(ditulis oleh: Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan)
Syaikhul Islam t berkata, “Talak (perceraian) itu pada asalnya termasuk perkara yang dibenci oleh Allah l, dan hal itu adalah perkara halal yang paling dibenci oleh Allah l1. Hanya saja Allah l membolehkan sebagiannya sesuai dengan kebutuhan manusia terhadapnya. Sebagaimana dimubahkan perkara-perkara yang diharamkan karena kebutuhan yang mendesak.
Oleh karena itu, Allah l mengharamkan seorang istri (atas suami) setelah jatuhnya talak yang ketiga, sampai dia menikah dengan laki-laki lain sebagai hukuman atas perbuatan suami yang bermudah-mudah dalam menjatuhkan talak.
Apabila seorang suami telah menalaknya dan wanita itu masih berada pada masa ‘iddahnya (selama tiga kali haid), maka suami tetap menjadi pemiliknya, dan wanita tersebut akan mewarisi harta suaminya (jika meninggal). Demikian pula suami tetap akan mewarisi harta istrinya (jika meninggal), sehingga suami tidak akan mendapatkan keuntungan dengan ketergesa-gesaannya dalam menjatuhkan talak sebelum waktunya.” (Majmu’ al-Fatawa 33/21)
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan berkata, “Perceraian di dalam Islam apabila diterapkan tatkala suami membutuhkan, maka jadilah perceraian itu adalah upaya penyelesaian yang selamat. Permisalannya seperti obat yang digunakan sesuai dengan dosis yang tepat, niscaya akan bermanfaat dengan izin Allah l. Namun jika digunakan dengan dosis yang salah, maka akan membahayakan.” (Tashilul Islam 5/5)
Oleh karena itu, Allah l dan Rasul-Nya n membimbing kita agar tidak tergesa-gesa dalam menjatuhkan talak. Ketika kita mendapati kedurhakaan sebagian istri-istri kita dalam suatu perkara, Allah l berfirman dalam kitab-Nya yang mulia:
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz (ketidaktundukan)nya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” (an-Nisa’: 34)
Rasulullah n bersabda,
“Ketahuilah dan wasiatilah para istri itu dengan wasiat yang baik. Karena mereka itu di sisi kalian hanyalah seperti para tawanan yang kalian tidak memiliki sesuatu pun dari mereka selain hal itu (bisa bersenang-senang dengannya, menjaga suami, baik pada hartanya walaupun dirinya, dan perkara-perkara yang wajib atas mereka/para istri untuk membantu suaminya), kecuali apabila mereka melakukan suatu perkara yang keji (seperti mendurhakai suami) dengan jelas. Apabila mereka melakukan hal itu, maka boikotlah mereka di dalam tempat tidur (tidak digauli) dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai/menjadikan cedera. Kemudian apabila mereka telah menaati kalian (dengan tahapan-tahapan tersebut), maka janganlah kalian mencari-cari perkara (yang lain) atas mereka.” (HR. at-Tirmidzi dari Amr bin al-Ahwash z)
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di t berkata, “Para istri yang enggan menaati suaminya, mereka mendurhakai para suaminya baik dalam bentuk perkataan atau perbuatan, hendaknya para suami memberi pelajaran/adab dengan yang paling mudah (dan ringan). Pelajaran berikutnya, (maka nasihatilah mereka) maknanya dengan menjelaskan hukum-hukum Allah l tentang kewajiban taat kepada suaminya, dan haramnya durhaka kepada mereka, membangkitkan kesadaran untuk taat serta menakut-nakuti mereka tatkala durhaka. Apabila mereka telah sadar dan meninggalkan kedurhakaannya, itulah yang diharapkan. Jika mereka belum sadar, maka boikotlah mereka di dalam kamar, dengan tidak tidur bersamanya atau tidak menggaulinya, sekadar upaya menyadarkannya. Jika belum sadar juga, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai atau menjadikan cedera. Apabila telah didapatkan apa yang diinginkan (sadarnya mereka) dengan salah satu dari tahapan-tahapan ini dan mereka telah kembali menaati kalian, maka janganlah kalian mencari perkara-perkara lainnya. (Tafsir Karim ar-Rahman hlm. 177)
