Asysyariah
Asysyariah

rambu-rambu berpakaian

11 tahun yang lalu
baca 13 menit

Walaupun Islam memberikan kelonggaran dan keleluasaan dalam hal berpakaian, baik dari sisi warna, bahan, maupun jenis dan bentuknya, Islam menetapkan rambu-rambu dan aturan-aturan yang harus diperhatikan dan yang tidak boleh dilanggar. Rambu-rambu tersebut menjadi pembeda antara pakaian syar’i yang menandakan ketakwaan dan keteguhan agama seseorang, dan pakaian nonsyar’i yang melambangkan kecenderungan dan karakter masing-masing orang. Rambu-rambu tersebut ada yang sifatnya anjuran wajib atau sunnah, ada pula yang bersifat larangan haram atau makruh. Berikut ini ada beberapa rambu umum yang patut diperhatikan.

1. Tidak berlebih-lebihan dalam berpakaian di luar batas kebiasaan.

Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid! Makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan! Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (al-‘Araf: 31)

Berlebih-lebihan (al-israf) ada tiga kemungkinan,

a. Melebihi batas kebiasaan dan kadar cukup (kewajaran),

b. Bermewah-mewah di luar batas kewajiban,

c. Melampaui batas halal menuju zona keharaman. (Tafsir as-Sa’di)

Dari Abdullah bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كُلُوْا وَاشْرَبُوْا مَا لَمْ يُخَالِطْهُ إِسْرَافٌ وَلاَ مَخِيلَةٌ

“Makanlah, minumlah, dan berpakaianlah, selama tidak tercampur dengan sikap israf dan kesombongan.” (Hasan, HR. an-Nasa’i no. 2559 dan Ibnu Majah no. 3605)

Yang dianjurkan adalah bersikap tawadhu’ (rendah hati) dalam hal berpakaian karena Allah Subhanahu wata’ala semata, bukan karena ingin disebut sebagai orang zuhud. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memuji dengan sabdanya,

مَنْ تَرَكَ اللِّبَاسَ تَوَاضُعًا وَهُوَ يَقْدِرُ عَلَيْهِ دَعَاهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رُءُوسِ الْخَلاَئِقِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ مِنْ أَيِّ حُلَلِ الْإِيمَانِ شَاءَ يَلْبَسُهَا

“Barang siapa meninggalkan pakaian (kemewahan) karena tawadhu untuk Busana Takwa Syar’i atau Trendi? Allah Subhanahu wata’ala semata padahal dia mampu, maka Allah Subhanahu wata’ala akan memanggilnya di hari kiamat nanti di hadapan seluruh makhluk untuk bebas memilih perhiasan (pakaian) surga yang diberikan kepada Ahlul Iman yang diinginkan untuk dia pakai.” (Hasan, HR. at-Tirmidzi [no. 2481] dari Mu’adz bin Anas radhiyallahu ‘anhu)

Tidak berarti Islam melarang berpakaian indah dan bagus, namun yang terpenting adalah tidak ada unsur kesombongan. Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah(2819) meriwayatkan, Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda,

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ أَنْ يُرَى أَثَرُ نِعْمَتِهِ عَلَى عَبْدِهِ

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala menyukai ditampakkannya kebaikan nikmat-Nya pada diri hamba-Nya.” (Shahih lighairihi, HR. at-Tirmidzi no. 2819, Ahmad 3/372, dari Abul Ahwash, dari ayahnya, dan dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, al- Hakim, serta Ibnu Majah)

2. Kewajiban menutup aurat dalam berpakaian adalah tujuan utama syariat berpakaian. Para ulama juga bersepakat tentang kewajibannya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا ۖ وَلِبَاسُ التَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْرٌ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ

“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tandatanda kekuasaan Allah. Mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (al-A’raf: 26)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ

“Seseorang lelaki tidak boleh melihat aurat lelaki lain, begitu pula wanita tidak boleh melihat aurat wanita yang lain.” (HR. Muslim [no. 338] dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu)

