(ditullis oleh: Al-Ustadzah Ummu Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran)
Dalam kesendirian dan kehampaan hati terenggutnya istri tercinta, dia hadir membawa nuansa bagi manusia yang paling mulia, dengan keceriaan jiwa yang dimilikinya. Kebesaran jiwanya membuat dirinya senantiasa di sisi Rasulullah. Dialah Saudah bintu Zam’ah…
Tersebut satu nama mulia yang tak kan lepas dari kehidupan Rasulullah r, mengisi kesunyian jiwa beliau setelah wafatnya Khadijah bintu Khuwailid x. Dia Ummul Mukminin Saudah bintu Zam’ah bin Qais bin ‘Abdi Syams bin ‘Abdi Wadd bin Nashr bin Malik bin Hasl bin ‘Amir bin Lu`ai bin Ghalib Al-Qurasyiyyah Al-‘Amiriyyah yang memiliki kunyah Ummul Aswad. Ibunya adalah Asy-Syamus bintu Qais bin Zaid bin ‘Amr bin Labid bin Khaddasy bin ‘Amir bin Ghanam bin ‘Adi bin An-Najjar.
Bersama suaminya, As-Sakran bin ‘Amr Al-‘Amiri, Saudah bintu Zam’ah menyongsong cahaya keimanan yang dibawa Rasulullah r. Walaupun dengan itu, ia harus menanggung derita dan siksaan dari orang-orang musyrikin yang hendak mengembalikan mereka ke dalam kesesatan dan kesyirikan.
Saat siksaan dan himpitan itu bertambah berat, berhijrahlah Saudah dan suaminya dalam barisan delapan orang shahabat Rasulullah r. Namun tak berapa lama muhajirin Habasyah ini pulang kembali ke negeri mereka.
Sekembalinya mereka dari Habasyah ke Makkah, As-Sakran bin ‘Amr meninggal dunia. Saudah bintu Zam’ah kehilangan suami tercinta. Kini dia menjanda.
Sementara itu, Rasulullah r tengah merasakan kesedihan dengan hilangnya wanita yang dicintainya, yang beriman kepada beliau saat manusia mengingkarinya, yang menopang dengan hartanya saat manusia enggan memberinya dan yang darinya beliau mendapatkan buah hati. Kesedihan yang teramat dalam, hingga tak seorang pun dari kalangan shahabat beliau yang berani menyinggung masalah pernikahan di hadapan beliau. Namun seorang shahabiyyah, Khaulah bintu Hakim As-Sulamiyyah, mengetuk pintu hati Rasulullah r dengan pertanyaannya, “Tidakkah engkau ingin menikah lagi, wahai Rasulullah?”
Dengan nada penuh kesedihan dan kegalauan, Rasulullah balik bertanya, “Adakah lagi seseorang setelah Khadijah?” Khaulah pun menjawab, “Kalau engkau menghendaki, ada seorang gadis. Atau kalau engkau menghendaki, ada pula yang janda.” Rasulullah r bertanya lagi, “Siapa yang gadis?” Jawab Khaulah, “Putri orang yang paling engkau cintai, ‘Aisyah putri Abu Bakr.”
Rasulullah r terdiam sesaat, kemudian bertanya lagi, “Siapa yang janda?” Khaulah menjawab, “Saudah bintu Zam’ah, seorang wanita yang beriman kepadamu dan mengikuti ajaranmu.”
Tawaran Khaulah mengantarkan Saudah bintu Zam’ah memasuki gerbang rumah tangga Rasulullah r. Hati beliau tersentuh dengan penderitaan wanita muhajirah ini. Lebih-lebih di saat itu Saudah memasuki usia senja, tentu lebih layak mendapatkan perlindungan.
Maka pada tahun kesepuluh setelah beliau diangkat sebagai nabi, Rasulullah r pun menikah dengannya. Di masa itu pula beliau melaksanakan akad nikahnya dengan ‘Aisyah bintu Abi Bakr Ash-Shiddiq. Saudah meminta kepada Hathib bin ‘Amr Al-‘Amiri, salah seorang shahabat dari kaumnya yang pernah turut dalam perang Badr dan juga ikut berhijrah ke Habasyah untuk menikahkannya.
Seorang diri Saudah mendampingi Rasulullah r selama tiga tahun lebih hingga tiba saat ‘Aisyah x menyusulnya hadir dalam rumah tangga Rasulullah r di Madinah.
Ketika Rasulullah r hijrah ke Madinah, Saudah bintu Zam’ah x bersama keluarga Rasulullah yang lain masih tinggal di Mekkah. Setelah usai pembangunan masjid dan tempat tinggal beliau di Madinah, barulah Rasulullah r mengutus Zaid bin Haritsah dan Abu Rafi’ c untuk menjemput Saudah dan putri-putri beliau.
Berangkatlah mereka berdua berbekal lima ratus dirham dan dua ekor unta. Dengan lima ratus dirham itu mereka membeli tiga ekor unta. Kemudian mereka berdua masuk ke kota Makkah untuk membawa Saudah bintu Zam’ah beserta putri-putri Rasulullah r, Fathimah dan Ummu Kultsum. Pada saat itu juga Zaid menjemput istrinya, Ummu Aiman, dan putranya, Usamah bin Zaid, ke bumi hijrah, Madinah.
Hari terus bergulir, usia pun bertambah. Saudah mengerti bahwa Rasulullah r menikahinya semata-mata karena rasa iba beliau dengan keadaannya setelah suaminya tiada. Semakin jelaslah semua itu ketika beliau bermaksud menceraikannya dengan cara yang sebaik-baiknya agar tidak melukai hatinya. Rasulullah r menyampaikan keinginannya ini kepadanya. Maka di hadapan beliau, dengan dada yang sesak, Saudah bintu Zam’ah berbisik lirih, “Tahanlah aku, wahai Rasulullah. Demi Allah, aku tidak lagi memiliki keinginan terhadap pernikahan. Namun aku sangat berharap kelak di hari kiamat Allah akan membangkitkan diriku sebagai istrimu.”
Wanita mulia yang mengharapkan kemuliaan. Dia utamakan keridhaan suaminya yang mulia, hingga dia berikan pula hari gilirannya untuk ‘Aisyah, istri yang sangat dicintai oleh Rasulullah r dan beliau pun menerimanya.
Peristiwa ini menyisakan sesuatu yang teramat berarti. Allah I menurunkan ayat 128 dari Surat An-Nisa`:
“Maka tidak mengapa atas kedua suami istri itu mengadakan perdamaian dengan sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik.”
Tetaplah kemuliaan itu dia dapatkan, sampai tiba saatnya dia menghadap Rabbnya U pada akhir masa pemerintahan ‘Umar ibnul Khatthab z di Madinah An-Nabawiyyah.
Jejaknya masih terasa, sejarahnya masih terbaca. Saudah bintu Zam’ah, semoga Allah I meridhainya…
Sumber bacaan: