Awal waktu zhuhur adalah saat matahari tergelincir (waktu zawal) dan akhir waktunya adalah ketika masuk waktu ashar. Jabir bin Samurah z berkata:
كَانَ النَّبِيُّ n يُصَلِّي الظُّهْرَ إِذَا دَحَضَتِ الشَّمْسُ
“Adalah Nabi n shalat zhuhur ketika matahari tergelincir.” (HR. Muslim no. 1403)
Hadits ini menunjukkan disenanginya menyegerakan shalat zhuhur, demikian pendapat Asy-Syafi’i t dan jumhur ulama. (Al-Minhaj 5/122, Al-Majmu’ 3/56)
Anas bin Malik z berkata:
كُنَّا إِذَا صَلَّيْنَا خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ n بِالظَّهَائِرِ، سَجَدْنَا عَلَى ثِيَابِنَا اتِّقَاءَ الْحَرِّ
“Kami bila mengerjakan shalat zhuhur di belakang Rasulullah n, kami sujud di atas pakaian kami dalam rangka menjaga diri dari panasnya matahari di siang hari.” (HR. Al-Bukhari no. 542 dan Muslim no. 1406)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani t menyatakan, “Hadits ini menunjukkan disegerakannya pelaksanaan shalat zhuhur walaupun dalam kondisi panas yang sangat. Ini tidaklah menyelisihi perintah untuk ibrad (menunda shalat zhuhur sampai agak dingin, pent.), akan tetapi hal ini untuk menerangkan kebolehan shalat di waktu yang sangat panas, sekalipun ibrad lebih utama.” (Fathul Bari, 2/32)
Seperti disinggung di atas bahwa untuk shalat zhuhur ada istilah ibrad, yaitu menunda pelaksanaan shalat zhuhur sampai agak dingin. Ini dilakukan ketika hari sangat panas sebagai suatu pengecualian/pengkhususan dari penyegeraan shalat zhuhur. Jumhur berkata, “Disenangi ibrad dalam shalat zhuhur kecuali pada waktu yang memang dingin.” (Nailul Authar, 1/427)
Dalam hal ini ada hadits dari Rasulullah n:
إِذَا اشْتَدَّ الْحَرُّ فَأَبْرِدُوْا عَنِ الصَّلاَةِ، فَإِنَّ شِدَّةَ الْحَرِّ مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ
“Apabila panas yang sangat maka akhirkanlah shalat zhuhur sampai waktu dingin karena panas yang sangat merupakan semburan hawa neraka jahannam.” (HR. Al-Bukhari no. 533 dan Muslim no. 1394)
Hikmah dari ibrad ini adalah untuk memperoleh kekhusyukan, karena dikhawatirkan bila shalat dalam keadaan panas yang sangat akan menyulitkan seseorang untuk khusyuk. (Al-Majmu’ 3/64)
Bagaimana Mengetahui Waktu Zawal?
Matahari telah zawal artinya matahari telah miring/condong dari tengah-tengah langit setelah datangnya tengah hari. Hal itu diketahui dengan munculnya bayangan seseorang/suatu benda di sebelah timur setelah sebelumnya bayangan di sisi barat hilang. Siapa yang hendak mengetahui hal tersebut maka hendaknya ia mengukur bayangan matahari. Manakala matahari semakin tinggi maka bayangan itu akan berkurang dari arah barat dan terus berkurang. Pas di tengah hari, saat matahari tepat di tengah-tengah langit, pengurangan bayangan tersebut berhenti. Nah, ketika matahari telah miring/bergeser dari tengah langit kembali bayangan muncul dan semakin bertambah serta jatuhnya di sisi timur. Awal pertama kali muncul di sisi timur itulah yang dinamakan waktu zawal. (Al-Ma’unah 1/196, At-Tahdzib lil Baghawi 2/9, Asy-Syarhul Kabir lil Rafi’i 1/367-368, Al-Majmu’ 3/28-29, Al-Mabsuth 1/133, Syarhu Muntaha Al-Iradat 1/133)
Akhir Waktu Zhuhur
Waktu shalat zhuhur masih terus berlangsung selama belum datang waktu shalat ashar dan bayangan seseorang sama dengan tinggi orang tersebut. Seperti ditunjukkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr c, bahwasanya Rasulullah n bersabda:
وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ، وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُوْلِهِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ
“Waktu shalat zhuhur adalah bila matahari telah tergelincir dan bayangan seseorang sama dengan tingginya selama belum datang waktu ashar.” (HR. Muslim no. 1387)
Apakah bayangan zawal ikut digabungkan ke bayangan benda/sesuatu untuk menunjukkan keluarnya/habisnya waktu zhuhur dan telah masuknya waktu ashar, ataukah tidak digabungkan?
