Pada beberapa edisi sebelumnya telah dibahas syarat-syarat jual beli yang sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Dari situ diketahui beberapa sistem jual beli yang dilarang dalam Islam. Silakan disimak kembali pada tautan berikut ini.
Jual Beli Sesuai Tuntunan Nabi (1)
Jual Beli Sesuai Tuntunan Nabi (2)
Jual Beli Sesuai Tuntunan Nabi (3)
Jual Beli Sesuai Tuntunan Nabi (4)
Tulisan ini akan membahas secara khusus seputar pengertian riba, hukum riba, dan barang yang terkena hukum riba. Tema ini tergolong paling sulit dalam bab jual beli. Selain itu, terlalu banyak praktik riba di kalangan kaum muslimin, khususnya di Indonesia ini.
Secara bahasa, riba berarti bertambah, tumbuh, tinggi, dan naik.
Adapun menurut istilah syariat, para fukaha (ahli fikih) sangat beragam dalam mendefinisikannya. Sementara itu, definisi yang tepat haruslah bersifat jami’ mani’ (mengumpulkan dan mengeluarkan), yaitu mengumpulkan hal-hal yang termasuk di dalamnya dan mengeluarkan hal-hal yang tidak termasuk darinya.
Definisi paling ringkas dan bagus adalah yang diberikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah dalam Syarah Bulughul Maram. Menurut beliau,
riba adalah penambahan pada dua hal yang diharamkan dalam syariat adanya tafadhul (penambahan) antara keduanya dengan ganti (bayaran), dan adanya ta`khir (tempo) dalam menerima sesuatu yang disyaratkan qabdh (serah terima di tempat). (Syarhul Buyu’, hlm. 124)
Definisi di atas mencakup riba fadhl dan riba nasi’ah. Permasalahan ini insya Allah akan dijelaskan nanti.
Baca juga: Allah Musnahkan Riba dan Suburkan Sedekah
Setiap jual beli yang diharamkan termasuk dalam kategori riba. Dengan ini, dapat diuraikan makna hadits Abdullah bin Masud radhiallahu anhu,
الرِّبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا
“Riba itu ada 73 pintu.” (HR. Ibnu Majah, dinilai sahih oleh Syaikh Muqbil bin Hadi dalam Shahihul Musnad, 2/42)
Apabila setiap sistem jual beli yang terlarang masuk dalam kategori riba, akan dengan mudah dihitung hingga bilangan tersebut. Namun, apabila riba itu hanya ditafsirkan sebagai sistem jual beli yang disebutkan dalam nas sebagai riba atau karena ada unsur penambahan padanya, akan sulit mencapai bilangan di atas. Wallahu a’lam.
Mazhab ini dihikayatkan dari sekelompok ulama oleh Imam Muhammad bin Nashr al-Marwazi rahimahullah dalam kitab as-Sunnah (hlm. 164). Lalu beliau berkata (hlm. 173), “Menurut mazhab ini, firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ
“Dan Allah menghalalkan jual beli.” (al-Baqarah: 275)
memiliki makna umum yang mencakup semua sistem jual beli yang tidak disebut riba. Setiap sistem jual beli yang diharamkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam masuk dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ
“Dan Allah mengharamkan riba.” (al-Baqarah: 275)
Dihikayatkan juga oleh as-Subuki dalam Takmilah al-Majmu’, mazhab ini disandarkan kepada Aisyah radhiallahu anha dan Umar bin al-Khaththab radhiallahu anhu.
Baca juga: Jual Beli Dalam Sistem Dropship
Hal ini juga diuraikan oleh Ibnu Hajar, Imam ash-Shan’ani, Imam asy-Syaukani, dan sejumlah ulama lainnya. Mazhab ini sahih dengan dalil-dalil sebagai berikut.
