Asysyariah
Asysyariah

ritual munkar seputar kehamilan dan kelahiran

10 tahun yang lalu
baca 8 menit
Ritual Munkar Seputar Kehamilan dan Kelahiran

Selamatnya kandungan dan sehatnya bayi yang dilahirkan adalah dambaan setiap orang yang ingin memiliki keturunan. Untuk mewujudkan harapan tersebut, umumnya manusia menempuh beragam cara, dari upaya-upaya medis (bahkan) hingga mistis. Seorang muslim yang taat beragama tidak mau asal-asalan melakukan sebuah upaya karena sikap, keyakinan, dan perbuatannya akan selalu ia cocokkan dengan nilai-nilai agamanya yang luhur dan yang selaras dengan akal sehat.

 

Ritual Mungkar Seputar Kehamilan

Sesuatu dikatakan mungkar apabila dihukumi tidak baik, tidak boleh, atau dinyatakan keharamannya oleh syariat, meskipun menurut pandangan sebagian orang itu baik dan sah-sah saja.

Di setiap daerah atau suku biasanya ada ritual-ritual khusus terkait kehamilan yang sulit bagi kita untuk menyebutkan jumlahnya, karena saking banyaknya.

Bagi sebagian orang, ritual-ritual tersebut menjadi budaya leluhur yang harus dilestarikan. Orang yang tidak mau melakukannya akan dicibir di tengah-tengah keluarga dan masyarakat, bahkan bisa jadi akan mendapatkan teror. Bagi mereka, ritual-ritual warisan leluhur adalah menu wajib yang terkadang lebih wajib daripada shalat berjamaah, bahkan shalat lima waktu.

Yang amat disayangkan, masih ada sebagian kaum muslimin yang ikut-ikutan menghidupkan ritual-ritual tersebut. Padahal tidak sedikit dari ritual-ritual itu yang hanya mitos tanpa bukti nyata dan sebagiannya diadopsi dari budaya non-Islam.

Di antara bentuk ritual tersebut adalah adat mitoni (adat Jawa). Upacara mitoni ini dilakukan pada bulan ke-7 masa kehamilan pertama seorang perempuan dengan tujuan agar embrio dalam kandungan dan ibu yang mengandungnya senantiasa memperoleh keselamatan.

Upacara-upacara yang dilakukan dalam masa kehamilan yaitu siraman, memasukkan telur ayam kampung ke dalam kain calon ibu oleh sang suami, ganti busana, memasukkan kelapa gading muda, memutus lilitan benang/janur, memecah periuk dan gayung, dan seterusnya. Upacara ini tidak bisa dilangsungkan di sembarang hari dan tempat. Di antara maksud ritual ini adalah agar sang ibu kelak diberi kemudahan ketika melahirkan.

Ritual mitoni ini tidak hanya dilakukan oleh wanita yang baru pertama kali mengandung. Cara-caranya terkadang berbeda antara satu tempat dan tempat yang lain. Bagi seorang muslim, ritual tersebut dan semisalnya, sangat sulit diterima oleh akal yang sehat, lebih-lebih apabila dilihat dari kacamata agama.

Apabila ada yang mengatakan bahwa ritual tersebut hanya sebuah ikhtiar/ usaha, kita jawab bahwa suatu usaha akan dibenarkan apabila memang menjadi sebab tercapainya tujuan dan tidak bertentangan dengan agama.

Pernyataan bahwa upacara seperti ini adalah ikhtiar, berarti mengaitkan sesuatu dengan hal yang tidak menjadi sebab terjadinya. Selain itu, tindakan ini mengandung bentuk ketergantungan kepada selain Allah ‘azza wa jalla yang akan menodai akidah seorang.

Bisa jadi, ada yang mengatakan bahwa ini hanyalah sebuah tradisi leluhur yang menunjukkan kepada kita bahwa negeri ini kaya akan budaya dan peradaban. Kita katakan, benar bahwa hukum asal adat kebiasaan manusia yang biasa mereka lakukan di tengah masyarakat adalah boleh (mubah) selama tidak berseberangan dengan kaidah-kaidah agama. Adapun dalam upacara ini, tidak demikian keadaannya.

Karena itu, mengapa kita tidak mengubah tradisi yang keliru, yang mengandung bentuk penyia-nyiaan waktu, harta, tenaga, dan justru mencederai akidah; dengan upaya-upaya yang sesuai dengan syariat, semisal memohon kemudahan dan kebaikan kepada Allah ‘azza wa jalla serta upaya-upaya lain yang dibenarkan secara medis dan nalar yang sehat.

Allah ‘azza wa jalla berfirman,

“Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku.” (al-Baqarah: 186)

Ada pula tradisi neloni atau ngupati (ngapati), yaitu tradisi membuat makanan tertentu untuk disedekahkan kepada para tetangga ketika kandungan menginjak usia tiga atau empat bulan dengan tujuan yang tidak jauh dari yang disebut di atas.

Amal sedekah memang salah satu sebab yang bisa menjaga seorang dari kejelekan dengan seizin Allah ‘azza wa jalla. Akan tetapi, yang jadi masalah, mengapa jenis makanan yang disedekahkan harus ditentukan, misalnya nasi ketan yang dibungkus, buah pekarangan, jenis umbiumbian, labu/waluh, dan lainnya? Lagi pula, mengapa harus dilakukan pada usia kehamilan tertentu?

Ada pula yang ketika hamil membaca surat tertentu al-Qur’an, seperti surat Yusuf dan surat Maryam agar ketika lahir kelak menjadi anak saleh atau salihah, ganteng atau cantik, dan semisalnya.

Sebatas yang kami ketahui, hal ini tidak datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, sehingga termasuk dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Barang siapa membuat-buat perkara baru dalam agama kami yang tidak ada padanya, ia tertolak.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Seandainya orang yang hamil membaca al-Qur’an kemudian berdoa semisal, “Ya Allah, dengan bacaan al-Qur’an ini, mudahkanlah aku saat melahirkan, atau jadikanlah anakku anak yang saleh,” yang seperti ini adalah tawassul yang dibolehkan.

Di antara perkara mungkar yang acap dilakukan/diyakini oleh sebagian orang, orang hamil tidak boleh duduk di tengah pintu, tidak boleh makan dengan piring nasi diletakkan di atas telapak tangan, dan tidak boleh membunuh binatang. Demikian pula suaminya memiliki pantangan-pantangan tertentu. Apabila dicermati, semua itu hanyalah takhayul.

Ada pula yang sampai pada tingkat kesyirikan, seperti membuat rajah-rajah agar mudah melahirkan. Rajah-rajah ini semacam jimat yang nasib seseorang digantungkan kepadanya. Pada rajahrajah itu ada huruf/kalimat-kalimat serta angka-angka yang tidak dipahami.

Di antara hal lain yang termasuk kesyirikan ialah orang hamil mendatangi kuburan tertentu lalu meminta keselamatan dan kemudahan kepada orang yang dikubur di dalamnya.

Kemungkaran di Hari Kelahiran

Di antara kemungkaran di hari melahirkan adalah perawat/bidan lelaki menangani proses kelahiran padahal ada bidan perempuan.

Demikian pula keyakinan sebagian orang bahwa apabila bayi laki-laki terlahir saat bulan purnama, kuncup kemaluannya akan melebar hingga seperti sudah terkhitan. (Ahkamul Maulud fis Sunnah al-Muthahharah hlm. 139)

 

Ritual Setelah Kelahiran

Seperti yang sudah disebutkan bahwa setiap daerah atau suku memiliki budaya dan ritual yang berbeda-beda yang tidak mungkin sebagian besarnya ditampilkan di sini.

Di antara tradisi yang mungkar adalah upacara mendhem (mengubur) ari-ari atau plasenta. Dalam praktiknya, upacara adat ini terkadang berbeda-beda caranya. Ada yang dengan cara plasenta dicuci lalu dimasukkan ke dalam periuk/kendi yang terbuat dari tanah. Ada beberapa barang yang ikut dimasukkan ke dalam kendi sebagai persyaratan, semisal minyak wangi, jarum, beras merah, kunyit, garam, pensil, buku, bawang merah, dan lainlain. Setelah itu, plasenta dikuburkan di samping rumah dan diberi lampu.

