Pertanyaan:
Pada keadaan seperti apa diperbolehkan menyebutkan kejelekan saudara sesama muslim tidak di hadapannya, tetapi tidak termasuk ghibah?
Ghibah adalah seorang muslim menyebutkan sesuatu tentang saudaranya yang tidak disukai olehnya, berupa cela, aib, dan semacamnya.
Ada beberapa keadaan yang disebutkan oleh ulama, yang seorang muslim dibolehkan membicarakan kejelekan saudaranya, berdasarkan maslahat.
Dia berkata kepada qadhi atau hakim, misalnya, “Fulan menzalimiku dengan berbuat demikian.”
Seorang yang meminta fatwa berkata kepada mufti, “Fulan berbuat demikian terhadapku. Apakah dia berhak berbuat seperti itu atau tidak?”
Misalnya, men-jarh (mencacat) para perawi hadits atau saksi-saksi yang pantas di-jarh.
Misalnya, orang itu sudah terkenal dengan julukan tertentu, seperti al-A’masy (yang penglihatannya kabur dan keluar air matanya), al-A’raj (yang pincang kakinya), al-Asham (yang bisu), dan semacamnya.
Wabillahit taufiq, washallalahu ‘ala nabiyyina Muhammad, wa alihi wa shahbihi wa sallam.
Ketua : Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Wakil : Abdurrazzaq Afifi
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan
(Fatawa al-Lajnah, 26/10, pertanyaan kedua dari fatwa no. 10912)
Pertanyaan:
Apabila Anda melihat pada saudara Anda sesuatu atau tindakan yang tidak terpuji, dan berbuat jelek kepada Anda, tetapi Anda tidak ingin membalasnya dengan perbuatan itu. Lalu Anda mengeluhkan kepada orang lain dan menyebutkan aib-aib saudara Anda tersebut, agar orang itu bisa menasihatinya. Dengan demikian, saudara Anda itu tidak berbuat buruk lagi terhadap Anda. Apakah pembicaraan tentang dirinya ini, tanpa kehadirannya, teranggap ghibah?
Apabila keadaannya seperti yang Anda sebutkan, tidak termasuk ghibah.
Wabillahit taufiq, washallalahu ‘ala nabiyyina Muhammad, wa alihi wa shahbihi wa sallam.
Ketua : Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Wakil : Abdurrazzaq Afifi
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan
(Fatawa al-Lajnah, 26/14, pertanyaan keempat dari fatwa no. 5313)
Pertanyaan:
Bolehkah mengucapkan semisal, “Orang ini sombong,” terhadap orang yang memang sombong?
Celaan Anda terhadap seseorang dengan mengatakan bahwa dia sombong, apabila Anda benar, ini termasuk ghibah yang dilarang.
Namun, apabila Anda berdusta dalam ucapan Anda itu, ini termasuk kedustaan dan kebohongan. Ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَتَدْرُونَ مَا الْغِيْبَةُ؟ قَالُوا: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ. قِيْلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهَ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ بَهَتَّهُ
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah kalian, apakah ghibah itu?”
Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”
Beliau bersabda lagi, “Engkau menyebutkan tentang saudaramu, sesuatu yang tidak dia sukai.”
Ditanyakan kepada beliau, “Bagaimana menurut Anda, apabila memang yang aku katakan itu ada pada diri saudaraku?”
Beliau menjawab, “Apabila yang engkau katakan itu memang ada pada dirinya, engkau telah berbuat ghibah terhadapnya. Namun, apabila apa yang engkau katakan itu tidak ada pada dirinya, berarti engkau telah melakukan kedustaan terhadapnya.”
Wabillahit taufiq, washallalahu ‘ala nabiyyina Muhammad, wa alihi wa shahbihi wa sallam.
Ketua : Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Wakil : Abdurrazzaq Afifi
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan
(Fatawa al-Lajnah, 26/16, fatwa no. 11824)