(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah)
Bagi umumnya wanita, mengalami nifas bisa dikatakan merupakan suatu keniscayaan. Karena itu sudah sepantasnya mereka mengetahui hukum-hukum seputar nifas ini. Pembahasan berikut mungkin terasa agak berat, tapi insya Allah membawa banyak manfaat.
Pada edisi sebelumnya telah disinggung, di antara darah yang dikeluarkan wanita dari kemaluannya adalah darah nifas. Darah ini erat kaitannya dengan kelahiran anak, baik lahirnya sempurna atau tidak sempurna, hidup ataupun mati. Sebab, darah nifas merupakan darah yang keluar dari rahim karena melahirkan, baik keluarnya bersamaan dengan proses kelahiran, setelahnya, maupun 2–3 hari sebelumnya yang disertai rasa sakit ketika akan melahirkan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata yang maknanya: “Wanita yang akan melahirkan bila melihat darah keluar dari kemaluannya yang disertai rasa sakit, maka darah tersebut adalah darah nifas dan tidak dibatasi 2 atau 3 hari. Yang dimaksud rasa sakit di sini adalah rasa sakit yang diikuti dengan kelahiran. Jika tidak, maka tidak termasuk darah nifas.” (Lihat Risalah fid Dima`ith Thabi’iyyah lin Nisa` hal. 51, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin).
Sementara Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t menyatakan: “Tidaklah darah itu teranggap nifas kecuali bila janin yang dilahirkan jelas bentuknya sebagai anak manusia. Seandainya yang keluar dari rahim hanya berupa potongan daging kecil yang tidak jelas bentuknya sebagai bentuk manusia maka darah yang keluar tersebut bukanlah darah nifas, tetapi darah urat dan hukumnya sama dengan darah istihadhah. Waktu minimal telah jelasnya bentuk janin sebagai bentuk manusia adalah 80 hari, mulai dari awal kehamilan dan umumnya 90 hari.” (Risalah fid Dima`, hal. 52-53)
Antara Nifas dan Haid
Sebagian ulama mengatakan bahwa darah nifas adalah darah haid. Darah haid ini tertahan keluarnya semasa hamil karena difungsikan untuk pemberian makan bagi janin. Apabila janin yang dikandung telah lahir dan terputus urat yang menjadi tempat aliran darah tersebut, keluarlah darah haid dari kemaluan sebagai darah nifas.
Nabi r pernah menggunakan istilah nifas kepada Aisyah x yang sedang haid, beliau bertanya:
“Apakah engkau nifas (yakni haid)?” (Shahih, HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 294)
Terlepas dari kesamaan istilah ini, darah nifas memiliki sejumlah perbedaan dengan darah haid, di antaranya:
Pertama, masa nifas lebih panjang.
Kedua, nifas bukanlah ukuran ‘iddah seorang wanita yang bercerai dengan suaminya karena Allah I berfirman:
“Wanita-wanita yang sedang hamil (bila bercerai dengan suami) berakhir masa ‘iddahnya dengan melahirkan.” (Ath-Thalaq: 4)
Jadi ‘iddah wanita hamil dinyatakan selesai dengan kelahiran anaknya, bukan dengan keluarnya darah nifas. Apabila talak jatuh setelah wanita tersebut melahirkan, maka ia menanti hingga haidnya kembali untuk perhitungan masa ‘iddah.
Ketiga, perhitungan ila1 menggunakan haid, bukan dengan nifas.
Keempat, wanita dinyatakan telah baligh dengan keluarnya darah haid, bukan darah nifas.
Hukum-hukum Nifas
Hukum nifas sama dengan hukum haid. Sehingga, seorang wanita yang tengah mengalami nifas, ia harus meninggalkan shalat dan puasa. (Hukum-hukum lain bagi wanita haid dapat dilihat pada edisi sebelumnya, red)
Ibnu Qudamah t berkata dalam Al-Mughni (1/350): “Hukum-hukum wanita yang nifas sama dengan hukum-hukum wanita yang haid pada seluruh perkara yang diharamkan dan perkara yang digugurkan padanya, dan kami tidak mengetahui adanya perselisihan dalam hal ini. Demikian pula diharamkan untuk menggauli wanita nifas namun halal bercumbu dengannya (selain jima’). Tentang halalnya bercumbu ini, terdapat perselisihan tentang kaffarahnya apabila terjadi jima’.”
Al-Imam Asy-Syaukani juga menyebutkan ijma’ ulama tentang kesamaan nifas dengan haid pada seluruh perkara yang dihalalkan, diharamkan, dan disunnahkan. (Lihat Nailul Authar, 1 /394)
Bila seorang wanita selesai dari nifasnya, ia wajib untuk mandi sebagaimana wajibnya mandi bagi wanita yang selesai dari haid. Kewajiban mandi ini merupakan ijma’ (kesepakatan) kalangan ulama seperti dinukilkan Al-Imam An-Nawawi t. (Lihat Jami’ Ahkamin Nisa‘, 1/242)
Lama Nifas
Kaitannya dengan masa nifas, para ulama berselisih pendapat tentang batasannya. Al-Imam Malik t berpendapat tidak ada batasan minimalnya, demikian pula Al-Imam Asy-Syafi‘i t. Abu Hanifah t berpendapat ada batasan minimalnya yaitu 25 hari. Murid Abu Hanifah bernama Abu Yusuf berpandangan minimalnya 11 hari. Sedangkan Al-Hasan Al-Bashri t berkata minimalnya 20 hari.
Adapun batasan maksimalnya, Al-Imam Malik t suatu kali berpendapat 60 hari, kemudian meralatnya dan berkata: “Tentang hal itu ditanyakan kepada para wanita.”
Al-Imam Asy-Syafi‘i t juga berpendapat 60 hari. Mayoritas ulama dari kalangan shahabat g berpendapat 40 hari, demikian pula Abu Hanifah. Adapula yang membedakan anak laki-laki dengan anak perempuan. Bila yang lahir laki-laki, maka maksimalnya 30 hari, sedangkan anak perempuan 40 hari.
Perselisihan ini sendiri disebabkan sulitnya menentukan hal tersebut dengan pengalaman yang ada karena berbedanya keadaan para wanita dalam mengalami nifas dan juga tidak ada sunnah yang bisa diamalkan dalam hal ini. (Lihat Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Ibnu Rusyd Al-Qurthubi, hal. 48)
Asy-Syaikh ‘Ali bin Abi Bakar bin Abdul Jalil Al-Farghani, penulis kitab Bidayatil Mubtadi` dengan syarahnya Al-Hidayah (sebuah kitab fiqih bermadzhab Hanafi) menyatakan: “Tidak ada batasan minimal masa nifas dan waktu maksimalnya adalah 40 hari, lebih dari itu dianggap istihadhah. Apabila darah yang keluar itu melampaui waktu 40 hari sementara wanita tersebut pernah melahirkan sebelumnya dan ia memiliki ‘adat (kebiasaan) dalam nifas, maka dikembalikan urusannya pada hari-hari ‘adatnya (yakni waktu nifasnya yang belakangan disamakan dengan nifasnya yang sebelumnya -pent.) Apabila ia tidak memiliki ‘adat maka permulaan nifasnya adalah 40 hari.” (Lihat Al-Hidayah Syarhu Bidayatil Mubtadi` ma’a Nashbir Raayah Takhrij Ahaaditsil Hidayah, juz pertama hal. 292-293).
Dalam kitab Nailul Authar karya Al-Imam Asy-Syaukani t disebutkan nama-nama para shahabat Rasulullah r dan kalangan ahli ilmu setelah mereka yang berpendapat maksimal lamanya nifas 40 hari; yaitu ‘Umar ibnul Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, Ummul Mukminin ‘Aisyah binti Abi Bakar Ash Shiddiq, Ummul Mukminin Ummu Salamah g, ‘Atha`, Sufyan Ats-Tsauri, Asy-Sya’bi, Al-Mazani, Ahmad ibnu Hambal, Malik bin Anas, Al-Hadi, Al-Qasim, An-Nashir, Al-Muayyad Billah dan Abu Thalib. Mereka berdalil dengan hadits Ummu Salamah x berikut ini:
“Ummu Salamah x berkata: “Para wanita yang mengalami nifas di masa Nabi r, mereka berdiam selama 40 hari (meninggalkan shalat selama 40 hari, pent.)….” (HR. Imam yang lima [Al-Khamsah] kecuali An-Nasa`i, lihat Nailul Authar, 1/393)
Namun hadits di atas mendapat kritikan dari para ulama karena adanya perawi yang majhul (tidak dikenal).
Dan memang kata para ulama, semua hadits yang menetapkan batasan waktu nifas tidak lepas dari perbincangan. (Lihat Nashbur Raayah li Ahaaditsil Hidayah oleh Al-‘Allamah Jamaluddin Az-Zaila’i t, juz 1 hal. 292-296). Sehingga tidak ada penetapan waktu yang pasti bila disandarkan dengan dalil.
Mayoritas ulama menetapkan batasan 40 hari. At-Tirmidzi t berkata: “Telah sepakat ulama dari kalangan para shahabat Nabi r, tabi’in, dan orang-orang setelah mereka bahwasanya wanita nifas meninggalkan shalat selama 40 hari. Kecuali bila ia melihat dirinya telah suci sebelum itu, maka ia mandi dan mengerjakan shalat bila telah masuk waktunya.”
Apabila ia melihat darah keluar dari kemaluannya setelah lewat 40 hari maka mayoritas ulama berkata: “Ia tidak boleh meninggalkan shalat setelah lewat 40 hari,” dan ini pendapat mayoritas ahli fiqih (fuqaha). Dan ini pendapat Sufyan Ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq. Diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri, bahwa wanita nifas meninggalkan shalat sampai 50 hari apabila ia belum melihat dirinya suci. Diriwayatkan dari ‘Atha` bin Abi Rabah dan Asy-Sya’bi batasan 60 hari.” (Lihat Al Jami’us Shahih/ Sunan At-Tirmidzi, juz 1, hal. 93)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t dalam tulisannya berjudul Al-Asma‘ul latii ‘Allaqa Asy-Syari’ Al-Ahkam Bihaa (hal. 37) berkata: “Tidak ada batasan waktu maksimal dan minimalnya nifas. Seandainya seorang wanita yang telah melahirkan ditakdirkan melihat darah keluar dari kemaluannya selama lebih dari 40 hari atau 60 atau 70 hari, setelah itu berhenti (tidak keluar lagi) maka darah itu adalah darah nifas. Akan tetapi bila keluar terus maka darah tersebut adalah darah fasad (darah penyakit). Dan ketika keadaannya demikian, batasan nifas adalah 40 hari karena ini batasan secara umum yang atsar datang menyebutkannya.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t berkata setelah menukilkan ucapan Ibnu Taimiyyah di atas: “Berdasarkan hal ini, apabila seorang wanita yang sedang nifas darahnya keluar lebih dari 40 hari, sementara dulunya dia punya kebiasaan darah akan berhenti setelah 40 hari (yakni tidak tampak lagi keluarnya darah dari kemaluan setelah lewat 40 hari, pent.), atau tampak tanda-tanda akan berhentinya darah, maka ia menanti hingga darah tersebut terhenti. Jika ternyata darahnya tidak berhenti, ia mandi ketika telah selesai waktu 40 hari, karena ini yang umum. Kecuali bila bertemu masa nifas dengan haidnya, maka ia menunggu hingga selesai masa haid (barulah setelahnya ia mandi). Apabila darah telah berhenti keluar setelah itu, maka semestinya dia jadikan hal tersebut sebagai ‘adat yang akan ia gunakan di waktu mendatang. Bila darah terus keluar, berarti wanita tersebut ditimpa istihadhah. Seandainya darah nifas telah berhenti keluar sebelum genap 40 hari, maka wanita tersebut dihukumi suci. Dia wajib mandi, shalat, puasa dan boleh berhubungan badan dengan suaminya, kecuali bila waktu berhentinya darah itu kurang dari sehari maka tidak ada hukum baginya. Hal ini disebutkan dalam Al-Mughni.” (Risalah fid Dima`, hal. 52)
Apabila seorang wanita berhenti nifasnya sebelum 40 hari namun setelah itu keluar lagi darah dari kemaluannya, apakah ia masih terhitung nifas?
Jawabnya, selama darah itu keluar di saat memungkinkan darah tersebut dianggap darah nifas, berarti ia masih nifas. Jika tidak, maka darah itu adalah darah haid kecuali bila terus menerus keluar, maka darah ini adalah istihadhah. Al-Imam Malik bin Anas t berkata: “Bila si wanita melihat darah keluar dari kemaluannya setelah darah terputus selama dua atau tiga hari, maka darah itu masih teranggap nifas. Kalau tidak, maka darah itu darah haid.” (Lihat Risalah fid Dima’ hal. 55)
Mandi untuk Ihram
Al-Imam Muslim t meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Aisyah x. Ia berkata:
“Asma` bintu ‘Umais x nifas karena melahirkan Muhammad bin Abi Bakar di Syajarah. Maka Rasulullah r memerintahkan Abu Bakar agar menyuruh Asma` mandi dan ber-talbiyah.” (HR. Muslim no. 1209)
Al-Imam An-Nawawi t dalam syarah (penjelasan) hadits di atas, berkata: “Hadits ini menunjukkan sahnya ihram wanita yang sedang nifas ataupun sedang haid, dan disunnahkannya bagi keduanya untuk mandi sebelum ihram dan disepakati perintah dalam hal ini. Namun madzhab kami, madzhab Malik, Abu Hanifah, dan jumhur berpendapat mustahab saja (tidak wajib). Adapun Al-Hasan Al-Bashri dan ahlu dzahir berpendapat wajib.” (Syarah Shahih Muslim, 3/ 301)
Wallahu a’lam.