Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
قَال رَسُولُ اللهِ فِي الْبَحْرِ: هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang laut, “Airnya suci dan bangkainya halal.” (Sahih, HR. Abu Dawud no. 83, at-Tirmidzi no. 69, an-Nasai no. 50 dan 176, serta Ibnu Majah no. 386 dan 3246)
bahwa hadits tersebut mengandung masalah kewajiban merujuk kepada para ulama saat mendapati urusan-urusan agama. Ini sebagaimana yang dilakukan para sahabat ketika mereka menghadapi masalah dalam perjalanan di atas lautan. Mereka mengadukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bilamana mereka menghadapi kesulitan mendapatkan air untuk bersuci. Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membimbing mereka dengan menjelaskan bahwa air laut itu suci, bisa digunakan untuk berwudhu dan mandi junub. (Lihat Tashilul Ilmam, hlm. 22)
Itulah sikap yang ditunjukkan para sahabat radhiallahu ‘anhum. Mereka senantiasa merujuk kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu pula semestinya seorang muslim senantiasa merujuk kepada para ulama yang memiliki otoritas dan kelaikan ilmu agama. Ulama yang dimaksud tentu bukan ulama berdasar penilaian dari kacamata kaum awam. Namun, ulama yang dimaksud adalah ulama rabbani, yang memiliki keutamaan ilmu dan beramal dengan ilmunya. Benar-benar membimbing umat dengan landasan pemahaman Islam yang sahih sebagaimana dipahami salafus shalih.
Muhammad bin Sirin rahimahullah pernah mengungkapkan:
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِيْنَكُمْ
“Sesungguhnya ilmu itu adalah agama. Maka dari itu, perhatikan dari siapa kalian mengambil agama kalian.” (Lihat Muqaddimah Shahih Muslim)
Pernyataan Muhammad bin Sirin rahimahullah ini turut menjadi penegas perihal pentingnya memerhatikan sumber rujukan dalam mempelajari agama. Kesalahan dalam mengambil sumber rujukan akan berakibat fatal. Ini terkait keselamatan agama seseorang. Menyangkut lurus dan tidaknya pemahaman agama yang dianut seseorang. Semua ini akan terkait pada keselamatan seseorang di dunia dan akhirat kelak.
Al-Imam al-Barbahari rahimahullah menyatakan bahwa Yunus bin Ubaid melihat anaknya yang keluar dari tempat ahli bid’ah. Lantas Yunus bin Ubaid berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, dari mana engkau?”
Jawab anaknya, “Dari tempat Amr bin Ubaid (seorang tokoh Mu’tazilah, pen.).”
Kata Yunus kemudian, “Wahai anakku, aku melihatmu dari rumah khuntsa (orang banci) lebih aku sukai daripada aku melihatmu keluar dari rumah si fulan dan si fulan.”
Ketahuilah, Yunus bin Ubaid mengetahui bahwa (sekadar) khuntsa tidak akan menyesatkan anaknya dari pemahaman agamanya. Adapun pelaku bid’ah akan menyesatkan anaknya, bahkan bisa menjadikannya kafir.
Menurut asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah, saat menjelaskan kisah tersebut, engkau keluar dari (rumah) seorang shahibu as-sunnah meski dia seorang yang bermaksiat, itu lebih ringan dibandingkan dengan engkau duduk bersama ahli bid’ah. Karena itu, Yunus bin Ubaid memperingatkan anaknya dari Amr bin Ubaid, seorang tokoh Mu’tazilah. Duduk bersama seorang muslim ahlus sunnah walau kurang dalam agamanya, itu lebih kecil dan lebih ringan bahayanya dibandingkan dengan seseorang duduk bersama ahli bid’ah.
Terlebih dalam masalah belajar. Jangan sekali-kali belajar kepada pengikut hawa nafsu, ahli bid’ah, dan orang yang suka mengada-adakan sesuatu yang baru dalam urusan agama. Hendaklah belajar kepada ahlus sunnah. Kepada para ulama ahlus sunnah, ulama yang memiliki akidah yang benar dan lurus, sebagaimana dikatakan oleh Muhammad bin Sirin rahimahullah, “Sesungguhnya ilmu itu adalah agama. Maka dari itu, perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.” (Syarhus Sunnah, al-Barbahari, dengan ta’liqat [komentar] asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan, hlm. 381)
Perkembangan kehidupan beragama di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perkembangan pemikiran keagamaan di perguruan tinggi berlabel Islam yang orang lebih mengenalnya dengan nama IAIN[1].
