Al-Ustadz Muhammad Afifuddin
Manhaj salaf, dakwah salafiyah, dibangun di atas dua rukun yang tidak mungkin terpisahkan, yaitu:
A. At-Ta’shil
Maksudnya, menjelaskan prisip-prinsip dan pilar-pilar manhaj serta dakwah di atas dasar al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman salaful ummah. Termasuk dalam rukun ini adalah hal-hal berikut.
B. At-Tahdzir
Maksudnya, memperingatkan umat dari bahaya orang, golongan (sekte), pemahaman, kitab, dan semisalnya yang bertentangan dengan prinsip al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman salaful ummah. Termasuk dalam rukun ini adalah:
Kedua rukun di atas sering disebutkan oleh al-Qur’an dan sunnah secara bergandengan. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Barang siapa ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, sesungguhnya ia telah berpegang teguh dengan tali yang amat kuat dan tidak akan putus.” (al-Baqarah: 256)
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali ‘Imran: 104)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَوْثَقُ عُرَى الْإِيمَانِ الْمُوَالَاةُ فِي اللهِ وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ وَالْحُبُّ فِي اللهِ وَالْبُغْضُ فِي اللهِ
“Tali keimanan yang terkuat adalah berloyalitas karena Allah ‘azza wa jalla dan memusuhi karena Allah ‘azza wa jalla, cinta karena Allah ‘azza wa jalla dan benci karena Allah ‘azza wa jalla.” (HR. ath-Thabarani no. 11537 dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dengan sanad hasan li ghairihi)
Demikian pula hadits Irbadh bin Sariyah radhiallahu ‘anhu yang telah lalu,
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ مِنْ بَعْدِي، تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّواعَلَيْهَا بِالنَّواجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“(Ketika itu) berpeganglah kalian dengan sunnahku dan sunnah al-Khulafa ar-Rasyidin yang terbimbing sepeninggalku. Pegangilah ia dan gigitlah dengan geraham-geraham kalian. Dan hati-hati kalian dari perkara baru dalam agama karena setiap yang bid’ah adalah sesat.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Minhajus Sunnah (5/253) menegaskan, “Memerintahkan yang sunnah dan melarang dari bid’ah adalah amar ma’ruf nahi munkar. Itu termasuk amal saleh yang paling afdal. Maka dari itu, seharusnya dia mengharapkan wajah Allah ‘azza wa jalla (ikhlas) dan sesuai dengan perintah (ittiba’).” (Ta’ammulat fi Mas’alatil Hajr hlm. 36, asy-Syaikh Abdullah al-Bukhari hafizhahullah)
Al-‘Allamah Sulaiman bin Sahman rahimahullah dalam Minhaj Ahlil Haq (hlm. 98) mengatakan,
وَمَا الدِّينُ إِلاَّ الْحُبُّ وَالْوَلاَءُ كَذَاكَ الْبَرَا مِنْ كُلِّ غَاوٍ وَآثِمُ
“Dan tidaklah agama ini melainkan cinta dan wala’, begitu pula bara’ dari setiap orang yang menyimpang dan berdosa.” (Ta’ammulat hlm. 28).
Asy-Syaikh Abdullah bin Abdur Rahim al-Bukhari hafizhahullah dalam risalahnya Ta’ammulat Fi Masalatil Hajr (hlm. 28) menyimpulkan: “Kalau begitu, nash-nash dua wahyu (al-Qur’an dan sunnah), semuanya menunjukkan kewajiban menerapkan kaidah yang agung, yaitu kaidah al-wala wal bara’. Wala’ kepada keimanan dan kaum mukminin, dan bara’ dari kekufuran dan orang-orang kafir, kebid’ahan, serta ahli bid’ah.
Seseorang yang mencermati pemahaman dan amalan salaful ummah yang shalih akan mendapati adanya pernyataan tegas (nash) dari mereka tentang perkara yang penting ini, disertai praktik amalannya.”
Secara umum, hampir tidak ada pihak yang merasa gelisah, terhantui, bahkan mengingkari rukun yang pertama. Sebab, sifatnya adalah pemaparan prinsip dan dasar-dasar kebaikan dan kebenaran disertai dengan dalil-dalil yang sahih dari al-Qur’an dan as-Sunnah berikut penjelasan para ulama.