Sebagai contoh, ada seseorang tingginya 165 cm, dan tinggi/panjang bayangannya ketika zawal 20 cm. Maka apakah keluarnya waktu zhuhur dan masuknya waktu ashar dengan menambahkan tinggi seseorang dengan tinggi/panjang bayangannya ketika zawal (165 ditambah 20) sehingga tinggi/panjang bayangan menjadi 185 cm, atau cukup tinggi/panjang bayangan 165 cm?
Al-Qarrafi t berkata, “Awal waktu ikhtiyari pada shalat zhuhur adalah pada saat zawal, dan ini berlangsung sampai panjang bayangan benda semisal dengan bendanya, (dihitung) setelah panjang bayangan benda ketika zawal.” (Adz-Dzakhirah 2/13)
Dikatakan dalam Raudhatu Ath-Thalibin (1/208), “Waktu zhuhur selesai apabila bayangan seseorang sama dengan tingginya, selain bayangan yang tampak ketika zawal.”
Ibnu Hazm t berkata, “Awal waktu zhuhur saat matahari mulai tergelicir dan miring/condong (ke barat). Maka tidak halal sama sekali melakukan shalat zhuhur sebelum itu, dan bila dikerjakan maka shalat tersebut tidaklah mencukupi. Waktu shalat zhuhur terus berlangsung sampai bayangan segala sesuatu sama dengan bendanya tanpa memperhitungkan bayangan yang muncul saat awal zawalnya matahari, tetapi yang dihitung/dianggap adalah yang lebih dari bayangan zawal tersebut.” (Al-Muhalla, 2/197)
Ibnu Qudamah t berkata, “Akhir waktu zhuhur adalah bila bayangan segala sesuatu sama dengan tingginya, setelah menambahkan bayangan sesuatu tersebut dengan bayangan tatkala zawal/matahari tergelicir.” (Al-Kafi, 1/120)
Penulis Zadul Mustaqni’ menyebutkan, “Waktu zhuhur dari zawal sampai bayangan sesuatu sama dengan sesuatu tersebut setelah (ditambah) dengan bayangan zawal.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t dalam syarahnya terhadap ucapan penulis tersebut mengatakan, “Di saat matahari terbit, sesuatu yang tinggi akan memiliki bayangan yang jatuh ke arah barat. Kemudian bayangan tersebut akan berkurang sesuai kadar tingginya matahari di ufuk. Demikian seterusnya hingga bayangan tersebut berhenti dari pengurangan. Tatkala bayangan tersebut berhenti dari pengurangan, kemudian bayangan itu bertambah walau hanya satu rambut maka itulah zawal dan dengannya masuklah waktu zhuhur. Ucapan penulis “setelah (ditambah) dengan bayangan zawal” maksudnya bayangan yang tampak saat matahari tergelincir (zawal) tidaklah terhitung. Pada waktu kita yang sekarang ini, tatkala matahari condong ke selatan maka bagi setiap sesuatu yang tinggi pasti memiliki bayangan yang selalu ada di arah utaranya. Bayangan
tempat awal penambahannya. Kemudian bila bayangan itu memanjang dari mulai tanda yang telah diberikan sampai setinggi (sepanjang) benda (sesuatu yang tinggi tersebut) berarti waktu zhuhur sudah berakhir dan telah masuk waktu ashar.” (Asy-Syarhul Mumti’, 2/102)
Pendapat seperti ini yang bisa kami kumpulkan dari beberapa kitab, di antaranya Al-Ma’unah (1/196), Mawahibul Jalil (1/388), Majmu’ Fatawa (23/267), Ar-Raudhul Murbi’ (1/100), Syarhu Muntaha Al-Iradat (1/133), Mughnil Muhtaj (1/249), At-Tahdzib lil Baghawi (2/9), Al-Hawil Kabir (2/14), Ad-Durarus Saniyyah (4/216,219,220,222), Adhwa`ul Bayan, Tafsir Surah An Nisa` ayat 103, dan beberapa kitab yang lainnya.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Bersambung insya Allah)