3 . Tidak diperbolehkan menggunakan pakaian yang terbuat dari kulit binatang buas seperti singa, harimau, dan yang lainnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَلاَ تَرْكَبُوْا الْخِزَّ وَلاَ النِّمَارَ

“Janganlah kalian beralas sutra, jangan pula kulit harimau.” (Sahih, HR. Abu Dawud no. 4125 dan Ibnu Majah no. 3656 dari Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu)

Dalam Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abu Dawud (11/147 cet. Darul Fikr tahun 2003M/1423H) disebutkan bahwa RasulullahShallallahu ‘alaihi wasallam  melarang menggunakan dan memanfaatkan kulit macan karena ada unsur kesombongan dan kemewahan dalam berhias. Selain itu, pakaian dari kulit macan adalah mode orang ajam (kita dilarang menyerupai orang ajam, yakni Persia dan Romawi, -pen.)

Larangan di atas umum mencakup hewan buas yang disembelih atau belum. Meskipun sangat mungkin, mayoritas penggunaannya ialah saat hewan tersebut telah mati karena menangkapnya dalam keadaan hidup tergolong sulit.

4. Kaum lelaki diharamkan menggunakan pakaian yang terbuat dari sutra.

Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ تَلْبَسُوا الْحَرِيرَ فَإِنَّهُ مَنْ لَبِسَهُ فِي الدُّنْيَا لَمْ يَلْبَسْهُ فِي الآخِرَةِ

“Janganlah kalian menggunakan pakaian sutra, sebab barang siapa menggunakannya di dunia, dia tidak akan menggunakannya di akhirat.” (HR. al-Bukhari no. 5834 dan Muslim no. 2069/11)

Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

حُرِّمَ لِبَاسُ الْحَرِيرِ وَالذَّهَبِ عَلَى ذُكُورِ أُمَّتِي وَأُحِلَّ لِإِنَاثِهِمْ

“Diharamkan pakaian sutra dan perhiasan emas bagi lelaki dari umatku dan dihalalkan bagi kaum wanitanya.” (Sahih, HR. at-Tirmidzi no. 1720, beliau berkata, “Hadits hasan sahih”)

Al-Imam Abu ‘Isa at-Tirmidzi rahimahullah menjelaskan, pada bab ini (hadits-hadits yang mengharamkan sutra dan emas atas pria, -pen.) diriwayatkan dari Umar, Ali, Uqbah bin Amir, Anas, Hudzaifah, Ummu Hani, Abdullah bin ‘Amr, Imran bin Hushain, Abdullah bin Zubair, Jabir Abu Raihan, Ibnu Umar, dan Watsilah bin al-Asqa’ . (Tuhfatul Ahwadzi 5/315—316, cet. Darul Fikr tahun 2003M/1424H) Ada beberapa hal yang dikecualikan dari larangan, di antaranya:

a. Seseorang mengidap penyakit kulit, kusta, dan semisalnya yang bisa menjadi lebih ringan dengan menggunakan pakaian sutra. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu  dia berkata,

رَخَّصَ النَّبِيُّ لِلزُّبَيْرِ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ  فِي لُبْسِ الْحَرِيرِ لِحِكَّةٍ بِهِمَا

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memberi rukhsah kepada Zubair dan Abdurrahman memakai sutra karena penyakit hikkah yang menimpa mereka.” (HR. al-Bukhari no. 5839] dan Muslim no. 2076/25)

Hikkah adalah penyakit kulit sejenis kusta, demikian disebutkan dalam Syarah Shahih Muslim dan Fathul Bari. Ibnu Hajar rahimahullah dalam al-Fath (11/376), “Penyebutan hikkah hanyalah contoh, bukan pembatasan.” Al – Imam ath – Thabari rahimahullah  berkesimpulan, “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa larangan memakai sutra tidak berlaku atas orang yang mengidap penyakit yang bisa diringankan dengan memakai sutra.” (al-Fath, 11/377)

