Asysyariah
Asysyariah

pokok-pokok keimanan kepada kitab

9 tahun yang lalu
baca 11 menit
Pokok-pokok Keimanan Kepada Kitab

Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc

lili

Iman kepada kitab-kitab Allah ‘azza wa jalla tentu bukan sekadar mengatakan, “Saya telah mengimani kitab-kitab-Nya.”

Sebuah hadits sangat penting kita ingatkan di awal kajian ini, yaitu sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat Abu Ruqayyah Tamim ad-Dari radhiallahu ‘anhu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الدِّينُ النَّصِيحَةُ (ثَلَاثًا). قُلنَا: لِمَنْ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ

“Agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat.” Kami (sahabat) bertanya, “Untuk siapa?” Beliau bersabda, “Untuk Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, pemimpinpemimpin umat Islam, dan untuk seluruh muslimin.” (HR . Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa manusia memiliki kewajiban yang sangat besar terhadap kitab Allah ‘azza wa jalla. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwasanya agama adalah nasihat (ketulusan dan kemurnian dalam menunaikan hak), di antaranya ketulusan dan kemurnian dalam menunaikan hak-hak kitab Allah ‘azza wa jalla.

Pembaca rahimakumullah, iman kepada kitab-kitab Allah ‘azza wa jalla mengandung beberapa perkara yang wajib diyakini dan diamalkan sebagaimana ditunjukkan dalam nash-nash al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di antara perkara yang harus kita imani dan kita amalkan sebagai bukti keimanan kepada kitab-kitab Allah ‘azza wa jalla adalah sebagai berikut.

 

Pertama: Meyakini dengan pasti tanpa sedikit pun keraguan bahwa kitab-kitab Allah ‘azza wa jalla semuanya turun dari sisi Allah ‘azza wa jalla.

“Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah kalian kepada Allah, Rasul-Nya, kitab yang telah diturunkan kepada Rasul-Nya dan kitab yang telah diturunkan sebelumnya. Barang siapa ingkar terhadap Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, dan hari akhir maka dia telah tersesat dalam kesesatan yang jauh.” (an-Nisa’: 136)

Allah ‘azza wa jalla juga berfirman, “Dia menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya, serta menurunkan Taurat dan Injil.” (Ali ‘Imran: 3)

 

Kedua: Meyakini nama-nama kitab yang Allah ‘azza wa jalla telah kabarkan kepada kita, seperti al-Qur’an yang Allah ‘azza wa jalla turunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, at-Taurat kepada Nabi Musa ‘alaihissalam,  al-Injil kepada Nabi Isa bin Maryam ‘alaihissalam, az-Zabur kepada Nabi Dawud ‘alaihissalam, demikian pula shuhuf Ibrahim dan shuhuf Musa.

Adapun kitab-kitab yang tidak Allah ‘azza wa jalla sebutkan, kita mengimaninya secara global bahwa Allah ‘azza wa jalla telah menurunkan kitab-kitab-Nya kepada para nabi dan rasul sebagaimana Allah ‘azza wa jalla kabarkan,

“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan).” (al-Hadid: 25)

Allah ‘azza wa jalla juga berfirman, “Manusia itu adalah umat yang satu.[1] (Setelah timbul perselisihan), maka Allah ‘azza wa jalla mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah ‘azza wa jalla menurunkan bersama mereka kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia dalam perkara yang mereka perselisihkan.” (al-Baqarah: 213)

 

Ketiga: Meyakini bahwa kitab-kitab tersebut, adalah kalam (firman) Allah ‘azza wa jalla, bukan mahluk.[2]

Artinya, kita meyakini bahwa Allah ‘azza wa jalla berbicara (berfirman) secara hakiki sesuai dengan kehendak-Nya. Ya, Allah ‘azza wa jalla berfirman sesuai dengan kehendak-Nya, kapan Allah ‘azza wa jalla berbicara (berfirman), kepada siapa Allah ‘azza wa jalla berfirman, dan dengan bahasa apa Allah ‘azza wa jalla berfirman, dengan perantara atau tidak dengan perantara, semua itu kembali kepada masyi’ah (kehendak Allah ‘azza wa jalla).

Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Dan tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah ‘azza wa jalla berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu, di belakang tabir, atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Mahatinggi lagi Mahabijaksana.” (asy-Syura: 51)

Allah ‘azza wa jalla telah berkehendak menurunkan kalam-Nya berupa at-Taurat kepada Musa ‘alaihissalam tidak kepada yang lainnya, demikian pula Allah ‘azza wa jalla telah berkehendak menurunkan Kalam-Nya kepada Isa berupa Injil, tidak kepada yang lainnya dengan bahasa yang Allah ‘azza wa jalla kehendaki.

