Asysyariah
Asysyariah

pokok-pokok keimanan kepada nabi dan rasul

11 tahun yang lalu
baca 24 menit
Pokok-Pokok Keimanan Kepada Nabi dan Rasul

Dasar pijakan Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam hal mengimani para nabi dan rasul, bahkan dalam semua urusan agama adalah al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman yang lurus, yaitu pemahaman salaful ummah. Telah kita lalui keterangan asy- Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah tentang empat hal yang terkandung dalam iman kepada rasul, di antaranya adalah membenarkan seluruh berita yang sahih, baik dari al- Quran atau hadits-hadits sahih tentang para nabi dan rasul. Untuk menyempurnakan pembahasan, berikut ini kita sebutkan beberapa pokok iman kepada rasul sebagai rincian dari berita al-Qur’an serta sabda-sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang nabi dan rasul Allah Subhanahu wata’ala. Di antara pokok-pokok yang wajib diyakini adalah:

 

Pertama: Meyakini bahwa kenabian dan kerasulan adalah ikhtiyar (pilihan) Allah Subhanahu wata’ala

Kenabian dan kerasulan bukan kedudukan yang bisa diusahakan layaknya jabatan duniawi, seperti raja, presiden, menteri, atau jabatan-jabatan lainnya. Dengan upaya perang, penggulingan kekuasaan, warisan, tirakat, atau sebab lain yang ditempuh, seseorang bisa menduduki kursi kekuasaan sebagaimana kita lihat dalam sejarah umat manusia. Akan tetapi, kenabian dan kerasulan adalah murni pilihan Allah Subhanahu wata’ala, bukan derajat yang bisa diupayakan atau diwarisi dari nenek moyang. Tidak ada campur tangan manusia untuk mengusahakan seseorang menjadi nabi dan rasul. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

اللَّهُ يَصْطَفِي مِنَ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا وَمِنَ النَّاسِ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ

Allah memilih utusan-utusan (Nya) dari malaikat dan dari manusia; sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (al-Hajj: 75)

Allah Maha Mengetahui siapa di antara hamba-Nya yang berhak mendapatkan derajat yang mulia ini. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَإِذَا جَاءَتْهُمْ آيَةٌ قَالُوا لَن نُّؤْمِنَ حَتَّىٰ نُؤْتَىٰ مِثْلَ مَا أُوتِيَ رُسُلُ اللَّهِ ۘ اللَّهُ أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسَالَتَهُ ۗ

Apabila datang suatu ayat kepada mereka, mereka berkata, Kami tidak akan beriman hingga kami diberi yang serupa dengan apa yang telah diberikan kepada para utusan Allah Subhanahu wata’ala. Allah Subhanahu wata’ala lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan. (al-Anam: 124)

Allah Subhanahu wata’ala berfirman tentang nabi- Nya Musa ‘Alaihissalam,

فَلَمَّا أَتَاهَا نُودِيَ يَا مُوسَىٰ () إِنِّي أَنَا رَبُّكَ فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ ۖ إِنَّكَ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى () وَأَنَا اخْتَرْتُكَ فَاسْتَمِعْ لِمَا يُوحَىٰ

Ketika datang ke tempat api itu, ia dipanggil, Hai Musa, sesungguhnya Aku inilah Rabbmu, maka lepaskanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa. Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu). (Thaha: 1113)

Dalam ayat-ayat al-Qur’an, Allah Subhanahu wata’ala sering menyebutkan bahwasanya kenabian dan kerasulan adalah benarbenar anugerah Allah Subhanahu wata’ala dan pilihan-Nya. Oleh karena itu, ketika musyrikin Arab melakukan aksi protes menyatakan ketidakpuasan atas kerasulan Muhammad bin Abdillah Shallallahu ‘alaihi wasallam, mengapa kerasulan tidak diberikan kepada orang yang lain, Allah Subhanahu wata’ala membantah sanggahan mereka. Firman-Nya,

