Terhadap setiap kenikmatan yang dirasakan oleh seorang manusia tentu ada yang mendengkinya. Terutama kenikmatan yang paling utama yang dianugerahkan Allah subhanahu wa ta’ala kepada seorang manusia, yaitu nikmat keimanan. Itulah salah satu bentuk ujian yang Allah subhanahu wa ta’ala tetapkan bagi manusia.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Mahasuci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.” (al-Mulk: 1—2)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.” (al-Kahfi: 7)
“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah Arsy-Nya di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (Hud: 7)
Ayat-ayat yang mulia ini menerangkan kepada kita bahwa di antara hikmah Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan semua yang ada di alam semesta ini tidak lain adalah sebagai ujian bagi para hamba-Nya, siapakah di antara mereka yang paling baik amalannya. Yang dimaksud dengan yang lebih baik amalnya ialah yang paling ikhlas (beramal hanya karena Allah subhanahu wa ta’ala) dan yang paling benar (paling sesuai dengan sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Tidak ada satu pun manusia yang akan lolos dari ujian tersebut. Ujian-ujian yang diberikan kepada manusia beraneka ragam dan sesuai dengan keadaan iman yang ada di dalam hati setiap manusia. Semakin kuat keimanannya, semakin berat ujian yang diterima oleh seorang manusia.
Al-Imam Ahmad meriwayatkan dari Sa’d bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Siapakah manusia yang paling berat ujiannya?”
Kata beliau, “(Yaitu) para nabi, kemudian orang-orang yang mulia dan baik (satu demi satu sesuai kedudukannya, –ed.). Seseorang diuji sesuai dengan kadar agamanya. Apabila agamanya kokoh, ujiannya pun berat. Jika dalam agamanya ada kelemahan, dia diuji sesuai dengan kadar agamanya.
Ujian itu akan selalu menimpa seorang hamba sampai membiarkannya berjalan di muka bumi tanpa ada dosa melekat pada dirinya.” (HR. Ahmad (1607), at-Tirmidzi (2398), dinyatakan hasan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani.)
Menurut ath-Thahawi dalam Syarh Musykilul Atsar[1], ujian yang disesuaikan dengan kadar iman ini, berlaku atas manusia biasa, bukan atas para nabi dan rasul shalawatullahi wa salamuhu ‘alaihim. Alasannya, karena pada para nabi itu tidak ada kelemahan atau kerapuhan di dalam agama mereka. Di dalam hadits ini juga dijelaskan bahwa kaum muslimin, selain para nabi dan rasul, dibersihkan dari dosa atau kesalahan mereka melalui ujian tersebut. Itu pun berlaku jika mereka mengharapkan pahala dan bersabar menghadapinya. Adapun para nabi tidak seperti orang biasa, karena para nabi itu tidak mempunyai dosa.
Karena kemaksuman inilah, sebagian ulama memandang bahwa ujian yang ditimpakan kepada para nabi dan rasul shalawatullahi wa salamuhu ‘alaihim adalah untuk menaikkan derajat mereka lebih tinggi lagi. Jadi, bukan sebagai pembersih bagi dosa, karena mereka terpelihara dari dosa. Wallahu a’lam.
Ujian-ujian tersebut sudah dimulai sejak Allah subhanahu wa ta’ala menguji bapak kita, Adam ‘alaihissalam, dengan sosok Iblis yang enggan dan merasa tinggi (sombong) untuk meletakkan kepalanya sejajar dengan kakinya demi menghormati Adam. Padahal, sujud tersebut sejatinya adalah wujud ketaatan kepada Allah ’azza wa jalla yang telah menciptakannya dari tidak ada menjadi ada.
Karena membangkang dan menolak perintah Allah ’azza wa jalla untuk sujud, Iblis diusir dan dijauhkan dari rahmat Allah subhanahu wa ta’ala sampai hari kiamat. Akan tetapi, bukannya bertobat, Iblis justru semakin angkuh karena dendam dan dengki melihat keutamaan Adam ‘alaihissalam.
Karena itu, dia bersumpah, sebagaimana dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,
Iblis menjawab, “Karena Engkau telah menghukum aku tersesat, aku benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian aku akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (al-A’raf: 16—17)
Mulanya, ketika dia mengucapkan sumpah tersebut, Iblis tidak yakin akan berhasil. Akan tetapi, pada kenyataannya, usahanya berhasil dan banyak manusia yang menjadi korban. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menerangkan hal ini,
“Dan sesungguhnya Iblis telah dapat membuktikan kebenaran sangkaannya terhadap mereka lalu mereka mengikutinya, kecuali sebagian orang-orang yang beriman.” (Saba’: 20)
Antara Al-Haq dan Al-Bathil
Demikianlah perjalanan hidup manusia, dan sejak saat itu pula dimulailah pertentangan antara yang haq dan yang batil. Tidak akan pernah berhenti perseteruan dan pertarungan antara yang haq dan yang batil, kapan dan di mana pun.
Tidak mungkin pula al-haq dan al-bathil hidup rukun dan damai, selamanya. Pasti, salah satu dari keduanya akan berusaha menyingkirkan yang lain, karena keduanya bertolak belakang dan saling bertentangan.
Hal itu sudah pasti, meskipun kadang-kadang al-haq itu yang menang, tetapi tidak jarang pula kebatilan dan kesesatan itu yang merajalela. Al-haq dan para pembelanya terkucil, ditindas serta terusir dari kampung halaman mereka. Bahkan, tidak sedikit para pembela al-haq itu harus menanggung siksa atau dibunuh.
Demikianlah, Allah subhanahu wa ta’ala selalu menguji wali-wali-Nya dengan musuh-musuh-Nya, atau sebaliknya, silih berganti. Terkadang musuh-musuh-Nya yang menang dan menindas para wali-Nya, tetapi tidak jarang pula para wali Allah subhanahu wa ta’ala itu yang berkuasa. Dan ujian itu terus berlangsung sampai Allah subhanahu wa ta’ala saja yang mewarisi alam semesta ini.
Belakangan ini, dakwah salafiyah khususnya, dan Islam secara umum semakin gencar mendapat tekanan dan gangguan dari musuh-musuh Islam dan musuh-musuh dakwah. Dengan berbagai cara mereka berusaha memadamkan cahaya Islam dengan dakwah salafiyah ini melalui berbagai propaganda lisan dan tulisan mereka di berbagai media.
Musuh-musuh dakwah salafiyah yang penuh berkah ini bergandengan tangan dengan mesra sesama mereka. Tidak hanya di kalangan mereka yang masih mengaku muslim, tetapi juga dengan musuh-musuh dari luar diri mereka, baik itu musyrikin, ateis, maupun ahli kitab (Yahudi dan Nasrani).
Sungguh, tidak ada yang paling dibenci oleh mereka selain dakwah salafiyah yang ingin mengembalikan manusia kepada fitrah yang suci. Melalui dakwah ini mereka dikembalikan kepada keimanan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan semua konsekuensi keimanan itu, sebagaimana diajarkan dan dipraktikkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
(insya Allah bersambung)
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Muhammad Harits
[1] Syarh Musykilul Atsar (5/457).