Alhamdulillah pada edisi ini dan selanjutnya, insya Allah kita akan melihat beberapa penjelasan berkenaan dengan sifat shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian besar pembahasan di sini sengaja penulis nukil dari kitab yang mubarak, Shifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan “Asal-nya” (Ashlu Shifati Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), yang ditulis oleh Asy-Syaikh yang mulia, Muhammad ibnu Nuh, Nashiruddin Al-Albani rahimahullah.
Karena kitab yang beliau susun tersebut merupakan karya yang paling lengkap memuat sifat shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam babnya, sebagaimana hal ini dikatakan oleh guru besar kami, Syaikh yang mulia, Muqbil ibnu Hadi Al-Wadi’i rahimahullah. Disamping itu, penulis juga berupaya menukil dan menambahkan dari beberapa referensi lainnya sebagai tambahan faedah berkenaan dengan pembahasan ini. ‘Tak ada gading yang tak retak’, mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua. Wallahul muwaffiq ilash shawab.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Hanyalah amal itu dengan niat dan setiap orang hanyalah beroleh apa yang ia niatkan.” (HR. Al-Bukhari no. 54 dan Muslim no. 4904)
Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Niat adalah maksud. Maka orang yang hendak shalat menghadirkan dalam benaknya shalat yang hendak dikerjakan dan sifat shalat yang wajib ditunaikannya, seperti shalat zhuhur sebagai shalat fardhu dan selainnya, kemudian ia menggandengkan maksud tersebut dengan awal takbir.” (Raudhatuth Thalibin, 1/243-244)
Sudah berulang kali disebutkan bahwa niat tidak boleh dilafadzkan. Sehingga seseorang tidak boleh menyatakan sebelum shalatnya, “Nawaitu an ushalliya lillahi ta’ala kadza raka’atin mustaqbilal qiblah…” (Aku berniat mengerjakan shalat karena Allah subhanahu wa ta’ala sebanyak sekian rakaat dalam keadaan menghadap kiblat…).
Melafadzkan niat tidak ada asalnya dalam As-Sunnah. Tidak ada seorang pun sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membolehkan melafadzkan niat. Tidak ada pula seorang tabi’in pun yang menganggapnya baik. Demikian pula para imam yang empat. Sementara kita maklumi bahwa yang namanya kebaikan adalah mengikuti bimbingan As-Salafush Shalih.
Ada kesalahpahaman dari sebagian pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah terhadap ucapan beliau, dalam masalah haji, “Apabila seseorang berihram dan telah berniat dengan hatinya, maka ia tidak diharuskan menyebut niat itu dengan lisannya. Haji itu tidak seperti shalat, di mana tidak shahih penunaiannya terkecuali dengan nathq (pelafadzan dengan lisan).”
Maka hal ini dijelaskan oleh Al-Imam Ar-Rafi’i Asy-Syafi’i rahimahullah dalam kitab Al-’Aziz Syarhul Wajiz yang dikenal dengan nama Syarhul Kabir (1/470): “Jumhur ulama kalangan Syafi’iyyah berkata: ‘Al-Imam Asy-Syafi’i –semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhainya– tidaklah memaksudkan dengan ucapannya tersebut adanya pelafadzan niat dengan lisan (tatkala hendak mengerjakan shalat). Yang beliau maksudkan adalah takbir (yaitu takbiratul ihram,-pen.), karena dengan takbir tersebut sahlah shalat yang dikerjakan. Sementara dalam haji, seseorang menjadi muhrim walaupun tanpa ada pelafadzan.”
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Bila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri untuk shalat, beliau langsung mengucapkan takbiratul ihram dan tidak mengucapkan apa pun sebelumnya, juga tidak melafadzkan niat sama sekali. Beliau juga tidak mengatakan, ‘Aku tunaikan untuk Allah subhanahu wa ta’ala shalat ini dengan menghadap kiblat empat rakaat sebagai imam atau makmum’. Demikian pula ucapan ada’an atau qadha’an ataupun fardhal waqti.
