Asysyariah
Asysyariah

rapor merah akidah syiah

9 tahun yang lalu
baca 18 menit

Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi, Lc.

“Kaum Syiah berambisi menjatuhkan (harga diri) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak berhasil. Akhirnya, mereka mencela para sahabat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengesankan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang jahat. …”

bola

Sejak dahulu, kelompok sesat Syiah sangat agresif melakukan makar terselubung terhadap Islam dan umat Islam. Ambisi mereka untuk merobohkan pilar-pilar Islam pun sangat besar.

Kitab Suci al-Qur’an mereka klaim telah mengalami banyak perubahan bahkan pemalsuan.[1] Para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ummahatul Mukminin (ibunda kaum mukminin) yang suci, mereka tuduh berbuat zina.[2] Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia mereka vonis kafir.[3]

Sungguh, ini adalah penyimpangan besar dalam kehidupan beragama kaum Syiah, terutama dalam hal akidah.

Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata, “Kaum Syiah berambisi menjatuhkan (harga diri) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak berhasil. Akhirnya, mereka mencela para sahabat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengesankan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang jahat. Sebab, jika beliau orang baik-baik, niscaya para sahabatnya adalah orang-orang yang baik pula.” (ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hlm. 580)

Al-Imam Abu Zur’ah ar-Razi rahimahullah berkata, “Jika engkau melihat seseorang mencela salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketahuilah bahwa ia zindiq (seorang yang menyembunyikan kekafiran). Sebab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi kita adalah haq dan al-Qur’an adalah haq. Yang menyampaikan al-Qur’an dan as-Sunnah (kepada kita) adalah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mencela para saksi kita (para sahabat) demi mengenyahkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka lebih pantas untuk dicela. Mereka adalah orang-orang yang menyembunyikan kekafiran.” (al-Kifayah, al-Khathib al-Baghdadi, hlm. 49)

Akidah Syiah penuh dengan “catatan merah”. Beberapa poin akidah mereka pernah dimuat dalam edisi Asy-Syari’ah yang telah lalu.[4]

Di antara akidah Syiah yang menarik untuk dikaji dan dicermati lebih saksama adalah sikap mereka yang sebenarnya terhadap umat Islam (Sunni) yang kerap mereka sebut dengan Nashibi.[5] Hal ini sering luput dari pembahasan atau sengaja dikaburkan, bahkan dikubur, oleh pihak yang getol mengampanyekan persatuan antara Sunni dan Syiah.

Sebagai pendahuluan tentang potret nyata kehidupan kaum Syiah, marilah menyimak persaksian salah seorang (mantan) tokoh besar Syiah, Sayyid Husain al-Musawi berikut ini.

“Masih segar dalam ingatanku, ayahku pernah berjumpa dengan orang asing di salah satu pasar Kota Najef, Irak. Ayahku menyukai kebaikan, sehingga diajaklah orang tersebut ke rumah kami  sebagai tamu keluarga malam itu. Kami pun memuliakannya.

Selepas isya, kami duduk begadang menjamunya. Ketika itu, aku seorang pemuda yang baru mengawali belajar di al-Hauzah (pusat pendidikan ilmu agama kaum Syiah). Dari perbincangannya bersama kami, nyatalah bahwa dia seorang Sunni (sebutan untuk selain Syiah) dari Kota Samira yang datang ke Najef karena sebuah keperluan.

Malam itu, dia bermalam di rumah kami. Ketika datang waktu pagi, kami menyajikan makan pagi untuknya dan dia menyantapnya. Seusai makan pagi, dia berpamitan kepada kami. Ayahku menghadiahinya sejumlah uang untuk tambahan bekal dalam perjalanannya. Orang itu sangat berterima kasih atas penghormatan yang kami berikan kepadanya.

Selepas kepergiannya, ayahku memerintahkan agar kasur yang digunakan tidur oleh tamu tersebut dibakar dan peralatan makan yang digunakannya dicuci sebersih-bersihnya.” (Lillahi Tsumma lit Tarikh, hlm. 66)

Mengapa sang ayah memerintahnya demikian?