Di kancah dakwah, banyak dijumpai kaum hizbiyin yang ikut tampil menerangkannya walau hakikatnya hanya kamuflase untuk menipu umat. Mereka mengajarkan Kitab at-Tauhid karya asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah karya Ibnu Abil Izzi al-Hanafi, bahkan mengajarkan Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim dan merambah kitab Tafsir Ibnu Katsir.
Apalagi para GPS (Golongan Pengaku Salaf), kajian-kajian mereka nyaris mirip dengan kajian-kajian Ahlus Sunnah salafiyin, dari sisi kitab yang dikaji dan tampilan lahirnya.
Yang merasa gelisah dan terhantui adalah kaum Sufi dan saudara kembarnya, Rafidhah, yang tergabung dalam GAW (Gerakan Anti Wahhabi).
Akan tetapi, tatkala rukun yang kedua disuarakan dan diamalkan, atau yang pertama disertai dengan yang kedua (secara bersamaan), terjadilah ‘kegaduhan’ seolah-olah ‘kiamat’ hendak terjadi. Suara-suara sumbang dan lontaran-lontaran syubhat terdengar sangat nyaring dan bertubi-tubi. Anehnya, ini tidak hanya muncul dari mulut para GAW, tetapi muncul lebih deras dan ganas dari para GPS.
Berikut ini cuplikan syubhat dan suara-suara sumbang yang menggambarkan kegelisahan dan ketakutan mereka.
Padahal Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu tersentuh api neraka.” (Hud: 113)
Yang dimaksud orang zalim dalam ayat ini meliputi:
Al-‘Allamah asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah menjelaskan, “Ayat ini mencakup semua ragam (kezaliman) di atas. Setiap pengusung kebatilan adalah zalim. Setiap ahli bid’ah adalah zalim. Setiap orang yang menghancurkan kehormatan muslimin adalah zalim. Maka dari itu, janganlah engkau condong kepada siapa pun dari mereka karena engkau akan disentuh api neraka….” (ats-Tsabat ‘ala as-Sunnah, hlm. 16)
Yang dimaksud dengan ركون dalam ayat ini adalah kecenderungan, kecondongan, menyepakati, dan meridhai kezaliman mereka. (Tafsir as-Sadi) Ancaman yang disebutkan dalam ayat di atas ditujukan kepada orang-orang yang hanya condong dan ridha. Lantas bagaimana halnya dengan orang-orang yang memuji, membela, menyanjung, ta’awun dakwah di bawah naungan ta’awun dana, majelis bercengkrama, belajar mengambil ilmu, bermusyawarah, mendengarkan radio, membaca karya tulis, majalah, dan yang lainnya!? Bukankah ancamannya semakin keras?!
Lantas bagaimana kiranya dengan orang-orang yang melompat ke arah mereka dan menjadi bagian dari mereka?! Bagaimana kiranya dengan orangorang zalim itu sendiri?! Na’udzubillah min iqabih wa ‘adzabih (Kita berlindung kepada Allah ‘azza wa jalla dari hukuman dan azab-Nya).
Ayat di atas tidak hanya mentahdzir umat dari kezaliman dengan beragam jenisnya dan menghukuminya sebagai orang zalim; dan hal itu tidak disebut sebagai ‘pembunuhan karakter’ atau ‘penghancuran profil’ seperti yang mereka dengungkan.[1]
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam Tafsir-nya mengatakan, “Di dalam ayat ini terdapat tahdzir terhadap sikap condong kepada setiap orang yang zalim.” Dalam manhaj nabawi, manhaj salaf, yang ditahdzir meliputi:
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka jahannam mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah sejelek-jelek makhluk.” (al-Bayyinah: 6)
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati seorang penolong pun bagi mereka.” (an-Nisa: 145)
كُلُّهَا فِي النَّارِ
“Semuanya di dalam neraka.”
“Dan apabila kamu melihat orang-orang yang memperolok-olok ayat kami maka tinggalkanlah mereka hingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain ….” (al-An’am: 68) (Aqidah Salaf hlm. 107—108)
Sikap yang ditunjukkan Ahlus Sunnah ini adalah perwujudan dari konsekuensi cinta karena Allah ‘azza wa jalla dan benci karena Allah ‘azza wa jalla.
