Asysyariah
Asysyariah

persiapan jaisyul ‘usrah (perang tabuk – bagian 2)

4 tahun yang lalu
baca 11 menit
Persiapan Jaisyul ‘Usrah (Perang Tabuk – bagian 2)

Kekuatan ‘super power’ Romawi yang dahsyat (kala itu), bukannya membuat semangat jihad para sahabat surut. Mereka justru berlomba-lomba datang menghadap Nabi shallallahu alaihi wa sallam meminta agar dibawa serta dalam jihad tersebut. Namun, sebagiannya terpaksa harus kembali sambil bercucuran air mata. Sebab, mereka tidak memiliki sesuatu yang dapat mereka berikan untuk berjihad di jalan Allah subhanahu wa ta’ala ini.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menceritakan kesedihan mereka, padahal Dia telah memberi keringanan bagi mereka untuk tidak berangkat,

لَّيۡسَ عَلَى ٱلضُّعَفَآءِ وَلَا عَلَى ٱلۡمَرۡضَىٰ وَلَا عَلَى ٱلَّذِينَ لَا يَجِدُونَ مَا يُنفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُواْ لِلَّهِ وَرَسُولِهِۦۚ مَا عَلَى ٱلۡمُحۡسِنِينَ مِن سَبِيلٍۚ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ٩١ وَلَا عَلَى ٱلَّذِينَ إِذَا مَآ أَتَوۡكَ لِتَحۡمِلَهُمۡ قُلۡتَ لَآ أَجِدُ مَآ أَحۡمِلُكُمۡ عَلَيۡهِ تَوَلَّواْ وَّأَعۡيُنُهُمۡ تَفِيضُ مِنَ ٱلدَّمۡعِ حَزَنًا أَلَّا يَجِدُواْ مَا يُنفِقُونَ ٩٢

”Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, atas orang-orang yang sakit, dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikit pun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata, ‘Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu.’ Lalu mereka kembali, sedangkan mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.” (at-Taubah: 91—92)

Baca kisah sebelumnya:

Perang Tabuk (bagian 1)

Keadaan yang sulit, panas menyengat, dan perbekalan yang tidak memadai menurut hitungan matematika manusia, tidak membuat luntur keinginan mereka memperoleh kesyahidan. Beberapa orang hartawan di kalangan sahabat berlomba-lomba menginfakkan hartanya membiayai Jaisyul ‘Usrah (Pasukan Kesulitan).

Umar bin al-Khathab radhiallahu anhu menuturkan, “Inilah saatnya, aku akan mengalahkan Abu Bakr ash-Shiddiq (dalam kebaikan).”

Esok harinya, dia berangkat menemui Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membawa separuh hartanya untuk membiayai Jaisyul ‘Usrah ini. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu, wahai Umar?”

“Masih ada separuhnya untuk mereka, wahai Rasulullah,” jawab Umar.

Tak berapa lama datanglah ash-Shiddiq al-Akbar radhiallahu anhu. Dia datang menyeret hartanya yang cukup banyak dan menyerahkannya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Melihat harta yang cukup banyak itu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertanya pula, “Apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu, wahai Abu Bakr?”

Abu Bakr menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang aku tinggalkan untuk mereka.”

Mendengar jawaban yang penuh keyakinan ini, Umar radhiallahu anhu berkata, “Demi Allah, aku tidak akan berlomba lagi dalam hal apa pun denganmu selama-lamanya, wahai Abu Bakr.”[1]

Kemudian, datanglah Utsman membawa seribu dinar lalu mencurahkannya di pangkuan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Melihat harta tersebut, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membolak-balikkan dinar yang ada di tangan beliau, seraya berkata, “Tidak akan mencelakakan Utsman, apa pun yang dia lakukan setelah hari ini.”[2]

Baca juga:

Buah Kedermawanan

Demikianlah apabila iman sudah tertanam kokoh dalam sanubari setiap muslim. Membelanjakan harta di jalan Allah subhanahu wa ta’ala bukanlah sesuatu yang berat, sebesar apa pun. Padahal watak asli manusia sangatlah cinta kepada harta. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَإِنَّهُۥ لِحُبِّ ٱلۡخَيۡرِ لَشَدِيدٌ

“Dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta.” (al-‘Adiyat: 8)

Firman-Nya,

وَتُحِبُّونَ ٱلۡمَالَ حُبًّا جَمًّا

“Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” (al-Fajr: 20)

Bahkan, Allah subhanahu wa ta’ala memberi syarat, bahwa seseorang akan mencapai tingkatan al-birr (kebajikan, ketakwaan) apabila dia sanggup membelanjakan harta yang dicintainya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

لَن تَنَالُواْ ٱلۡبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَۚ

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai….” (Ali Imran: 92)

Baca juga:

Jangan Meremehkan Satu Kebaikan Pun

Sementara itu, sebagian orang kaya dari kalangan munafik, justru mencari-cari alasan agar tidak ikut serta dalam peperangan ini. Begitu pula orang-orang badui. Akan tetapi, Allah subhanahu wa ta’ala tidak menerima uzur mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَرِحَ ٱلۡمُخَلَّفُونَ بِمَقۡعَدِهِمۡ خِلَٰفَ رَسُولِ ٱللَّهِ وَكَرِهُوٓاْ أَن يُجَٰهِدُواْ بِأَمۡوَٰلِهِمۡ وَأَنفُسِهِمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَقَالُواْ لَا تَنفِرُواْ فِي ٱلۡحَرِّۗ قُلۡ نَارُ جَهَنَّمَ أَشَدُّ حَرًّاۚ لَّوۡ كَانُواْ يَفۡقَهُونَ ٨١ فَلۡيَضۡحَكُواْ قَلِيلًا وَلۡيَبۡكُواْ كَثِيرًا جَزَآءَۢ بِمَا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ ٨٢

“Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang) itu merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, serta mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka berkata, ‘Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini.’ Katakanlah, ‘Api neraka Jahanam itu lebih dahsyat panas(nya),’ jikalau mereka mengetahui. Hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis yang banyak, sebagai balasan dari apa yang selalu mereka kerjakan.” (at-Taubah: 81—82)

Menuju Tabuk

Dengan kekuatan 30.000 personel, bertolaklah Jaisyul ‘Usrah menghadang tentara Romawi yang ingin memadamkan cahaya agama Allah subhanahu wa ta’ala.

Pasukan berangkat di bawah terik matahari yang membakar. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menunjuk Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu sebagai wakil beliau mengurus keluarga beliau. Beliau shallallahu alaihi wa sallam juga mengangkat Muhammad bin Maslamah al-Anshari radhiallahu anhu sebagai pengganti beliau di Madinah.

Melihat Ali tertinggal, beberapa kaum munafik mencemoohnya, “Dia ditinggal karena memberatkan dan agar ia (Rasulullah, -red.) menjadi lebih ringan.”

Mendengar ejekan tersebut, Ali bergegas mengambil senjatanya dan menyusul Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang ketika itu sudah sampai di Jurf[3]. Kemudian Ali menceritakan bahwa orang-orang munafik mengejeknya karena tidak ikut serta dalam perang Tabuk.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Mereka dusta. Kamu aku tinggalkan karena orang-orang yang ada di belakangku. Kembalilah, gantikan aku dalam mengurus keluargaku dan keluargamu. Tidakkah engkau ridha, kedudukanmu di sisiku seperti Harun dengan Musa. Hanya saja, tidak ada lagi nabi sesudahku[4].”

Dengan patuh, Ali radhiallahu anhu kembali ke Madinah.

Baca juga:

Manusia Paling Celaka Adalah Pembunuhmu, Wahai Ali

Kondisi yang berat, membuat wajar saja jika sebagian orang tertinggal sebetulnya. Akan tetapi, itulah serangkaian ujian karena mereka telah menyatakan beriman dan taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan rasul-Nya. Jadi, mau tidak mau, halangan apa pun harus mereka singkirkan demi mendahulukan seruan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya untuk berjihad.

Abu Khaitsamah Sempat Tertinggal

Beberapa hari setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berangkat, Abu Khaitsamah pulang menemui keluarganya. Dia dapati kedua istrinya sedang berada di dalam kebun. Setiap istrinya telah mempersiapkan tempat berteduh dan menyediakan makanan serta air yang sejuk untuk mereka.

Ketika Abu Khaitsamah masuk, dia tertegun di ambang pintu tenda. Dia memandangi kedua istrinya dan memperhatikan apa yang mereka lakukan. Sambil bergumam, dia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sedang kepanasan di bawah terik matahari, diterpa angin gurun. Adapun Abu Khaitsamah berada di bawah naungan yang teduh, makanan yang terhidang, istri-istri yang cantik, dan di tengah-tengah hartanya? Sungguh, ini tidak adil.”

Memang, alangkah tidak adilnya seandainya seseorang membiarkan kekasihnya dalam keadaan menderita, sementara dia bersenang-senang. Terlebih lagi kekasih itu adalah manusia paling utama, di mana ketaatan kepadanya adalah kunci kebahagiaan dunia dan akhirat.