Al-Imam Ibnu Katsir t berkata, “Allah l menyebutkan (pada yang disebutkan di atas tadi) keadaan yang pertama, yaitu apabila terjadi ketidaktaatan dan kedurhakaan seorang istri terhadap suaminya, kemudian pada ayat berikutnya Allah l menyebutkan keadaan yang kedua, yaitu apabila terjadi perselisihan di antara keduanya, maka Allah l berfirman:
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru pendamai dari keluarga laki-laki dan seorang juru pendamai dari keluarga perempuan. Jika kedua orang juru pendamai itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (an-Nisa’: 35)
Ahli fikih rahimahumullah berkata, ‘Apabila terjadi perselisihan di antara suami istri, maka seorang hakim berusaha untuk menenangkan keduanya dengan menyerahkan kepada orang yang tsiqah (orang yang dipercaya) yang benar-benar memerhatikan perkara yang terjadi dan melarang pihak yang zalim dari kezalimannya. Apabila perkaranya justru semakin bertambah runyam dan perselisihan semakin meruncing, maka hakim itu akan mengutus orang yang dipercaya dari keluarga pihak istri dan pihak suami agar keduanya berkumpul untuk mencari solusinya. Apakah sebaiknya dengan jalan cerai atau dengan jalan menyatukan kedua pihak kembali. Allah l (pembuat syariat) mengarahkan untuk mengumpulkan (keduanya dengan pernikahannya). Oleh karena itu, Dia l berfirman:
‘Jika kedua orang hakim itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu.’ (an-Nisa’: 35).” (Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim 4/35)
Faedah
Tentang orang tua yang memerintah anaknya untuk mencerai istrinya, Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wad’i t berkata, “Pendapat yang dinyatakan oleh al-Mubarakfuri t tentang wajibnya menalak jika kedua orang tua atau salah satunya memerintah anak laki-lakinya untuk menalak istrinya, dalam hal ini jumhur ulama berbeda dengan pendapatnya. Bahkan, menurut mereka perkara tersebut dianggap sunnah, sebagaimana dalam kitab Dalilul Falihin (2/176). Yang benar (menurut beliau t) adalah beramal sebagaimana zahir hadits (wajib), karena Allah l sungguh mengiringkan syukur kepada keduanya dengan syukur kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah l:
‘Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu.’ (Luqman: 14)
dan mengiringkan perintah untuk berbuat baik kepada keduanya dengan perintah untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana firman Allah l:
‘Dan beribadahlah kepada Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang tua.’ (an-Nisa’: 36)
Kemudian wajib bagi anak tersebut untuk memerhatikan faktor penyebabnya. Jika sebabnya adalah wanita (istri) itu menyelisihi perintah Allah l, atau tidak mau berbuat baik kepadanya, atau karena keduanya tidak menyenangi tabiatnya, itulah alasan yang mewajibkan si anak menalak istrinya). Akan tetapi, jika wanita tersebut adalah wanita salehah dan orang tua (dari suaminya) yang rusak, misalnya wanita tersebut tidak suka alat-alat musik, sedangkan orang tua suaminya justru menyukainya, atau wanita itu tidak suka ikhtilath (berkumpulnya lelaki dan wanita yang bukan mahram dalam satu tempat), sedangkan orang tua suaminya memaksanya dan dia tidak suka kalau menantunya tidak mau pergi bekerja dan ber-ikhtilath dengan laki-laki yang bukan mahramnya, atau wanita tersebut tidak memiliki ijazah, sedangkan orang tua suaminya senang kalau menantunya memiliki ijazah untuk bisa bekerja; (yang seperti ini tidak ditaati, -red).’
Ala kulli hal, hadits ini (tentang perintah ‘Umar z memerintah kepada Ibnu Umar untuk menceraikan istrinya, lalu ia pun melaksanakannya) dikaitkan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim dari ‘Ali bin Abi Thalib z, dari Nabi n bersabda,
لاَ طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
‘Tidak ada ketaatan dalam hal kemaksiatan kepada Allah. Ketaatan itu hanya dalam hal yang baik’.” (Ijabatus Sail, hlm. 231—232)
“Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (al-Furqan: 74)
Wallahu a’lam.
Catatan Kaki:
1 Lihat penjelasan asy-Syaikh Ibnu Utsaimin tentang hal ini dalam artikel “Akibat yang Sering Muncul dalam Perceraian”.