Sebagaimana Allah ‘azza wa jalla telah menghendaki menurunkan al-Qur’an kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bahasa Arab dalam kurun 23 tahun.

“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (Yusuf: 2)

“Dan demikianlah Kami menurunkan al-Qur’an dalam bahasa Arab, dan Kami telah menerangkan dengan berulang kali di dalamnya sebagian dari ancaman, agar mereka bertakwa atau (agar) al-Qur’an itu menimbulkan pengajaran bagi mereka.” (Thaha: 113)

Allah ‘azza wa jalla berfirman, yang firman-Nya didengar oleh Jibril ‘alaihissalam, kemudian Jibril sampaikan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti apa yang dia dengar dari Allah ‘azza wa jalla kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan kepada umatnya seperti apa yang beliau dengar dari Jibril, demikianlah wahyu dan itulah kalam Allah ‘azza wa jalla.

Al-Qur’an adalah kalam Allah ‘azza wa jalla, baik yang tertulis dalam mushaf, dihafalkan dalam dada, dilafadzkan dengan lisan, direkam dalam kaset-kaset, maupun diperdengarkan dalam siaran-siaran radio, semua itu kalam Allah ‘azza wa jalla bukan perkataan Jibril bukan pula perkataan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti dalam firman-Nya,

“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalam (firman) Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (at-Taubah: 6)

Bahkan, Allah ‘azza wa jalla mengancam neraka Saqar bagi mereka yang mengatakan bahwa al-Qur’an bukan ucapan Allah ‘azza wa jalla, Allah ‘azza wa jalla akan siksa mereka yang mengatakan al-Qur’an hanyalah ucapan manusia, Allah ‘azza wa jalla berfirman,

Lalu dia berkata, “(Al-Qur’an) ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu), ini tidak lain hanyalah perkataan manusia.” Aku akan memasukkannya ke dalam (neraka) Saqar. (al-Muddatstsir: 24—26)

 

Keempat: Beriman bahwa seluruh kitab Allah ‘azza wa jalla inti kandungannya adalah menyeru kepada tauhid, mengajak manusia agar beribadah hanya kepada Allah ‘azza wa jalla semata, serta mengingkari segala bentuk kesyirikan dan segala bentuk peribadatan kepada selain Allah ‘azza wa jalla.

Allah ‘azza wa jalla berfirman, Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah ‘azza wa jalla (saja), dan jauhilah Thaghut itu!” (an-Nahl: 36)

Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, “Jika kamu mempersekutukan (Rabb), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (az-Zumar: 65)

Katakanlah (hai Muhammad), “Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya: sekumpulan jin telah mendengarkan (al-Qur’an), lalu mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Qur’an yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorang pun dengan Rabb kami’.” (Jin: 1—2)

 

Kelima: Beriman bahwasanya seluruh kitab Allah ‘azza wa jalla, di samping mengajarkan pokok yang sama yaitu tauhid, juga berisi hukum-hukum ibadah seperti shalat, zakat, puasa, dan jenis ibadah lainnya. Meskipun tentunya ada perbedaan dari sisi tata caranya sesuai dengan zaman dan keadaan kaum yang diturunkan kepada mereka kitab-kitab tersebut.

Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Dan Kami telah memberikan kepadanya (Ibrahim) Ishaq dan Ya’kub, sebagai suatu anugerah (dari Kami). Dan masing-masing Kami jadikan orangorang yang saleh. Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami lah mereka selalu menyembah.” (al-Anbiya: 72—73)

Berkata Isa, “Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku al-Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi. Dan Dia menjadikan aku memiliki berkah di manapun aku berada dan memerintahku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup.” (Maryam: 30-31)

Dua ayat di atas menunjukkan bahwa shalat dan zakat termasuk ajaran nabi-nabi terdahulu. Demikian pula puasa sebagaimana ditunjukkan dalam firman Allah ‘azza wa jalla,

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orangorang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (al-Baqarah: 183)

 

Keenam: Beriman bahwa seluruh kitab Allah ‘azza wa jalla menyeru kepada keadilan, kebaikan, dan akhlak-akhlak mulia, serta mengajak manusia untuk mengikuti kebaikan, petunjuk, dan cahaya.

“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.(al-Hadid: 25)

 

Ketujuh: Mengamalkan semua hukum yang belum dihapuskan dalam kitab-kitab Allah ‘azza wa jalla, dengan penuh keridhaan dan penuh ketundukan, sama saja apakah kita mengetahui hikmahnya atau tidak mengetahui hikmahnya. Wajib bagi seluruh manusia hingga akhir zaman mengamalkan semua yang diwahyukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam al-Qur’an berupa hukum-hukum, jika hukum tersebut selama belum dihapus.