Al-Imam Sufyan bin Said ats-Tsauri rahimahullah menegaskan, “Apabila engkau mencintai seseorang karena Allah ‘azza wa jalla, lantas dia melakukan kebid’ahan dalam Islam dan ternyata engkau tidak membencinya karena (bid’ahnya itu); sesungguhnya engkau tidak mencintainya karena Allah ‘azza wa jalla.” (Hilyatul ‘Auliya 7/34, Abu Nuaim al-Asbahaniy rahimahullah)
Dalam as-Siyar karya adz-Dzahabi (6/344) disebutkan, Abu Taubah al-Halabi berkata, “Teman-teman kami menceritakan kepada kami bahwasanya Tsaur (bin Yazid al-Himshi) pernah bertemu al-Auza’i lalu mengulurkan tangannya kepada beliau (untuk berjabat tangan). Namun, al-Auza’i tidak mau mengulurkan tangan kepadanya seraya berkata, ‘Wahai Tsaur, seandainya urusannya adalah dunia niscaya bisa saling mendekat. Akan tetapi, ini urusannya adalah agama!’.” (Ta’ammulat Fi Mas’alatil Hajr hlm. 30)
Tsaur bin Yazid memiliki pemahaman Qadariyah.
Manhaj, Terkait dengan Surga Neraka
Ayat di atas (Hud: 113) tegas menunjukkan bahwa masalah ini sangat erat kaitannya dengan surga dan neraka. Barang siapa menerapkan kaidah dan prinsip Ahlus Sunnah salafus shalih dalam hal membantah dan menyikapi ahli bid’ah, ia akan selamat dari neraka. Sebaliknya, barang siapa condong, bahkan membela mereka, ia terancam dengan neraka.
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah pernah ditanya, “Apakah surga dan neraka terkait dengan keabsahan manhaj?”
Beliau menjawab, “Betul. Apabila manhajnya sahih, orang tersebut termasuk ahlul jannah. Apabila di atas manhaj Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan manhaj salafus shalih—bi idznillah—dia termasuk ahlul jannah. Namun, apabila di atas manhaj orangorang sesat, dia terancam dengan neraka. Jadi, keabsahan dan tidaknya sebuah manhaj sangat erat kaitannya dengan surga dan neraka.” (al-Ajwibah al- Mufidah hlm. 77—78)
Asy-Syaikh Ubaid al-Jabiri hafizhahullah pada majelis di tempat peristirahatan beliau saat datang ke Tanah Air untuk acara Daurah Nasional Asatidzah di Jogja pada 1433 H (2012 M), ditanya tentang pernyataan bahwa masalah Ihya at-Turats tidak akan ditanyakan di alam kubur. Beliau dengan tegas menyatakan, “Pernyataan semacam ini tidak diucapkan selain oleh seorang ahli bid’ah!”
Tidak Terpaku dengan Penampilan Luar
Ketika menyikapi, membantah, dan mentahdzir hizbiyin dan ahli bid’ah, Ahlus Sunnah tidak terpana dengan penampilan zahir sebagian mereka yang sesuai dengan sunnah, ibadahnya, bacaan al-Qur’annya yang merdu, kezuhudannya atau taklim-taklimnya yang mengajarkan tauhid dan sunnah. Yang dinilai adalah hakikat keadaannya, yaitu manhaj dan akidahnya yang menyimpang.
Khawarij salah satu sekte sesat yang masih eksis dari masa lalu hingga zaman sekarang, disifati oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ibadah, shalat, puasa, bacaan al-Qur’an, kezuhudan, dan tampilan zahir yang sesuai dengan sunnah. Akan teapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat keras mentahdzir mereka. Mereka dikatakan sebagai ‘anjing-anjing jahannam’, ’sejelek-jelek orang yang terbunuh di bawah kolong langit’, dan ‘keluar dari agama seperti keluarnya panah dari buruannya’.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata tentang al-Harits al-Muhasibi, “Jangan engkau tertipu oleh kekhusyukan dan kelembutannya… Jangan engkau tertipu dengan kepala orang yang tertunduk (tawadhu’) karena dia adalah orang yang jelek. Jangan engkau berbicara dengannya! Tidak ada kemuliaan baginya! Apakah setiap orang yang menyampaikan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal dia ahlu bid’ah engkau bermajelis dengannya?! Tidak! Tidak ada kemuliaan, tidak pula penyejuk mata!” (Thabaqat al-Hanabilah hlm. 325. Lihat Lammud Durril Mantsur hlm. 166)
Abu Zur’ah rahimahullah pernah ditanya tentang al-Muhasibi dan kitab-kitabnya. Beliau menjawab, “Hati-hatilah kalian dari kitab-kitab ini! Ini adalah kitab-kitab bid’ah lagi sesat. Hendaklah engkau kembali kepada atsar, karena engkau akan mendapati padanya sesuatu yang mencukupi (sehingga) tidak memerlukan kitab-kitab ini.”
