Negara Islam terbesar di dunia pada zaman ini yang membawa panji-panji tauhid dan sunnah di tengah peradaban internasional adalah Kerajaan Arab Saudi.
Sejarah berdirinya negara yang mulia ini tak lepas dari sosok dua tokoh besar, yaitu Syaikhul Islam al- Imam al-Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab at-Tamimi an-Najdi rahimahullah dan al-Amir Muhammad bin Su’ud rahimahullah.
Berdirinya Kerajaan Arab Saudi juga tak bisa dipisahkan dari dakwah tauhid dan pemurnian Islam yang ditegakkan oleh Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.
Beliau adalah Imam al-Mujaddid al-Mujahid Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali bin Musyarraf at-Tamimi an-Najdi.
Nasab beliau bersambung hingga ke Mudhar bin Nizar bin Ma’d bin ‘Adnan. Beliau lahir pada 1115 H (1703 M) di Uyainah, sebuah desa kecil berjarak 70 km barat laut kota Riyadh. Di situlah keluarga besar beliau tinggal.
Setelah cukup menuntut ilmu di negerinya, beliau melanjutkan menuntut ilmu kepada para ulama di negeri-negeri lain, seperti Madinah, Ahsa’, dan Bashrah (Irak).
Guru-guru beliau sangatlah banyak. Ada dua guru beliau yang penting disebutkan, yaitu:
Beliau berasal dari Najd, dari kota Majma’ah, tepatnya daerah yang bernama Sudair. Beliau adalah seorang faqih yang terpandang, murid para ulama Madinah sekaligus murid Abul Mawahib (ulama besar negeri Syam).
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mendapatkan ijazah dari guru beliau ini untuk meriwayatkan, mempelajari, dan mengajarkan:
Salah satu kisah yang menunjukkan mulianya kedudukan Syaikh Abdullah bin Ibrahim sekaligus tingkat keikhlasannya adalah yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai berikut.
“Suatu hari aku berada bersama beliau. Beliau berkata kepadaku, ‘Maukah kamu aku tunjukkan persenjataan yang aku persiapkan untuk kota Majma’ah?’
Aku menjawab, ‘Ya.’
Beliau mengajakku masuk ke dalam sebuah ruangan. Di dalamnya terdapat kitab yang sangat banyak. ‘Inilah yang aku persiapkan untuk kota Majma’ah,’ kata beliau.”[2]
Beliau adalah seorang guru besar tepercaya di bidang hadits. Dari guru besarnya ini, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mendapat ijazah periwayatan-periwayatan Syaikh as-Sindi dalam kitab-kitab hadits. Di samping itu, beliau berguru cukup lama dan menjadi murid kepercayaan Syaikh as-Sindi.
Setelah memiliki bekal yang matang, beliau menyiapkan diri untuk berdakwah demi melakukan perbaikan (ishlah/reformasi) dan menyebarkan ilmu-ilmu syariat. Beliau tidak rela diam dan membiarkan umat berada di atas kejelekan dan kemungkaran, jauh dari ajaran agama.
Beliau mengamati kondisi kaum muslimin dan masyarakatnya. Beliau mendapati kejelekan merajalela, tersebar di mana-mana. Kesyirikan, meminta-minta kepada penghuni kubur, dan ber-istighatsah kepada para wali yang telah mati merupakan pemandangan yang jamak terjadi. Jelas itu bertentangan dengan ajaran agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Umat Islam benar-benar berada dalam kemunduran dan problem yang sangat besar.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab terbentuk dan terdidik dengan prinsip menegakkan amar makruf nahi mungkar dengan cara yang hikmah dan santun sejak kecil, sejak awal masa belajarnya. Di samping itu, beliau juga terbina dengan sifat peduli dan kasih sayang kepada umat. Beliau tidak rela apabila umat berada dalam kejelekan dan kungkungan kegelapan. Penyimpangan, pelanggaran, dan bid’ah yang kerap terjadi di tengah-tengah umat selalu mengganggu pikiran beliau sejak masa awal belajar fikih dan hadits di Uyainah.
Setiap kali mendapati amalan yang menyelisihi prinsip-prinsip agama, pasti beliau berupaya dengan ilmiah dan santun untuk melaksanakan kewajiban amar makruf nahi mungkar. Sungguh, sebuah sifat yang agung nan mulia pada diri Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Tak mengherankan jika para ulama dunia mengakui beliau sebagai mujaddid (pembaru) umat ini pada abad ke-12 Hijriah. Beliau sangat jauh dari sifat radikal, kaku, dan kasar, seperti yang digambarkan oleh beberapa pihak.