Sebagian ulama mazhab Syafi’i berpendapat, keringanan ini khusus ketika safar (berpergian) saja, karena riwayat Muslim yang lain (no. 2076/24) ada lafadz فِي السَّفَرِ “saat safar.” Namun, yang rajih (kuat) adalah pendapat jumhur (mayoritas) bahwa rukhshah (keringanan) tersebut berlaku umum, baik saat mukim maupun safar, karena riwayat di atas sifatnya kondisional. Al-Imam an-Nawawi rahimahullah juga melemahkan pendapat sebagian ulama mazhab Syafi’i di atas. (Lihat Syarh Shahih Muslim 14/46, cet. I, Darul Kutub Ilmiah, 1995M/1415H)

b. Diperbolehkan memakai sutra untuk membangkitkan emosi (baca: “Diharamkan pakaian sutra dan perhiasan emas bagi lelaki dari umatku dan dihalalkan bagi kaum wanitanya.”  provokasi) musuh dalam front jihad fi sabilillah. Sebab, pada sebagian lafadz riwayat di atas terdapat kalimat فِي غَزَاةٍ لَهُمَا “dalam perperangan mereka berdua.” (HR. Muslim no. 2076/26, at-Tirmidzi no. 1722)

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menyatakan setelah meriwayatkan hadits di atas,

فَرَأَيْتُهُ عَلَيْهِمَا فِي غَزَاةٍ

“Saya melihat sutra tersebut mereka pakai dalam sebuah pertempuran.” (HR. al-Bukhari no. 2919) Al-Imam Muhammad bin Ismail al- Bukhari rahimahullah membuat bab dengan judul: الْحَرِيْرُ لِلْحَرْبِ “Sutra untuk Peperangan.” Al-Imam Muhammad bin ‘Isa at- Tirmidzi rahimahullah juga membuat bab,

مَا جَاءَ فِي الرُّخْصَةِ فِي لُبْسِ الْحَرِيرِ فِي الْحَرْبِ

“Rukhshah Memakai Sutra dalam Peperangan.”

c. Diperbolehkan memakai sutra dalam keadaan darurat. Al-Imam Yahya bin Syaraf an- Nawawi rahimahullah ber-istinbath, “Hadits di atas mengandung dalil diperbolehkannya memakai sutra ketika kondisi darurat, seperti seseorang yang dikejutkan dengan pertempuran dan tidak ada pakaian lain selain sutra.” (Syarah Shahih Muslim 14/45)

Al-Hafizh Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani rahimahullah menambahkan, “Dimasukkan pula dalam (hukum rukhshah), pakaian sutra yang digunakan untuk melindungi tubuh dari panas atau cuaca dingin, apabila tidak dijumpai yang selainnya.” (Fathul Bari 11/377, cet. Darul Fikr, 1996M/1416H)

d. Diperbolehkan menggunakan sutra untuk hiasan pakaian dan semisalnya dengan syarat tidak lebih dari empat jari. Dalam Shahih Muslim (no. 2069/15) dan at-Tirmidzi (no. 1721), dari Suwaid bin Ghaflah rahimahullah, beliau berkata bahwa Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah berkhutbah di Jabiyah,

نَهَى نَبِيُّ اللهِ عَنْ لُبْسِ الْحَرِيرِ إِلاَّ مَوْضِعَ  إِصْبَعَيْنِ أَوْ ثَلاَثٍ أَوْ أَرْبَعٍ

“Nabiyullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang memakai sutra kecuali seukuran dua, tiga, atau empat jari.” Al-Hafizh rahimahullah dalam al-Fath 11/467 menyatakan, “ أو (atau) di sini untuk keragaman dan pilihan.” Al-Imam Yahya an-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Di dalam riwayat ini, ada kebolehan hiasan sutra pada pakaian apabila tidak lebih dari empat jari. Ini adalah mazhab kami (ulama mazhab Syafi’i -pen.) dan mazhab jumhur (mayoritas ulama). Diriwayatkan dari Malik rahimahullah bahwa beliau melarangnya. Diriwayatkan pula dari sebagian pengikutnya (ulama mazhab Maliki, -pen.) pendapat yang membolehkan hiasan sutra tanpa batasan empat jari, bahkan mereka berkata, ‘Boleh sebesar apa pun’.” Kedua pendapat tersebut terbantah dengan hadits yang tegas ini. Wallahu a’lam. (Syarah Muslim 14/43)

