775, dan lainnya, dari Abu Sa’id Al-Khudri z dengan sanad yang hasan sebagaimana dalam Irwa’ul Ghalil pembahasan hadits no. 342)
Al-Imam Ahmad t dalam Masa’il Ibni Hani’ (1/51) menyatakan, sepantasnya tambahan ini diucapkan sesekali.
Jumhur ulama berpendapat hukum ta’awudz ini sunnah, dalilnya adalah hadits Al-Musi’u Shalatuhu, yang di dalamnya tidak disebutkan ta’awudz. (Al-Majmu’ 3/283, Taudhihul Ahkam 2/170)
Ini merupakan pendapat Al-Hasan, Ibnu Sirin, Atha’, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Asy-Syafi’i, Ishaq, dan ashabur ra’yi. (Al-Mughni, Kitab Ash-Shalah, Fashl La Yajharul Imam bil Iftitah)
Pendapat inilah yang penulis pandang lebih kuat. Wallahu a’lamu bish-shawab.
Al-Imam Asy-Syaukani t menyebutkan, “Tidak ada dalam hadits-hadits ta’awudz selain menerangkan bahwa ta’awudz dilakukan pada rakaat yang pertama. Adapun Al-Hasan, Atha’, dan Ibrahim berpendapat ta’awudz ini mustahab diucapkan dalam setiap rakaat. Mereka berdalil dengan keumuman firman Allah l:
“Bila engkau membaca Al-Qur’an maka mintalah perlindungan kepada Allah.” (An-Nahl: 98)
Tidaklah diragukan bahwa ayat di atas menunjukkan disyariatkannya isti’adzah sebelum membaca Al-Qur’an. Ayat ini berlaku umum, apakah si pembaca Al-Qur’an tersebut berada di luar shalat atau sedang mengerjakan shalat. Namun, hadits-hadits yang melarang berbicara di dalam shalat menunjukkan larangan tersebut tidak dibedakan, baik berbicara dengan mengucapkan ta’awudz, maupun ucapan-ucapan lain yang tidak ada dalil yang mengkhususkannya dan tidak pula ada izin untuk mengucapkan yang sejenisnya. Karena itu, yang lebih berhati-hati adalah cukup dengan yang dituntunkan dalam As-Sunnah, yaitu melakukan isti’adzah sebelum membaca Al-Qur’an pada rakaat pertama saja.” (Nailul Authar, 2/39)
Abu Hurairah z berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ n إِذَا نَهَضَ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ افْتَتَحَ الْقِرَاءَةِ بِالْحَمْدِ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَلَمْ يَسْكُتْ
“Adalah Rasulullah n bila bangkit ke rakaat kedua, beliau membuka bacaan (qiraah) dengan ‘Alhamdulillahi rabbil alamin’ dan beliau tidak diam.” (HR. Muslim no. 1355)
Hadits ini menunjukkan tidak disyariatkannya diam sebelum membaca (Al-Fatihah dan surat) pada rakaat yang kedua. Tidak pula disyariatkan berta’awudz dalam raakat kedua ini. Dan hukum rakaat-rakaat berikutnya (setelah rakaat kedua) sama dengan hukum rakaat yang kedua. Jadi, diam sebelum membaca (Al-Fatihah dan surat) itu hanya khusus pada rakaat yang pertama. Demikian pula berta’awudz dalam rakaat pertama. (Nailul Authar, 2/136)
Ibnul Qayyim t dalam Zadul Ma’ad (1/86) berkata, “Mencukupkan satu ta’awudz (hanya dalam rakaat pertama, pen.) adalah pendapat yang lebih nampak, berdasarkan hadits yang shahih dari Abu Hurairah z:
أَنَّ النَّبِيَّ n كَانَ إِذَا نَهَضَ مِنَ الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ، اسْتَفْتَحَ الْقِرَاءَةَ وَلَمْ يَسْكُتْ
“Nabi n bila bangkit menuju rakaat yang kedua, beliau membuka dengan bacaan dan tidak diam.”
Bahwa Rasulullah n mencukupkan satu istiftah, karena beliau tidak menyelingi dua qiraah (bacaan) dengan diam, tapi dengan dzikir. Dengan demikian, qiraah dalam shalat dianggap satu qiraah jika yang menyelinginya adalah pujian kepada Allah l, tasbih, tahlil, atau shalawat kepada Nabi n, dan yang semisalnya.
Ada pula yang berpendapat bahwa ta’awudz hukumnya wajib dan dibaca setiap rakaat dalam shalat, seperti pendapat Ibnu Hazm t dalam Al-Muhalla (2/278) dan ahlul ilmi4 yang lainnya, dengan dalil firman Allah l:
“Bila engkau membaca Al-Qur’an maka mintalah perlindungan kepada Allah.” (An-Nahl: 98)
Rahasia isti’adzah
Isti’adzah memiliki berbagai kebaikan. Diantaranya, sebagai penyuci lisan dari berbagai ucapan sia-sia dan kotor, ketika mengucapkan/membaca kalamullah. Juga sebagai isti’anah (memohon pertolongan) kepada Allah l, dan pengakuan bahwa Allah l-lah yang memiliki kekuasaan, sedangkan hamba itu lemah dan tidak mampu mengatasi musuhnya (setan) yang nyata namun tidak nampak. Sesungguhnyalah, tak ada yang mampu menolak dan mencegah musuh ini kecuali Allah l yang menciptakannya. Terlebih, setan ini tidak dapat menerima keramahtamahan dan tidak peduli dengan kebaikan, berbeda dengan musuh dari kalangan manusia. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh banyak ayat dalam Al-Qur’an.
Allah l berfirman:
“Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, engkau tidak memiliki kekuasaan atas mereka sama sekali. Cukuplah Rabbmu sebagai pelindung.” (Al-Isra’: 65)
Para malaikat turun untuk memerangi musuh berupa manusia. Siapa saja yang terbunuh oleh musuh yang nampak, dia menjadi seorang syahid. Sementara, orang yang binasa oleh musuh yang tidak nampak, dia akan terusir. Siapa saja yang terkalahkan oleh musuh yang nampak, dia akan mendapatkan balasan pahala, sementara orang yang terkalahkan oleh musuh yang tidak nampak, dia akan tertimpa fitnah dan memikul dosa.
Tatkala setan melihat manusia dari tempat yang tidak terlihat oleh manusia, maka semestinya manusia memohon perlindungan darinya kepada Dzat yang melihatnya sedangkan setan tidak dapat melihat-Nya. (Al-Mishbahul Munir, hal.18)
Penulis mengatakan, masalah ini di luar shalat ketika membaca Al-Qur’an, maka tentunya di dalam shalat seseorang harus lebih memerhatikan lagi diri dan shalatnya, karena ketika itu ia sedang berdiri beribadah kepada Rabbnya, yang semestinya ditegakkan dengan khusyu’ dan menjaga shalatnya dari was-was setan serta tipu dayanya. Wallahul musta’an.
Abu Hurairah z menyatakan bahwa Rasulullah n bersabda:
إِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلاَةِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ وَلَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لاَ يَسْمَعُ التَّأْذِيْنَ، فَإِذَا قَضَى النِّدَاء أَقْبَلَ حَتَّى إِذَا ثَوَّبَ بِالصَّلاَةِ أَدْبَرَ، حَتىَّ إِذَا قَضَى التَّثْوِيْبَ أَقْبَلَ حَتَّى يَخْطُرَ بَيْنَ الْمَرْءِ وَنَفْسِهِ يَقُوْلُ: اُذْكُرْ كَذَا، اُذْكُرْ كَذَا -لِمَا لَمْ يَكُنْ يَذْكُرُ– حَتَّى يَظِلَّ الرَّجُلُ لاَ يَدْرِي كَمْ صَلَّى
“Apabila diserukan adzan untuk shalat setan berlalu dan ia memiliki kentut (berlalu dengan mengeluarkan suara kentut) hingga ia tidak mendengar adzan. Apabila adzan selesai dikumandangkan, ia datang kembali hingga saat diserukan iqamah, ia berlalu lagi. Ketika telah selesai iqamah, ia datang lagi hingga ia bisa melintaskan di hati seseorang berbagai pikiran, ia berkata, ‘Ingatlah ini, ingatlah itu’, padahal sebelumnya orang yang shalat tersebut tidak mengingatnya, demikian sampai orang tersebut tidak mengetahui telah berapa rakaat shalat itu dikerjakannya.” (HR. Al-Bukhari no. 608). Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab. (Insya Allah bersambung)
1 Ada yang mengatakan: dirajam dengan panah-panah api, demikian dalam Al-Majmu’ (3/280).
2 Sebagian rawi menafsirkannya dengan: gila, yaitu hamz adalah satu macam kegilaan dan kesurupan yang dapat menimpa seseorang. Bila ia sadar, akalnya kembali lagi seperti semula sebagaimana orang tidur dan orang mabuk, demikian kata Ath-Thibi.