Tentang ayat-ayat yang telah Allah ‘azza wa jalla hapus hukumnya, Allah ‘azza wa jalla mendatangkan yang serupa atau yang lebih baik dari sebelumnya.

 “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu?” (al-Baqarah: 106)

Terkait dengan kitab-kitab terdahulu seperti at-Taurat dan Injil, hukum-hukum Allah ‘azza wa jalla pada kitab-kitab tersebut telah dihapus dengan turunnya al-Qur’an, di samping kitab Taurat dan Injil yang ada bercampur dengan buatan manusia, maka tidak seorang pun diperkenankan untuk beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla setelah diturunkannya al-Qur’an melainkan dengan petunjuk al-Qur’an.

Allah ‘azza wa jalla berfirman menyeru Ahlul Kitab untuk beriman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti al-Qur’an yang beliau bawa. Allah ‘azza wa jalla berfirman,

“Wahai ahli kitab, telah datang kepada kalian rasul Kami yang menjelaskan kepada kalian kebanyakan dari apa yang kalian sembunyikan dari isi kitab dan Dia mengampuni kebanyakannya,  telah datang kepada kalian dari Allah ‘azza wa jalla sebuah cahaya dan kitab yang jelas, dengannya Allah ‘azza wa jalla menunjuki siapa pun yang mengikuti keridhaan-Nya kepada jalan-jalan keselamatan dan mengeluarkan mereka dari kegelapan (kesesatan) kepada cahaya (petunjuk) dengan izin dari-Nya, juga menunjuki kepada jalan yang lurus.” (al-Maidah: 15—16)

Suatu saat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu membawa beberapa lembar dari kitab-kitab terdahulu maka beliau pun bersabda,

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ مُوسَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلَّا أَنْ يَتَّبِعَنِي

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa ‘alaihissalam masih hidup niscaya tidak diperkenankan baginya melainkan dia harus mengikutiku.” (HR . Ahmad, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam al-Irwa no. 1589)

Hadits ini diriwayatkan dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, dan akan datang pembahasan khusus tentang hadits ini dalam pembahasan hukum menelaah kitab-kitab terdahulu pada rubrik “Hadits”, insya Allah.

Walhasil, kewajiban manusia terkait dengan mengamalkan hukum-hukum yang ada dalam kitab-kitab Allah ‘azza wa jalla adalah wajib beramal dengan hukum-hukum yang ditetapkan oleh al-Qur’an.

 

Kedelapan: Membenarkan setiap berita yang terdapat pada kitab-kitab Allah ‘azza wa jalla.

Semua berita dalam al-Qur’an wajib bagi manusia membenarkannya baik terkait dengan perkara gaib yang telah lalu maupun yang akan datang.

Adapun berita-berita yang berada dalam kitab-kitab sebelum al-Qur’an seperti Taurat dan Injil, karena kedua kitab ini telah diubah oleh tangan manusia sehingga bercampur antara yang haq dan batil, maka di hadapan kita ada tiga jenis berita:

  1. Jika berita tersebut dibenarkan oleh al-Qur’an, kita pun membenarkan.
  2. Apabila berita tersebut didustakan al-Qur’an maka kita dustakan, seperti berita bahwa Nabi Isa ‘alaihissalam telah meninggal disalib dalam keadaan berbaju sangat minim, terhinakan di hadapan manusia. Berita ini kita pastikan kedustaannya, karena Allah ‘azza wa jalla telah mendustakan keyakinan kaum Nasrani dalam masalah ini.

Dan karena ucapan mereka, “Sesungguhnya Kami telah membunuh al-Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah,” padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka. Mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah ‘azza wa jalla telah mengangkat Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (an-Nisa: 157—158)

  1. Berita-berita yang tidak ada pembenaran atau pendustaan dari al-Qur’an dan as-Sunnah kita tidak memberikan komentar terhadapnya, karena bisa jadi berita itu benar atau termasuk dari berita yang telah dimanipulasi oleh ahlul kitab.

Wallahu a’lam.


[1] Awalnya, manusia seluruhnya berada di atas Islam, di atas agama tauhid seperti bapak mereka, Adam. Namun kemudian muncullah kesyirikan kerusakan terbesar di muka bumi. Maka Allah ‘azza wa jalla utus para nabi dan rasul dengan seruan yang sama menegakkan tauhid dan memerangi kesyirikan.

[2] Berbeda dengan jalan orang-orang Mu’tazilah dan yang sependapat dengan mereka bahwa al-Qur’an adalahmakhluk.