Dalam menuntut ilmu terkadang harus melakukan perjalanan yang jauh (rihlah) ke daerah lain. Bahkan tak jarang dilakukan lintas negara. Demikian para salaf melakukannya demi satu atau dua hadits. Bagaimana dengan kita?
Dalam kitab Hilyah Thalibul Ilmi (hal. 51) disebutkan, seseorang tidak pantas dikunjungi para penuntut ilmu untuk diambil ilmunya, jika orang tersebut dahulu tidak melakukan perjalanan untuk mencari guru dan mengambil ilmu darinya. Karena para ulama yang dikunjungi telah melewatkan waktunya dalam belajar dan mengajar, memiliki faedah-faedah ilmiah dan pengalaman atau yang semacamnya yang jarang diperoleh dari perut-perut buku.
Oleh karenanya para ulama terdahulu hampir semuanya melakukan rihlah dari satu negeri ke negeri yang lain, menyusuri lembah, mendaki gunung, menyeberangi lautan, dan membelah padang pasir untuk menuntut ilmu meski dengan bekal yang sangat minim.
Salah satu dari mereka adalah Abdullah bin Al-Mubarak. Al-Imam Ahmad mengisahkan, di masa Abdullah tidak ada yang lebih semangat menuntut ilmu daripadanya. Ia merantau ke Yaman, Mesir, Syam, Bashrah dan ke Kufah (keduanya masuk dalam wilayah Irak, red.). Beliau termasuk para perawi ilmu dan ahli untuk itu (Qawa’id Fitta’amul Ma’al ‘Ulama, hal. 34)
Seorang tabi’in, Sa’id bin Al-Musayyib berkata: “Sungguh aku dulu melakukan safar berhari-hari dalam mencari satu hadits.” Asy-Sya’bi mengatakan: “Kalau seandainya seorang melakukan safar dari ujung Syam (ujung jazirah Arab, red.) sampai ke ujung Yaman lalu mendengar satu kata yang bermanfaat baginya di masa yang akan datang dalam urusannya, saya berpendapat safarnya tidak sia-sia.” (Adab Syar’iyyah, 2/55)
Sebelum mereka, para shahabat juga telah mencontohkan yang demikian ini. Jabir bin Abdillah menceritakan: “Sampai kepadaku sebuah hadits yang berasal dari seseorang yang mendengar langsung dari Nabi r. Maka aku beli seekor unta, lalu aku persiapkan perjalanan, kemudian aku jalani perjalanan selama satu bulan sehingga aku sampai di negeri Syam (sekarang mencakup Palestina, Yordania, Syiria, dan sekitarnya, red.).
Maka aku dapati di sana Abdullah bin Unais, lantas aku katakan kepada penjaga pintu: “Katakan kepadanya bahwa Jabir ada di depan pintu.” Dia menjawab: “Bin (anak) Abdullah?” Jabir jawab: “Ya.” Lalu Abdullah bin Unais keluar dan memelukku, maka kukatakan: “Ada sebuah hadits sampai kepadaku dari seseorang kemudian darimu bahwa engkau mendengarnya langsung dari Rasulullah r. Aku khawatir kalau aku atau kamu meninggal sebelum aku mendengarnya langsung darimu.” Kemudian Abdullah bin Unais berkata: Aku mendengar Rasulullah r bersabda: “Allah mengumpulkan hamba-hamba –atau manusia– pada hari kiamat dalam keadaan telanjang, tidak disunat dan buhman. Kami bertanya: “Apa makna buhman?” Beliau menjawab: “Tidak membawa apapun. Lalu Allah menyeru mereka dengan suara yang didengar oleh yang jauh –saya menyangka beliau mengatakan: sebagaimana mendengarnya yang dekat– Akulah raja, tidak pantas seorang dari penduduk jannah (surga) masuk jannah padahal masih ada penduduk neraka yang menuntut dari dirinya sebuah kedzaliman. Dan tidak pantas seorang ahli neraka masuk neraka sedang salah seorang dari penduduk jannah menuntutnya sebuah kedzaliman.” Maka kukatakan: “Bagaimana? Padahal kita datang kepada Allah dalam keadaan telanjang dan tidak membawa apapun?” Beliau menjawab: “Dengan kebaikan dan kejelekan.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 746 dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad hal. 371-372 no. 746 dan lihat Fathul Bari, 1/173-174)
Wallahu a’lam.