Sayyid Husain al-Musawi menjelaskan, “Sebab, menurut akidah beliau, Sunni itu najis. Ini adalah akidah orang Syiah secara keseluruhan. Semua ahli fikih kami menyejajarkan Sunni dengan orang kafir, orang musyrik, babi, dan menggolongkannya sebagai jenis benda najis.” (Lillahi Tsumma Lit Tarikh, hlm. 66)

 

SYIAH MENGAFIRKAN DAN MENGHALALKAN DARAH UMAT ISLAM (SUNNI)

Mengafirkan umat Islam (Sunni) dan menghalalkan darah mereka termasuk prinsip dalam agama Syiah.

Penulis Awailul Maqalat berkata, “Aku katakan bahwa kekafiran Nashibi (baca: Sunni) sungguh termasuk hal prinsip dalam mazhab Syiah. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh al-Mufid dalam kitab al-Muqni’ah dan lainnya. Tidak ada seorang faqih (ahli fikih) pun yang menyelisihi hal ini.” (Awailul Maqalat, hlm. 285)[6]

Dalam kitab al-Hadaiq an-Nadhirah (10/42), disebutkan, “Tidak ada perselisihan di kalangan kawan-kawan kami ridhwanullah ‘alaihim tentang vonis kafir terhadap Nashibi (baca: Sunni), najis, halal darah dan hartanya, dan sama dengan kafir harbi.”[7]

Al-Khau’i, salah seorang rujukan mereka, menegaskan bahwa tidak ada perbedaan antara orang murtad, kafir harbi, kafir dzimmi, dan Nashibi (baca: Sunni). (Minhajus Shalihin 1/116)[8]

Para pembaca yang mulia, prinsip di atas bukanlah hasil kajian dari para tokoh Syiah semata. Akan tetapi, itulah akidah mereka yang dibangun di atas riwayat-riwayat para imam Syiah yang sangat banyak. Hal ini disebutkan oleh al-Jawahiri dalam kitabnya Jawahirul Kalam (41/436) dalam bab “Halalnya Darah Nashibi (baca: Sunni)”.

Di antaranya adalah riwayat dari Dawud bin Farqad, ia berkata, “Aku katakan kepada Abu Abdillah (Ja’far ash-Shadiq) ‘alaihissalam, ‘Apa pendapatmu tentang membunuh Nashibi (baca: Sunni)?’

Beliau menjawab, ‘Halal darahnya, namun aku mengkhawatirkan dirimu. Jika kamu berkesempatan merobohkan dinding hingga menimpanya atau menenggelamkannya ke dalam air, lakukanlah! Semua itu agar tidak ada bukti kuat bahwa kamu membunuhnya.’

Aku pun berkata, ‘Bagaimana dengan hartanya?’

Beliau menjawab, ‘Silakan ambil, selama kamu mampu’.”

Dalam kitab mereka Tahdzibul Ahkam (10/213), disebutkan kisah orang yang mengingkari Abu Bujair—seorang Syiah—karena telah membunuh tujuh orang Sunni. Akhirnya keduanya berhukum kepada Abu Abdillah, imam mereka.

Abu Abdillah ‘alaihissalam berkata, “Bagaimana caramu membunuh mereka, hai Abu Bujair?”

Dia berkata, “Di antara mereka ada yang aku panjat loteng rumahnya dengan menggunakan tangga, kemudian aku membunuhnya. Sebagian ada yang berpapasan denganku di sebuah jalan, lantas aku membunuhnya. Sebagian lagi ada yang aku masuki rumahnya kemudian aku membunuhnya. Semua itu aku lakukan secara senyap, tak ada orang yang mengetahui jejakku.”

Abu Abdillah ‘alaihissalam berkata, “Hai Abu Bujair, wajib bagimu (membayar denda). Untuk setiap orang yang kamu bunuh, (dendanya) satu ekor kambing dan disembelih di Kota Mina, karena kamu melakukannya tanpa izin dari imam (Syiah). Sekiranya kamu membunuh mereka dengan seizin imam, niscaya kamu tidak dikenai denda sama sekali.”

Ni’matullah al-Jazairi—salah seorang ulama mereka—berkomentar tentang riwayat di atas, “Lihatlah denda yang sangat ringan tersebut. Sebuah denda yang lebih rendah daripada denda membunuh ‘adik laki-laki mereka’, yaitu anjing buruan, 25 dirham. Tidak pula menyamai denda membunuh ‘kakak laki-laki mereka’, yaitu Yahudi atau Majusi, 800 dirham. Sungguh, keadaan mereka (Sunni) di dunia ini lebih hina dan rendah.” (al-Anwar an- Nu’maniyyah 2/308)[9]

Betapa murahnya nyawa seorang Sunni di mata kaum Syiah. Dia lebih rendah daripada Yahudi atau Majusi, bahkan lebih rendah daripada seekor anjing buruan.

Demikianlah kaum Syiah. Makar terselubung terus mereka lakukan. Dengan semangat gerilya yang tinggi mereka tebarkan racun-racun akidah di tengah umat. Tampilan bersahaja dan bersahabat, mereka tonjolkan untuk menipu umat. Manakala ada peluang untuk menghabisi Sunni, secepat kilat akan mereka lakukan. Runtuhnya Daulah Abbasiyah di tangan Tartar, hancurnya Kota Baghdad, dan melayangnya jutaan nyawa umat Islam, termasuk sang khalifah kala itu, merupakan salah satu bukti sejarah atas kejahatan dan kesadisan kaum Syiah.[10]

Wallahul Musta’an.

MENGHALALKAN HARTA UMAT ISLAM

Tak hanya vonis kafir dan halalnya darah yang dijatuhkan oleh kaum Syiah terhadap umat Islam. Harta mereka pun halal diambil dan dimiliki.

Dalam beberapa kitab Syiah[11], diriwayatkan dari Abu Abdillah ‘alaihissalam, dia berkata, “Ambillah harta seorang Nashibi (baca: Sunni) di mana saja kamu mendapatinya dan serahkan kepada kami al-khumus (seperlima).”

Dalam kitab Syiah Bihar al-Anwar (93/194—195), disebutkan[12] bahwa Alba’ al-Asadi, seorang Syiah, menjadi pegawai di pemerintahan Bani Umayyah. Dia mendapati uang sebesar tujuh ratus ribu dinar, hewan tunggangan, dan budak (milik pemerintah). Lantas dia membawanya ke hadapan Abu Abdillah ‘alaihissalam dan menyerahkan semua harta itu kepadanya seraya berkata, “Sesungguhnya aku dipercaya oleh Bani Umayyah untuk memegang wilayah Bahrain. Aku berkesempatan mengambil kekayaannya sekian dan sekian, yang sekarang ini kubawa semuanya ke hadapan Anda. Aku meyakini bahwa Allah ‘azza wa jalla tidak menjadikan harta itu untuk mereka, dan sungguh, semua itu untuk Anda.”

Abu Abdillah ‘alaihissalam berkata, “Bawalah harta itu kemari!”

Harta itu diletakkan di hadapan Abu Abdillah ‘alaihissalam. Dia berkata, “Kami telah menerima harta ini darimu dan sekarang kami memberikannya kepadamu. Kami menghalalkannya untukmu dan kami menjaminmu di hadapan Allah ‘azza wa jalla masuk surga.”

 

HUKUM MENIKAHI UMAT ISLAM

Diriwayatkan dari Abu Ja’far (Muhammad al-Baqir), disebutkan kepadanya tentang orang-orang Nashibi (baca: Sunni), dia lalu berkata, “Jangan kamu menikahi mereka, jangan memakan sembelihan mereka, jangan pula tinggal bersama mereka.”[13]

Salah seorang Syiah bertanya kepada Abu Ja’far tentang wanita Syiah Imamiyyah, apakah boleh dinikahi oleh seorang Nashibi (baca: Sunni)?

Dia menjawab, “Tidak boleh, karena Nashibi (baca: Sunni) itu kafir.”[14]

 

HUKUM SHALAT DI BELAKANG UMAT ISLAM

Ath-Thusi—salah seorang tokoh mereka—berkata dalam ringkasan fikihnya[15], “Jangan shalat di belakang orang Nashibi (baca: Sunni) dan orang yang mencintai Amirul Mukminin (Ali bin Abi Thalib pen.) namun tidak berlepas diri dari musuh beliau kecuali dalam keadaan bertaqiyah.”