Ada yang melabuh plasenta di sungai atau melarungnya (dihanyutkan) di laut. Mereka berharap supaya bayinya pintar, banyak rezeki, jalannya terang, apabila bepergian tahan lama, suka merantau, dan semisalnya.

Sebagian orang meyakini bahwa plasenta adalah saudara kembar bayi yang harus dirawat.

Ritual-ritual di atas tentu bukan dari Islam. Seandainya pun ari-ari harus di kubur, mengapa harus ada ritual-ritual seperti itu?! Lebih parah lagi ketika ritual tersebut diiringi zikir-zikir dan lantunan ayat suci, karena termasuk kebid’ahan.

 

Kaidah untuk Mengenal Bid’ah

Sesungguhnya, kebid’ahan yang telah ditegaskan oleh syariat tentang kesesatannya adalah:

  1. Semua ucapan, perbuatan, atau keyakinan yang menyelisihi sunnah walaupun sumbernya adalah ijtihad.
  2. Setiap perkara yang dijadikan bentuk pendekatan kepada Allah ‘azza wa jalla padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarangnya.
  3. Semua perkara yang tidak mungkin disyariatkan kecuali dengan adanya nash atau penjelasan dari syariat, padahal tidak ada, maka itu adalah bid’ah.

Berbeda halnya jika sebuah amalan ada sumbernya dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dilakukan oleh sahabat tersebut secara berulang-ulang tanpa ada pengingkaran.

  1. Segala adat-istiadat orang kafir yang dimasukkan ke dalam ritual ibadah.
  2. Penegasan sebagian ulama, lebih-lebih ulama belakangan, tentang sunnahnya (sesuatu) padahal tidak ada dalilnya.
  3. Semua bentuk ibadah yang tidak disebutkan tata caranya kecuali oleh hadits dhaif (lemah) atau maudhu’ (palsu).
  4. Berlebih-lebihan dalam ibadah.
  5. Semua ibadah yang tidak diberi batasan oleh syariat lantas manusia memberikan batasan-batasan (persyaratan-persyaratan) seperti tempat, waktu, bentuk, dan jumlah tertentu. (Ahkamul Janaiz hlm. 306)

Penutup

Sebagai penutup, kami akan menyebutkan hukum membatasi keturunan.

Sesungguhnya nash-nash (dalildalil) syariat dari al-Qur’an dan Sunnah, demikian pula ijma’ dan qiyas telah menetapkan bahwasanya tidak boleh secara mutlak membatasi keturunan dan tidak boleh mencegah kehamilan apabila alasannya takut fakir (miskin). Sebab, Allah ‘azza wa jalla adalah Dzat Pemberi Rezeki lagi Mahakuat. Membatasi kehamilan bertentangan dari tujuan syariat (yaitu perintah) memperbanyak umat Islam.

Adapun melakukan upaya pencegahan kehamilan yang bersifat sementara dalam kondisi personal karena adanya mudarat yang nyata, seperti seorang wanita tidak bisa melahirkan secara normal dan perlu operasi cesar untuk mengeluarkan janinnya, atau wanita tesebut mudah hamil sementara kehamilan menjadikannya sangat letih (repot) sehingga ia ingin mengatur kehamilannya, umpamanya setiap dua tahun dan semisalnya; maka yang seperti ini dibolehkan, dengan syarat mendapat izin dari suami dan tidak berisiko bagi wanita tersebut.

Dalilnya, para sahabat dahulu melakukan ‘azl (mengeluarkan sperma di luar kemaluan istri) di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar istri-istri mereka tidak hamil, dan mereka tidak dilarang dari hal tersebut.

Bisa jadi, mencegah kehamilan menjadi sesuatu yang harus dilakukan, yakni ketika ada mudarat yang jelas (baginya). (Al-Fiqhu wa Ushuluhu lish Shaffi ats-Tsalits ats-Tsanawi hlm. 62. Lihat juga ketetapan Hai’ah Kibar ‘Ulama no. 42 pada tanggal 13/4/1396 H)

Wallahu a’lam bish-shawab. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin, wa shallallahu wa sallam ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.ajian Utama

Ditulis oleh Al-Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman, Lc.