“Islam itu dibangun di atas lima (tiang ataupun rukun): (yaitu) syahadat laa ilaaha illallah (tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah kecuali hanya Allah subhanahu wa ta’ala) serta Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, menegakkan shalat, menunaikan zakat, haji ke Baitullah, serta puasa Ramadhan.”
Shalat
Shalat secara bahasa maknanya adalah doa. Adapun ditinjau dari pandangan syariat, shalat adalah suatu peribadatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang terdiri dari ucapan dan perbuatan tertentu, diawali dengan takbir, diakhiri dengan salam, dan disertai dengan niat. (asy-Syarhul Mumti’ 2/5, Taisirul ‘Allam 1/109)
Kewajiban shalat ini demikian jelasnya ditunjukkan dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Dalam hadits di atas disebutkan bahwasanya shalat merupakan asas bangunan Islam sebagaimana ia juga merupakan tiang agama. Seperti disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya yang mulia:
رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلاَمُ وَعَمُوْدُهُ الصَّلاَةُ
“Pokok dari perkara ini adalah Islam dan tiangnya adalah shalat…” (HR. Ahmad, 5/231, 237 dan selainnya, disahihkan oleh asy-Syaikh Ibnu Baz[1])
Oleh karenanya, apabila roboh tiang ini maka bangunan Islam tidak akan bisa berdiri tegak.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima perintah shalat langsung dari Allah subhanahu wa ta’ala saat beliau di-mi’raj-kan ke langit sebelum hijrah ke Madinah. (Fathul Bari, 1/576, Syarah Shahih Muslim, 2/210)
Siapa yang menunaikan amalan agung ini sesuai petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam disertai kekhusyukan hati dan anggota badannya, niscaya akan mendapatkan keberuntungan yang dijanjikan dalam ayat Allah subhanahu wa ta’ala:
“Sungguh beruntunglah orang-orang beriman, yaitu mereka yang khusyu’ dalam shalatnya.” (al-Mu’minun: 1—2)
Sampai pada firman-Nya:
“Mereka itulah orang-orang yang mewarisi, yaitu orang-orang yang berhak untuk menempati surga Firdaus dan mereka kekal di dalamnya.” (al-Mu’minun: 10—11)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
خَمْسُ صَلَوَاتٍ افْتَرَضَهُنَّ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ، مَنْ أَحْسَنَ وُضُوءَهُنَّ، وَصَلاَّهُنَّ لِوَقْتِهِنَّ، وَأَتَمَّ رُكُوْعَهُنَّ وَسُجُوْدَهُنَّ وَخُشُوْعَهُنَّ، كَانَ لَهُ عَلَى اللهِ عَهْدٌ أَنْ يَغْفِرَ لَهُ، وَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ فَلَيْسَ لَهُ عَلَى اللهِ عَهْدٌ، إِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ، وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ
“Shalat lima waktu diwajibkan oleh Allah ‘azza wa jalla. Siapa yang membaguskan wudhunya guna melaksanakan shalat yang lima ini dan melaksanakannya pada waktunya, dia sempurnakan ruku’, sujud, dan khusyuknya, maka orang yang seperti ini akan mendapatkan janji dari Allah subhanahu wa ta’ala untuk mendapatkan ampunan-Nya. Namun siapa yang tidak melaksanakan seperti ketentuan tersebut, dia tidak mendapatkan janji dari Allah subhanahu wa ta’ala. Bila Allah subhanahu wa ta’ala berkehendak, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan mengampuninya dan bila Allah subhanahu wa ta’ala berkehendak, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan mengazabnya.” (HR. Abu Dawud no. 361, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam mukadimah Shifat Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hlm. 36)
Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah berkata, “Tidak ada satu ibadah pun dari ibadah-ibadah yang ada setelah iman kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang Allah subhanahu wa ta’ala namakan dengan istilah iman[2] dan dinamakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi orang yang meninggalkannya dengan kufur[3] selain ibadah shalat.” (Mukhtashar Syu’abil Iman, hlm. 52)
Zakat
Secara etimologis, makna zakat adalah tumbuh berkembang dan penyucian. Makna zakat secara bahasa ini juga menjadi makna secara syar‘i, karena mengeluarkan zakat merupakan sebab berkembangnya (bertambahnya) harta, menyucikan jiwa dari kerendahan sifat bakhil, dan membersihkan diri dari dosa (Fathul Bari, 3/319).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Ambillah zakat dari harta mereka untuk membersihkan diri mereka dan menyucikan mereka dengan zakat tersebut.” (at-Taubah: 103)