Muhammad al-Baqir ditanya tentang shalat di belakang selain Syiah. Dia menjawab, “Tidaklah mereka di sisiku kecuali seperti dinding.”[16]

Para pembaca yang mulia, dalam akidah Syiah tidak diperbolehkan shalat di belakang selain Syiah kecuali terpaksa sebagai bentuk taqiyah (berpura-pura). Itu pun dengan menganggap si imam tak ubahnya seperti dinding. Wallahul Musta’an.

 

HUKUM MENYALATI UMAT ISLAM

Bisa jadi, di antara pembaca ada yang pernah melihat seorang Syiah turut menyalati jenazah seorang muslim (Sunni). Tentu, kesan yang ditangkap adalah masya Allah, alias bagus. Namun, perlu pembaca ketahui bahwa dia tidak melakukannya kecuali karena bertaqiyah (berpura-pura). Yang lebih mencengangkan, ternyata doa yang dibaca dalam shalat jenazah itu adalah doa kebinasaan untuk si mayit.

Al-Mufid dalam kitab al-Muqni’ah (hlm. 229—230) berkata, “Jika si mayit seorang Nashibi (baca: Sunni), shalatkanlah sebagai bentuk taqiyah (berpura-pura). Kemudian ucapkanlah setelah takbir keempat, ‘Ya Allah, hamba-Mu putra hamba-Mu ini, tidaklah kami mengetahuinya kecuali kejelekan. Hinakanlah dia di kalangan para hamba-Mu dan di negeri-negeri-Mu, masukkanlah dia ke dalam neraka-Mu yang paling dahsyat. Ya Allah, sesungguhnya dia mencintai para musuh-Mu, memerangi para wali-Mu, dan membenci keluarga Nabi-Mu. Penuhilah kuburnya dengan api; dari arah depan, kanan, dan kirinya. Kuasakanlah ular dan kalajengking untuk membinasakannya di kuburnya’.”

Dalam riwayat lain, “Ya Allah, sesungguhnya si fulan ini, tidaklah kami mengetahuinya kecuali sebagai musuh-Mu dan musuh Rasul-Mu. Ya Allah, penuhilah kuburnya dengan api, penuhi pula perutnya dengan api, dan segerakanlah dia masuk ke dalam neraka, karena dia mencintai para musuh-Mu, memerangi para wali-Mu, dan membenci keluarga Nabi-Mu. Ya Allah, sempitkanlah kuburnya.”

Ketika jenazahnya diangkat, ucapkanlah, “Ya Allah, jangan Engkau angkat derajatnya dan jangan pula Engkau sucikan dia.”[17]

 

VONIS NAJIS TERHADAP UMAT ISLAM

Sayyid Husain al-Musawi sebagaimana disebutkan dalam pendahuluan di atas menjelaskan bahwa semua ahli fikih Syiah menyejajarkan Sunni dengan orang kafir, orang musyrik, babi, dan menggolongkannya sebagai jenis benda najis.

Sayyid Ni’matullah al-Jazairi berkata, “Sesungguhnya mereka—Ahlus Sunnah— adalah orang kafir dan najis, menurut kesepakatan ulama Syiah Imamiyah. Sesungguhnya mereka lebih jelek daripada Yahudi dan Nasrani. Di antara ciri-ciri Nashibi (baca: Sunni) adalah mendahulukan selain Ali bin Abi Thalib dalam hal imamah (khilafah).” (al-Anwar an-Nu’maniyyah 2/206—207; dinukil dari Lillahi Tsumma Lit Tarikh, hlm. 71)

Satu hal yang sangat mencengangkan adalah keyakinan mereka bahwa seorang Sunni itu lebih najis dari makhluk yang paling najis sekalipun.

Dalam kitab Bihar al-Anwar (73/72), disebutkan bahwa Allah ‘azza wa jalla belum pernah menciptakan makhluk yang lebih najis daripada anjing. Adapun seorang Nashibi (baca: Sunni) yang menyelisihi kami, ahlul bait, lebih najis darinya.

Bejana seorang Sunni hukumnya najis, tanpa diragukan. Yang lebih berhati-hati dalam membersihkannya adalah dengan debu dan air, sebagaimana yang dilakukan terhadap bejana yang terkena jilatan anjing.

