Sejak keberangkatan Rustum hingga bertemu dengan Sa’d, terhitung empat bulan. Hal itu disengaja oleh Rustum karena dia sudah mencium kegagalan dan bencana yang akan menimpa pasukannya.
Rustum selain ahli perang, juga seorang dukun, ahli nujum. Dia pernah bermimpi melihat tanda-tanda kekalahan Persia di tangan bangsa Arab ini. Karena itulah dia setengah hati menjalankan perintah Yazdajird serta berusaha mengulur-ulur waktu agar kaum muslimin bosan dan pulang ke negeri mereka.
Akan tetapi, kaum muslimin tetap sabar menunggu musuh mereka. Janji kemenangan yang telah diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat mereka mampu menepis kebosanan.
Sa’d bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu tetap berkirim surat melaporkan keadaan di Qadisiyah kepada Amirul Mukminin di Madinah. Dia meminta bantuan pasukan dari Madinah, karena ternyata pasukan Persia telah mengerahkan pasukan besar dan kuat untuk menghadapi mereka.
Akan tetapi, apa jawaban Amirul Mukminin?
“Apakah kamu meminta bala bantuan kepadaku, padahal kamu berada di tengah-tengah puluhan ribu prajurit muslim. Bahkan di dalam pasukanmu ada pahlawan-pahlawan semisal Malik bin ‘Auf, Thulaihah, ‘Amr bin Ma’dikariba, dan Hanzhalah bin Rabi’ah.
Selain itu, di pasukanmu banyak orang yang sangat antusias berjihad, maka bertawakallah kamu kepada Allah subhanahu wa ta’ala , mintalah pertolongan kepada-Nya, serta harapkanlah kemenangan dengan niat yang baik dan sikap zuhud terhadap dunia.
Bersabarlah. Bersabarlah. Bersikap jujurlah, karena kemenangan itu turun bersama kesabaran.
Berhati-hatilah di malam hari dan perbanyaklah ucapan,
“Tidak ada daya dan upaya melainkan dengan (pertolongan) Allah.”
Aku sudah mengirim surat kepada al-Mughirah agar membantumu bersama pasukannya dari Bashrah, demikian pula Abu Ubaidah, dia akan mengirim pasukan dari Syam.
Jangan kamu tugaskan Hanzhalah bin Rabi’ah, Thulaihah dan ‘Amr bin Ma’dikarib, dan Aus bin Ma’dan memimpin lebih dari seratus prajurit. Mintalah saran kepada Thulaihah dan ‘Amr dalam mengatur strategi perang.”
Di Hirah, Rustum masih bertahan dengan bala tentara Persia, masih mengulur-ulur waktu untuk membuat jenuh pasukan muslimin.
Akan tetapi, Allah subhanahu wa ta’ala tidak menghendaki kecuali menyempurnakan cahaya-Nya. Dan jika Allah subhanahu wa ta’ala menghendaki sesuatu, pasti apa yang dikehendaki-Nya akan terjadi.
Sa’d mulai mengirim beberapa pasukan kecil ke sekitar Qadisiyah, sementara Rustum masih di Najaf, Jalinus di antara Najaf dan Sailahain, dan Dzul Hajib di antara posisi Rustum dan Jalinus.
Lama kelamaan, terasa kebosanan mulai menyelinap. Sebagian prajurit mengeluhkan kepada Sa’d, tetapi disabarkan oleh Sa’d, kata beliau, “Kalau kamu merasa cukup dengan satu pendapat, janganlah kamu memberatkan diri, karena kami tidak bergerak melainkan menurut pendapat dari orang yang cerdik pandai, maka diamlah dalam hal-hal yang kami diamkan.”
Sebagaimana diceritakan, beberapa utusan telah datang memenuhi undangan Rustum untuk berdialog. Tetapi, semua itu tidak membawa hasil, karena kesombongan Rustum dan para pengikutnya. Dia tidak mau menerima tawaran para utusan kaum muslimin untuk beriman dan memeluk Islam.
Akhirnya, tidak ada jalan lain kecuali perang.
Rustum membawa pasukan Persia menuju sungai Atiq dan berhenti di tepi sungai Atiq di hadapan kaum muslimin.
Sekarang, posisi kedua pasukan yang berhadapan itu di antara parit dan Atiq.
Sebetulnya, pada malam hari sebelum menyeberang, dia bermimpi melihat tanda-tanda kekalahan pasukannya. Kemudian dia menceritakannya kepada orang dekatnya, “Sesungguhnya Allah telah mengingatkan kita, kalau kita mau menerimanya. Kamu lihat, kemenangan sudah dicabut dari kita, angin bersama mereka dan kita tidak mungkin menghadapi mereka.”
Rustum segera mengambil senjata dan topi besinya, lalu melompat ke atas pelana, tanpa menyentuh kudanya.
“Besok kita akan lumatkan mereka sehancur-hancurnya.”
“Insya Allah,” kata seseorang di dekatnya.
“Walaupun Dia tidak menghendaki,” balas Rustum.
Semua itu tidak lain karena sikapnya yang merendahkan kaum muslimin di hadapan bangsa Persia, meskipun Rustum sangat takut kepada kaum muslimin.
Delapan belas ekor gajah dipasang di pasukan tengah, lima belas di kedua sayap pasukan.
Jalinus berada di bagian kanan, sedangkan Bairuzan di sayap kiri.
Panglima Sa’d bin Abi Waqqash juga sudah menyiapkan pasukannya sebagaimana petunjuk Amirul Mukminin.
Bagian depan dipimpin oleh Zuhrah bin al-Juwaih, di bagian kanan ada ‘Abdullah bin al-Mu’tam, dan diperkuat oleh Thalhah bin ‘Ubaidillah. Di bagian kiri ada Syurahbil bin as-Samth al-Kindi, pahlawan muda yang pernah ikut memerangi kaum murtad.
Hidup mulia sebagai hamba Allah subhanahu wa ta’ala membawa kemenangan atau mati sebagai syahid. Itulah tujuan mereka.
Kehidupan mana lagi yang lebih agung dan mulia dirasakan oleh seorang manusia dibandingkan keyakinan dirinya bahwa dia hanya seorang hamba dari Zat Yang Mahaagung? Maha Penguasa dan Pemelihara alam semesta?
Kalaupun mereka mati, itu hanyalah tubuh kasar mereka yang berkalang tanah. Akan tetapi ruh mereka hidup mulia di alam sana, di sisi Rabb mereka. Jasa mereka pun tercatat dalam sejarah peradaban manusia, tertulis dengan tinta emas.
Kelak, ketika mereka dibangkitkan, semua akan melihat dia keluar dari kuburnya dalam keadaan bekas-bekas darah masih tersisa menghadap Allah subhanahu wa ta’ala.
Warnanya semerah darah, tetapi baunya seharum misik.
Qaddarallahu wa maa sya-a fa’ala (Allah subhanahu wa ta’ala telah menakdirkan dan apa saja yang Dia kehendaki pasti Dia kerjakan). Di saat-saat persiapan perang besar akan dimulai, Sa’d diuji pula oleh Allah subhanahu wa ta’ala dengan penyakit rematik dan abses (bisul) di pinggul dan kedua pahanya.
Akan tetapi, Sa’d tidak mundur dari memimpin peperangan. Sengaja dia mengambil posisi di antara kedua pasukan yang akan berhadapan, di sebuah istana[1] yang tidak mempunyai benteng perlindungan. Sa’d berdiri di balkon istana, menelungkupkan dadanya di atas sebuah bantal yang diletakkan di tembok balkon tersebut.
Sudah tentu, dengan posisi seperti itu, Sa’d sebetulnya sasaran empuk panah musuh, jika mereka melepaskan panah. Atau memanjat dinding istana tersebut. Apalagi pintu istana itu terbuka tanpa penjaga.
Akan tetapi, singa Allah subhanahu wa ta’ala yang satu ini seakan tidak memiliki rasa takut lagi kepada siapa pun selain Allah subhanahu wa ta’ala. Dengan lantang dia tetap memberi komando kepada pasukan yang diteruskan oleh Khalid bin ‘Urfuthah.
Siang hari, Senin 27 Syawwal tahun 15 H. Sa’d shalat zhuhur bersama pasukannya. Kemudian, dia memerintahkan para penghafal al-Qur’an membacakan surat yang berisi ayat-ayat jihad.
Mendengar lantunan ayat-ayat yang mulia itu, hati kaum muslimin tergetar oleh kerinduan akan perjumpaan dengan Rabb mereka. Di sana sini mulai terdengar isak tangis, akan tetapi ketenangan dan kedamaian telah mengisi relung hati mereka.