وَقَالُوا لَوْلَا نُزِّلَ هَٰذَا الْقُرْآنُ عَلَىٰ رَجُلٍ مِّنَ الْقَرْيَتَيْنِ عَظِيمٍ () أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ رَبِّكَ ۚ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۚ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗ وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ

Mereka berkata, Mengapa al- Quran ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Makkah dan Thaif) ini? Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu? Kami telah menentukan penghidupan di antara mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Rabbmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (az-Zukhruf: 3132)

 

Kedua: Meyakini bahwa nabi dan rasul adalah manusia terbaik dan termulia

Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwasanya para nabi dan rasul adalah manusia paling mulia di sisi Allah Subhanahu wata’ala, karena Allah Subhanahu wata’ala lah yang memilih mereka. Mereka menjadi orang termulia karena jasa mereka, yaitu mendakwahi kaumnya, menyeru manusia kepada agama Allah Subhanahu wata’ala, dan mengajak manusia mencapai kebahagiaan. Semua mereka tempuh dengan penuh pengorbanan dan kesabaran. Mereka adalah manusia terbaik karena Allah Subhanahu wata’alamenjadikan mereka memiliki sifat-sifat paling mulia yang dicapai oleh makhluk, seperti pujian Allah Subhanahu wata’ala kepada Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam,

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

Dan sesungguhnya engkau benarbenar memiliki akhlak yang agung. (al-Qalam: 4)

Berbeda halnya dengan keyakinankeyakinan menyimpang, seperti kesesatan yang ada pada sufi ekstrem dan agama Syiah Rafidhah. Sufi ekstrem meyakini bahwa derajat tertinggi di sisi Allah Subhanahu wata’ala adalah wali, kemudian nabi, dan derajat terakhir adalah rasul. Jadi, tidak mengherankan apabila mereka sangat mengagungkan tokoh-tokoh mereka melebihi para nabi dan rasul. Demikian pula Syiah Rafidhah. Mereka meyakini bahwa imam-imam mereka lebih tinggi derajatnya dari nabi dan rasul serta malaikat-malaikat Allah Subhanahu wata’ala. Salah seorang pemimpin mereka, Khomeini, sebuah ucapan kekafirannya dalam buku yang ia tulis, al-Hukumah al-Islamiyah (hlm. 52, terbitan Maktabah al-Islamiyah al-Kubra, Teheran), Dan sesungguhnya termasuk masalah dharuri (pasti dan tidak ditawar-tawar lagi) dalam keyakinan mazhab kami (baca: agama kami) bahwasanya para imam kami memiliki derajat yang sangat tinggi yang tidak dicapai oleh malaikat muqarrabin, serta para nabi dan rasul.…” Kalimat-kalimat yang keluar dari mulut kotor Khomeini ini tidak diragukan kekufurannya, di samping kekafirankekafiran lain yang berserakan dalam buku-buku Rafidhah.

 

Ketiga: Meyakini bahwa para nabi dan rasul terbebas dari sifat dusta, menipu, dan khianat.

Sifat-sifat buruk ini sangat bertolak belakang dengan tugas mereka sebagai penyampai risalah Allah Subhanahu wata’ala  kepada manusia. Sifat ini sangat tidak pantas dimiliki oleh seorang da’i atau manusia yang mulia, lebih-lebih manusia yang dipilih oleh Allah Subhanahu wata’ala untuk mengemban risalah. Oleh karena itu, seluruh nabi dan rasul adalah manusia yang terbebas dari kedustaan, khianat, penipuan, atau sifat menyembunyikan kebaikan. Allah Subhanahu wata’ala  menjaga nabi dan rasul- Nya dari sifat-sifat buruk ini. Bahkan, sebelum mereka diutus, Allah Subhanahu wata’ala telah menjaga mereka sehingga manusia mengenali mereka sebagai sosok yang bersih dari cela dan cacat, lebih-lebih sifat-sifat ini. Penutup para nabi dan rasul, Muhammad bin Abdillah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebelum diangkat sebagai rasul telah diakui sebagai seorang yang sangat jujur, kuat memegang amanat, serta bersih dari cela dan cacat. Seluruh manusia memberikan persaksian atas kejujuran beliau. Bahkan, tanpa keraguan mereka bersepakat menggelari beliau sebagai al-Amin (jujur dan tepercaya). Sejenak kita tengok fragmen sejarah perjalanan hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Al-Imam al-Bukhari rahimahullah dalam Shahih-nya meriwayatkan dari sahabat Abdullah bin al-Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Tatkala turun ayat,

وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ

Berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang dekat. (asy-Syuara: 214)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam segera menuju Shafa, naik ke atasnya, lalu berseru memanggil kaum Quraisy, “Wahai bani Fihr, wahai bani ‘Adi…” panggilan beliau tujukan kepada semua suku Quraisy. Mereka semua pun berkumpul. Yang berhalangan hadir mengirim utusan untuk menyaksikan apa yang terjadi. Setelah Quraisy berkumpul, beliau pun berkata, “Jika aku kabarkan bahwa di lembah ini ada sepasukan berkuda yang mengepung kalian, apakah kalian percaya kepadaku?” Serempak Quraisy menimpali, “Kami memercayai beritamu. Sungguh, kami belum pernah sekali pun mendapati engkau berdusta.” Subhanallah, pengakuan seluruh Quraisy, bahkan bangsa Arab, tentang kejujuran dan sifat amanah beliau. Namun, ketika kemudian Rasulullah n memperingatkan manusia dari kesyirikan dan memerintah mereka untuk mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah Subhanahu wata’ala, mereka berbalik memusuhi beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. Lebih mengherankan lagi, tatkala Quraisy bersepakat untuk membunuh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sebelum hijrah. Mereka memilih sekelompok pemuda tangguh untuk mengepung rumah beliau. Di saat makar Quraisy demikian hebat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam masih menugaskan Ali radhiyallahu ‘anhu untuk tetap tinggal di Makkah guna mengembalikan amanat-amanat Quraisy yang dititipkan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. Allahu Akbar.

Demikianlah para nabi dan rasul. Mereka maksum dari sifat dusta, khianat, dan menyembunyikan kebaikan.

 

Keempat: Meyakini bahwa seluruh nabi dan rasul telah melaksanakan tugas menyampaikan risalah dengan sempurna.

Tidak ada satu kebaikan yang dibutuhkan oleh umat kecuali semua nabi dan rasul telah menyampaikannya. Demikian pula tidak ada satu kejelekan yang membahayakan umat kecuali mereka telah diperingatkan darinya. Nabi dan rasul telah menyampaikan risalah dengan sempurna, sehingga tidak ada lagi alasan bagi manusia untuk tidak beriman. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

رُّسُلًا مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا

(Mereka kami utus) selaku rasulrasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (an-Nisa: 165)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan persaksian bahwa semua nabi dan rasul telah menyampaikan segala yang dibutuhkan oleh umatnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِي إِ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ، وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ

Sesungguhnya tidak ada seorang nabi pun sebelumku kecuali diwajibkan atasnya menerangkan seluruh kebaikan yang mereka ketahui kepada umatnya, dan memberikan peringatan dari seluruh kejelekan yang ia ketahui. (HR. Muslim, “Kitab al-Imarah”)

Demikian pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai rasul terakhir, beliau telah menyampaikan semua risalah. Ketika haji wada’, Rasulullah n berkhutbah kepada para sahabatnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya, “Bukankah aku telah menyampaikan (risalahku)?” Mereka menjawab, “Ya.” Nabi mengulang, “Bukankah aku telah menyampaikan (risalahku)?” Mereka menjawab, “Ya.” Nabi mengulang, “Bukankah aku telah menyampaikan (risalahku)?” Mereka menjawab, “Ya.” Nabi bersabda, “Ya Allah, saksikanlah!” Nabi menunjuk dengan jarinya ke langit dan mengarahkannya kepada hadirin. (HR. Muslim)

Saat haji wada’ itulah turun firman Allah Subhanahu wata’ala mempersaksikan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyampaikan semua yang dititahkan oleh Allah Subhanahu wata’ala, hingga agama ini sempurna,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu. (al-Maidah: 3)

Sahabat Abu Dzar al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah meninggalkan kami dalam keadaan tidak ada seekor burung pun yang mengepakkan sayapnya di udara, kecuali beliau telah sebutkan ilmu tentangnya.” Kemudian beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, Tidak ada sesuatu pun yang dapat mendekatkan kepada surga dan menjauhkan dari api neraka, kecuali telah dijelaskan kepada kalian. (HR. ath-Thabarani no. 1647 dengan sanad yang sahih)

Seorang musyrik berkata kepada Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, “Sungguh, sahabat kalian (yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam) telah mengajarkan segala sesuatu kepada kalian, sampai pun tentang adab buang hajat.” Jika Allah Subhanahu wata’ala, Rasul-Nya, dan para sahabat rasul sebagai generasi terbaik umat ini telah mempersaksikan kesempurnaan Islam, kita pun harus demikian. Kita harus meyakini bahwa seluruh nabi dan rasul, termasuk nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, telah menyampaikan seluruh kebaikan.

 

Kelima: Meyakini bahwa nabi dan rasul adalah manusia biasa sehingga bisa ditimpa apa yang menimpa manusia. Mereka adalah hamba Allah  Subhanahu wata’ala bukan ilah.

Nabi dan rasul tidak lepas dari keberadaan mereka sebagai manusia. Mereka bukan Allah Subhanahu wata’ala, bukan pula putra Allah Subhanahu wata’ala, sebagaimana halnya keyakinan Yahudi dan Nasrani. Mereka adalah manusia. Nabi dan rasul merasakan lapar dan dahaga. Mereka pun makan dan minum, menikah, memiliki anak, berusaha mencari penghidupan, dan berjalan ke pasar untuk membeli atau menjual barang kebutuhan. Bahkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda dalam riwayat al-Bukhari, tidaklah Allah Subhanahu wata’ala mengutus nabi atau rasul kecuali mereka pernah menggembala kambing. Hakikat ini sering disebutkan oleh Allah Subhanahu wata’ala dalam al-Qur’an, demikian pula oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabda beliau. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Katakanlah, Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku, Bahwa sesungguhnya Ilah (sesembahan) kamu itu adalah Ilah Yang Esa. Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya. (al-Kahfi: 110)

Nabi dan rasul makan dan minum, sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala,

وَالَّذِي هُوَ يُطْعِمُنِي وَيَسْقِينِ () وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ

Dan Rabb-ku, Dialah yang memberi makan dan minum kepadaku. Apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku. (asy-Syuara: 7980)

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ فَإِذَا نسَِ يْتُ فذََكِّرُوْنيِ

Aku tidak lain hanyalah manusia seperti kalian. Aku juga lupa seperti kalian. Maka dari itu, jika aku lupa, ingatkanlah! ( HR. al-Bukhari no. 401, Muslim no. 572 dan lainnya. Ini adalah lafadz al-Bukhari, dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)

Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً ۚ وَمَا كَانَ لِرَسُولٍ أَن يَأْتِيَ بِآيَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ لِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ

 Sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan. Tidak ada hak bagi seorang rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) kecuali dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada kitab (yang tertentu). (ar-Rad: 38)

Sebagai manusia, mereka juga bisa sakit, bahkan meninggal dunia. Keyakinan ini memberikan faedah besar bagi umat manusia: meski para nabi dan rasul memperoleh wahyu serta menjadi manusia pilihan dan terdekat dengan Allah Subhanahuwata’ala, tidak berarti mereka keluar dari sifat kemanusiaan. Mereka tidaklah memiliki sifat-sifat yang hanya khusus untuk Allah Subhanahuwata’ala seperti rububiyah, uluhiyah. Mereka juga tidak mengetahui urusan gaib yang merupakan kekhususan bagi Allah Subhanahuwata’ala; dan mereka tidak berhak diibadahi.