Sayyid Musthafa al-Khomaeni dalam kitab Tahrir al-‘Urwah al-Wutsqa (1/89) berkata, “Bahkan, tidak diragukan lagi tentang najisnya seorang Nashibi (baca: Sunni)… dan yang lebih berhati-hati adalah membersihkan bejana Nashibi (baca: Sunni) dengan debu dan air sebagaimana yang dilakukan terhadap bejana yang terkena jilatan anjing.”

Diriwayatkan dari Abu Abdillah bahwasanya dia membenci bekas minum anak zina, Yahudi, Nasrani, musyrik, dan semua yang menyelisihi Islam. Yang paling dia benci adalah bekas minum seorang Nashibi (baca: Sunni).[18]

Bagaimanakah berjabat tangan dengan seorang Sunni?

Dalam akidah mereka, seusai berjabat tangan dengan seorang kafir dzimmi, cukup diusapkan ke tanah atau dinding. Namun, seusai berjabat tangan dengan seorang Sunni, harus dicuci dengan air. Wallahul Musta’an

Dalam kitab al-Kafi (2/650), disebutkan bahwa seseorang berkata kepada Abu Abdillah ‘alaihissalam, “Aku bertemu dengan seorang kafir dzimmi lalu dia mengajakku berjabat tangan.”

Abu Abdillah ‘alaihissalam berkata, “Usapkanlah tanganmu itu ke tanah atau dinding.”

Orang itu pun berkata, “Bagaimanakah (usai berjabat tangan) dengan seorang Nashibi (baca: Sunni)?”

Abu Abdillah ‘alaihissalam berkata, “Cucilah tanganmu!”[19]

 

VONIS KEKAL DI NEREKA

Dalam kitab Bihar al-Anwar (27/234), disebutkan bahwa Abu Ja’far ‘alaihis salam berkata, “Sekiranya semua malaikat yang diciptakan oleh Allah, semua nabi yang diutus oleh Allah, dan semua syahid memberikan syafaat kepada seorang Nashibi (baca: Sunni) yang menyelisihi kami, ahlul bait—maksudnya adalah Syiah—agar Allah mengeluarkannya dari neraka; Allah tidak akan mengeluarkannya dari neraka selama-lamanya. Allah ‘azza wa jalla telah berfirman dalam Kitab-Nya, ‘Mereka berada di dalamnya untuk selama-lamanya’.”

Dalam kitab yang sama disebutkan bahwa Ja’far ash-Shadiq berkata, “Sesungguhnya seorang Nashibi (baca: Sunni) yang menyelisihi kami ahlul bait—maksudnya adalah Syiah—tidak perlu dihiraukan, entah dia berpuasa atau shalat, berzina atau mencuri; karena sesungguhnya dia di neraka! Sesungguhnya dia di neraka!”[20]

Dari pemaparan di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa umat Islam (Sunni) di mata kaum Syiah adalah kafir, halal darah dan hartanya, tidak boleh shalat bermakmum di belakangnya kecuali jika bertaqiyah (berpura-pura), tidak boleh menyalati jenazahnya kecuali ketika bertaqiyah (berpura-pura) dan mendoakan kebinasaan atasnya, najis bahkan lebih najis dari anjing, dan kekal di dalam neraka selama-lamanya. Wallahul Musta’an.

Perlu diketahui, kesimpulan di atas bukanlah kesimpulan di atas kertas semata, melainkan sebuah prinsip keyakinan (akidah) yang terhunjam dalam sanubari setiap penganut Syiah, yang akan direalisasikan dalam bentuk nyata manakala ada peluang dan kesempatan.

Marilah kita simak bersama persaksian Sayyid Husain al-Musawi berikut ini.

“Ketika pemerintahan Pahlevi di Iran tumbang pascarevolusi Islam (baca: Syiah) dan Imam Khomaeni dikukuhkan sebagai pemimpin bangsa, menjadi kewajiban bagi ulama Syiah untuk berkunjung dan memberi ucapan selamat kepadanya atas kemenangan yang agung ini; yaitu berdirinya Negara Syiah pertama di era modern ini yang dipimpin oleh para fuqaha (ahli fikih). Kewajiban ini secara lebih khusus tertuju kepada diriku, karena hubunganku yang sangat dekat dengan Imam Khomaeni.