Melafadzkan niat ini termasuk perbuatan yang diada-adakan dalam agama (bid’ah). Tidak ada seorang pun yang menukilkan hal tersebut dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik dengan sanad yang shahih, dhaif, musnad (bersambung sanadnya), ataupun mursal (tidak bersambung). Bahkan tidak ada nukilan dari para sahabat, demikian pula tabi’in maupun imam yang empat, tak seorang pun dari mereka yang menganggap baik hal ini.
Hanya saja sebagian mutaakhirin (orang-orang belakangan) keliru memahami ucapan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah–semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhainya–tentang shalat. Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Shalat itu tidak seperti zakat. Tidak boleh seorang pun memasuki shalat ini kecuali dengan zikir.”
Mereka menyangka bahwa zikir yang dimaksud adalah ucapan niat seseorang yang hendak shalat. Padahal yang dimaksudkan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dengan zikir ini tidak lain adalah takbiratul ihram. Bagaimana mungkin Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah menyukai perkara yang tidak dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu shalat pun, begitu pula para khalifah beliau dan para sahabat yang lain? Inilah petunjuk dan jalan hidup mereka. Kalau ada seseorang yang bisa menunjukkan kepada kita satu huruf saja dari mereka tentang perkara ini, maka kita akan menerimanya dan menyambutnya dengan penuh ketundukan dan penerimaan. Karena, tidak ada petunjuk yang lebih sempurna daripada petunjuk mereka dan tidak ada sunnah kecuali yang diambil dari sang pembawa syariat shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Zaadul Ma’ad, 1/201)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membuka shalat beliau dengan mengucapkan: Allahu Akbar, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Aisyah radhiallahu ‘anha berikut ini:
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membuka shalat beliau dengan takbir dan membaca Alhamdulillahi Rabbil Alamin. Apabila ruku’, beliau tidak mengangkat kepalanya dan tidak pula menundukkannya, akan tetapi di antara keduanya. Apabila bangkit dari ruku’, beliau tidak sujud sampai beliau berdiri lurus. Dan ketika mengangkat kepalanya dari sujud, beliau tidak sujud kembali hingga beliau tegak duduknya. Pada setiap dua rakaat beliau membaca tahiyat. Beliau membentangkan kakinya yang kiri dan menegakkan (telapak) kakinya yang kanan. Beliau melarang duduk seperti duduknya setan, dan melarang seseorang membentangkan kedua lengan bawahnya seperti binatang buas membentangkannya (yakni meletakkan lengan di lantai ketika sujud). Dan beliau menutup shalat dengan salam.” (HR. Muslim no. 1110)
Hadits ini memiliki jalan lain, diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari Yusuf bin Ya’qub, ia berkata: Abu Ar-Rabi’ telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Hammad telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Budail telah menceritakan kepada kami, dari Abdullah ibnu Syaqiq, dari Aisyah radhiallahu ‘anha:
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membuka shalat beliau dengan takbir dan membaca Alhamdulillahi rabbil ‘alamin.”
Hadits lain yang menunjukkan amalan ini adalah hadits Abu Humaid As-Sa’idi radhiallahu ‘anhu, ia berkata:
“Bila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit untuk mengerjakan shalat, beliau menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangannya dan berkata: ‘Allahu Akbar’.” (HR. Ibnu Majah no. 803 dan dishahihkan dalam Shahih Sunan Ibnu Majah)
Takbiratul ihram ini merupakan salah satu rukun shalat menurut pendapat jumhur[1]. Adapun Hanafiyyah berpandangan takbir ini merupakan syarat, demikian pula satu sisi dari pendapat Syafi’iyyah. Sementara Az-Zuhri bersendirian dalam memandang sunnahnya, sebagaimana dinukilkan oleh Al-Imam Ibnul Mundzir. (Al-Isyraf ‘ala Madzahibil ‘Ulama 2/7, Fathul Bari 2/282)
Namun yang rajih adalah pendapat jumhur ulama, sebagaimana telah disebutkan sebagian nashnya. Dengan demikian, tidak sah shalat bila takbir ini sampai terluputkan/ditinggalkan. Karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada seseorang yang salah shalatnya untuk melakukan takbir ini.
