Asysyariah
Asysyariah

sebab-sebab keluar dari istiqomah

13 tahun yang lalu
baca 10 menit
Sebab-sebab Keluar dari Istiqomah

Setan adalah musuh besar manusia, yang memiliki target utama menjerumuskan sebanyak mungkin manusia ke lembah kebinasaan, keluar dari jalan istiqamah menuju jalan kesesatan. Di masa sekarang, jalan-jalan kesesatan hasil propaganda setan telah demikian marak, menjerat siapa saja yang lengah dan kurang peduli terhadap seruan agamanya. Untuk menangkal dan memperbaiki keadaan itu tidak ada jalan lain kecuali kembali kepada semua yang telah membuat baik generasi awal umat ini.

 

Setiap manusia diciptakan Allah subhanahu wa ta’ala dalam keadaan memiliki pembisik jahat yang memiliki target berbahaya. Bila manusia tersebut salah melangkah maka akan menjadi mangsa si pembisik yang jahat itu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengisyaratkan dalam sabda beliau tentang adanya pembisik ini dalam hadits riwayat al-Imam Muslim no. 2815 dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha.

مَا لَكِ يَا عَائِشَةُ أَغِرْتِ؟ فَقُلْتُ: وَمَا لِي لاَ يُغَارُ مِثْلِي عَلَى مِثْلِكَ؟ فَقَالَ: أَوْ قَدْ جَاءَكِ شَيْطَانُكِ؟ قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَوَ مَعِي شَيْطَانٌ؟ قَالَ: نَعَمْ. قُلْتُ: وَمَعَ كُلِّ إِنْسَانٍ؟ قَالَ: نَعَمْ. قُلْتُ: وَمَعَكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: نَعَمْ، وَلَكِنْ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ أَعَانَنِي عَلَيْهِ حَتَّى أَسْلَمَ

“Ada apa dengan dirimu wahai ‘Aisyah, apakah kamu cemburu?”

Aku (‘Aisyah) menjawab, “Bagaimana aku tidak cemburu terhadap orang seperti engkau.”

Beliau berkata, “Ataukah telah datang setan (yang menjadi) pendampingmu?”

Aku berkata, “Ya Rasulullah, apakah (ada) setan yang bersamaku?”

Rasulullah menjawab, “Ya.”

Aku berkata, “Apakah setiap manusia didampingi setan?”

Beliau berkata, “Ya.”

Lalu aku berkata, “Bersamamu juga?”

Beliau menjawab, “Ya, akan tetapi Allah telah menolong diriku atasnya sehingga (ia) masuk Islam.”

Tahukah pembaca, siapa pembisik yang jahat itu? Dialah setan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman mengingatkan kita,

وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِينٌ ١٦٨ إِنَّمَا يَأۡمُرُكُم بِٱلسُّوٓءِ وَٱلۡفَحۡشَآءِ وَأَن تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ ١٦٩

“Dan jangan kalian mengikuti langkah-langkah setan, sesungguhnya dia bagi kalian adalah musuh yang nyata. Sesungguhnya dia selalu memerintah kalian untuk (melakukan) kejahatan dan kekejian dan agar kalian mengucapkan apa-apa yang tidak kalian ketahui.” (al-Baqarah: 168—169)

Demikianlah betapa bahayanya pembisik ini. Allah subhanahu wa ta’ala telah mewanti-wanti setiap hamba-Nya agar mewaspadai ulah setan dan tidak terjatuh dalam bujuk rayu mautnya. Sekali terjatuh dalam jeratannya, akan sulit untuk melepaskan diri kecuali orang-orang yang Allah subhanahu wa ta’ala beri rahmat dan pertolongan.

Sikap senantiasa mewaspadai bujuk rayu setan dan menjauhi perbuatan yang bisa mengantarkan seseorang terjerumus pada perbuatan dosa yang sangat disukai setan, semestinya dimiliki oleh setiap muslim. Inilah faktor utama seseorang bisa bertahan meniti jalan istiqamah.

Long-Road-Home

Dari sini betapa agung sikap istiqamah dan betapa celaka bagi orang yang keluar dari istiqamah. Al-Imam An-Nawawi rahimahullah, mengatakan, “Makna istiqamah adalah: Senantiasa di atas ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan (kalimat ini) termasuk dari jawami’ al-kalim (lafadznya singkat dan maknanya padat) dan dia adalah pengatur semua perkara.”

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di dalam al- Qur’an,

إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُواْ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسۡتَقَٰمُواْ تَتَنَزَّلُ عَلَيۡهِمُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ أَلَّا تَخَافُواْ وَلَا تَحۡزَنُواْ وَأَبۡشِرُواْ بِٱلۡجَنَّةِ ٱلَّتِي كُنتُمۡ تُوعَدُونَ ٣٠

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan Rabb kami adalah Allah, kemudian berpegang teguh padanya niscaya malaikat akan turun atas mereka untuk (memberikan kabar gembira) agar kalian jangan takut dan bersedih. Bergembiralah dengan jannah yang telah dijanjikan buat kalian.” (Fushshilat: 30)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan dalam sabdanya tentang seseorang yang tidak istiqamah sebagaimana dalam hadits riwayat al-Imam Muslim no. 118 dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:

يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا وَيُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيْعُ دِيْنَهُ بِعَرَضٍ مِنَالدُّنْيَا

“Di pagi hari seorang beriman dan di sore harinya menjadi kafir, dan di sore harinya beriman di pagi harinya menjadi kafir. Dia melelang (menjual) agamanya dengan harta benda dunia.”

Termasuk perkara yang nyata dalam kehidupan, yang tidak akan dimungkiri oleh setiap orang adalah adanya sunnatullah (ketetapan Allah subhanahu wa ta’ala) bagi setiap hamba yang tidak akan berubah.

Di antara hamba ada yang tersesat semenjak beban syariat harus ia tunaikan sampai ia menghadap Allah subhanahu wa ta’ala. Ada pula yang mendapatkan hidayah untuk istiqamah di awal perjalanan hidupnya namun di akhir kehidupan menjadi orang yang tersesat. Ada pula yang sebaliknya, di akhir kehidupan dia mendapatkan hidayah di jalan istiqamah meski awalnya penuh bergelimang dengan dosa dan maksiat. Inilah sunnatullah yang tidak bisa ditolak oleh setiap orang.

سُنَّةَ ٱللَّهِ ٱلَّتِي قَدۡ خَلَتۡ مِن قَبۡلُۖ وَلَن تَجِدَ لِسُنَّةِ ٱللَّهِ تَبۡدِيلٗا ٢٣

“Sunnatullah telah berlalu (berlaku) dari sebelumnya. Sekali-kali kamu tidak akan menjumpai pada sunnatullah itu perubahan.” (al-Fath: 23)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

مَا يُبَدَّلُ ٱلۡقَوۡلُ لَدَيَّ وَمَآ أَنَا۠ بِظَلَّٰمٖ لِّلۡعَبِيدِ ٢٩

“Keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah, dan Aku sekali-kali tidak akan menganiaya hamba-hamba-Ku.” (Qaf: 29)

Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya al- Fawaid berkata, “Ada yang berpendapat, yang dimaksudkan (dalam ayat ini) seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala:

لَأَمۡلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ ٱلۡجِنَّةِ وَٱلنَّاسِ أَجۡمَعِينَ ١١٩

“Sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.” (Hud: 119)

Sementara janji-janji yang diberikan kepada orang beriman adalah jannah. Hal ini tidak akan bisa diubah dan tidak bisa ditentang.”

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu berkata, “Maksudnya, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, ‘Apa yang sudah Aku janjikan kepada orang-orang yang taat dan yang mendurhakai-Ku tidak akan berubah’.”

Mujahid rahimahullah berkata, “Telah Aku putuskan apa yang memang Kuputuskan.” Masih banyak penafsiran lain tentang ayat ini, namun yang paling benar adalah kedua penafsiran tersebut.

 buka-pintu

Beberapa Penyebab Keluar dari Istiqamah

Mengetahui perkara yang bisa menyebabkan seseorang keluar dari jalan istiqamah merupakan perkara yang sangat penting. Hudzaifah Ibnul Yaman radhiallahu ‘anhu berkata, “Orang-orang (para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan, namun aku bertanya kepada beliau tentang kejahatan (karena) khawatir (kejahatan tersebut) menimpaku.” (HR. al-Bukhari)

Melalui hadits ini dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

الدِّينُ النَّصِيحَةُ

“Agama itu adalah nasihat.” (HR. Muslim dari sahabat Tamim ad-Dari radhiallahu ‘anhu)

Ada beberapa perkara yang menyebabkan seseorang menyeleweng dan keluar dari istiqamah, di antaranya:

  1. Hilangnya dasar-dasar keistiqamahan di tengah kaum muslimin dan terbukanya pintu-pintu penyelewengan yang berakibat mendekatnya penyeru-penyeru penyelewengan dari kalangan setan jin dan manusia.

Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya, Ibnu Majah dalam Sunan-nya, Ibnu Hibban di dalam Shahih-nya, ad-Darimi di dalam Sunannya, dan selain mereka dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani di dalam kitab Shahih Sunan Ibnu Majah, 1/7, hadits no. 11, dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat sebuah garis lurus dengan tangan beliau dan mengatakan,, “Ini adalah jalan Allah subhanahu wa ta’ala yang lurus.”

Lalu beliau menggaris dari kanan dan kiri kemudian mengatakan, “Ini adalah jalan-jalan yang tidak ada satu pun dari jalan-jalan tersebut melainkan setan menyeru di atasnya.”

Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Ini adalah jalanku yang lurus maka ikutilah dia, dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan yang menyebabkan kalian terpisah dari jalan-Nya. Demikianlah wasiat Allah subhanahu wa ta’ala kepada kalian agar kalian menjadi orang yang bertakwa.”

  1. Meninggalkan pendidikan Islami bagi generasi muslim sejak dini dan menganggap perkara tersebut sebagai perkara kecil.

Generasi penerus itu tidak diarahkan kepada sesuatu yang bermanfaat untuk kehidupan dunia dan akhirat mereka. Lalu bagaimana bisa diharapkan bila demikian cara peletakan batu pertama terhadap generasi Islam, agar dia tumbuh menjadi orang yang cinta terhadap ketaatan, benci terhadap kemaksiatan dan selamat fitrahnya?

2. Memberikan kebebasan kepada anak-anak untuk mencari kesenangan hidup tanpa ada aturan syariat.

Anak pun melakukan segala kerusakan selama dia bisa mendapatkan kesenangan, seperti permainan yang melalaikan, menonton film-film porno dan sinema yang penuh kedustaan, narkoba, dugem, pergaulan bebas, merokok, musik, dan lain-lain.

3. Hilangnya perhatian para guru terhadap anak didiknya, sehingga mereka berbuat apa saja yang diinginkan, walaupun hal itu bertentangan dengan apa yang dikajinya. Hal ini mengakibatkan pada diri mereka muncul dua pendorong yang berbahaya.

Pertama: Dorongan untuk terjerumus menjadi orang yang menyeleweng,

kedua: Menjadi orang yang bangkrut kehidupan dunia dan akhiratnya.

  1. Meninggalkan rumah-rumah Allah subhanahu wa ta’ala (masjid) dan tidak memenuhi panggilan seruan da’i-Nya, karena melanglang buana dalam aktivitas yang tidak berguna untuk dunia, terlebih untuk akhirat. Inilah mayoritas perbuatan yang dilakukan di tengah muslimin, lebih-lebih di kalangan para pemuda yang cenderung senantiasa melampiaskan nafsunya.
  2. Bertebarannya kemungkaran di tengah-tengah kaum muslimin dan terciptanya lingkungan yang jelek dan kotor. Semua ini sangat mungkin menjadi sebab terjadinya penyelewengan dan keluar dari istiqamah.
  3. Terlepasnya tali hubungan antara anak dan bapak yang saleh lagi bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala, sehingga anak menempuh jalan-jalan kedurhakaan yang merupakan seruan Iblis dan tentara-tentaranya untuk menuntut keadilan dan kebebasan hidup dari orang tua yang saleh dan bertakwa tersebut. (Kitab Asbab Istiqamah asy-Syabab wa Bawa’its Inhirafihim karya asy-Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi al-Madkhali, hlm. 29—32)

Ini beberapa sebab terjadinya penyelewengan dan keluarnya seorang muslim dari jalur istiqamah. Keadaan ini membutuhkan jawaban (solusi) agar jangan sampai generasi Islam pada masa yang mendatang menjadi pengibar bendera kesesatan dan penyelewengan, menjadi generasi yang tidak berdaya di hadapan musuh-musuh Allah subhanahu wa ta’ala, generasi yang egois, rusak moral, menjadi generasi yang rendah dan budak peliharaan musuh-musuh mereka.

Tentu jawabannya adalah harus kembali meniti jalan salaf (pendahulu) kita yang saleh di dalam memahami dan mengamalkan agama Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِيْنِكُمْ

“Allah subhanahu wa ta’ala akan menimpakan kepada kalian kehinaan dan tidak akan tercabut kehinaan tersebut sampai kalian kembali kepada agama kalian.” ( HR. Abu Dawud dari Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anha. Dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 423)

Al-Imam Malik rahimahullah mengatakan,,

لَنْ يُصْلِحَ أَمْرَ هَذِهِ اْلأُمَّةِ إِلاَّ مَا أَصْلَحَ بِهَا أَوَّلَهَا

“Sekali-kali tidak akan ada yang memperbaiki urusan umat ini melainkan (harus kembali) kepada apa yang telah memperbaiki umat terdahulu.” Seorang penyair mengatakan,

كُلُّ خَيْرٍ فِي اتِّبَاعِ مَنْ سَلَفَ وَكُلُّ شَرٍّ فِي ابْتِدَاعِ مَنْ خَلَفَ

“Setiap kebaikan itu karena mengikuti salaf dan setiap kejahatan itu karena kebid’ahan orang kemudian.”

Abu ‘Amral-Auza’i rahimahullah mengatakan,,

عَلَيْكَ بِآثَارِ مَنْ سَلَفَ وَإِنْ رَفَضَكَ النَّاسُ

“Hendaklah kamu mengikuti jalan-jalan pendahulumu yang saleh sekalipun orang-orang menolakmu (tidak menyukaimu).”

Wallahu a’lam.

 

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Usamah bin Rawiyyah An-Nawawi