Beliau ditanya lagi, “(Akan tetapi,) dalam kitab-kitab ini ada ibrah (pelajaran yang dapat diambil).”
Jawab beliau, “Barang siapa tidak dapat mengambil ibrah dari kitabullah, dia tidak akan mendapat ibrah dari kitab-kitab ini!”
Kemudian beliau berkata, “Alangkah cepatnya orang-orang terjatuh pada kebid’ahan.” (as-Siyar 12/112, lihat Lammud Durr hlm. 149)
Tidak Harus Menyebut Kebaikannya
Ketika membantah dan menjelaskan penyimpangan hizbiyin, Ahlus Sunnah hanya menjabarkan sisi kesesatannya. Sebab, posisinya adalah sedang membantah dan mentahdzirnya sehingga tidak ada keharusan menyebutkan sisi kebaikan yang ada pada hizbiyin sebagaimana contoh-contoh dan dalil-dalil di atas.
Adapun muwazanah (menyebut kebaikan dan kejelekan secara berimbang) ketika membantah ahli bidah, ini adalah ciri khas kebid’ahan Sururiyin yang tidak dimiliki oleh sekte-sekte sesat lainnya. Sebuah kebid’ahan dan makar untuk mengayomi serta menghalangi tokoh-tokoh sesat dari hunjaman deras bantahan Ahlus Sunnah terhadap mereka, sekaligus meruntuhkan rukun kedua dakwah Islamiah nabawiah salafiyah, yaitu tahdzir.
Bid’ah ini telah diruntuhkan—walhamdulillah—oleh al-‘Allamah asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi hafizhahullah dalam kitab beliau Manhaju Ahlis Sunnah Fi Naqdir Rijal Wal Kutub wath-Thawaif.
Tahdzir Sampai Kapan?
Membantah, mentahdzir dan menghajr (memboikot) ahli bid’ah hizbiyin terus berlanjut selama masih terjadi kemungkaran dan kebid’ahan, dan selama masih ada ath-Thaifah al-Manshurah, salafiyun.
Terkadang hal ini dilakukan dengan perbuatan, ucapan, dan hati. Adakalanya bahkan dengan hati saja. Apabila memungkinkan diterapkan hajr secara total dengan ragam bentuk hajr, hal itu dilakukan. Akan tetapi, apabila tidak memungkinkan karena pertimbangan maslahat-mafsadat, yang diterapkan adalah hajr pada beberapa hal yang mungkin, sementara hal yang lain tidak. Ini disebut hajr juz’i (secara parsial).
Ringkasnya, prinsip hajr dan tahdzir tidak akan pernah gugur walaupun Ahlus Sunnah lemah dan minoritas. Sebab, hal ini masih mungkin dilakukan dengan hati dalam bentuk hajr juz’i, dengan tujuan utama menjaga dan menyelamatkan diri dari kesesatan (disebut dengan hajr wiqayah).
Dasarnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ
“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Apabila tidak mampu, dengan lisannya. Apabila tidak mampu, dengan hatinya; dan itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)
Ini semua membantah paham bid’ah baru yang diluncurkan oleh GPS, yaitu إسقاط الهجر (menggugurkan prinsip hajr) apabila dinilai tidak bermaslahat.
Lihat rincian masalah hajr sekaligus sanggahan atas pemahaman di atas dalam kitab Ta’ammulat Fil Hajr, karya asy-Syaikh Abdullah bin Abdur Rahim al-Bukhari hafizhahullah.
Tahdzir=Memecah Belah Umat?
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan pernah ditanya, “Apakah mentahdzir manhajmanhaj yang menyimpang dan para dainya dianggap memecah belah kaum muslimin dan merenggangkan barisan mereka?”