 

Keenam: Dalam mengimani nabi dan rasul, seorang mukmin harus berhati-hati dari ghuluw (melampaui batas) terhadap para nabi dan rasul.

Ghuluw atau melampaui batas dalam hal mencintai, menyanjung, dan mengagungkan orang saleh, termasuk para nabi dan rasul, adalah sebab kebinasaan umat-umat di muka bumi. Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الْغُلُوُّ فِيْ الدِّيْنِ

Jauhilah ghuluw. Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian tidaklah binasa kecuali karena ghuluw dalam agama.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pula,

لاَ تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى عِيْسَى بْنَ مَرْيَمَ، إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ، فَقُولُوا: عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ

Janganlah kalian berlebihan (melampaui batas) dalam memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani berlebihan dalam memuji Isa bin Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah bahwa aku adalah hamba Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya.1

Nabi dan rasul, adalah manusia biasa yang Allah Subhanahu wata’ala wahyukan kepada mereka. Nabi dan rasul tidak sedikit pun memiliki sifat-sifat yang menjadi kekhususan bagi Allah Subhanahu wata’ala, seperti rububiyah atau uluhiyah. Di antara bentuk ghuluw yang kita saksikan adalah keyakinan dan ucapan Nasrani yang menyatakan bahwa Isa ‘Alaihissalam adalah anak Allah Subhanahu wata’ala. Demikian pula ucapan Yahudi bahwa Uzair adalah anak Allah Subhanahu wata’ala. Allah Subhanahu wata’ala berfirman menyebutkan kelancangan Yahudi dan Nasrani,

وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ۖ ذَٰلِكَ قَوْلُهُم بِأَفْوَاهِهِمْ ۖ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِن قَبْلُ ۚ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ ۚ أَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ

Orang-orang Yahudi berkata, Uzair itu putra Allah dan orang Nasrani berkata, Al-Masih itu putra Allah. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allahlah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling? (at-Taubah: 30)

Termasuk ghuluw adalah ucapan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam dan nabi-nabi lainnya mengetahui urusan yang gaib. Sungguh, nabi dan rasul tidak mengetahui urusan yang gaib, karena hal itu adalah kekhususan Allah Subhanahu wata’ala. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai pemimpin para rasul dan yang paling tinggi derajatnya di sisi Allah Subhanahu wata’ala juga tidak mengetahui urusan gaib. Allah Subhanahu wata’ala berfirman tentang beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam,

قُل لَّا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ ۚ وَلَوْ كُنتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ ۚ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

Katakanlah, Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudaratan kecuali yang dikehendaki oleh Allah. Sekiranya aku mengetahui yang gaib, tentulah aku berbuat kebajikan sebanyakbanyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudaratan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman. (al-Araf: 188)

Adapun urusan gaib yang dikabarkan oleh para nabi dan rasul tidak lain adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wata’ala kepada mereka. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَىٰ غَيْبِهِ أَحَدًا () إِلَّا مَنِ ارْتَضَىٰ مِن رَّسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا

(Dia adalah Dzat) yang mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu, kecuali kepada rasul yang diridhai- Nya. Sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. (al-Jin: 2627)

Lebih dari itu, di antara manusia ada yang meniatkan ibadah untuk Rasulullah n. Sebagian manusia berdoa kepada nabi dengan keyakinan bahwa para nabi dan rasul adalah perantara untuk menyampaikan hajat kepada Allah Subhanahu wata’ala. Lahaula wala quwwata illa billah.

Salah seorang guru kami mengisahkan sebuah kejadian menyedihkan di Masjid Nabawi. Ada seseorang berdoa dengan sangat khusyuk, bahkan menangis terisak. Namun, ketika diperhatikan, ternyata yang ia panggil adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah…! Bantulah kami, penuhilah hajat kami…!” Mengapa mereka tidak mengarahkan doanya kepada Allah Subhanahu wata’ala? Karena pentingnya masalah ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sering mengingatkan dalam sabda-sabda beliau, melarang umatnya bersikap ghuluw terhadap beliau dan orang-orang saleh.

 

Ketujuh: Meyakini bahwa sebagian nabi dan rasul memiliki keutamaan atas sebagian yang lain.

Semua nabi dan rasul adalah hambahamba Allah Subhanahu wata’ala yang paling mulia. Allah Subhanahu wata’ala memilih dan menempatkan mereka pada derajat-derajat tertinggi di jannah-Nya.

 

Hadits-Hadits Maudhu (Palsu) berisi Ghuluw terhadap Rasul

Sebagai tambahan pembahasan, kami sajikan hadits-hadits palsu berisi perilaku ghuluw (melampaui batas) yang dibuat oleh manusia untuk menyanjung dan mengagungkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan, di antara hadits tersebut ada yang menyeru kepada kesyirikan atau kebid’a han. Di antaranya adalah,

فَإِنَّ جَاهِي عِنْدَّ اللهِ عَظِيمٌ   تَوَسَّلُوا بِجَاهِي

Bertawassullah kalian dengan kedudukanku, karena kedudukanku di sisi Allah Subhanahu wata’ala agung.

احْلِفُوا بِجَاهِي فَإِنَّ جَاهِي عِنْدَ اللهِ عَظِيمٌ

/p>Bersumpahlah kalian dengan kedudukanku, karena kedudukanku di sisi Allah Subhanahu wata’ala agung.

Tidak diragukan bahwa bersumpah dengan kedudukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah kesyirikan. Allah Subhanahu wata’ala melarang hamba-Nya bersumpah selain dengan nama atau sifat-Nya. Adapun bersumpah dengan nama makhluk termasuk syirik. Hadits ini maudhu, sebagaimana dinyatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Asy-Syaikh al-Albani menjelaskan panjang lebar kepalsuan hadits ini dalam Silsilah adh-Dhaifah (jilid 1 no. 25). Di antara hadits maudhu yang mengajak kepada ghuluw adalah,

إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللهُ نُورَ مُحَمَّدٍ وَمِنْ نُورِهِ خَلَقَ الْخَلْقَ كُلَّهُ

Sesungguhnya makhluk yang pertama Allah Subhanahu wata’ala ciptakan adalah nur (cahaya) Muhammad, dan dari cahaya itulah Allah Subhanahu wata’ala ciptakan makhluk seluruhnya.

يَا عِيْسَى، آمِنْ بِمُحَمَّدٍ، فَلَوْلَاهُ لَمَا خَلَقْتُكَ وَلَمَا خَلَقْتُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ

Allah Subhanahu wata’ala berfirman kepada Isa, Wahai Isa, berimanlah engkau kepada Muhammad, kalau bukan karena Muhammad, Aku tidak menciptakanmu, tidak pula aku menciptakan langit dan bumi.

Semua hadits di atas maudhu (palsu) sebagaimana diterangkan oleh para ulama rahimahumullah. Allah Subhanahu wata’ala mengabarkan bahwasanya di antara para nabi dan rasul ada yang Dia muliakan di atas sebagian lainnya.

ٻ

تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۘ مِّنْهُم مَّن كَلَّمَ اللَّهُ ۖ وَرَفَعَ بَعْضَهُمْ دَرَجَاتٍ ۚ

Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengannya) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat. (al-Baqarah: 253)

وَرَبُّكَ أَعْلَمُ بِمَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۗ وَلَقَدْ فَضَّلْنَا بَعْضَ النَّبِيِّينَ عَلَىٰ بَعْضٍ ۖ وَآتَيْنَا دَاوُودَ زَبُورًا

Dan Rabbmu lebih mengetahui siapa yang (ada) di langit dan di bumi. Sesungguhnya telah Kami lebihkan sebagian nabi-nabi itu atas sebagian (yang lain), dan kami berikan Zabur (kepada) Dawud. (al-Isra: 55)

Dari seluruh nabi dan rasul, Allah Subhanahu wata’ala memilih lima orang rasul sebagai ulul azmi. Mereka adalah Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad shalawatullah wa salamuhu alaihim. Dari kalangan ulul azmi, Allah Subhanahu wata’ala memilih dua rasul sebagai khalil (kekasih)-Nya: Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam dan Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا

Allah mengambil Ibrahim menjadi khalil (kesayangan)-Nya. (an-Nisa: 125)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فَإِنَّ اللهَ قَدِ اتَّخَذَنِي خَلِيلًا كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيمَ خَلِيل

Sungguh, Allah telah menjadikanku sebagai khalil-Nya sebagaimana telah menjadikan Ibrahim sebagai khalil-Nya. (HR. Muslim no. 532)

Kemudian Allah Subhanahu wata’ala memilih Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam di atas seluruh nabi dan rasul. Hal ini ditunjukkan oleh banyak dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah. Di antaranya adalah sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam,

أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ

Aku adalah pemuka keturunan Adam.

 

Kedelapan: Meyakini bahwa nabi dan rasul mendakwahkan seruan yang sama. Inti dakwah mereka satu, yaitu mentauhidkan Allah Subhanahu wata’ala.

Demikian Allah Subhanahu wata’ala menyatakan dalam banyak ayat al-Qur’an. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), Sembahlah Allah l (saja), dan jauhilah Thaghut itu. (an-Nahl: 36)

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, Bahwasanya tidak ada Ilah (sesembahan yang haq) selain Aku, maka sembahlah Aku! (al-Anbiya: 25)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الأَنْبِيَاءُ إِخْوَةٌ لِعَلاَّتٍ، أُمَّهَاتُهُمْ شَتَّى وَدِينُهُمْ وَاحِدٌ

Para nabi ibarat saudara sebapak, ibu-ibunya berbeda, namun agama mereka satu. (HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah )

Hadits di atas menjelaskan bahwa inti dakwah nabi dan rasul sama yaitu Islam, menyeru manusia kepada tauhid, memurnikan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu wata’ala dan meninggalkan segala bentuk kesyirikan. Adapun syariat-syariat ibadah, bisa jadi ada perbedaan.

 

Kesembilan: Meyakini bahwa nabi dan rasul memiliki kekhususankekhususan.

Telah kita lalui bersama bahwa nabi dan rasul adalah manusia biasa. Mereka tidak memiliki sifat rububiyah, uluhiyah, atau sifat-sifat lain yang menjadi kekhususan Allah Subhanahu wata’ala Secara umum mereka adalah manusia. Namun, mereka memiliki kekhususan dibandungkan dengan manusia lainnya. Di antara kekhususan-kekhususan mereka ialah:

1. Mereka mendapatkan wahyu dari Allah Subhanahu wata’ala, baik secara langsung maupun melalui perantaraan Jibril ‘Alaihissalam.

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ

Katakanlah, Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku. (al-Kahfi: 110)

2. Harta nabi dan rasul tidak diwariskan kepada manusia.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

نَحْنُ مَعْشَرُ الْأَنْبِيَاءِ لاَ نُورِثُ، كُلُّ مَا تَرَكْنَاهُ صَدَقَةٌ

Kami seluruh nabi tidak mewariskan harta. Semua yang kami tinggalkan menjadi sedekah. (HR. al-Bukhari)

3. Nabi dan rasul dimakamkan di tempat mereka meninggal.

Oleh karena itulah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dimakamkan di kamar Aisyah radhiyallahu ‘anha, karena di tempat itulah beliau wafat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَمْ يُدْفَنْ نَبِيٌّ إِلاَّ حَيْثُ يَمُوتُ

Tidaklah seorang nabi dimakamkan melainkan di tempat ia meninggal. (HR. Ahmad)

4. Allah Subhanahu wata’ala mengharamkan bumi memakan jasad nabi dan rasul.

Ini berdasar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَى الْأَرْضِ أَنْ تَأْكُلَ أَجْسَادَ الْأَنْبِيَاءِ

Sesungguhnya Allah telah mengharamkan bumi memakan jasadjasad para nabi. (HR. Ibnu Majah no. 1085)

 

Kesepuluh: Meyakini bahwa seluruh nabi dan Rasul Allah Subhanahu wata’ala membawa mukjizat sebagai bukti kebenaran dakwah mereka.

Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَا مِنَ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ نَبِيٍّ إِلاَّ قَدْ أُعْطِيَ مِنَ الْآيَاتِ مَا مِثْلُهُ آمَنَ عَلَيْهِ الْبَشَرُ. وَإِنَّمَا كَانَ الَّذِي أُوْتِيتُ وَحْيًا أَوْحَى اللهُ إِلَيَّ. فَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَكْثَرَهُمْ تَابِعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Tidak ada seorang nabi pun kecuali diberi mukjizat yang dengan semisal itu manusia beriman. Dan (di antara) mukjizat yang dianugerahkan kepadaku adalah wahyu yang Allah Subhanahu wata’ala turunkan kepadaku. Aku berharap menjadi nabi yang terbanyak pengikutnya di hari kiamat.

Sebagai contoh mukjizat, sejenak kita renungkan berita al-Qur’an tentang mukjizat Ibrahim al-Khalil. Allah Subhanahu wata’ala  kisahkan betapa gigih Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam menyeru umatnya agar menyembah Allah Subhanahu wata’ala dan meninggalkan kesyirikan.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ

Ibrahim berkata, Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun dan tidak (pula) memberi mudarat kepada kalian? Ah (celakalah), kamu dan apa yang kalian sembah selain Allah. Apakah kamu tidak memahami? (al-Anbiya: 6667)

Dakwah Ibrahim justru dibalas dengan makar, membakar Ibrahim. Namun, Allah Subhanahu wata’ala menampakkan sebuah mukjizat yang sangat menakjubkan.

قَالَ أَفَتَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنفَعُكُمْ شَيْئًا وَلَا يَضُرُّكُمْ () أُفٍّ لَّكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ ۖ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

Mereka berkata, Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak. Kami berfirman, Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim. Mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling merugi. (al-Anbiya: 6870)

Demikian pula nabi kita Muhammad n. Mukjizat terbesar beliau adalah al- Qur’an, di samping banyak mukjizat lain. Di antara mukjizat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau pernah mendaki Gunung Uhud bersama Abu Bakr ash-Shiddiq, Umar bin al-Khaththab, dan Utsman bin Affan . Tiba-tiba Gunung Uhud bergoncang. Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, “Wahai Uhud, diamlah, karena di atasmu ada seorang nabi, seorang shiddiq, dan dua orang syahid.” Kisah ini diriwayatkan oleh al- Bukhari dan Muslim. Dalam berita ini ada dua mukjizat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Pertama: Ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Uhud, Diamlah!” Uhud pun menjadi tenang dengan izin Allah Subhanahu wata’ala.

Kedua: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan berita gaib dari Allah Subhanahu wata’ala. Beliau mengabarkan bahwa Umar dan Utsman akan mati syahid. Apa yang beliau sabdakan benarbenar terwujud. Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu mati syahid, dibunuh seorang budak Majusi bernama Abu Lu’lu’. Demikian pula Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu dibunuh dalam sebuah fitnah besar yang didalangi oleh seorang Yahudi, Abdullah bin Saba’ al-Himyari. Kita sebutkan mukjizat ini sekaligus sebagai bantahan terhadap agama Syiah Rafidhah yang dengan lancang mengafirkan tiga orang sahabat mulia ini. Bahkan, hari wafat Umar mereka rayakan! Mereka sanjung pula pembunuh Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu! Di mana letak akal mereka?

Rasul menyatakan ketiga sahabat ini sebagai ahlul jannah (penduduk surga), sedangkan Syiah Rafidhah mengatakan mereka sebagai penghuni neraka? Mereka memang tidak berakal dan tidak beragama.

Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc