(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf)
Penerapan al-wala’ wal bara’ membutuhkan pengetahuan dan ilmu yang cukup. Jika tidak, yang terjadi adalah satu dari dua kemungkinan: menolak dan mengubur akidah ini dengan alasan bertolak belakang dengan prinsip Islam lainnya (prinsip berbuat baik); atau mengakui akidah ini dan menegakkannya, namun melampaui batas syar’i alias berlebihan atau ghuluw. Semua ini disebabkan oleh kebodohan.
Berlebihan dalam al-Wala’ wal Bara’
Sikap ghuluw dalam al-wala’ wal bara’, dilatarbelakangi oleh dua hal yang paling mendasar, yaitu:
Pertama, vonis kafir terhadap amalan-amalan yang secara lahirnya menyelisihi tuntutan akidah al-wala’ wal bara’.
Ini disebabkan ketidakpahaman terhadap letak atau ruang lingkup jatuhnya vonis kafir dalam bab al-wala’ wal bara’. Sekadar membantu pekerjaan orang-orang kafir belum menyebabkan pelakunya dikafirkan dan dianggap melanggar akidah al-wala’ wal bara’ karena ada kemungkinan ia tetap mencintai agama Islam dan berharap dapat membelanya. Tetapi, keimanannya yang lemah menyebabkannya mendahulukan urusan dunia dan maslahat pribadinya yang segera.
Adapun letak atau ruang lingkup jatuhnya vonis kafir dalam bab ini sebenarnya berkaitan dengan amalan hati. Untuk urusan hati, tidak ada yang mengetahuinya selain Allah l. Oleh karena itu, seseorang tidak dapat divonis kafir hanya dengan tuduhan telah hilang akidah ini (al-wala’ wal bara’) dalam hatinya.
Namun, jika seseorang menegaskan dan berterus-terang menyatakan kecintaan kepada agama orang-orang kafir atau bertekad membela agamanya, pernyataannya ini merupakan bentuk kekufuran sehingga ia dikafirkan karenanya, meskipun batinnya bisa jadi menyelisihi keadaan lahirnya. Namun, kita menghukumi lahirnya dan Allah l lah yang mengurusi keadaan batinnya.
Perbuatan yang lahirnya menyelisihi tuntutan al-wala’ wal bara’—walaupun tidak termasuk bentuk kekafiran—merupakan dosa dan maksiat. Akan semakin besar dosa dan maksiat ini ketika kepentingan membantu orang-orang non-Islam lebih utama didahulukan. Bahkan, bisa jadi masuk dalam bentuk kekafiran apabila disertai kecintaan kepada agama orang-orang kafir atau keinginan untuk membela agama mereka.
Dalil yang menjelaskan masalah ini adalah hadits yang memuat kisah Hathib ibnu Abi Balta’ah z. Kisahnya, dia menulis surat kepada orang-orang kafir di Makkah secara sembunyi-sembunyi, membocorkan rencana Rasulullah n yang hendak menyerang mereka (dalam Fathu Makkah, red.). Surat ini hendak disampaikan oleh seseorang kepada orang-orang kafir Makkah.
Rasulullah n lalu memanggil Hathib z seraya berkata, “Wahai Hathib, apa yang engkau lakukan ini?”
Ia menjawab, “Wahai Rasulullah, jangan terburu-buru menghukumi saya. Sesungguhnya saya mempunyai kerabat yang tinggal di tengah orang-orang Quraisy. Saya tinggalkan mereka dalam keadaan tidak ada yang melindunginya. Orang-orang yang berangkat hijrah bersamamu mempunyai kerabat yang akan melindungi keluarganya. Ketika saya tidak bisa melakukan hal itu, saya berkeinginan agar mereka melindungi kerabat saya. Saya tidak melakukan ini karena kekafiran, tidak pula karena telah murtad dari agama saya, tidak pula karena rela dengan kekafiran setelah Islam.”
Nabi n pun berkata, “Benar.”
Umar z lalu berkata, ”Biar saya penggal leher orang munafik ini, wahai Rasulullah’.”