Beliau berkata,
لاَ يَصْلُحُ صَفْقَتَانِ فِي صَفْقَةٍ، إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَكَاتِبَهُ
“Tidak boleh ada dua akad dalam satu akad jual beli. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, yang memberi makan orang lain dengan riba, dua saksinya, dan pencatatnya.” (HR. Ibnu Hibban no. 1053; al-Bazzar dalam Musnad-nya no. 2016, dan al-Marwazi dalam as-Sunnah [159—161] dengan sanad yang hasan)
Al-Marwazi dalam Sunnah-nya (hlm. 166) menyatakan, “Pada ucapan Abdullah bin Masud radhiallahu anhu ini ada dalil yang menunjukkan bahwa setiap jual beli yang dilarang adalah riba.”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
السَّلَفُ فِي حَبْلِ الْحَبَلَةِ رِبًا
“Salaf (sistem salam) pada hablul habalah adalah riba.” (HR. an-Nasai dengan sanad yang sahih, semua perawinya tsiqah [tepercaya])
Imam as-Sindi menjelaskan,
“Sistem salaf (salam) dalam hablul habalah adalah sang pembeli menyerahkan uang (harga barang) kepada seseorang yang mempunyai unta bunting. Sang pembeli berkata, ‘Apabila unta ini melahirkan kemudian yang ada di dalam perutnya (janin) telah melahirkan (pula), aku beli anaknya darimu dengan harga ini.’
“Muamalah seperti ini diserupakan dengan riba karena hukumnya haram seperti riba, dipandang dari sisi bahwa ini adalah menjual sesuatu yang tidak dimiliki oleh si penjual dan dia tidak mampu untuk menyerahkan barang tersebut. Jadi, ada unsur gharar (penipuan) padanya.” (Hasyiyatun Nasa‘i 7/313, cetakan Darul Fikr)
Riba dengan segala bentuknya adalah haram dan termasuk dosa besar, dengan dasar Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmak ulama.
وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (al-Baqarah: 275)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓاْ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ ٢٧٨ فَإِن لَّمۡ تَفۡعَلُواْ فَأۡذَنُواْ بِحَرۡبٍ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut), jika kamu adalah orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” (al-Baqarah: 278—279)
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِيْقَاتِ -وَمِنْهَا- أَكْلَ الرِّبَا
“Jauhilah tujuh perkara yang menghancurkan—di antaranya—memakan riba.” (Muttafaqun ‘alaih)
لَعَنَ اللهُ آكِلَ الرِّبَا
“Semoga Allah melaknat pemakan riba.” (HR. al-Bukhari)
Dalam hadits Jabir radhiallahu anhu yang diriwayatkan Imam Muslim, yang dilaknat adalah pemakan riba, pemberi makan orang lain dengan riba, penulis, dan dua saksinya; lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyatakan,
هُمْ سَوَاءٌ
“Mereka itu sama.”
Para ulama bersepakat bahwa riba adalah haram dan termasuk dosa besar.
Keadaannya seperti yang digambarkan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Tidak ada suatu ancaman hukuman atas dosa besar selain syirik yang disebut dalam Al-Qur’an yang lebih dahsyat daripada riba.”
Kesepakatan ini dinukil oleh al-Mawardi rahimahullah dan an-Nawawi rahimahullah dalam al-Majmu’ (9/294, cetakan Dar Ihya at-Turats al-Arabi)
Para ulama bersepakat bahwa riba adalah haram di negara Islam secara mutlak, antara muslim dan muslim, muslim dan kafir dzimmi, muslim dengan kafir harbi.
Mereka berbeda pendapat tentang riba yang terjadi di negeri kafir antara muslim dan kafir. Pendapat yang rajih (kuat) tanpa ada keraguan lagi adalah pendapat jumhur yang menyatakan keharamannya secara mutlak dengan keumuman dalil yang tersebut di atas. Yang menyelisihi pendapat ini adalah Abu Hanifah, dan dalil yang dipakai adalah lemah. Wallahu a’lam.