Banyak lontaran pemikiran, bahkan bersifat aksi, dari perguruan tinggi semodel ini yang membahayakan kehidupan beragama. Sebut saja beberapa aksi mereka yang terliput dan dipublikasikan di antaranya, di kampus berlabel Islam ini mereka sudah berani menyatakan bahwa perguruan tinggi mereka merupakan wilayah bebas tuhan. Mereka pun berani menginjak-injak lafadz الله . Selain itu, mereka menyeru masyarakat agar melegalisasi homoseksual. Untuk aksi yang satu ini, mereka telah membuat agenda kerja yang dituangkan dalam sebuah buku berjudul Indahnya Kawin Sesama Jenis; Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual (Semarang: Lembaga Studi Sosial dan Agama/eLSA, 2005). Buku ini merupakan kumpulan artikel di Jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Semarang edisi 25, Th XI, 2004. Aksi lainnya, mereka mengubah kalimat takbir Allahu akbar menjadi anjing-hu akbar. Sebuah aksi penistaan terhadap agama.
Aksi-aksi di atas terjadi tidak semata di satu perguruan tinggi berlabel Islam saja. Sebagian aksi yang disebutkan di atas, terjadi juga di perguruan tinggi berlabel Islam di kota-kota lainnya.
Apa yang dilakukan oleh para mahasiswa perguruan tinggi berlabel Islam tersebut hanya merupakan fenomena gunung es. Yang tampak di permukaan hanya sebagian kecil. Sementara di bawah permukaan jauh lebih dahsyat kerusakannya.
Bila dirunut, peristiwa tersebut tentu ada kaitan dengan program jangka panjang menghancurkan Islam dan kaum muslimin di Indonesia. Melalui program pemberian beasiswa ke luar negeri bagi para dosen di perguruan tinggi berlabel Islam ini, bergulirlah program sekularisme dan liberalisme. Fondasi ke arah itu sudah diletakkan oleh Prof. Dr. Harun Nasution, seorang yang mengaku menganut paham Mu’tazilah.
Selama periode 1988-1991, program beasiswa dengan mengirimkan para dosen ke luar negeri untuk program S2 dan S3 di universitas-universitas Barat terhitung sukses. Tidak kurang dari 75% para dosen tersebut diterima untuk belajar dan mengadopsi nilai-nilai baru.
Di antara tempat belajar mereka adalah McGill (Kanada), Leiden (Belanda), UCLA, Chicago, dan Harvard (AS), Birmingham, Manchester, dan Oxford (Inggris), Hamburg (Jerman), serta ANU, Monash, dan Flinders (Australia). Semasa Munawir Sjadzali, MA menjadi Menteri Agama, Departemen Agama telah mengirim sebanyak 225 mahasiswa ke Barat. Melalui program ini, proses cuci otak terus berlangsung. Selama bertahun-tahun mereka menjalani proses pengikisan iman secara sistematis. Tak mengherankan jika di antara mereka, sepulang belajar kepada orang kafir, lantas melontarkan pernyataan-pernyataan kufur. Mereka berbicara tentang Islam sebatas tataran akal. Tanpa kaidah-kaidah baku sebagaimana yang diajarkan para ulama terdahulu. Bahkan, bagi mereka, kaidah-kaidah para ulama terdahulu hanyalah sebuah sistem usang yang menjadi sebab kemunduran kaum muslimin. Wallahul musta’an.
Tak mengherankan bila mereka menafsirkan al-Qur’an menggunakan metodologi hasil rekayasa akal. Tidak mengacu kepada apa yang telah diajarkan para ulama terdahulu.
Ini semua lantaran salah memilih tempat menimba ilmu. Mereka telah salah asuh. Benarlah apa yang dinyatakan Muhammad bin Sirin rahimahullah, “Sesungguhnya ilmu itu adalah agama. Maka dari itu, perhatikan dari siapa kalian mengambil agama kalian.”