Di sisi lain, perhatian para ulama Najd pada waktu itu hanya pada bidang fikih. Dalam bidang akidah, mereka berjalan di atas akidah ahli kalam, yaitu akidah Asy’ariyah dan semisalnya. Hampir tidak didapati perhatian mereka terhadap prinsip dan akidah salaf. Hal ini terjadi juga di Syam, Mesir, dan negeri kaum muslimin lainnya. Akidah yang banyak tersebar adalah akidah Asy’ariyah, di samping banyak kekurangan dan pelanggaran dalam hal tauhid uluhiyah.
Baca juga:
Sangat sedikit ulama yang menaruh perhatian terhadap akidah salaf. Tidak sedikit pula kaum muslimin yang terjatuh pada khurafat, bid’ah, dan kesyirikan dalam hal ibadah. Kaum muslimin membutuhkan banyak bimbingan dan arahan yang bersumber dari cahaya yang dibawa oleh para nabi dan rasul. Di sinilah dituntut peran aktif para ulama selaku pengemban warisan para nabi.
Adapun secara politik, kondisi kaum muslimin terkhusus di Jazirah Arab terpecah-pecah. Tidak ada satu negara pun yang mempersatukan mereka. Bahkan, Kekhalifahan Utsmani sebagai salah satu negara besar di wilayah dunia Islam waktu itu, kekuasaannya tak menyentuh wilayah Najd sama sekali. Daulah Utsmani sendiri telah mengalami kemunduran dan kelemahan yang faktor terbesarnya adalah banyaknya pelanggaran terhadap syariat, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.
Setiap kawasan di Jazirah Arab memiliki penguasa dan pemerintah tersendiri. Uyainah memiliki pemerintahan sendiri, Dir’iyah memiliki pemerintahan sendiri, Riyadh memiliki pemerintah sendiri. Setiap desa kecil memiliki pemerintahan sendiri, terpisah dari lainnya. Di antara mereka terjadi pertentangan, pertempuran, perampokan, dan perampasan. Bahkan, terjadi pula saling membunuh sesama penduduk negeri. Para ahli sejarah menyebutkan bahwa kondisi sosial politik di Jazirah Arab saat itu mengalami disintegrasi, stabilitas keamanan yang rendah, dan banyak pemerintahan kecil yang saling bermusuhan.
Di Najd juga terdapat beberapa kuburan yang dikeramatkan. Di antaranya, kuburan sahabat Zaid bin al-Khaththab radhiallahu anhu, di atasnya dibangun kubah. Penduduk Najd sering meminta bantuan dan ber-istighatsah kepada kubur tersebut. Ada pula pohon-pohon yang diagungkan dan dikeramatkan. Di sisi lain, terdapat banyak terdapat aliran sempalan.
Mayoritas ulama di Najd diam menyikapi kondisi yang sangat memprihatinkan tersebut. Sebagian ulama justru mendukung dan membela berbagai khurafat yang ada. Kondisi ini membuat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tergerak untuk berdakwah dan mengajak umat ke jalan Allah subhanahu wa ta’ala. Beliau berdakwah semata-mata demi menegakkan agama Allah subhanahu wa ta’ala di muka bumi dan memperbaiki kondisi umat ini. Beliau berdakwah bukan untuk mengejar kedudukan, popularitas, atau ketenaran.
Sikap inilah yang seharusnya dimiliki oleh setiap juru dakwah, yaitu mengikhlaskan niat semata-mata karena Allah subhanahu wa ta’ala. Firman Allah ‘azza wa jalla,
قُلۡ هَٰذِهِۦ سَبِيلِيٓ أَدۡعُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِيۖ وَسُبۡحَٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ
Katakanlah (wahai Muhammad), “Inilah jalanku, yaitu mengajak ke (jalan) Allah di atas bashirah (hujah yang nyata). (Ini adalah jalan)ku dan orang-orang yang mengikutiku. Mahasuci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yusuf: 108)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah memahami bahwa tidak ada obat yang bisa melepaskan umat ini dari kemunduran dan problem yang menimpa selain apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Dengan obat inilah, Allah subhanahu wa ta’ala menyelamatkan umat manusia dari kebinasaan di dunia dan di akhirat.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُواْۚ وَٱذۡكُرُواْ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ إِذۡ كُنتُمۡ أَعۡدَآءً فَأَلَّفَ بَيۡنَ قُلُوبِكُمۡ فَأَصۡبَحۡتُم بِنِعۡمَتِهِۦٓ إِخۡوَٰنًا وَكُنتُمۡ عَلَىٰ شَفَا حُفۡرَةٍ مِّنَ ٱلنَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنۡهَاۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمۡ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَهۡتَدُونَ
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai. Ingatlah nikmat Allah kepada kalian, ketika kalian dahulu (masa jahiliah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hati kalian, lalu jadilah kalian, karena nikmat Allah, sebagai orang-orang yang bersaudara; dan ketika itu kalian telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian, agar kalian mendapat petunjuk.” (Ali ‘Imran: 103)
Menaati Sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam merupakan sebab turunnya rahmat Allah subhanahu wa ta’ala.
وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ
“Taatilah Rasul agar kalian dirahmati (oleh Allah).” (an-Nur: 56)
Kehinaan dan keterbelakangan yang dialami oleh dunia Islam adalah karena banyak kaum muslimin yang tidak mau mengikuti bimbingan as-Sunnah. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
وَجُعِلَ الذُّلُّ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي
“Dijadikan kerendahan dan kehinaan bagi siapa saja yang menyelisihi/menentang perintahku.” (HR. Ahmad no. 5634)
Inilah misi dakwah yang sangat besar, yaitu tajdid (pembaruan/pembenahan) umat dalam segala sisi, terutama akidah, tauhid, dan sunnah. Tentu saja, tantangannya pun sangat besar.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mulai berdakwah di daerah Huraimila dan berlanjut ke Uyainah. Di tanah kelahirannya, dakwah beliau mendapat sambutan luas. Sampai-sampai Amir (penguasa) Uyainah yang bernama Utsman bin Mu’ammar pun mendukung dakwah beliau. Tauhid benar-benar tegak, syariat Islam diterapkan, termasuk dalam hal penerapan hukum had (pidana). Majelis-majelis taklim bersinar dan semarak, baik di masjid-masjid maupun di rumah-rumah kaum muslimin.
Baca juga:
Dakwah tauhid dan upaya tajdid (pembaruan/pembenahan) umat di Uyainah hampir-hampir menuai kesuksesan. Namun, sunatullah pasti berlaku. Tidak ada sebuah dakwah kepada kebaikan kecuali pasti akan ada musuh yang akan menghadangnya.
Kesuksesan dakwah tauhid terdengar oleh Amir (penguasa) Ahsa’, Sulaiman bin Muhammad Alu Humaid. Dia terhasut oleh ujaran kebencian yang ditebar oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab yang membenci dakwah tauhid. Di samping itu, Sulaiman dikenal berperangai tidak baik, jahat, dan tak punya malu.[3]
Sulaiman bin Muhammad mengirim surat berisi ancaman terhadap Amir Uyainah, perintah untuk menghentikan dakwah tauhid dan membunuh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Jika tidak, negeri Ahsa’ akan menghentikan subsidi ekonomi yang selama ini mengalir ke Uyainah.
Baca juga:
Utsman bin Mu’ammar tak kuasa menghadapi ancaman tersebut. Singkat cerita, Utsman meminta Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab pergi meninggalkan Uyainah.
Segala nasihat bijak dan arif dari Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab agar dia tetap tenang dan bertawakal kepada Allah subhanahu wa ta’ala tidak bermanfaat apa-apa. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab pun terpaksa pergi meninggalkan Uyainah setelah beberapa tahun berdakwah di negeri tersebut. Pada awal siang beliau berangkat dengan berjalan kaki, tanpa membawa bekal apa pun kecuali sebuah kipas di tangan.
Sambil berjalan, beliau mengulang-ulang firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مَخۡرَجًا ٢ وَيَرۡزُقۡهُ مِنۡ حَيۡثُ لَا يَحۡتَسِبُۚ
“Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar, dan Dia pasti memberinya rezeki dari arah yang tiada dia sangka.” (ath-Thalaq: 2—3)
Sungguh pedih dan pilu, beliau terpaksa terusir dari negeri dan tanah kelahirannya sendiri. Namun, inilah risiko perjuangan dan jihad menegakkan kalimatullah di muka bumi. Demikianlah sunatullah yang senantiasa berlaku kepada para nabi dan rasul; jalan dakwah itu tidak melulu bertabur bunga. Tak jarang, yang dihadapi justru medan terjal yang penuh onak dan duri.
Dari Uyainah, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berketetapan hati untuk melangkahkan kaki menuju Dir’iyah. Beliau tiba di Dir’iyah pada waktu ‘Ashr.
Pertama kali beliau singgah di rumah Abdullah bin Abdur Rahman bin Suwailim. Selanjutnya, beliau menuju ke rumah salah seorang muridnya, Hamd bin Suwailim.
[1] Lihat ‘Ulama Najd Khilal Tsamaniyat Qurun, (1/162), karya al-Bassam, dan ‘Aqidatu asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab as-Salafiyyah wa Atsaruha fi al-‘Alam al-Islami, (1/155—156), karya Dr. Shalih al-‘Abud.
[2] ‘Unwan al-Majd 1/7. Lihat Muhammad bin ‘Abdul Wahhab Mushlih Mazhlum wa Muftara ‘Alaihi, al-Ustadz Mas’ud an-Nadwi, hlm. 40.
[3] Muhammad bin ‘Abdul Wahhab Mushlih Mazhlum wa Muftara ‘Alaihi, Ustadz Mas’ud an-Nadwi, hlm. 50.