Dalam ayat yang mulia di atas, Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan tujuan dikeluarkannya zakat antara lain untuk membersihkan dan menyucikan jiwa pemilik harta dari sifat bakhil, sekaligus membersihkan harta yang dimiliki dari kotoran yang menodainya. Ketika ada seseorang berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, apa pendapatmu apabila seseorang menunaikan zakat dari hartanya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda:
مَنْ أَدَّى زَكَاةَ مَالِهِ فَقَدْ ذَهَبَ عَنْهُ شَرُّهُ
“Siapa yang menunaikan zakat dari hartanya maka sungguh telah hilang kejelekan harta tersebut.” (HR. ath-Thabarani dan Ibnu Khuzaimah, dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam at-Targhib, no. 743)
Selain itu, zakat akan mengokohkan rasa cinta dan kasih sayang antara orang kaya dengan fakir miskin. Karena jiwa ini memiliki kecenderungan untuk mencintai orang yang berbuat baik kepadanya. (Risalatani Mujazatani fiz Zakat wash Shiyam, asy-Syaikh Ibnu Baz, hlm. 6)
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus sahabatnya Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu untuk berdakwah di negeri Yaman, beliau berpesan kepadanya, “Engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan ahlul kitab (Yahudi). Maka bila engkau telah tiba di tempat mereka, awal pertama yang engkau dakwahkan adalah agar mereka mau bersaksi Laa Ilaaha illallah dan Muhammad Rasulullah. Bila mereka menaatimu (mau mengikutimu) dalam perkara ini, beritahukanlah kepada mereka bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu setiap malam dan siang hari. Bila mereka menaatimu dalam perkara ini, kabarkanlah bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala mewajibkan zakat kepada mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka lalu diserahkan kepada fakir miskin mereka….” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 1395, 1496, 4347 dan Muslim no. 19)
Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menekankan kita semua untuk mengeluarkan zakat, bahkan diwajibkan. Namun tentunya zakat ini dikeluarkan oleh seorang muslim yang mampu dan memiliki harta yang mencukupi kadar yang telah ditentukan dikeluarkannya zakat baik berupa hasil bumi, hewan peliharaan, maupun emas dan perak, serta genap setahun dalam pemilikan.
Haji ke Baitullah
Haji adalah bersengaja menuju ke Baitullah untuk mengerjakan amalan-amalan yang khusus/tertentu. (Fathul Bari, 3/461)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Wajib bagi manusia untuk menunaikan haji karena Allah bagi siapa yang memiliki kemampuan untuk menempuh jalan ke sana.” (Ali ‘Imran: 97)
Haji ini hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap muslim yang mukallaf (baligh dan berakal) dan dia seorang yang merdeka (bukan budak) serta memiliki kemampuan (Syarah Shahih Muslim, 8/72). Kewajiban ini harus segera ditunaikan tanpa ditunda oleh seorang hamba yang memiliki kemampuan. Ini merupakan pendapat jumhur ulama seperti al-Imam Ahmad, murid-murid Abu Hanifah, al-Muzani, dan pendapat yang kuat dari al-Imam Malik. (Nailul Authar, 4/362, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, 17/24)
Yang dimaksud mampu di sini adalah memiliki bekal, kendaraan untuk pulang pergi (kalaupun tidak memiliki kendaraan namun ia mampu dan memungkinkan untuk berjalan kaki karena jaraknya yang dekat, maka dia termasuk kategori orang yang mampu), adanya jaminan bagi orang yang ditinggalkan (yang berada di bawah tanggungan/tanggung jawabnya), dan aman jiwa beserta hartanya dalam perjalanan. (Thariqul Wushul, hlm. 154, 167—168)
Kita tahu bahwa masalah kemampuan ini merupakan syarat dalam seluruh ibadah, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian.” (at-Taghabun: 16)
Lalu mengapa dikhususkan penyebutannya dalam permasalahan haji?
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Dalam hal ini dikhususkan haji karena umumnya dalam pelaksanaan haji itu adalah kesulitan dan kepayahan serta ketidakmampuan.” (kaset Durus al-Arba’in an-Nawawiyyah, asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin)
Adapun keutamaan haji disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
“Umrah yang satu ke umrah berikutnya merupakan penghapus dosa antara keduanya, sedangkan haji mabrur tidak ada balasan yang pantas baginya kecuali surga.” (HR. al-Bukhari no. 1773 dan Muslim no. 1349)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Makna haji mabrur yang benar dan masyhur adalah haji yang dilakukan tidak bercampur dengan dosa.”
Beliau melanjutkan, “Adapun makna لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ (tidak ada balasan yang pantas baginya kecuali surga) maksudnya balasan bagi yang mengerjakan haji mabrur, tidak dibatasi dengan pengampunan sebagian dosanya, bahkan pasti ia akan masuk surga. Wallahu a’lam.” (Syarah Shahih Muslim, 9/119)
Puasa Ramadhan
Puasa secara bahasa adalah menahan diri. Sedangkan dalam pandangan syariat, puasa adalah menahan diri dari makan, minum, jima’, dan selainnya pada siang hari menurut cara yang disyariatkan. Konsekuensi dari menahan diri tersebut adalah juga menahan diri dari perkara laghwi (sia-sia), dari perkataan keji, serta ucapan yang diharamkan dan dibenci selain keduanya. (Subulus Salam, 2/239)
Sementara perkara-perkara yang membatalkan puasa seperti makan, minum, dan jima’, tidaklah membatalkan puasa seseorang kecuali bila terkumpul padanya tiga syarat:
Tidak kita ragukan lagi bahwasanya puasa ini merupakan satu kewajiban agama, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian puasa sebagaimana diwajibkan terhadap orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian mau bertakwa.” (al-Baqarah: 183)
Dari ayat di atas dapat diambil beberapa faedah, di antaranya:
Pertama: Kedudukan puasa sangatlah penting yang Allah ‘azza wa jalla juga mewajibkannya kepada umat sebelum kita dan ini menunjukkan kecintaan Allah subhanahu wa ta’ala terhadap amalan ini.
Kedua: Keringanan terhadap umat ini yang kewajiban puasa tidak hanya dibebankan kepada mereka tetapi juga terhadap umat sebelum mereka.
Ketiga: Dalam ayat ini, Allah subhanahu wa ta’ala mengisyaratkan bahwasanya Dia memberikan kesempurnaan kepada umat ini dalam perkara agama mereka karena Allah subhanahu wa ta’ala menyempurnakan bagi mereka keutamaan-keutamaan yang pernah dimiliki oleh umat sebelum mereka.
Keempat: Hikmah puasa mengantarkan pelakunya untuk bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala. (Syarhu Tsalatsatil Ushul, asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, hlm. 74)
Banyak sekali yang kita dapatkan dari keutamaan puasa ini. Di antaranya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Siapa yang berpuasa Ramadhan dengan iman dan mengharapkan pahala Allah maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 1901)
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata, “Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Allah berfirman, ‘Seluruh amalan anak Adam untuknya kecuali puasa, maka dia untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya. Puasa adalah tameng. Apabila salah seorang dari kalian berpuasa, janganlah ia berkata kotor dan berucap keras (tanpa keperluan). Jika ada seseorang mencelanya atau memeranginya, hendaklah ia mengatakan, ‘Aku sedang puasa’. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, bau mulut orang yang puasa lebih wangi di sisi Allah daripada wangi misik. Bagi orang yang berpuasa mendapatkan dua kegembiraan: apabila berbuka ia bergembira dan apabila bertemu kelak dengan Tuhannya dia bergembira dengan puasanya (ketika di dunia).” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 1904 dan Muslim no. 1151)
Dalam riwayat al-Bukhari (no. 1894) disebutkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Ia meninggalkan makan, minum, dan syahwatnya karena-Ku. Puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya, sedangkan satu kebaikan itu dilipatgandakan pahalanya menjadi sepuluh kali lipat.”
Faedah Hadits
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Ishaq Muslim al-Atsari
[1] Sebagaimana dalam ta’liq Syarhu Tsalatsatil Ushul, hlm. 83.
[2] Yang dimaksud al-Baihaqi adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَٰنَكُمۡۚ
“Dan Allah tidaklah menyia-nyiakan keimanan kalian.” (al-Baqarah: 143)
Yang dimaksud dengan “keimanan kalian” dalam ayat di atas adalah shalat kalian. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/197)
[3] Yaitu hadits Jabir radhiallahu ‘anhu dalam Shahih Muslim (no. 82) :
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلاَةِ
“Sesungguhnya antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran, adalah meninggalkan shalat.”