Di antara dalil amali yang menunjukkan bolehnya hiasan sutra untuk pakaian pada kerah, lengan, bagian tepian, benik (kancing), dan semisalnya adalah hadits Asma binti Abi Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhuma tatkala menyanggah Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma yang tidak memperbolehkan hiasan pakaian, Asma radhiyallahu ‘anha berkata,

هَذِهِ جُبَّةُ رَسُولِ اللهِ

“Ini adalah jubah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.”

Kata Abdullah, maula Asma radhiyallahu ‘anhuma,

فَأَخْرَجَتْ إِلَىَّ جُبَّةَ طَيَالَسَةٍ كِسْرَوَانِيَّةً لَهَا لِبْنَةُ دِيبَاجٍ وَفَرْجَيْهَا مَكْفُوفَيْنِ بِالدِّيبَاجِ

“Asma pun menunjukkan kepadaku sebuah jubah Thayalisah dari Kisra Persia pada bagian kerahnya terbuat dari sutra Dibaj dan kedua tepinya dijahit dengan sutra Dibaj.”

Asma radhiyallahu ‘anhuma menjelaskan,

هَذِهِ كَانَتْ عِنْدَ عَائِشَةَ حَتَّى قُبِضَتْ فَلَمَّا قُبِضَتْ قَبَضْتُهَا وَكَانَ النَّبِىُّ يَلْبَسُهَا فَنَحْنُ  نَغْسِلُهَا لِلْمَرْضَى يُسْتَشْفَى بِهَا

“Jubah ini dahulunya dipegang Aisyah hingga beliau tiada. Ketika beliau tiada, akulah yang memegangnya. Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam biasa memakainya. Kami sekarang menggunakannya untuk membasuh orang sakit mengharap kesembuhan (kepada Allah Subhanahu wata’ala, -pen.) dengan (berkah) jubah ini.” (Shahih Muslim no. 2069)

Begitu juga pernyataan Abu Utsman an-Nahdi rahimahullah setelah membawakan hadits Umar radhiyallahu ‘anhu di atas,

فِيمَا عَلِمْنَا أَنَّهُ يَعْنِي الْأَعْلاَمَ

“Sepengetahuan kami, yang beliau maksud adalah hiasan-hiasan pakaian.” (HR. Bukhari no. 5828, Muslim no. 2069/14)

5. Tidak diperbolehkan memakai pakaian yang bergambar salib dengan beragam modelnya.

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ لَمْ يَكُنْ يَتْرُكُ فِي بَيْتِهِ شَيْئًا فِيهِ  تَصَالِيبُ إِلاَّ نَقَضَهُ

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak membiarkan sesuatu pun di rumahnya yang berbentuk salib melainkan beliau musnahkan.” ( HR. al-Bukhari no. 5952)

Dalam riwayat Abu Dawud (no. 4151) dengan lafadz قَضَبَهُ , artinya “Beliau merobek atau memotongnya.” Termasuk dalam kategori salib adalah segala sesuatu yang diibadahi selain Allah Subhanahu wata’ala, seperti gambar arca, berhala, kuburan yang disembah, dan yang semisalnya, karena sebab pemusnahan sesuatu yang berbentuk salib adalah sesuatu yang disembah selain Allah Subhanahu wata’ala. (al-Fath 11/585)

6. Tidak diperbolehkan memakai pakaian yang bertuliskan huruf-huruf yang tidak dimengerti maknanya atau ada unsur pengagungan terhadap orang kafir, atau kata-kata yang melanggar syar’i atau etika. Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Apa hukum pakaian yang mengandung tulisantulisan yang berbahasa Inggris, sedangkan kita tidak tahu, bisa jadi tulisan tersebut mengandung makna yang jelek, apakah hal ini termasuk tasyabuh?”

Beliau menjawab, “Kewajiban kita adalah bertanya tentang tulisan atau huruf/simbol yang ditulis dengan selain bahasa Arab tersebut, bisa jadi mengandung makna yang merusak dan menghancurkan moral.” Tidak diperbolehkan memakai sesuatu yang ada tulisan berbahasa Inggris atau lainnya yang bukan bahasa Arab kecuali setelah orang itu memastikan kebersihan (makna) tulisan tersebut. Tulisan itu tidak mengandung sesuatu yang mengotori kemuliaan, tidak pula berisi pengagungan terhadap orang kafir. Bisa jadi, tulisan tersebut mengandung unsur pengagungan terhadap orang kafir baik itu olahragawan, artis, penemu, maupun yang semisal itu. Apabila tulisan tersebut mengandung pengagungan terhadap orang kafir, maka hukumnya haram, tidak boleh. Begitu pula tulisan yang mengandung makna murahan dan merusak, juga tidak diperbolehkan. Oleh sebab itu, dia harus memastikan makna tulisan tersebut sebelum pakaian tersebut dia kenakan.” (Lihat al-Fatawa fii Ziinati binti Hawa, hlm. 78, karya Ummu Salamah as-Salafiyah al-‘Abbasiyah hafizhahallah)

7. Tidak diperbolehkan memakai pakaian yang bergambar makhluk bernyawa, baik itu gambar manusia, hewan, maupun burung. Di dalam Shahih al-Bukhari (no. 5949) dan Shahih Muslim (no. 3933) dari Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ تَدْخُلُ الْمَلاَئِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ، وَلاَ تَصَاوِيرُ

“Malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar (makhluk bernyawa).” Dari Abul Hayyaj Hayyan bin Hushain, dia berkata, “Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu pernah berkata kepadaku, ‘Maukah aku utus engkau dengan sesuatu yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus aku dengannya?’

أَنْ لاَ تَدَعْ صُوْرَةً تِمْثَالاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ

‘Janganlah engkau biarkan ada gambar melainkan engkau musnahkan, atau kuburan yang ditinggikan melainkan engkau ratakan’.” (Shahih Muslim no. 969)

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al- Fauzan hafizhahullah berfatwa, “Tidak diperbolehkan membeli pakaian yang terdapat gambar makhluk bernyawa, baik gambar manusia (bani Adam), hewan, maupun burung. Sebab, gambar dan penggunaannya diharamkan dengan dasar hadits-hadits sahih yang (tegas) melarang hal tersebut dan mengecam dengan ancaman yang keras. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah melaknat tukang gambar dan beliau memberitakan bahwa mereka adalah orang yang paling keras azabnya di hari kiamat nanti. Maka dari itu, tidak diperbolehkan memakai pakaian yang ada gambar (bernyawa) dan tidak diperbolehkan pula mengenakannya kepada anak kecil.

Yang wajib adalah membelikan (untuk mereka) pakaian-pakaian polos yang tidak ada gambarnya, dan itu banyak (di pasaran), walhamdulillah.” (al-Muntaqa min Fatawa asy-Syaikh Shalih al-Fauzan, 3/437, cet. Daar al-Imam Ahmad tahun 2005M/1426H) Dalam kitab yang sama (3/455), asy-Syaikh Shalih al-Fauzan juga berfatwa, tidak diperbolehkan memakai pakaian atau sesuatu yang bergambar alat musik, sebab alat musik wajib dimusnahkan. Mengenakan pakaian atau sesuatu yang bergambar alat musik merupakan upaya menyebarluaskan dan ajakan untuk menggunakannya, (minimalnya) mengingatkan orang lain tentangnya. Allahu a’lam.

Ditulis oleh Al-Ustadz Muhammad Afifuddin

Sumber Tulisan:
Rambu-Rambu Berpakaian