Hadits yang kami maksudkan adalah hadits yang masyhur dengan sebutan hadits al-musi’ shalatuhu, dari hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, disebutkan bahwa ada seseorang yang bernama Khallad ibnu Rafi’radhiallahu ‘anhu, masuk masjid untuk mengerjakan shalat, sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di salah satu sudut masjid. Seselesainya dari shalat, Khallad ini mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya mengucapkan salam. Beliau pun menjawab salamnya lalu bersabda kepadanya:
“Kembalilah lalu shalatlah, karena sesungguhnya engkau belum shalat.” Orang itu pun kembali lalu mengerjakan shalat sebagaimana shalatnya yang sebelumnya. Setelahnya ia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengucapkan salam, maka beliau menjawab, “Wa ‘alaikas salam.” Kemudian beliau melanjutkan, “Kembalilah lalu shalatlah, karena sesungguhnya engkau belum shalat.” Demikian Rasulullah memerintahkan sampai orang itu mengulangi shalatnya sebanyak tiga kali. Pada akhirnya orang itu berkata, “Demi Dzat yang mengutusmu dengan al-haq, aku tidak bisa mengerjakan shalat lebih bagus daripada apa yang telah kukerjakan. Kalau begitu ajari aku (bagaimana shalat yang benar).” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memberi bimbingan, “Bila engkau hendak berdiri untuk shalat, maka bertakbirlah. Setelahnya, bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Qur’an. Kemudian ruku’lah hingga engkau thuma’ninah dalam keadaan ruku’. Lalu angkat kepalamu hingga engkau berdiri lurus. Setelahnya sujudlah hingga engkau thuma’ninah dalam keadaan sujud. Setelah itu angkatlah kepalamu hingga engkau lurus dan thuma’ninah dalam keadaan duduk. Kemudian lakukanlah apa yang telah disebutkan tadi dalam shalatmu seluruhnya.” (HR. Al-Bukhari no. 757 dan Muslim no. 883)
Perhatian
Semua amalan shalat yang disebutkan dalam hadits al-musi’ shalatuhu (hadits di atas) ini merupakan rukun, tidak sah shalat tanpanya. (Asy-Syarhul Mumti’, 3/19)
Faedah
Bagi makmum yang shalat di belakang imam dan orang yang shalat sendiri (munfarid) hendaklah memerhatikan bahwa takbir ini diucapkan dengan lisan, dengan menggerakkannya, sehingga tidak cukup bila hanya diucapkan dalam hati. Namun, bilamana seseorang itu bisu, tidak bisa berbicara, maka ia meniatkan takbir dalam hatinya tanpa perlu menggerakkan bibir dan lisannya, karena hal itu perbuatan sia-sia dan melakukan gerakan tanpa hajat. Toh dengan kebisuannya, suaranya tidak akan keluar.
Ketika bertakbir ini tidak diharuskan seseorang mengeluarkan suara yang dapat didengar oleh kedua telinganya[2], walaupun dalam masalah ini ada khilaf. Namun yang rajih adalah sebagaimana yang kami sebutkan. Karena mengharuskan suara takbir itu terdengar oleh telinga pengucapnya merupakan amrun zaid (perkara yang lebih) dari ucapan dan lafadz. Sementara, apa yang lebih dari keterangan As-Sunnah harus ada dalilnya. (Asy-Syarhul Mumti’, 3/19-21)
Dengan diucapkannya takbiratul ihram berarti haram seseorang melakukan pekerjaan selain amalan shalat, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Kunci shalat adalah bersuci/wudhu, pengharamannya adalah takbir dan penghalalannya adalah salam.” (HR. Abu Dawud no. 61, 618, At-Tirmidzi no. 3, 238 dan selainnya. Kata Al-Imam Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abu Dawud: “Hasan shahih.”)
