Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
“Dosa-dosa itu akan mengurangi keimanan. Jika seorang hamba bertobat, Allah azza wa jalla akan mencintainya. Derajatnya akan diangkat disebabkan tobatnya.
Sebagian salaf mengatakan, ‘Dahulu setelah Nabi Dawud alaihis salam bertobat, keadaannya lebih baik dibandingkan sebelum terjatuh dalam kesalahan. Barang siapa ditakdirkan untuk bertobat, dirinya seperti yang dikatakan Said ibnu Jubair rahimahullah,
“Sesungguhnya seorang hamba yang melakukan amalan kebaikan, bisa jadi dengan amalan kebaikannya itu akan menyebabkannya masuk ke dalam neraka. Bisa jadi pula, seorang hamba melakukan amalan kejelekan, tetapi membawa dirinya masuk ke dalam surga. Hal itu karena ia membanggakan amalan kebaikannya. Sebaliknya, hamba yang terjatuh ke dalam kejelekan membawa dirinya untuk meminta ampun kepada Allah subhanahu wa ta’ala, kemudian Allah subhanahu wa ta’ala mengampuni kesalahan-kesalahannya.”
Telah disebutkan dalam hadits yang sahih bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda,
الْأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِمِ
“Amal-amal (seorang hamba) tergantung pada amalan-amalan yang dikerjakan pada akhir kehidupannya.”
Sebab, seseorang yang bertobat dari sebuah dosa seperti orang yang tidak memiliki dosa.
Sebab, amalan-amalan kebaikan akan menghapuskan amalan-amalan kejelekan.
Mereka memberikan syafaat kepadanya ketika masih hidup dan sesudah meninggal.
Barang siapa tidak memiliki salah satu sebab yang bisa menghapuskan dosa-dosa di atas, janganlah ia mencela kecuali dirinya sendiri. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (dalam hadits qudsi),
يَا عِبَادِي إِنَّمَا هِيَ أَعْمَالُكُمْ أُحْصِيهَا لَكُمْ ثُمَّ أُوَفِّيكُمْ إِيَّاهَا فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا فَلْيَحْمَدِ اللهَ وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلَا يَلُومَنَّ إِلَّا نَفْسَهُ
“Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya ini adalah amalan-amalanmu. Aku menghitungnya untukmu kemudian Aku membalasinya untukmu. Barang siapa mendapatkan kebaikan, hendaklah ia memuji Allah. Barang siapa mendapatkan selain itu, janganlah ia mencela kecuali dirinya sendiri.”
(Diambil dari Risalah Tuhfatul ‘Iraqiyah fi A’malil Qalbiyyah hlm. 32-33, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah)