Wisata ziarah atau perjalanan safar khusus untuk melakukan ziarah kubur ke makam tertentu, masih ada dalam masyarakat kita. Bagaimana pandangan syariat tentang perbuatan ini?
Seiring dengan bergulirnya waktu, dari hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, dan tahun berganti abad, seluruhnya menjadi saksi atas segala peristiwa yang terjadi dalam kehidupan manusia ini. Musibah demi musibah, fitnah demi fitnah, datang silih berganti. Yang besar menggantikan yang kecil dan yang kecil tidak memiliki nilai karena besarnya fitnah yang datang setelahnya.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
وَتَجِيءُ فِتْنَةٌ فَيُرَقِّقُ بَعْضُهَا بَعْضًا
“Datanglah fitnah yang sebagiannya lebih besar dari yang lain.” (HR. Muslim no. 4882 dari sahabat Abdullah bin Amr bin Ash radhiallahu anhuma)
Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Sebagian fitnah menjadi kecil karena fitnah berikutnya lebih besar. Fitnah kedua menjadikan fitnah pertama tidak berarti.” (Syarah Shahih Muslim, 6/318)
Baca juga: Rujuk kepada Ulama Adalah Jalan Keluar dari Fitnah
Fitnah besar telah melanda kaum muslimin dan menelan korban beratus juta manusia. Tidaklah berlebihan jika dikatakan mayoritas isi dunia berada dalam ancaman fitnah besar tersebut. Bergelimpangan tubuh dan jasad manusia yang tidak lagi memiliki daya dan upaya untuk menyelamatkan diri. Seandainya pun hidup, itu adalah jasadnya, sedangkan kalbunya telah mati. Itulah fitnah kejahilan tentang agama.
Seiring dengan badai fitnah besar ini, muncul badai yang mengempaskan ke jurang kebinasaan dan kecelakaan yang abadi, mencabut akar-akar keimanan yang telah menancap dalam sanubari. Memorakporandakan ketulusan niat dan kelurusan jalan menuju Allah subhanahu wa ta’ala. Itulah para penyeru kesesatan, dai di pintu neraka Jahannam, seperti yang telah diberitakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam akan kemunculannya.
Usaha pendangkalan akal dan keyakinan ini kian hari kian meruyak, sehingga tidak ada jenjang tingkat pemahaman yang luput dari upaya ini. Banyak cara yang ditempuh dan banyak jalan yang dilalui untuk sampai pada tujuan itu. Tersebarnya khurafat dan tahayul adalah salah satu cara pendangkalan serta pembunuhan akal dan keyakinan ini. Demikian juga dengan pengultusan individu, merupakan wasilah paling mulus untuk mewujudkan pendangkalan ini. Dari manakah datangnya keyakinan bahwa
Baca juga: Bila Kuburan Diagungkan
Sungguh, semuanya ini merupakan perangkap setan dan tipu muslihatnya untuk menyesatkan kaum muslimin dari kebenaran agamanya. Merusak akal dan mendangkalkannya agar tidak bisa memikirkan kemaslahatan dirinya. Padahal, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَا يَسۡتَوِي ٱلۡأَحۡيَآءُ وَلَا ٱلۡأَمۡوَٰتُۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُسۡمِعُ مَن يَشَآءُۖ وَمَآ أَنتَ بِمُسۡمِعٍ مَّن فِي ٱلۡقُبُورِ
“Dan tidaklah sama antara orang yang hidup dan orang yang telah mati. Sesungguhnya, Allah akan memperdengarkan siapa saja yang dikehendakinya dan kamu tidak akan bisa memperdengarkan siapa yang ada di dalam kubur.” (Fathir: 22)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ؛ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila anak Adam meninggal dunia, terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu) sedekah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya, dan anak saleh yang mendoakan kedua orang tuanya.” (HR. Muslim no. 4310 dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Ziarah kubur telah disyariatkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam. Bahkan, telah disebutkan pula tujuan pensyariatan ziarah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada yang tersisa dari amalan yang sekiranya mendatangkan maslahat melainkan telah dijelaskan di dalam syariat. Ziarah kubur termasuk amalan besar yang memiliki nilai yang tinggi di dalam syariat.
Dari Sulaiman bin Burdah, dari bapaknya yang berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا وَلاَ تَقُولُوا هُجْرًا
“Dahulu aku melarang kalian berziarah kubur. Sekarang, berziarahlah dan janganlah kalian mengatakan hujr (kata-kata yang keji).” (HR. Ahmad no. 2032, 5/361)
Menurut as-Sindi rahimahullah, kata هُجْرًا artinya sesuatu yang tidak pantas diucapkan dan akan menghilangkan tujuan ziarah, yaitu sebagai peringatan.
An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Hujran adalah ucapan yang batil (menyelisihi ajaran agama).” (Ahkamul Jana’iz, hlm. 227)
As-Suyuthi rahimahullah berkata, “Hujran artinya ucapan yang keji dan kotor, sebagaimana disebutkan dalam an-Nihayah.” (lihat Syarah Sunan an-Nasai, 3/275)
Baca juga: Ziarah Kubur Saat Hari Raya
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda,
أَلاَ إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ ثَلاَثٍ، نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ ثُمَّ بَدَا لِي أَنَّهَا تُرِقُّ الْقُلُوبَ وَتُدْمِعُ الْعَيْنَ فَزُورُوهَا وَلاَ تَقُولُوا هُجْرًا
“Ketahuilah bahwa aku telah melarang kalian dari tiga perkara: Aku melarang kalian dari ziarah kubur. Kemudian, tampak bagiku bahwa ziarah kubur akan melembutkan hati dan meneteskan air mata. Maka dari itu, ziarahlah kalian dan jangan kalian mengatakan hujr (kata-kata yang keji) ….” (HR. Ahmad no. 13640 dari sahabat Anas radhiallahu anhu)
زَارَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ: اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذِنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأَذِنَ لِي، فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah menziarahi kubur ibunya. Beliau menangis dan menangis pula orang-orang yang berada di sekelilingnya. Lantas, beliau bersabda, “Aku meminta izin nkepada Rabbku untuk aku memintakan ampunan baginya, tetapi Allah tidak mengizinkan. Aku juga meminta izin untuk menziarahi ibuku, dan Allah mengizinkan. Maka dari itu, ziarah kuburlah kalian karena sesungguhnya hal itu akan mengingatkan pada kematian.” (HR. Muslim no. 976 dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Muhyiddin al-Barkawi rahimahullah (wafat 981 H) mengatakan,
“Yang disyariatkan oleh Nabi kita dalam berziarah adalah untuk mengingat akhirat, sebagai peringatan, dan untuk mengambil pelajaran dari orang yang diziarahi. Demikian juga, untuk berbuat baik kepadanya dengan cara mendoakannya dan memintakan untuknya kasih sayang dari Allah. Jadi, orang yang berziarah, di samping berbuat baik untuk si mayit, dia juga berbuat baik untuk dirinya.” (lihat Ziyarah Qubur asy-Syar’iyah wa asy-Syirkiyah hlm. 28)
Tidak bisa dimungkiri bahwa ziarah kubur adalah sebuah ibadah dan bentuk taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan berbagai hikmahnya. Akan tetapi, ziarah ini memiliki macam/bentuk. Para ulama menyebutkan bahwa ziarah itu ada tiga macam/bentuk:
Artinya, ziarah yang dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, yang bertujuan untuk mengingatkan akan akhirat dan kematian, dengan adab-adab yang telah beliau ajarkan.
Ziarah yang seperti ini dilakukan dengan tiga syarat:
Artinya, bentuk ziarah yang tidak diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan sahabatnya. Dengan kata lain, ziarah yang mengandung salah satu dari tiga hal di atas.
Artinya, ziarah yang mengandung kesyirikan, seperti
(lihat al-Qaulul Mufid min Adillati at-Tauhid hlm. 192—194)
Syaddur rihal adalah istilah agama yang memiliki makna “mempersiapkan dengan matang untuk melakukan sebuah safar/perjalanan.”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
وَلاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ، مَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى وَمَسْجِدِي
“Tidak boleh melakukan syaddur rihal kecuali ke tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjid al-Aqsha, dan masjidku.” (HR. al-Bukhari no. 1132 dari Abu Said al-Khudri radhiallahu anhu dan Muslim no. 1397 dari Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
“Yang dimaksud dengan وَلاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ adalah larangan melakukan safar menuju selainnya (tiga masjid itu). Ath-Thibi rahimahullah berkata, ‘Larangan dengan kata ini lebih tinggi nilainya daripada hanya kata larangan semata’.” (Fathul Bari 4/190)
Al-Qasthalani berkata,
“Terjadi perbedaan pendapat tentang syaddur rihal menuju selain tiga masjid, seperti ziarah kepada orang saleh yang masih hidup atau yang telah meninggal, dan tempat-tempat yang memiliki keutamaan untuk bertabaruk padanya. Abu Muhammad al-Juwaini mengatakan, hal itu diharamkan berdasarkan makna lahiriah (tekstual) hadits. Pendapat ini dipilih oleh al-Qadhi Husain. Demikian juga pendapat al-Qadhi Iyadh dan selain mereka. Yang benar menurut Imam al-Haramain dan ulama mazhab Syafi’i selain beliau, hal itu boleh. Adapun larangannya hanya khusus dalam masalah iktikaf pada selain tiga masjid tersebut. Namun, saya berpendapat bahwa (pengkhususan pada iktikaf ini) tidak memiliki dalil.” (Lihat ‘Aunul Ma’bud 4/417)
Sabda Rasulullah di atas telah menjelaskan tentang syaddur rihal dan tujuan yang dibolehkan. Yang menjadi persoalan adalah syaddur rihal juga dilakukan menuju selain ketiga masjid tersebut, seperti ziarah kubur tertentu atau mendatangi tempat-tempat yang dikeramatkan. Hal ini akan menimbulkan pertanyaan: apakah syariat membolehkannya atau tidak?
Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah berkata,
“Demikian juga, tidak boleh melakukan syaddur rihal menuju kuburan nabi, wali, atau semacamnya. Sebab, hal itu merupakan sarana (wasilah) menuju kesyirikan, dan wasilah memiliki hukum yang sama dengan hukum tujuannya. Oleh karena itu, kita mendapati Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengharamkan hal itu. Beliau bersabda, ‘Jangan ada syaddur rihal melainkan menuju tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, masjidku ini, dan Masjid al-Aqsha.’ Maknanya, safar tidak boleh dilakukan demi kuburan orang saleh, kuburan wali, atau selainnya.
Benar bahwa kita mencintai Nabi shallallahu alaihi wa sallam melebihi kecintaan kita terhadap diri, bapak, anak, keluarga, dan harta. Kita juga mencintai sahabat, mencintai wali-wali Allah yang saleh. Kita pun mencintai orang yang mencintai mereka dan memusuhi orang yang memusuhi mereka. Demikian pula, kita mengetahui bahwa siapa saja yang memusuhi wali Allah, maka Dia mengumumkan perang terhadapnya.
Namun, apakah cinta kepada mereka menyebabkan kita menjadikan mereka sebagai tandingan (bagi Allah), lalu kita bertawasul dengan mereka, thawaf di kuburan mereka, bernazar, dan berkorban untuk mereka?” (Lihat Tawassul al-Masyru’ wal Mamnu’, 1/14)
Baca juga: Bila Kuburan Diagungkan (bagian 2)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Contoh yang ketiga belas: Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang membangun masjid di atas kuburan dan melaknat orang yang melakukannya. Nabi juga melarang mengapur kuburan, meninggikannya, dan menjadikannya sebagai masjid, shalat menghadapnya atau di sisinya. Beliau juga melarang menyalakan lampu di kuburan. Beliau memerintahkan untuk meratakan kuburan, melarang menjadikannya sebagai id (dikunjungi secara rutin), melarang untuk syaddur rihal kepadanya. Semua ini untuk menutup jalan menjadikannya sebagai berhala dan kesyirikan. Demikian pula, mengharamkan syaddur rihal bagi orang yang bermaksud demikian atau yang tidak bermaksud demikian, dalam rangka menutup pintu kesyirikan.” (I’lamul Muwaqqi’in 3/139)
Al-Lajnah Ad-Da’imah (1/493 pertanyaan no. 4230) berfatwa,
“Tidak boleh melakukan syaddur rihal menuju kuburan para nabi, orang-orang saleh, dan selain mereka. Ini merupakan kebid’ahan. Dasarnya adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, ‘Tidak boleh melakukan syaddur rihal kecuali menuju tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, masjidku ini, dan Masjid al-Aqsha’.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda, ‘Barang siapa melakukan satu amalan yang bukan dari perintahku maka amalan tersebut tertolak.’