Beliau menjawab, “Mentahdzir manhaj-manhaj yang menyimpang dari manhaj salaf termasuk upaya menyatukan kalimat kaum muslimin, bukan memecah belah barisan mereka. Sebab, yang memecah belah barisan muslimin (justru) manhaj-manhaj yang menyimpang dari manhaj salaf itu.
Sejak munculnya mazhab-mazhab yang menyelisihi manhaj salaf setelah tiga generasi utama, para ulama senantiasamentahdzir dan menjelaskan kebatilannya. Lihatlah kitab-kitab mereka.” (al-Ajwibah al-Mufidah hlm. 106—107)
Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya yang memerintahkan bersatu di atas al-haq, tidak berpecah belah, dan mempererat ukhuwah Islamiyah di atas sunnah, Namun, Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya pula yang memerintahkan untuk mengingkari kemungkaran, membongkar kesesatan dan para pelakunya.
Tidak mungkin terjadi kontradiksi antara dua hal yang disyariatkan, tetapi justru saling melengkapi dan menguatkan.
Termasuk konsekuensi dan bukti kebenaran dan kejujuran sebuah persatuan dan ukhuwah di atas Sunnah adalah ditegakkannya prinsip al-wala’ wal bara’, mengingkari kemungkaran, tahdzir dan hajr, sesuai dengan kaidah-kaidah syar’i. (lihat al-Ajwibah al-Mufidah hlm. 142)
Jihad yang Paling Afdal
Menegakkan rukun ke-2 dakwah salafiyah adalah amalan jihad yang paling afdal. Yang melakukannya adalah orang besar lagi mulia seperti para nabi dan rasul, para sahabat, salafus shalih dan para ulama salaf dari masa lalu hingga masa kini, sampai hari kiamat.
Mereka mengorbankan waktu, ilmu, tenaga, pikiran, harta benda, jiwa raga dan nyawa untuk Allah ‘azza wa jalla semata dalam rangka menegakkan dan membela rukun ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan, “Orang yang membantah ahli bid’ah adalah mujahid. Sampai-sampai Yahya bin Yahya menyatakan, ‘Membela sunnah lebih afdal daripada jihad’.” (Majmu’ Fatawa 4/13)
Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah juga menegaskan, “Membongkar aurat mereka (ahli bid’ah) dan menjelaskan penyimpangan-penyimpangan dan kerusakan kaidah-kaidah mereka termasuk jihad fi sabilillah yang paling afdal.” (Shawa’iq al-Mursalah 1/301)
Dalam kitabnya Syifa’ul ‘Alil (hlm. 60) Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan, “Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma adalah orang yang sangat tegas terhadap Qadariyah. Demikian pula para sahabat.” (lihat Ijma’ Ulama ‘alal Hajr hlm. 38, asy- Syaikh Khalid azh-Zhafiri)
Salafiyin Sibuk dengan Tahdzir?
Di antara tuduhan dusta dan keji terhadap dakwah salafiyah Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah bahwa salafiyin tidak punya kesibukan selain tahdzir, bantahan, dan hajr.
Subhanallah! Karya-karya ilmiah dalam berbagai bidang ilmu yang ditulis oleh ulama salaf dari zaman dahulu hingga sekarang, apakah itu bukan sibuk dengan ilmu?!
Bantahan-bantahan terhadap ahli bid’ah yang mereka tuliskan dalam karya-karya besar ilmiah bukan disebut ilmu?! Lantas disebut apa?
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi hafizhahullah menasihatkan, “Wahai saudara-saudaraku, belajarlah ilmu, yakni kitab-kitab rudud (bantahan terhadap ahli bid’ah) adalah salah satu sisi dari sisi-sisi ilmu yang penting. Bacalah bab shalat, bab zakat, bab haji, bab akidah, bab muamalah, dan bab bantahan terhadap ahli bid’ah….” (Majmu’ Kutub wa Rasail 14/266)
Tuduhan-tuduhan semacam ini, baik dahulu maupun sekarang, hanya terlontar dari mulut ahli bid’ah atau orang yang hatinya memiliki syubhat.
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi hafizhahullah pernah ditanya, “Apakah salafiyin disalahkan karena sibuk dengan bantahan, dengan anggapan bahwa mereka tidak perhatian dengan ilmu?”