Perguruan tinggi berlabel Islam ini kini kian dijadikan sarang bagi berkembangnya para perusak. Mereka mengaku muslim, namun mereka memorakporandakan pemahaman Islam. Mereka membungkus racun yang ditebarkan ke dalam otak kaum muslimin awam menggunakan istilah metodologi ilmiah, modern, dan kritis. Adapun kepada orang yang konsisten dengan nilai-nilai Islam yang benar, mereka sebut dengan istilah tradisional, konservatif, garis keras, klasik, dan istilah lain yang semakna. Namun, dari istilah tersebut mereka hendak menciptakan stigma bahwa kaum muslimin yang tidak sepemikiran dengan mereka sebagai kaum terbelakang, jumud, dan sulit diajak maju.
Sebenarnya, bila ditelisik lebih mendalam, mereka adalah orang-orang yang inferior (minder) di hadapan Barat. Mereka paling takut jika dicap sektarian. Mereka seakan-akan orang yang paling toleran. Senyatanya, mereka adalah orang-orang yang tidak bisa menerima Islam yang dipahami secara benar berdasar pemahaman para pendahulu umat. Bukti bahwa mereka tidak bisa menerimanya adalah istilah-istilah yang mereka buat untuk merendahkan kaum muslimin lainnya. Selain itu, sikap mereka senantiasa dan selalu merasa berpikir ‘maju’ di hadapan kaum muslimin yang mereka anggap kaum tradisional.
Senyatanya, cara berpikir mereka stagnan, tidak mengalami kemajuan berarti. Perhatikan isu-isu yang selalu mereka angkat dan lansir ke hadapan umat. Pasti tidak pernah jauh bergulir dari masalah agama dan pluralisme, kesetaraan gender, civil society, dan demokratisasi, yang berujung kepada sekularisasi dalam hidup bernegara. Masalah agama dan pluralisme akan berujung kepada penyatuan agama, karena mereka menganggap bahwa semua agama itu benar dan konsep tuhan pada setiap agama itu satu. Demikian pemikiran-pemikiran sesat yang ditelurkan para pemikir di perguruan tinggi berlabel Islam itu.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali Imran: 85)
Al-Allamah Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata dalam Manzhumah fil Qawa’id al-Fiqhiyyah (hlm. 108):
اعْلَمْ هُدِيْتَ أَنَّ أَفْضَلَ الْمِنَنِ
عِلْمٌ يُزِيلُ الشَّكَّ عَنْكَ وَالدَّرَنِ
وَيَكْشِفُ الْحَقَّ لِذِي الْقُلُوبِ
وَيُوصِلُ الْعَبْدَ إِلَى الْمَطْلُوبِ
Ketahuilah, semoga petunjuk diberikan kepadamu, bahwa karunia yang paling utama
adalah ilmu yang memupus keraguan dan kotoran yang melekat padamu.
Menyingkap kebenaran bagi yang memiliki kalbu
mengantarkan hamba kepada apa yang dituntut
Al-‘Allamah Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menyebutkan pada dua bait syairnya
bahwa yang bisa menepis syubhat dan syahwat dari kalbu adalah ilmu yang bermanfaat.