Abu Khaitsamah tidak rela melihat sikapnya seperti itu terhadap kekasih dan junjungannya. Dengan tegas dia berkata, “Demi Allah. Aku tidak akan masuk tenda salah seorang dari kalian berdua sampai aku berhasil menyusul Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Siapkan bekalku.”

Kedua wanita yang taat dan mencintai suaminya itu dengan segera menyiapkan kebutuhan sang suami. Akhirnya, Abu Khaitsamah berangkat menyusul Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Baca juga:

Makna Syahadat Muhammad Rasulullah

Di tengah perjalanan, Abu Khaitsamah bertemu dengan Umair bin Wahb al-Jumahi yang juga ingin menyusul Rasulullah shllallahu alaihi wa sallam. Mereka pun berangkat bersama.

Menjelang Tabuk, Abu Khaitsamah berkata kepada Umair, “Aku telah berdosa. Tidak ada salahnya engkau meninggalkanku sampai aku bertemu Rasulullah.” Umair pun menerimanya.

Kemudian, tatkala telah mendekati tempat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang singgah di Tabuk, sebagian pasukan berseru, “Ada kendaraan tengah berjalan menuju kemari.”

Mendengar itu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Itu tentu Abu Khaitsamah.” Kata mereka, “Demi Allah. Dia memang Abu Khaitsamah, wahai Rasulullah!”

Setelah menambatkan untanya, dia menemui Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan memberi salam. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata kepadanya, “(Ini) lebih utama bagimu, wahai Abu Khaitsamah.”

Kemudian, Abu Khaitsamah menceritakan keadaan dirinya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun mendoakan kebaikan untuknya.[5]

Sebelum tiba di Tabuk, rombongan pasukan melintasi daerah Hijr, wilayah pemukiman bangsa Tsamud dahulu. Sambil menutupkan kain ke wajahnya dan memacu kendaraannya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata,

لَا تَدْخُلُوا عَلَى هَؤُلَاءِ الْمُعَذَّبِينَ إِلَّا أَنْ تَكُونُوا بَاكِينَ، فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا بَاكِينَ فَلَا تَدْخُلُوا عَلَيْهِمْ، لَا يُصِيبُكُمْ مَا أَصَابَهُمْ

“Janganlah kamu memasuki negeri orang-orang yang disiksa ini kecuali dalam keadaan menangis. Kalau kamu tidak menangis, janganlah memasukinya agar kamu tidak terkena azab seperti yang telah menimpa mereka.”[6]

Baca juga:

Nabi Shalih dan Kaum Tsamud

Beliau shallallahu alaihi wa sallam juga mengingatkan,

سَتَهُبُّ عَلَيْكُمُ اللَّيْلَةَ رِيحٌ شَدِيدَةٌ، فَلَا يَقُمْ فِيهَا أَحَدٌ مِنْكُمْ، فَمَنْ كَانَ لَهُ بَعِيرٌ فَلْيَشُدَّ عِقَالَهُ. فَهَبَّتْ رِيحٌ شَدِيدَةٌ فَقَامَ رَجُلٌ فَحَمَلَتْهُ الرِّيحُ حَتَّى أَلْقَتْهُ بِجَبَلَيْ طَيِّئٍ

“Akan berembus angin kencang malam ini. Janganlah seorang pun dari kalian berdiri. Siapa yang mempunyai unta, hendaklah dia kencangkan ikatannya.”

Bertiuplah angin kencang itu. Ada seseorang yang berdiri, maka dia diterbangkan angin itu sampai jatuh di bukit Thayyi’.[7]

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga berpesan kepada pasukan agar tidak menggunakan air dari sumur yang ada, baik untuk berwudhu maupun makan. Akan tetapi, hendaklah mereka menggunakan air yang dahulu menjadi tempat minum unta Nabi Shalih alaihis salam. Kalau ada yang hendak pergi buang hajat, hendaklah berangkat disertai temannya.

Menjelang tiba di Tabuk, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga sempat berpesan,

إِنَّكُمْ سَتَأْتُونَ غَدًا إِنْ شَاءَ اللهُ عَيْنَ تَبُوكَ، وَإِنَّكُمْ لَنْ تَأْتُوهَا حَتَّى يُضْحِيَ النَّهَارُ، فَمَنْ جَاءَهَا مِنْكُمْ فَلَا يَمَسَّ مِنْ مَائِهَا شَيْئًا حَتَّى آتِيَ.