Adapun ziarah kubur tanpa melakukan syaddur rihal adalah sunnah, berdasarkan hadits Nabi, ‘Ziarahlah kubur karena akan mengingatkan kepada kematian.’ (HR. Muslim)
Seseorang tidak boleh melakukan syaddur rihal menuju kuburan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam karena hukumnya yang paling ringan adalah menyia-nyiakan harta. Menyia-nyiakan harta adalah haram.” (lihat Durus wa Fatawa al-Haramil Madani, 1/131)
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, “Tidak boleh melakukan syaddur rihal untuk ziarah kubur. Yang disyariatkan syaddur rihal adalah menuju ke tiga masjid secara khusus.” (Lihat Majmu’ Fatawa wa Maqalat, Ibnu Baz, 5/317)
Para ulama telah menjelaskan larangan syaddur rihal menuju kuburan. Hikmahnya adalah tertutupnya pintu-pintu kesyirikan dan berbagai kerusakan lainnya, seperti menjadikannya sebagai id (dikunjungi secara rutin), atau akan menjatuhkan kepada sikap ghuluw (berlebihan) serta melampaui batas dalam memuji. Ini sebagaimana mayoritas orang terjatuh di dalamnya karena keyakinan mereka tentang bolehnya syaddur rihal untuk menziarahi makam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.” (Lihat Majmu’ Fatawa wa Maqalat, Ibnu Baz, 1/71. Lihat Tawassul al-Masyru’ wal Mamnu’, 1/14, karya Ibnu Jarir Ath-Thabari)
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah mengatakan, “Berbagai hadits dalam bab ini, yang menjadi hujah disyariatkannya syaddur rihal ke kuburan Nabi adalah hadits-hadits yang lemah sanadnya, bahkan maudhu’ (palsu). Kelemahannya telah diingatkan oleh ulama huffazh (besar) dari ahli hadits, seperti ad-Daraquthni, al-Baihaqi, al-Hafizh Ibnu Hajar, dan selain mereka rahimahumullah. Maka dari itu, hadits-hadits itu tidak boleh dipertentangkan dengan hadits-hadits sahih yang menjelaskan tidak bolehnya syaddur rihal kecuali ke tiga masjid tersebut.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Ibnu Baz, 1/71)
Di antara contohnya,
مَنْ زَارَنِي وَزَارَ أَبِي إِبْرَاهِيمَ فِي عَامٍ وَاحِدٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barang siapa berziarah kepadaku dan kepada bapakku, Ibrahim, dalam tahun yang sama, dia akan masuk surga.”
Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan,
“Hadits ini maudhu’ (palsu). Az-Zarkasyi rahimahullah mengatakan dalam kitab al-La’ali al-Mantsurah (no. 156), ‘Sebagian huffazh berkata bahwa hadits ini maudhu’ dan tidak ada seorang ulama hadits pun meriwayatkannya.’ Demikian juga ucapan Imam an-Nawawi rahimahullah, ‘Maudhu’, tidak memiliki asal.’ As-Suyuthi rahimahullah menyebutkan hadits ini dalam kitab Dzail al-Ahadits al-Maudhu’ah no. 119. Ibnu Taimiyah dan an-Nawawi berkata, ‘Sesungguhnya, hadits ini maudhu’.’ Imam asy-Syaukani menyepakati penilaian beliau berdua rahimahullah’.” (Lihat Silsilah adh-Dha’ifah, 1/120)
Contoh lain,
مَنْ زَارَنِي بَعْدَ مَوْتِي، فَكَأَنَّمَا زَارَنِي فِي حَيَاتِي
“Barang siapa berziarah kepadaku setelah matiku, dia seolah-olah menziarahiku semasa hidupku.”
Syaikh Albani rahimahullah berkata bahwa hadits ini batil. (lihat Silsilah adh-Dha’ifah, 3/89)
Masih banyak lagi hadits-hadits dha’if (lemah) dan maudhu’ (palsu) yang dijadikan hujah untuk membolehkan syaddur rihal dalam rangka ziarah kubur.
Wallahu a’lam.