Beliau menjawab panjang lebar. Di antara pernyataan beliau adalah, “Apa yang dikatakan ahlul bid’ah tentang Ahlus Sunnah bahwa kesibukan mereka hanyalah membantah, (sangat) tidak benar. Mereka (Ahlus Sunnah) justru sibuk dengan ilmu yang bermanfaat.Tatkala diperlukan, mereka pun membantah ahlu ahwa wa bid’ah. Ini (justru) kemuliaan bagi mereka, karena membantah ahli bid’ah) termasuk nasihat untuk Allah ‘azza wa jalla, kitab-Nya, pemimpin muslimin, dan kaum muslimin secara umum. Ini juga termasuk upaya mereka berjalan di atas thariqah (metode) salaf dalam menjaga agama Allah ‘azza wa jalla.
Sejak dini, kaum muslimin wajib mengetahui jalan petunjuk dan jalan kesesatan. Dia harus tahu bagaimana harus berjalan di awal perjalanannya. Apabila dia (hanya) mempelajari (ilmu), namun tidak mengetahui syubhat (ahli bid’ah) dan tidak mengetahui bantahan (terhadap ahli bid’ah), dia akan sia-sia.
Bisa jadi, ada sejumlah orang yang duduk bermajelis dan belajar kepada seorang ulama, namun dia tidak tahu bid’ah dan bantahannya serta penjelasan tentangnya. Dia pun menyimpang dari manhaj ulama salaf. Maksudnya, seseorang yang hanya mengajarkan kebaikan kepada orang lain dan tidak menjelaskan tentang kejelekan, kebid’ahan, dan kesesatan, dia (seperti) orang yang bercocok tanam, kemudian datanglah hewan-hewan dan serangga-serangga yang memakan tanamannya (karena) tidak ada penjagaan.
Bantahan-bantahan terhadap ahli bid’ah adalah penjagaan, persis seperti penjagaan-penjagaan dalam bab lainnya, semisal imunisasi untuk penyakit dan vaksin-vaksin medis dari penyakit-penyakit badan. Akan tetapi, penyakit-penyakit hati dan jiwa lebih memerlukan penjagaan.
Kami tujukan ucapan ini kepada para pencari ilmu dan ulama, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah k, mengamalkan ilmu, dan beramar maruf nahi mungkar sesuai dengan kesanggupan masing-masing. Harus ada inkarul munkar….
Pelajarilah ilmu dan amalkan. Termasuk tujuan Islam dalam bab (ilmu dan amal) adalah beramar maruf nahi munkar dan menasihati kaum muslimin,setelah itu berjihad untuk meninggikan kalimat Allah ‘azza wa jalla hingga engkau menghunuskan pedang fi sabilillah, (memerangi) musuhmusuh Allah ‘azza wa jalla manakala ada (penguasa) yang mengangkat bendera jihad untuk meninggikan kalimat Allah ‘azza wa jalla.” (Majmu’ Kutub wa Rasail 14/266—268, asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah)
Antara Tahdzir dan Menasihati
Ada sebagian pihak yang menuduh salafiyin mencari-cari kesalahan dan tidak melakukan upaya nasihat terhadap orang-orang yang terjatuh dalam kesalahan dan penyimpangan, padahal penyimpangan tersebut mereka sebarkan di dunia maya.
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi hafizhahullah juga pernah ditanya tentang permasalahan ini.
Beliau menjawab, “Kita sedang diuji dengan tipe orang seperti ini. Engkau dapati seseorang menyebarluaskan kebatilan, kedustaan, dan tuduhan terhadap orang lain. Terkadang dia lakukan secara khusus dan terkadang secara umum. Apabila engkau menegur atau mengkritiknya, dia menyatakan, ‘Mengapa mereka mentahdzir saya? Mengapa mereka tidak menasihati saya? Mengapa mereka tidak menjelaskan kepada saya?’
(Ini semua) adalah alasan-alasan yang rusak. Kami menuntut mereka bertobat kepada Allah ‘azza wa jalla dan kembali kepada kebenaran dengan penuh adab dan tawadhu’ serta meninggalkan alasanalasan semacam ini.
Anggaplah orang tersebut salah, tidak berbicara dan menasihatimu. Akan tetapi, engkau kembalilah (terlebih dahulu) kepada kebenaran lalu tegurlah kesalahannya.
Akan tetapi jika engkau sebar luaskan kepada semua orang sementara engkau tetap di atas kebatilan dan kesalahanmu lantas engkau berkata, ‘Mereka belum berbuat begini, mereka telah berbuat begitu,’ ini omong kosong.
Seorang mukmin harus kembali kepada Allah k dan menerima nasihat yang tersembunyi ataupun yang terangterangan. Adapun engkau menyebarkan kesalahan-kesalahanmu di dalam kitab-kitab, kaset-kaset dan… dan… kalau seandainya engkau sembunyikan kesalahan-kesalahanmu dan engkau lakukan dalam kegelapan antara kamu dan Allah ‘azza wa jalla (yang tahu), lantas ada orang yang tahu, dia harus menasihatimu secara tersembunyi (antara engkau dan dia saja).
Adapun engkau menyebarkan ucapan-ucapan dan perbuatanmu di seluruh dunia, kemudian ada seorang muslim menyebarkan bantahan terhadapmu, tindakan seperti ini tidak masalah. Tinggalkan alasan-alasan seperti itu yang (muncul) dari kebanyakan pengusung kebatilan yang bersikukuh di atas kebatilan dan penentangannya.” (Majmu’ Kutub wa Rasail 14/271—272)
Asy-Syaikh Khalid azh-Zhafiri hafizhahullah dalam risalahnya Ijma’ul Ulama ‘Alal Hajr wat Tahdzir min Ahlil Ahwa (hlm. 56—57) menyatakan, “Setelah penukilan-penukilan dari ulama salaf ini yang menjelaskan dengan gamblang cara muamalah Ahlus Sunnah terhadap ahlu bid’ah, dan bahwasanya sikap tegas ketika bermuamalah dengan mereka adalah sikap terpuji, bahkan termasuk keutamaan yang mulia;
Apakah setelah semua (penjelasan) ini diperbolehkan bagi seorang Ahlus Sunnah karena perangai/akhlak salafiyah ini?! Kalau dia melakukannya, orang yang hina ini tidak tahu kalau dengan perbuatannya tersebut berarti dia telah mencela salafus shalih, yang tokohnya adalah para sahabat seperti yang telah kami nukilkan dari mereka!
Hendaklah bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla, suatu kaum yang mengaku (di atas) sunnah (namun) mereka merendahkan Ahlus Sunnah dan pihak-pihak yang membelanya di atas kebenaran dan ilmu; lantas mereka mengayomi ahli bid’ah (dari bantahan Ahlus Sunnah), dan menegakkan al-wala wal-bara’ atas mereka (ahli bid’ah)!
Sebab, dengan berbagai trik dan sikap seperti ini, mereka telah merusak (manhaj) banyak pemuda dan menghalanginya dari jalan Allah ‘azza wa jalla dan manhaj salaf. Sikap yang Islam dan pemeluknya dari kalangan sahabat, tabi’in, Ahlus Sunnah dan ulamanya, berlepas diri darinya.
Dengan sikap ini, mereka telah melakukan tindakan kriminalitas (pelanggaran) besar terhadap Islam. Maka dari itu, menempuh jalan salafus shalih dalam hal bermuamalah dengan ahli bid’ah adalah jalan menuju keselamatan dari beragam fitnah. Kita memohon kepada Allah ‘azza wa jalla agar mengukuhkan kita di atas Islam dan sunnah.
Namun, ada (satu) hal yang harus diperhatikan, yaitu sikap tegas terhadap orang yang menyimpang—yang merupakan keistimewaan para ulama (sunnah)—tidak berarti mereka memiliki akhlak yang jelek atau rendah. Mereka justru menghiasi diri dengan akhlak mulia dan perangai-perangai utama seperti sabar, hilm (kelembutan perangai), penuh pertimbangan (tidak tergesa-gesa), jujur, wara’, dan lainnya. Hanya saja, mereka memandang bahwa posisi ini membutuhkan sikap yang tegas untuk mematahkan ahli bid’ah, terutama para dainya, dan memalingkan bid’ah mereka dari umat.
Tidaklah mereka (melakukan) hal tersebut kecuali karena mengetahui bahaya bid’ah-bid’ah ini, yang terkadang menjerumuskan manusia ke dalam kekufuran dan kezindikan.
Ini semua kembali kepada hikmah seorang dai dan fikihnya dalam bermuamalah.
Wallahu a’lam bish-shawab.
[1] Namun, disebut sebagai nasihat bagi umat karena agama adalah nasihat.