Jiwa-jiwa yang diselimuti tekad dan cita-cita yang agung itu mulai bersiap menyambut tiupan angin surga di Qadisiyah.
Sa’d menulis surat kepada para komandan pasukannya;
“Saya telah menunjuk Khalid bin ‘Urfuthah menggantikan saya memimpin langsung jalannya pertempuran. Tidak ada yang menghalangi saya berbuat seperti ini melainkan karena kambuhnya penyakit saya (rematik dan abses), bukan karena takut. Saya tetap ada dan tetap terlihat oleh kalian. Dengar dan taatilah dia, karena yang diperintahkannya kepada kamu adalah berasal dari saya, buah pikiran yang diajukannya juga dari saya.”
Akhirnya semua kaum muslimin menerima uzur Sa’d dan meridhai keputusannya.
Namun, di tengah-tengah mereka ada juga yang tidak senang. Sebagian ada yang mengejek;
Tidakkah kamu tahu bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah menurunkan pertolongan-Nya
Sementara Sa’d terlindung di pintu Qadisiyah
Kami cela, sementara wanita banyak yang menjanda
Sedangkan para istri Sa’d tidak satu pun yang menjanda
Bait-bait itu sampai kepada Sa’d, maka beliau berdoa, “Ya Allah, tahanlah lisan dan tangannya dariku,” tidak lama, ketika peperangan akan dimulai, entah dari mana, sebatang anak panah meluncur mengenai mulut orang itu hingga dia pun bisu, dan dalam pertempuran, tangan orang itu putus.
Di dalam istana, Sa’d memang tidak bisa duduk tenang kecuali dengan menelungkupkan perutnya. Cukup parah penyakit rematik yang dirasakannya. Ditambah lagi bisul di beberapa bagian tubuhnya pecah mengeluarkan darah dan nanah.
Suatu malam, sebelum peperangan hebat dimulai seseorang datang menemui Rustum melaporkan:
“Panglima kaum muslimin itu sedang sakit. Dia ada di dalam sebuah istana di ‘Uzaib bersama keluarganya. Kalau Tuan mengerahkan pasukan berkuda tanpa diketahui oleh sahabat-sahabatnya, tentu Tuan bisa membunuhnya.”
Rustum tersentak, lalu segera mengirimkan lima ratus orang prajurit Persia menerobos lembah dan dataran rendah.
Allah Maha Membalas makar musuhnya. Dengan takdir Allah subhanahu wa ta’ala, seorang laki-laki ajam mendatangi pasukan muslimin minta jaminan keamanan. Kemudian dia menceritakan bahwa panglima Persia mengirim lima ratus prajurit berkuda untuk membunuh panglima muslimin.
Dengan sigap, Hanzhalah bin ar-Rabi’ al-Asadi segera membawa lima ratus prajurit muslim menerobos gelapnya malam menuju ‘Uzaib.
Menjelang fajar, mereka tiba di istana Sa’d, sementara musuh belum kelihatan.
Mereka mengingatkan Sa’d agar berhati-hati.
Pagi harinya, pasukan berkuda musuh menyerbu dari arah lembah. Mereka berhadapan dengan pasukan ‘Abdullah bin Sabrah al-Waqifi bersama belasan prajurit berkuda. Ikut pula dalam pasukan itu seorang pembantunya berkebangsaan Romawi. Hanzhalah segera menyusul bersama pasukan yang dibawanya.
Hanzhalah melihat ‘Abdullah bin Sabrah menyerang musuh-musuhnya dengan tiang tenda, karena tombaknya patah. Tidak ada satu pun musuh yang apabila terkena pukulannya, pasti akan mati. Begitu pula ketika dia memukul kuda-kuda mereka.
Hanzhalah dan pasukannya bergerak cepat menyerang musuh, hingga mereka kocar-kacir, lari kembali ke induk pasukan. Tiga puluh orang prajurit musuh tewas, tetapi ada yang mengatakan seratus, dan sisanya luka-luka, kembali kepada Rustum.
Rustum sangat marah, dia mencari laki-laki yang melaporkan keadaan Sa’d kepadanya, karena curiga, jangan-jangan dia adalah mata-mata. Ternyata orang itu sudah lari.
[1] Sebenarnya, itu adalah bangunan megah yang ditinggalkan oleh orang Persia pemiliknya, yang lantas jatuh ke tangan kaum muslimin.