Dalam hadits ini ada dalil bahwa shalat hanya bisa dibuka dengan takbir Allahu akbar, tidak sah dengan zikir-zikir yang lain. Hal ini merupakan pendapat jumhur. Adapun pendapat Abu Hanifah “Shalat bisa dibuka dengan setiap lafadz yang menunjukkan pengagungan (kepada Allah subhanahu wa ta’ala),” adalah pendapat yang marjuh (lemah). (Al-Isyraf ‘ala Madzahibil ‘Ulama’ 2/7, Nailul Authar 2/6)
Mengeraskan suara ketika bertakbir
Ketika bertakbir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeraskan suaranya hingga dapat didengar oleh orang di belakang beliau, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim (1/223), Ahmad (3/18), dan lainnya, dari Fulaih ibnu Sulaiman, dari Sa’id ibnul Harits, ia berkata, “Suatu ketika Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang biasa mengimami orang-orang jatuh sakit atau sedang pergi, maka Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu pun menggantikan posisi imam. Beliau mengeraskan suara ketika bertakbiratul ihram, demikian pula ketika hendak ruku’, ketika mengatakan sami’allahu liman hamidah, ketika mengangkat kepalanya dari sujud, ketika hendak sujud, ketika mengangkat kepala dan ketika bangkit dari dua rakaat, sampai akhirnya beliau menyelesaikan shalat. Ternyata ada yang menyampaikan kepada beliau bahwa orang-orang berselisih dalam perkara shalat beliau tadi. Abu Sa’id pun naik mimbar dan berkata, “Wahai manusia! Demi Allah, aku tidak peduli apakah shalat kalian berbeda ataupun tidak dengan shalatku. Yang penting demikianlah aku dulunya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat.” (Al-Hakim menshahihkannya menurut syarat Al-Bukhari dan Muslim, serta disepakati oleh Adz-Dzahabi rahimahullah)
Al-Imam Al-Albani rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan disenangi bagi imam untuk mengeraskan suaranya saat bertakbir agar makmum tahu perpindahan gerakan imam. Bila si imam suaranya lemah (tidak bisa keras) karena sakit atau alasan lainnya, maka sunnah bagi muadzdzin atau selainnya dari kalangan makmum untuk menjahrkan/mengeraskannya dalam kadar yang dapat didengar oleh manusia. Sebagaimana hal ini pernah dilakukan Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami manusia dalam keadaan suara beliau lemah karena sakit[3]…
Adapun menyampaikan takbir imam yang dilakukan makmum tanpa ada kebutuhan, sebagaimana biasa dilakukan oleh kebanyakan orang di zaman kita ini dalam bulan Ramadhan, sampaipun di masjid yang kecil, tidaklah disyariatkan menurut kesepakatan ulama, sebagaimana dihikayatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Al-Fatawa (1/69-70 dan 107). Dulunya, Bilal radhiallahu ‘anhu ataupun selainnya tidak pernah meneruskan takbir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para makmum di belakang beliau. Begitu pula di masa Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun, tidak ada yang menyampaikan takbir mereka di belakang mereka. Karena itulah mayoritas ulama terang-terangan menyatakannya makruh. Bahkan ada yang mengatakan batal shalat pelakunya tersebut. Ini ada dalam madzhab Malik, Ahmad, dan selain keduanya…
Syaikhul Islam rahimahullah berkata: ‘Tidaklah diragukan bahwa tabligh (menyampaikan takbir imam kepada makmum) tanpa ada kebutuhan merupakan bid’ah. Siapa yang meyakininya sebagai amalan qurbah secara mutlak maka tidak diragukan dia adalah imam yang jahil, atau memang ia seorang yang menentang dan bersengaja dengan penyelisihannya. Karena permasalahan ini telah dinyatakan oleh para ulama dari berbagai madzhab dalam kitab-kitab mereka, sampaipun dalam kitab-kitab yang ringkas. Mereka semua menyatakan, ‘Tidak boleh ada satu pun takbir yang dikeraskan di dalam shalat, terkecuali bila ia seorang imam. Siapa yang terus-menerus meyakini perbuatan seperti ini merupakan qurbah maka ia diberi hukuman karena menyelisihi ijma’.’ Wallahu a’lam.” (Al-Ashl, 1/187-188)
Takbir dalam setiap gerakan
Hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu di atas juga menunjukkan disyariatkannya takbir dalam setiap gerakan turun dan bangkit dalam shalat. Ini merupakan pendapat keumuman fuqaha dan para ulama. Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah dalam Sunan-nya (1/160) menyatakan bahwa bertakbir ketika ruku’ dan sujud diamalkan oleh para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya Abu Bakr, Umar, ‘Utsman, ‘Ali, dan selain mereka g, serta orang-orang setelah mereka dari kalangan tabi’in rahimahumullah. Dan inilah yang dipegangi oleh keumuman fuqaha dan ulama.
Pendapat ini dikuatkan pula dengan hadits yang lainnya, di antaranya hadits Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhu yang menyebutkan bahwa ia pernah shalat bersama Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu di Bashrah, ia berkata, “Orang ini mengingatkan kami dengan shalat yang dulunya kami kerjakan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Imran menyebutkan bahwa dalam shalatnya itu, Ali bertakbir setiap kalian mengangkat tubuhnya (naik) dan setiap kali meletakkannya (turun). (HR. Al-Bukhari no. 784 dan selainnya)
Faedah
Ulama berbeda pendapat tentang hukum takbir selain takbiratul ihram. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata: “Jumhur berpendapat sunnah. Sedang Al-Imam Ahmad rahimahullah dan sebagian ahlu zhahir menyatakan wajibnya seluruh takbir.” (Fathul Bari, 2/349)
Hujjah mereka yang menghukumi wajib adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 628, 7246 dan Muslim no. 1533)
Samahatusy Syaikh Al-Imam Abdul Aziz ibnu Abdillah ibnu Baz rahimahullah dalam ta’liq beliau terhadap kitab Fathul Bari berkata: “Inilah pendapat yang lebih zhahir dari sisi dalil. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjaga amalan ini (terus melakukannya) serta memerintahkan umatnya untuk mengerjakannya, sementara asal perintah adalah wajib. Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: ‘Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.’
Adapun riwayat dari Utsman dan Mu’awiyah radhiallahu ‘anhuma, yang menyebutkan bahwa keduanya tidak menyempurnakan takbir maka dibawa kepada pemahaman bahwa keduanya tidak mengeraskan takbir, bukan keduanya meninggalkan takbir. Riwayat tersebut harus dipahami seperti ini, dalam rangka berbaik sangka kepada keduanya. Kalaupun mau diterima keduanya meninggalkan takbir, maka hujjah lebih dikedepankan daripada pendapat keduanya. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati keduanya dan seluruh sahabat. Wallahu a’lam.”
(insya Allah bersambung)
Ditulis oleh Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
[1] Rukun adalah suatu amalan yang bila ditinggalkan sengaja ataupun tidak maka ibadah itu tidak sah. Untuk ibadah shalat, amalan itu tidak bisa diganti dengan sekadar sujud sahwi tapi harus ditunaikan sesuai aturan yang ada.
[2] Suara tersebut tidak terdengar bisa jadi karena ada suara-suara bising di sekitar tempat tersebut, atau karena lemahnya pendengaran, atau alasan lainnya.
[3] Dalam hadits Jabir radhiallahu ‘anhu, ia menyebutkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan sakit saat kami shalat di belakang beliau, dan beliau shalat dalam keadaan duduk. Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu pun memperdengarkan kepada manusia takbir beliau. Beliau lalu menoleh kepada kami, ternyata beliau melihat kami shalat dalam keadaan berdiri, maka beliau memberi isyarat kepada kami agar kami duduk. Kami pun duduk dan kami shalat diimami oleh beliau dalam keadaan duduk. Tatkala beliau mengucapkan salam pertanda selesainya shalat, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Kalian tadi hampir-hampir berbuat seperti perbuatannya orang-orang Persia dan Romawi. Mereka berdiri di hadapan raja-raja mereka sementara raja-raja ini duduk. Maka janganlah kalian lakukan. Contohlah imam kalian, jika ia shalat dalam keadaan berdiri maka shalatlah kalian dalam keadaan berdiri. Namun bila ia shalat dalam keadaan duduk maka shalatlah dengan duduk.” (HR. Muslim no. 927)