Para ulama juga berbeda pendapat tentang riba yang terjadi antara orang kafir dan orang kafir lainnya. Pendapat yang rajih adalah hal tersebut juga diharamkan atas mereka. Sebab, orang-orang kafir juga dipanggil untuk melaksanakan hukum-hukum syariat Islam, sebagaimana yang di-rajih-kan oleh jumhur ulama. Wallahul muwaffiq.
Dari Abu Said al-Khudri radhiallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مِثْلاً بِمِثْلٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى، اْلآخِذُ وِالْمُعْطِي فِيْهِ سَوَاءٌ
“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam harus sama (timbangannya), serah terima di tempat (tangan dengan tangan). Barang siapa menambah atau minta tambah, maka dia terjatuh dalam riba. Yang mengambil dan yang memberi dalam hal ini adalah sama.” (HR. Muslim)
Hadits Umar radhiallahu anhu (muttafaq ‘alaih) dan hadits Ubadah bin ash-Shamit (HR. Muslim) hanya menyebutkan enam jenis barang yang terkena hukum riba, yaitu:
Para ulama berbeda pendapat, apakah barang yang terkena riba hanya terbatas pada enam jenis di atas, ataukah barang-barang lain bisa dikiyaskan dengannya?
Untuk mengetahui lebih detail masalah ini, perlu diklasifikasikan pembahasan para ulama menjadi dua bagian.
Para ulama berbeda pendapat sebagai berikut.
Pendapat mazhab Zhahiriyah, Qatadah, Thawus, Utsman al-Buthi, dan dihikayatkan dari Masruq dan asy-Syafi’i, demikian pula dihikayatkan oleh an-Nawawi dari Syiah dan al-Kasani. Ini adalah pendapat Ibnu Aqil al-Hambali, dikuatkan oleh ash-Shanani dan beliau sandarkan kepada sejumlah ulama peneliti. Ini juga merupakan zahir bahasan asy-Syaukani dalam Wablul Ghamam dan as-Sail, serta pendapat ini yang dipilih oleh Syaikh Muqbil rahimahullah.
Ini adalah pendapat jumhur ulama. Kemudian mereka berbeda pendapat mengenai batasan ‘illat-nya sebagai berikut:
a. An-Nakha’i, az-Zuhri, ats-Tsauri, Ishaq bin Rahawaih, al-Hanafiyyah, dan pendapat yang masyhur di mazhab Hanabilah bahwa riba itu berlaku pada barang yang ditakar dan atau ditimbang, baik itu sesuatu yang dimakan (seperti biji-bijian, gula, dan lemak) maupun tidak dimakan (seperti besi, kuningan, tembaga, platina, dsb).
Adapun segala sesuatu yang tidak ditimbang atau ditakar, maka tidak berlaku hukum riba padanya. Contohnya adalah buah-buahan; ia diperjualbelikan dengan sistem bijian.
Jadi, menurut mereka, tidak boleh jual beli besi dengan besi secara tafadhul (beda timbangan) karena besi termasuk barang yang ditimbang. Menurut mereka, boleh jual beli 1 pena dengan 2 pena karena pena tidak termasuk barang yang ditimbang atau ditakar.
Mereka berdalil dengan lafaz yang disebutkan dalam sebagian riwayat,
إِلاَّ وَزْنًا بِوَزْنٍ… إِلاَّ كَيْلاً بِكَيْلٍ
“Kecuali timbangan dengan timbangan… kecuali takaran dengan takaran.”
Baca juga: Riba Mendatangkan Petaka
b. Pendapat terbaru asy-Syafii, juga disandarkan oleh an-Nawawi kepada Ahmad bin Hambal, Ibnul Mundzir, dan yang lainnya, bahwa riba itu berlaku pada semua yang dimakan dan yang diminum, baik itu yang ditimbang/ditakar maupun tidak.