Berangkatlah aku ke Iran satu setengah bulan atau lebih setelah kedatangannya di Teheran, sepulang beliau dari tempat pengasingannya di Paris, Perancis. Beliau benar-benar menyambut hangat kunjunganku itu. Kebetulan, kunjungan kali ini tidak bersama para ulama Syiah Irak lainnya. Dalam pertemuan khusus itu, beliau berkata kepadaku, “Sayyid Husain, tibalah saatnya menerapkan wasiat para imam shalawatullah ‘alaihim. Kita akan tumpahkan darah orang-orang Nashibi (baca: Sunni). Kita akan membunuh anak-anak lelaki mereka dan kita biarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Takkan kita biarkan seorang pun dari mereka lolos dari penyiksaan. Harta mereka akan menjadi hak milik para pembela Ahlul Bait.

Kita akan enyahkan Makkah dan Madinah dari muka bumi ini karena telah menjadi markas Wahabi. Sudah seharusnya Kota Karbala menjadi bumi Allah yang diberkahi lagi suci, kiblat manusia dalam shalat. Dengan demikian, kita akan wujudkan impian para imam ‘alaihissalam.

Sungguh, telah berdiri sebuah negara yang sejak sekian tahun lamanya kita perjuangkan. Tidaklah tersisa bagi kita selain mewujudkan itu semua!!” (Lillahi Tsumma Lit Tarikh, hlm. 73)

Akhir kata, demikianlah sekelumit tentang agama Syiah, kesesatan, kejahatan, dan bahayanya terhadap umat Islam.

Semoga menjadi pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk bagi pencari kebenaran.

Amin….


[1] Disebutkan dalam kitab al-Kafi (yang kedudukannya di sisi mereka seperti Shahih al-Bukhari di sisi umat Islam) karya Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini 2/634.

Dari Abu Abdillah (Ja’far ash-Shadiq), dia berkata, “Sesungguhnya al-Qur’an yang dibawa Jibril kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itu (ada) 17.000 ayat.”

Pada 1/239—240 disebutkan dari Abu Abdillah, dia berkata, “Sesungguhnya di sisi kami ada Mushaf Fatimah ‘alaihassalam, mereka tidak tahu apa Mushaf Fatimah itu. Abu Bashir berkata, ‘Apa Mushaf Fatimah itu?’

Dia (Abu Abdillah) berkata, ‘Mushaf yang isinya 3 kali lipat dari yang ada di Mushaf kalian. Demi Allah, tidak ada padanya satu huruf pun dari al-Qur’an kalian’.” (Dinukil dari kitab asy-Syiah wal Qur’an karya Dr. Ihsan Ilahi Zhahir, hlm. 31—32)

Bahkan, salah seorang “ahli hadits” mereka yang bernama Husain bin Muhammad at-Taqi an-Nuri ath-Thabrisi dalam kitabnya Fashlul Khithab fii Itsbati Tahrifi Kitabi Rabbil Arbab mengumpulkan berbagai riwayat dari para imam mereka yang diyakini ma’shum (terjaga dari dosa), bahwa al-Qur’an yang ada di tangan umat Islam itu telah mengalami perubahan dan penyimpangan.

[2] Dalam kitab mereka Ikhtiyar Ma’rifatir Rijal karya ath-Thusi, hlm. 57—60, menukilkan (secara dusta) perkataan sahabat Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma terhadap Ummul Mukminin Aisyah, “Kamu tidak lain adalah seorang pelacur dari sembilan pelacur yang ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Dinukil dari kitab Daf’ul Kadzibil Mubin al-Muftara Minarrafidhati ‘ala Ummahatil Mukminin karya Dr. Abdul Qadir Muhammad ‘Atha, hlm. 11)

[3] Dalam kitab mereka Rijalul Kisysyi, hlm. 12—13 dari Abu Ja’far (Muhammad al-Baqir), dia berkata, “Manusia (para sahabat) sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan murtad kecuali tiga orang.”

Aku (perawi) berkata, “Siapa tiga orang itu?”

Dia (Abu Ja’far) berkata, “Al-Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari, dan Salman al-Farisi….”