3 Adapula yang menafsirkannya dengan syair yang tercela.
4 Dalam masalah ini memang fuqaha berbeda pendapat setelah mereka sepakat tentang tidak disyariatkannya membaca doa istiftah selain dalam rakaat pertama. Perbedaan pendapat ini disebabkan perbedaan pandangan apakah seluruh qiraah dalam shalat merupakan satu qiraah sehingga dicukupkan sekali ta’awudz, ataukah qiraah setiap rakaat merupakan qiraah yang berdiri sendiri sehingga disyariatkan berta’awudz pada masing-masingnya?
Al-Imam Al-Albani t dalam kitabnya Shifat Shalatin Nabi n (menguatkan pendapat yang mengatakan pada setiap rakaat), “Tidak cukup satu isti’adzah tetapi dalam setiap rakaat harus beristi’adzah.” Kemudian beliau membawakan ucapan Asy-Syaikh Al-Allamah Muhammad Hamid Al-Faqi As-Salafi, “Yang zahir, qiraah dalam rakaat pertama dan qiraah dalam rakaat yang kedua merupakan dua qiraah, karena panjangnya jeda/pemisah antara keduanya dengan melakukan ruku’ dan sujud. Ini merupakan gerakan-gerakan yang banyak. Maka setiap rakaat ada ta’awudz. Sementara hadits Abu Hurairah z tidaklah menafikan hal ini. Karena yang ditiadakan dalam hadits Abu Hurairah z adalah diam yang diketahui, yaitu diam tertentu karena membaca doa istiftah. Adapun diam karena membaca ta’awudz dan basmalah merupakan diam yang sangat ringan/sebentar yang tidak dirasakan/disadari oleh makmum karena tersibukkannya makmum dengan gerakan bangkit ke rakaat berikutnya. Juga, setiap rakaat itu teranggap sebagai sebuah shalat karena itulah mereka diwajibkan membaca Al-Fatihah dalam setiap rakaat, maka yang lebih utama ta’awudz juga dianggap demikian. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla. Inilah pendapat yang benar.”
Beliau t berkata, “Ibnu Hazm berargumen dengan keumuman firman Allah l:
“Bila engkau membaca Al-Qur’an maka mintalah perlindungan kepada Allah.” (An-Nahl: 98)
Ini merupakan argumen yang benar, tidak ada kekaburan di dalamnya. Al-Hafizh berkata di dalam At-Talkhish, “Keumuman ayat ini menetapkan isti’adzah diucapkan pada awal setiap rakaat. Pendapat inilah yang dimunculkan oleh Ar-Rafi’i dalam Asy-Syarhul Kabir. Beliau berkata, ‘Pendapat inilah yang diucapkan oleh Al-Qadhi Abu Ath-Thayyib Ath-Thabari, demikian pula Imamul Haramain, Ar-Ruyani, dan selain mereka’.”
Al-Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ berkata, “Ini merupakan pendapat madzhab (Syafi’iyyah).”
Di tempat lain beliau berkata, “Pendapat inilah yang paling shahih dalam madzhab kami.”
Pendapat ini juga dipegangi dalam madzhab Hanafiyyah.
Abul Hasanat Al-Laknawi dalam catatan kakinya terhadap kitab Syarhul Wiqayah (1/138) berkata, “Dalam kitab Halbah Al-Majalli karya Ibnu Amir Hajj disebutkan: Berdasarkan ucapan Abu Yusuf dan Muhammad, sepantasnya ta’awudz itu dilakukan dalam rakaat kedua juga, karena dalam rakaat kedua orang memulai qiraah. Dan qiraah dalam setiap rakaat merupakan qiraah yang baru.” (Ashlu Shifah Shalatin Nabi n, 3/826-827)