“Sesungguhnya besok, kamu akan mendekati mata air Tabuk, insya Allah. Kamu tidak akan memasukinya kecuali sampai masuk waktu Dhuha. Siapa di antara kalian yang sampai di tempat tersebut, janganlah dia menyentuh airnya sedikit pun hingga aku datang.”

Baca juga:

Hak-Hak Rasulullah Atas Umat Manusia

فَجِئْنَاهَا وَقَدْ سَبَقَنَا إِلَيْهَا رَجُلَانِ وَالْعَيْنُ مِثْلُ الشِّرَاكِ تَبِضُّ بِشَيْءٍ مِنْ مَاءٍ. قَالَ: فَسَأَلَهُمَا رَسُولُ اللهِ: هَلْ مَسَسْتُمَا مِنْ مَائِهَا شَيْئًا؟ قَالَا: نَعَمْ. فَسَبَّهُمَا النَّبِيُّ وَقَالَ لَهُمَا مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَقُولَ، قَالَ: ثُمَّ غَرَفُوا بِأَيْدِيهِمْ مِنَ الْعَيْنِ قَلِيلًا قَلِيلًا حَتَّى اجْتَمَعَ فِي شَيْءٍ. قَالَ: وَغَسَلَ رَسُولُ اللهِ فِيهِ يَدَيْهِ وَوَجْهَهُ ثُمَّ أَعَادَهُ فِيهَا فَجَرَتِ الْعَيْنُ بِمَاءٍ مُنْهَمِرٍ -أَوْ قَالَ: غَزِيرٍ؛ شَكَّ أَبُو عَلِيٍّ أَيُّهُمَا قَالَ- حَتَّى اسْتَقَى النَّاسُ ثُمَّ قَالَ: يُوشِكُ يَا مُعَاذُ، إِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ أَنْ تَرَى مَا هَاهُنَا قَدْ مُلِئَ جِنَانًا

Akan tetapi ada dua orang yang mendahului kami sampai di tempat itu, sementara airnya menetes sangat sedikit.

Kata perawi, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertanya kepada keduanya, “Apakah kalian berdua sudah menyentuh air ini?”

Keduanya berkata, “Ya.”

Mendengar ini, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mencela keduanya sedemikian rupa dan mengucapkan kata-kata menurut apa yang Allah subhanahu wa ta’ala kehendaki. Kemudian mereka menciduk air itu dengan tangan mereka sedikit demi sedikit hingga terkumpul dalam satu wadah.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun membasuh kedua tangan dan wajahnya, lalu mengembalikannya ke tempat itu. Seketika memancarlah air yang berlimpah atau sangat banyak. (Abu Ali ragu-ragu mana yang disebutkan perawi). Akhirnya pasukan itu memperoleh air minum.

Kemudian beliau berkata, “Wahai Muadz, andaikata panjang usiamu, sungguh akan engkau lihat di sini akan penuh dengan kebun-kebun.”[8]

Itulah sebagian mukjizat beliau dan sekarang telah menjadi kenyataan.

Baca juga:

Berita-Berita Mukjizat Nabi dan Rasul

Setelah tiba di Tabuk, beliau mengistirahatkan pasukan dan menetap beberapa hari di sana.
Tak lama, datanglah penguasa negeri Ailah. Dia mengajak Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berdamai dan bersedia menyerahkan jizyah.

Beberapa hari menetap di Tabuk, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan pasukan menjamak shalat mereka. Melihat pasukan Romawi tidak muncul, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersiap-siap hendak kembali.

kuti kelanjutan kisahnya di sini.


Catatan Kaki

[1] Lihat Shahih Abu Dawud (5/366) dan at-Tirmidzi (3676), beliau mengatakan, “Hasan sahih.”

[2] HR. at-Tirmidzi (no. 3634) dan kata beliau, “Hadits ini hasan gharib.” Lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 2920.

[3] Kira-kira 30 mil dari Madinah.

[4] HR. al-Bukhari (8/86) dan Muslim (no. 2404), lihat Zadul Ma’ad 3/530.

[5] Sirah Ibnu Hisyam (2/520—521), dalam Zadul Ma’ad (3/530—531).

[6] HR. al-Bukhari (8/288) dan Muslim (no. 2980); dalam Zadul Ma’ad (3/532).

[7] HR. Muslim (4/1785), lihat Zadul Ma’ad (3/531).

[8] HR. Muslim no. 706.

Ditulis oleh Ustadz Abu Muhammad Harits