Beliau menjawab, ”Ia ikut serta dalam Perang Badr. Tidakkah engkau mengetahui, sesungguhnya Allah l telah mengetahui keadaan Ahlul Badr (veteran Perang Badr)?” (HR. al-Bukhari no. 3007, 3081, 4274, 4890, 6259, 6939, dan Muslim no. 2494, 2495)
Dalam riwayat lain: Seraya menyebut firman Allah l kepada orang-orang yang ikut Perang Badr, “Berbuatlah sekehendak kalian, sungguh Aku telah mengampuni kalian.” (HR. al-Bukhari no. 3008, 3081, 4274, 4890, 6259, 6939, Muslim no. 2494, 2495)
Apa yang dilakukan sahabat Hathib z ini bukanlah kekafiran, namun sebuah dosa besar. Hanya saja keikutsertaannya dalam Perang Badr lebih agung daripada (dosa tersebut) sehingga pahala amalannya yang telah lalu melebihi dosa yang terjadi kemudian.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t menegaskan bahwa apa yang terjadi pada Hathib ibnu Abi Balta’ah z adalah dosa, namun bukan kekafiran. (Majmu Fatawa, 7/522—523)
Ibnu Katsir t berkata, “Rasulullah n menerima alasan Hathib yang menjelaskan bahwa ia melakukan hal itu sekadar berpura-pura di depan orang-orang Quraisy agar apa yang menjadi miliknya terjaga di sisi mereka, seperti harta dan anak-anak.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/410)
Kedua, yang melatarbelakangi ghuluw dalam al-wala’ wal bara’ adalah penerapan yang salah dalam hal bara’ dari orang-orang kafir. Di antaranya, menghalalkan darah dan harta milik kafir dzimmi atau mu’ahad, atau menampakkan muamalah yang cenderung keras dan kaku tanpa sebab yang membolehkan hal. Itu semata-mata lantaran semangat yang menggebu-gebu dan keyakinan (tanpa ilmu) bahwa hal-hal tadi merupakan tuntutan dari al-wala’ wal bara’. Padahal bersikap lembut dan baik terhadap mereka juga diperintahkan, dengan catatan tidak menunjukkan ketinggian dan kemuliaan orang-orang kafir daripada orang Islam.
Tidak diragukan bahwa menampakkan muamalah yang keras dan kaku seperti yang disebutkan tadi bukan bagian dari al-wala’ wal bara’. Prinsip al-bara’ justru menuntut adanya bara’ (benci dan berlepas diri) dari perbuatan yang berlebihan tersebut.
Sikap ghuluw dalam penerapan al-bara’ ini disebabkan oleh dua hal.
1. Pemahaman yang sempit terhadap dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Di samping begitu jelasnya akidah al-wala’ wal bara’, ada juga perintah untuk memperlihatkan adab dan akhlak ketika bermuamalah dengan nonmuslim. Tidak dibenarkan jika dalam bersikap hanya bertumpu pada satu sisi dan mengesampingkan sisi lainnya. Hal inilah yang menuntun kepada penerapan al-bara’ yang keliru yang tidak diakui oleh agama karena tanpa landasan dan ketentuan yang benar.
2. Tidak ada perhatian dan pengetahuan yang benar terhadap fiqih maslahat dan mafsadah (pemahaman yang mendalam dalam mengukur akibat sebuah perbuatan, apakah lebih dominan sisi kebaikannya atau kerusakannya).
Padahal fiqih maslahat dan mafsadah adalah pembahasan yang agung sekali dalam bab fiqih Islam. Bahkan, seluruh tuntunan syariat ini berpijak di atasnya.
Akan tetapi, untuk mengetahui dan menerapkannya fiqih ini harus dengan cara yang benar, bukan kemampuan setiap orang. Dengan demikian, masalah ini harus dikembalikan kepada para ulama, orang-orang yang alim dan faqih tentang ilmu agama Allah l. Maka dari itu, mengetahui perkembangan dan kondisi kaum muslimin dalam hal tersebut sangatlah penting. Jika tidak, akan menjadi penyebab terlalaikannya fiqih maslahat dan mafsadah.
Meremehkan dan Menolak al-Wala’ wal Bara’
Meremehkan dan menolak al-wala’ wal bara’ berarti menghancurkan dan melenyapkan akidah ini dari kaum muslimin. Ironinya, sebagian orang melakukannya dengan alasan menjaga persatuan, toleransi, dan kebersamaan umat. Mereka berusaha kuat menyebarkan adat, kebiasaan, dan gaya hidup orang-orang kafir di tengah-tengah kaum muslimin, lalu menyemangati umat untuk tasyabbuh (meniru) segala hal yang menjadi ciri khas orang-orang kafir.
Di sisi lain, begitu banyak dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menerangkan akidah ini, sebagaimana telah berlalu pembahasannya. Demikian pula, Allah l telah menetapkan syariat untuk kita terkait hukum-hukum yang melandasi larangan meniru gaya hidup orang-orang kafir (tasyabbuh) dan perintah untuk menyelisihinya. Ini semua diterangkan dalam dalil-dalil yang sangat banyak. Silakan lihat kembali pembahasan tentang tasyabbuh di Majalah Asy Syariah edisi 11. Jadi, tindakan meremehkan dan menolak akidah al-wala’ wal bara’ ini pada intinya karena kebodohan dan dangkalnya pemahaman terhadap syariat. Wallahu a’lam.