Menurut mereka, tidak boleh menjual 1 jeruk dengan 2 jeruk, 1 kg daging dengan 1,5 kg daging. Semua itu termasuk barang yang dimakan. Demikian juga tidak boleh menjual satu gelas jus jeruk dengan dua gelas jus jeruk karena termasuk barang yang diminum.
c. Pendapat Malik bin Anas rahimahullah dan dirajihkan (dinilai kuat) oleh Ibnul Qayyim rahimahullah, bahwa riba berlaku pada makanan pokok yang dapat disimpan.
d. Pendapat az-Zuhri dan sejumlah ulama, bahwa riba berlaku pada barang-barang yang warna dan rasanya sama dengan kurma, garam, burr, dan sya’ir.
e. Pendapat Rabiah, bahwa riba berlaku pada barang-barang yang dizakati.
f. Pendapat Said bin al-Musayyib, asy-Syafi’i dalam pendapat lamanya, satu riwayat dari Ahmad, dan yang dipilih oleh Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, al-Lajnah ad-Daimah yang diketuai Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, dan wakili oleh Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh, dengan anggota: Syaikh Shalih Fauzan, Syaikh Bakr Abu Zaid, mereka berpendapat bahwa riba berlaku pada setiap barang yang dimakan dan diminum yang ditakar atau ditimbang.
Jadi, segala sesuatu yang tidak ditakar atau ditimbang, tidak berlaku hukum riba padanya. Begitu pula segala sesuatu yang dimakan dan diminum, tetapi tidak ditimbang atau ditakar, tidak berlaku hukum riba padanya.
Baca juga: Jual Beli Online
Yang rajih—wallahu a’lam—adalah pendapat mazhab azh-Zhahiri dan yang sepaham dengan mereka yaitu bahwa tidak ada kiyas dalam hal ini, dengan argumentasi sebagai berikut.
Hukum asal jual beli adalah halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (al-Baqarah: 275)
Sementara itu, yang dikecualikan dalam hadits hanya enam barang.
Baca juga: Agar Tidak Terjerat Riba
Oleh sebab itulah, mereka sendiri berbeda pendapat dalam menentukan batasan-batasannya.
وَلَوۡ كَانَ مِنۡ عِندِ غَيۡرِ ٱللَّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ ٱخۡتِلَٰفًا كَثِيرًا
“Kalau kiranya bukan dari sisi Allah tentulah mereka mendapati pertentangan yang banyak di dalamnya.” (an-Nisa: 82)
Karena itulah, kita tetap berpegang dan merujuk kepada zahir hadits. Wallahul muwaffiq.
Baca juga: Jual Beli Barang yang Belum Dikuasai
Bagaimana menjawab mereka yang beralasan dengan lafaz وَزْنًا بِوَزْنٍ (takaran dengan takaran) dan كَيْلاً بِكَيْلٍ (timbangan dengan timbangan) yang tersebut dalam sebagian riwayat?
Jawabannya, hadits tersebut dibawa pada pengertian “yang ditimbang” adalah emas dan perak, bukan barang yang lain, dalam rangka mengompromikan dalil-dalil yang ada.
Atau dengan bahasa lain, yang dimaksud dengan lafaz-lafaz di atas adalah kesamaan pada sisi timbangan pada barang-barang yang terkena hukum riba yang tersebut dalam hadits-hadits lain. Wallahu a’lam.
Adapun pengertian sha’, takaran, atau hitungan (bijian) pada sebagian riwayat, telah dijawab oleh ash-Shanani dan asy-Syaukani. Kesimpulannya adalah bahwa penyebutan hal-hal di atas hanyalah untuk menunjukkan kesamaan dari sisi takaran atau timbangan pada barang-barang yang terkena hukum riba yang disebut dalam hadits-hadits lain. Wallahu a’lam.
Adapun masalah muzabanah[1] yang dijadikan dalil oleh jumhur, maka jawabannya adalah sebagai berikut:
Para ulama berbeda pendapat tentang ‘illat (sebab) emas dan perak dimasukkan sebagai barang riba.
Maksudnya, demikianlah yang disebut dalam hadits, ‘illat-nya adalah bahwa ia itu emas dan perak.
Atas dasar ini, riba berlaku pada emas dan perak secara mutlak, baik dijadikan sebagai alat bayar (tsaman) untuk barang lain maupun tidak. Pendapat ini dipegangi oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah dalam sebagian karyanya.
Jadi, setiap barang yang ditimbang, seperti kuningan, platina, dan yang semisalnya, termasuk barang yang terkena riba, dikiyaskan dengan emas dan perak.
Namun, pendapat ini terbantah dengan kenyataan adanya ijmak ulama yang membolehkan adanya sistem salam[2] pada barang-barang yang ditimbang. Seandainya setiap barang yang ditimbang terkena riba, niscaya tidak diperbolehkan sistem salam padanya.
Namun, menurut mereka, ‘illat ini khusus pada emas dan perak saja, tidak masuk pada barang yang lainnya.
Yang rajih, wallahu a’lam, adalah pendapat pertama dan tidak bertentangan dengan pendapat ketiga. Sebab, yang ketiga termasuk pada pendapat pertama, wallahu a’lam. Dalilnya adalah hadits Fudhalah bin Ubaid radhiallahu anhu tentang jual beli kalung emas. Wallahu a’lam.
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Apakah mata uang kertas sekarang yang dijadikan alat bayar resmi terkena riba fadhl dan riba nasi`ah?
Baca juga: Hukum Jual Beli Mata Uang dan Nasihat Para Ulama
Pendapat yang rajih adalah bahwa mata uang kertas adalah sesuatu yang berdiri sendiri sebagai naqd, seperti emas dan perak, insya Allah. Jadi, mata uang kertas itu berjenis-jenis, sesuai dengan perbedaan jenis pihak yang mengeluarkannya.
Ini adalah pendapat Malik, asy-Syafi’i, satu riwayat dari Ahmad, dan yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, mayoritas Haiah Kibarul Ulama. Ini yang kebanyakan dipilih oleh seminar-seminar fikih internasional semacam Rabithah Alam Islami, dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syaikh Muqbil bin Hadi. Dan inilah fatwa ulama kontemporer.
Mereka mengatakan bahwa mata uang kertas disamakan dengan emas dan perak karena hampir mirip (serupa) dengan ‘illat tsamaniyyah (sebagai alat bayar) yang ada pada emas dan perak.
Mata uang kertas sekarang berfungsi sebagai alat bayar untuk barang-barang lain, sebagai harta benda, transaksi jual beli, pembayaran utang-piutang, dan hal-hal yang dengan dasar itu riba diharamkan pada emas dan perak.
Baca juga: Jual Beli Mata Uang Sistem Online
Atas dasar pendapat di atas, ada beberapa hukum syariat yang perlu diperhatikan berkaitan dengan masalah ini. Disebutkan dalam Fatawa al-Lajnah ad-Daimah (13/442—444, saat itu diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, dengan anggota Syaikh Abdurrazaq Afifi, Syaikh Abdullah al-Ghudayyan, Syaikh Abdullah bin Qu’ud) sebagai berikut:
Wallahu a’lam bish-shawab.
[1] Muzabanah ialah membeli burr yang masih di pohonnya dengan burr yang sudah dipanen, atau membeli anggur yang masih di pohonnya dengan zabib (anggur kering/kismis). (-ed.)
[2] Sistem salam adalah seseorang menyerahkan uang pembayaran di muka dalam majelis akad untuk membeli suatu barang yang diketahui sifatnya, tidak ada unsur gharar padanya, dengan jumlah yang diketahui, takaran/timbangan yang diketahui, dan waktu penyerahan yang diketahui.