Tak diragukan bahwa syubhat bakal mewariskan keragu-raguan. Adapun syahwat akan mewariskan kekotoran pada hati, yang lantas meluas melemahkan badan dari berbagai sikap taat dan mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Menurut beliau rahimahullah, tanda ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang mampu menghapus dua macam penyakit dan dua penghalang besar itu. Dengan ilmu yang bermanfaat, seorang hamba akan mendapatkan dua hal: yakin sebagai lawan ragu, dan keimanan yang sempurna yang kelak mengantarkan hamba kepada apa yang dia cari sebagai buah dari amal saleh. Adapun yang terakhir disebut, merupakan lawan dari syahwat. Maka dari itu, setiap bertambah ilmu yang bermanfaat pada diri hamba tersebut, bertambah pula keyakinan dan kesempurnaan iman dan kehendaknya. Dengan dua hal ini, akan sempurnalah kebahagiaan, kemenangan, dan kesuksesan hamba.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (as-Sajdah: 24)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Kebaikan, kebahagiaan, kesempurnaan, dan kesalehan itu terbatas pada dua hal: ilmu yang bermanfaat dan amal saleh.” (Majmu’ Fatawa, 19/169)
Kesimpulannya, ilmu yang bermanfaat akan membuahkan amal kebaikan dan perkataan yang baik. Adapun sikap jahil (bodoh) akan melahirkan—wal ‘iyadzu billah—amal kejelekan dan perkataan yang jelek lagi kotor. (Ushul as-Sunnah lil Imam Abi Bakr al-Humaidi wa ma’ahu Tamamul Minnah fi Syarhi Ushul as-Sunnah, asy-Syaikh Dr. Abdullah bin Abdurrahim al-Bukhari, hlm. 12—13)
Kini, bagaimanakah keadaannya jika para mahasiswa—yang katanya belajar di perguruan tinggi berlabel Islam itu—mengajak masyarakat untuk menghalalkan homoseksual, padahal secara tegas syariat mengharamkan perbuatan tersebut? Bagaimana pula dengan aksi-aksi mereka yang menistakan agama? Inikah buah dari apa yang mereka pelajari selama ini di perguruan tinggi berlabel Islam? Kalaulah ilmu yang mereka pelajari itu benar, ilmu yang bermanfaat, tentu akan membuahkan hasil dalam bentuk sikap, perilaku, dan tutur kata yang baik. Ide atau gagasan pemikiran yang mereka lontarkan kepada umat tentu akan berupa ide yang menjadikan umat semakin teguh keimanannya. Semakin terbimbing akidah, akhlak, dan pemahaman keislamannya. Tidak menjadikan umat resah dan ragu dengan keimanannya, atau justru membenarkan agama selain Islam. Cara pandang beragama semacam apakah hal demikian ini? Inilah akibat salah asuh. Salah memilih guru.
Lingkungan, termasuk teman bergaul, sangat berperan aktif memberi warna agama seseorang. Teman yang memiliki pemahaman dan amalan agama yang baik akan memberi celupan yang baik pada seseorang yang berteman dengannya. Sebaliknya, teman yang buruk akan memberi warna tidak baik pada diri seseorang. Keselamatan agamanya akan terancam, dan dirinya bisa jatuh tersungkur ke lembah kehinaan. Wal ‘iyadzu billah.
Saat menjelaskan hadits yang mengungkapkan kisah Abu Thalib menjelang kematiannya, asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menyebutkan perihal mudarat pelaku kejelekan terhadap manusia. Abu Thalib yang dibimbing oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengucapkan kalimat La ilaha illallah (Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah subhanahu wa ta’ala) menjelang kematiannya, terus-menerus dipengaruhi oleh teman buruknya yang bernama Abu Jahal. Teman buruknya ini selalu memengaruhinya untuk bertahan dalam agama nenek moyangnya. Bertahan untuk tidak mengikuti ajakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hingga maut menjemput, Abu Thalib masih dalam kekafirannya.
Diriwayatkan dari Ibnul Musayyab rahimahullah, dari ayahnya, dia berkata bahwa saat Abu Thalib akan meninggal dunia, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatanginya. Di sisi Abu Thalib sudah ada Abdullah bin Abi Umayah dan Abu Jahal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Abu Thalib, “Wahai paman, ucapkanlah La ilaha illallah. Sebuah kalimat yang kelak di hadapan Allah aku bisa berhujjah bagimu dengannya.”
Abdullah bin Abi Umayah dan Abu Jahal berkata kepada Abu Thalib, “Apakah engkau membenci (yakni meninggalkan) ajaran agama Abdul Muththalib?”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulangi lagi (permintaan mengucapkan La ilaha illallah) kepada Abu Thalib. Abdullah dan Abu Jahal pun mengulangi (hal serupa yang diucapkan tadi). Akhirnya, Abu Thalib hingga ajal tiba tidak mau mengucapkan apa yang diminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia tetap dalam keadaan di atas ajaran agama Abdul Muththalib. Dia enggan mengucapkan La ilaha illallah.
Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan, “Sungguh aku akan memohonkan ampunan bagimu selagi belum dilarang dari hal itu.”