Oleh karena itu, didapati dalam kitab bimbingan doa mereka (Miftahul Jinan, hlm. 114), wirid laknat untuk keduanya,

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ، وَالْعَنْ صَنَمَيْ قُرَيْشٍ وَجِبْتَيْهِمَا وَطَاغُوْتَيْهِمَا وَابْنَتَيْهِمَا

“Ya Allah, semoga shalawat selalu tercurahkan kepada Muhammad dan keluarganya, laknatlah kedua berhala Quraisy (Abu Bakr dan Umar), setan dan thaghut keduanya, serta kedua putri mereka (yang dimaksud adalah Ummul Mukminin Aisyah dan Hafshah)….” (Dinukil dari kitab al-Khuthuth al-‘Aridhah karya as-Sayyid Muhibbuddin al-Khatib, hlm. 18)

[4] Di antaranya pada Majalah Asy-Syari’ah edisi 05, 18, dan 92.

[5] Dalam literatur Islam, sebutan Nashibi digunakan untuk seseorang yang membenci dan memusuhi ahlul bait (keluarga/keturunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beriman).

Berbeda halnya dalam literatur Syiah, sebutan Nashibi digunakan untuk semua orang yang menyelisihi Syiah dan mengingkari sistem keimamahan yang ada pada mereka. Demikianlah yang ditegaskan oleh al-Bahrani, seorang tokoh Syiah yang bergelar “al-Muhaqqiq” dalam kitabnya al-Hadaiq an-Nadhirah 14/159.

Bahkan, sekadar mendahulukan Abu Bakr ash-Shiddiq dan Umar bin al-Khaththab atas Ali bin Abi Thalib dalam hal kekhilafahan, sudah masuk dalam kategori Nashibi, sebagaimana dalam kitab Wasail as-Syiah (Alu al-Bait) karya al-Hur al-‘Amili 9/490—491. Tatkala seseorang divonis Nashibi, berarti dia telah kafir, musyrik, najis, serta halal harta dan darahnya.

[6] al-Fadhih Li Madzhab asy-Syiah al-Imamiyyah karya Hamid Masuhali al-Idrisi, hlm. 133.

[7] al-Fadhih Li Madzhab asy-Syiah al-Imamiyyah karya Hamid Masuhali al-Idrisi, hlm. 133.

[8] al-Fadhih Li Madzhab asy-Syiah al-Imamiyyah karya Hamid Masuhali al-Idrisi, hlm. 134.

[9] al-Fadhih Li Madzhab asy-Syiah al-Imamiyyah, hlm. 136.

[10] Anda bisa membaca Kajian Utama edisi ini. Untuk lebih rinci, silakan baca al-Bidayah wan Nihayah karya al-Imam Ibnu Katsir (13/200—211), Tarikhul Islam wa Wafayatul Masyahir wal A’lam karya al-Imam adz-Dzahabi (48/33—40), dan Tarikhul Khulafa’ karya al-Imam as-Suyuthi (hlm. 325—335).

[11] Wasail asy-Syiah 9/487, al-Hadaiq an-Nadhirah 10/361, Tahdzib al-Ahkam 4/121, dan Bihar al-Anwar 93/191. Dinukil dari al-Fadhih Li Madzhab asy-Syiah al-Imamiyyah, hlm. 137.

[12] al-Fadhih Li Madzhab asy-Syiah al-Imamiyyah, hlm. 138.

[13] al-Istibshar 3/184, Tahdzib al-Ahkam 7/303, dan Wasail asy-Syiah 20/554. Dinukil dari al-Fadhih Li Madzhab asy-Syiah al-Imamiyyah, hlm. 138.

[14] Tahdzib al-Ahkam 7/303

[15] an-Nihayah, hlm. 112.

[16] Jawahir al-Kalam 13/196.

[17] al-Kafi 3/189, Bihar al-Anwar 44/202, Wasail asy-Syiah 3/70, dan Tahdzib al-Ahkam 3/197. Dinukil dari al-Fadhih Li Madzhab asy-Syiah al-Imamiyyah, hlm. 141.

[18] al-Kafi 3/11, dan Wasail asy-Syiah 1/229. Dinukil dari al-Fadhih Li Madzhab asy-Syiah al-Imamiyyah, hlm. 143.

[19] Dinukil dari al-Fadhih Li Madzhab asy-Syiah al-Imamiyyah, hlm. 143.

[20] Dinukil dari al-Fadhih Li Madzhab asy-Syiah al-Imamiyyah, hlm. 144.