Allah subhanahu wa ta’ala lalu menurunkan ayat:
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orangorang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya).” (at-Taubah: 113)
Berkenaan dengan Abu Thalib, Allah pun menurunkan ayat:
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki- Nya.” (al-Qashash: 56) (Shahih al-Bukhari no. 4772)
Terkait hadits di atas, asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan, kalaulah tidak ada kedua orang tersebut (Abdullah bin Abi Umayah dan Abu Jahal), bisa jadi Abu Thalib menerima apa yang diminta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, mereka—wal ‘iyadzu billah—senantiasa mengingatkan kepada kejahiliahan. Betapa berbahaya memiliki teman dekat yang buruk. Tidak semata dalam masalah kesyirikan, bahkan dalam setiap aspek perilaku manusia.
Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengibaratkan duduk dengan teman yang jelek seperti duduk bersama pandai besi. Kalaulah bukan bajumu yang terbakar, setidaknya engkau akan mendapatkan bau yang tidak menyenangkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. al-Bukhari no. 1358 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Hal itu karena kedua orang tuanya merupakan orang dekat dan teman bergaul (bagi anak). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْمَرْأُ عَلَى دِيْنِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang itu berada di atas agama temannya. Maka dari itu, perhatikanlah oleh kalian siapa yang menjadi temannya.” (HR. Ahmad 2/303 dan 334, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Yang terpenting, merupakan kewajiban bagi seorang yang berakal untuk memikirkan siapa yang menjadi temannya. Apakah temannya dari kalangan orang yang buruk? Jika seperti itu, hendaklah dia menjauhinya. Sesungguhnya teman yang seperti itu akan menjadi musuh terjelek. Ataukah temannya itu termasuk orang yang baik? Teman yang suka amar ma’ruf nahi mungkar. Teman seperti ini akan membukakan pintu-pintu kebaikan. (al-Qaulul Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid, asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, hlm. 228—229)
Al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah pernah menyatakan:
مَنْ جَالَسَ صَاحِبَ بِدْعَةٍ لَمْ يُعْطَ الْحِكْمَةَ
“Barangsiapa yang duduk bersama pelaku bid’ah, dia tidak akan diberi hikmah.”
Masih terkait dengan mengingatkan siapa yang harus dicegah menjadi kawan seiring, teman setempat duduk, al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah mengatakan:
لاَ تَجْلِسْ مَعَ صَاحِبِ بِدْعَةٍ فَإِنِّي أَخَافُ أَنْ تَنْزِلَ عَلَيْكَ اللَّعْنَةُ
“Janganlah engkau duduk bersama pelaku bid’ah, karena aku takut akan turun laknat kepadamu.”
Beliau rahimahullah berkata juga:
مَنْ أَحَبَّ صَاحِبَ بِدْعَةٍ أَحْبَطَ اللهُ عَمَلَهُ وَأَخْرَجَ نُورَ الْإِسْ مَالِ مِنْ قَلْبِهِ
“Barang siapa lebih menyukai pelaku bid’ah, Allah akan menggugurkan amalnya dan mengeluarkan cahaya Islam dari hatinya.” (Syarhus Sunnah, al-Barbahari, poin ke-172)
Semua pernyataan di atas merupakan peringatan agar tidak bermajelis dengan pelaku kesesatan, pengikut hawa nafsu, dan tidak berteman dengan mereka. Tidak pula mendengar perkataan mereka dan membaca buku-bukunya. Hendaklah seseorang menjauhi hal-hal ini. Wallahul musta’an. (Syarhus Sunnah, al-Barbahari, ta’liqat asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan, hlm. 436)
Sungguh dahsyat petaka yang kelak menimpa manakala salah memilih teman seiring. Salah memilih tempat menuntut ilmu. Salah mengambil guru yang mengajari ilmu. Alih-alih mendapatkan dunia, akhirat justru terabaikan. Alih-alih meraih ilmu, malah tidak memiliki malu. Menebar kerusakan dengan paham yang baru. Wallahul musta’an.
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberi keselamatan kepada kita semua, amin. Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafrudin
[1] Lebih tepatnya sebenarnya adalah PTAIN. Data Kementerian Agama RI 2010 jumlah UIN= 6, IAIN= 14, dan STAIN= 32 buah.