Asysyariah
Asysyariah

perkara haram adalah apa yang diharamkan oleh allah dan rasulnya

13 tahun yang lalu
baca 9 menit
Perkara Haram adalah Apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasulnya

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحۡمَ ٱلۡخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ بِهِۦ لِغَيۡرِ ٱللَّهِۖ فَمَنِ ٱضۡطُرَّ غَيۡرَ بَاغٖ وَلَا عَادٖ فَلَآ إِثۡمَ عَلَيۡهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٌ ١٧٣

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut(nama) selain Allah.” (al-Baqarah: 173)

Penjelasan Mufradat Ayat

Bangkai

Mayoritas qurra’ membacanya dengan nashab (memfathah huruf ta’). Namun, sebagian mereka membaca dengan rafa’ (mendhammah ta’)—dengan alasan إِنَّمَا adalah isim maushul/kata sambung sebagai mubtada’ dan الْمَيْتَةَ sebagai khabar. Makna maitah (bangkai) adalah terlepasnya ruh (nyawa) dari jasad hewan tanpa proses penyembelihan yang syar’i.

Darah
Darah yang dimaksud adalah darah yang mengalir dari urat leher saat hewan disembelih. Ini sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,

قُل لَّآ أَجِدُ فِي مَآ أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٖ يَطۡعَمُهُۥٓ إِلَّآ أَن يَكُونَ مَيۡتَةً أَوۡ دَمٗا مَّسۡفُوحًا أَوۡ لَحۡمَ خِنزِيرٖ فَإِنَّهُۥ رِجۡسٌ أَوۡ فِسۡقًا أُهِلَّ لِغَيۡرِ ٱللَّهِ بِهِۦۚ فَمَنِ ٱضۡطُرَّ غَيۡرَ بَاغٖ وَلَا عَادٖ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ١٤٥

“Katakanlah, ‘Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, selain bangkai, darah yang mengalir, atau daging babi’.” (al-An’am: 145)

Daging babi

Ayat ini mengkhususkan keharaman babi pada dagingnya, meskipun seluruh bagian hewan ini juga haram. Sebab, keumuman apa saja dari hewan yang boleh dimakan (dagingnya), maka seluruh bagian anggota badannya mengikuti hukumnya (hukum daging). Berbeda halnya dengan pendapat mazhab Zhahiriyah yang hanya mengharamkan dagingnya.

“Dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.”

Makna ihlal adalah mengeraskan suara. Al-Alusi rahimahullah mengatakan, “Menurut kebanyakan ahli bahasa, kata ihlal berasal dari melihat hilal. Akan tetapi, telah menjadi suatu kebiasaan, ketika hilal terlihat, mereka mengeraskan suara dengan bertakbir. Dari sinilah munculnya penamaan ihlal. Selanjutnya, nama ini dipakai untuk menyebut tindakan mengeraskan suara meskipun untuk urusan selain melihat hilal (seperti menyembelih hewan dengan menyebut nama selain Allah subhanahu wa ta’ala).

Kemudian beliau menjelaskan pendapat bahwa yang dimaksud dengan “disebut nama selain Allah” secara lahiriah adalah patung dan selainnya. Para ulama, seperti Atha’, Makhul, asy-Sya’bi, al-Hasan, dan Sa’id bin al-Musayyab rahimahumullah berpendapat bahwa makna “disebut nama selain Allah” adalah patung saja. Mereka memubahkan sembelihan orang Nasrani yang menyembelih dengan menyebut nama al-Masih, walaupun pendapat ini bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh umat bahwa sembelihan tersebut adalah haram hukumnya.

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menerangkan bahwa makna أُهِلَّ dalam ayat ini adalah menyembelih. Mujahid rahimahullah mengatakan bahwa maknanya adalah hewan yang disembelih untuk selain Allah subhanahu wa ta’ala. Abul ‘Aliyah rahimahullah juga mengatakan bahwa maknanya adalah sembelihan yang disebut nama selain Allah subhanahu wa ta’ala. (Dinukil dari Maktabah Syamilah)

Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan, “Termasuk makna ihlal adalah ihlal shabiy, yaitu jeritan seorang bayi di saat lahir.” (Fathul Qadir, 1/314)

 

Makna dan Tafsir Ayat

Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah menerangkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menghendaki agar orang-orang yang beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya tidak mengharamkan atas diri mereka sesuatu yang tidak diharamkan oleh-Nya, seperti mengharamkan bahirah, saibah, dan yang lain. “Oleh karena itu, makanlah hal-hal tersebut, karena Aku (Allah subhanahu wa ta’ala) tidak mengharamkan atas kalian selain bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang ketika disembelih disebut nama selain-Ku.”

Al-Alusi rahimahullah mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengharamkan bangkai. Makna pengharaman di sini meliputi memakannya dan memanfaatkannya (dalam bentuk lain). Adapun penyandaran kata haram kepada bangkai (zat sesuatu)—sementara itu, istilah haram adalah bagian dari hukum-hukum syariat yang menjadi salah satu sifat mukallaf, dan tidak ada kaitannya dengan zat sesuatu—mengandung isyarat tentang haramnya memanfaatkan bangkai (dalam bentuk apa pun), kecuali apabila terdapat dalil yang mengkhususkannya, seperti penyamakan kulit bangkai hewan (sebagaimana dalam hadits).

“Menyamak kulit bangkai itu ialah penyembelihan atau penyuciannya.” (HR. Ahmad dari Salamah bin Muhabbiq radhiallahu ‘anhu)

Termasuk yang dihukumi seperti hukum bangkai adalah sesuatu yang dipotong dari tubuh hewan dalam keadaan ia masih hidup. Hal ini seperti disebutkan oleh hadits Abu Waqid al-Laitsi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesuatu yang dipotong dari binatang dalam keadaan ia masih hidup, maka itu adalah bangkai.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi)

Yang dikeluarkan dari hukum bangkai adalah belalang dan ikan, sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Telah dihalalkan untuk kita dua bangkai dan dua darah. Dua bangkai itu ialah belalang dan ikan, adapun dua darah itu ialah hati dan limpa.” (Dinukil dari Maktabah Syamilah)

 

Di Antara Hal yang Diharamkan

Dalam ayat ini terdapat hukum haramnya keumuman bangkai hewan, selain yang dikecualikan, baik oleh dalil dari ayat maupun hadits. Di antaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,

أُحِلَّ لَكُمۡ صَيۡدُ ٱلۡبَحۡرِ وَطَعَامُهُۥ مَتَٰعٗا لَّكُمۡ وَلِلسَّيَّارَةِۖ وَحُرِّمَ عَلَيۡكُمۡ صَيۡدُ ٱلۡبَرِّ مَا دُمۡتُمۡ حُرُمٗاۗ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِيٓ إِلَيۡهِ تُحۡشَرُونَ ٩٦

“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut.” (al-Maidah: 96)

Di antaranya adalah hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma Dihalalkan untuk kita dua bangkai dan dua darah.” (HR. Ahmad dan yang lain)

Hadits Jabir radhiallahu ‘anhu diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, dalam perihal ikan ambar—salah satu jenis ikan paus. Dalam sebuah peperangan,pasukan muslimin di bawah kepemimpinan Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu, tengah mengalami kelaparan. Tiba-tiba mereka mendapati bangkai ikan laut yang belum pernah terlihat sebesar itu, namanya ikan ambar. Setengah bulan mereka makan darinya.

Adapun bangkai yang dimaksud dalam ayat di atas adalah bangkai hewan darat dan bangkai hewan laut. Mayoritas ulama berpendapat kepada bolehnya memakan seluruh jenis hewan laut, baik yang hidup (segar) maupun yang mati (bangkai). Sebagian ulama berpendapat, diharamkannya sebagian hewan laut sama dengan apa yang diharamkan dari hewan darat. Dengan demikian, sebagian mereka, seperti Ibnu Habib, tawaquf (tidak bisa menentukan pendapat) tentang hukum memakan babi laut. Ibnu Qasim rahimahullah berkata, “Saya menjauhinya meskipun tidak berpendapat tentang haramnya.”

Para ulama sepakat bahwa darah itu haram. Hanya saja, keumuman hukum yang terdapat dalam ayat di atas terkait dengan ayat lain, yaitu firman Allah subhanahu wa ta’ala,

 “Atau darah yang mengalir.” (al-An’am: 145)

Sebab, darah yang bercampur/menyatu dengan daging tidak haram hukumnya. Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Ini adalah ijma’.” Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau memasak daging dan tampak warna kuning pada permukaan periuk karena darah (yang menyatu dengan daging). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memakannya dan tidak mengingkarinya.
Dihikayatkan oleh al-Qurthubi rahimahullah adanya kesepakatan umat (para ulama) tentang haramnya lemak babi. Banyak ulama yang menyebutkan bahwa lemak termasuk bagian dari daging. Beliau juga menyebutkan adanya kesepakatan para ulama bahwa seluruh bagian dari babi adalah haram kecuali bulunya (yakni tidak najis, -red.) karena diperbolehkan untuk dijadikan sebagai perhiasan.

Adapun yang dimaksud dengan haramnya memakan hewan yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah subhanahu wa ta’ala, seperti menyembelih dengan menyebut nama Latta, Uzza, apabila yang menyembelih adalah penyembah berhala; atau menyebut api apabila yang menyembelih adalah Majusi. Tidak ada perbedaan hukum terkait diharamkannya hal yang seperti ini atau yang semisalnya.

Yang serupa pula hukumnya adalah sembelihan dari kalangan orang-orang yang berkeyakinan terhadap orang yang sudah mati (bisa memberi pengaruh terhadap peristiwa di dunia, baca: para pengagung/penyembah kuburan). Mereka melakukan penyembelihan di atas kuburan. Hal ini termasuk bagian menyembelih dengan menyebut nama selain Allah subhanahu wa ta’ala. Tidak ada perbedaan antara hal ini dengan penyembelihan untuk berhala. (Lihat Fathul Qadir 1/313—314, cet. Darul Wafa’)

 

Penghalalan & Pengharaman, Hak Allah subhanahu wa ta’ala & Rasul-Nya
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam penjelasan beliau terhadap kitab Bulughul Maram, menyebutkan salah satu faedah hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, “Telah dihalalkan untuk kita dua bangkai dan dua darah”, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berkuasa dalam hal menghalalkan atau mengharamkan selain dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala.

Oleh karena itu, tatkala beliau melarang seseorang yang makan bawang bombai atau bawang putih untuk hadir di masjid, orang-orang berkata, “Telah diharamkan, telah diharamkan.”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata,

“Wahai manusia, tidak boleh bagiku untuk mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untukku. Akan tetapi, itu adalah sebuah tanaman yang aku tidak menyukai baunya.” (HR. Muslim)

Maknanya adalah, “Bukan dariku pengharaman itu, tetapi dari Allah subhanahu wa ta’ala.”

Oleh karena itu, kita semua memahami, apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghalalkan atau mengharamkan sesuatu berarti Allah subhanahu wa ta’ala telah mengizinkannya. Bukan pula maknanya bahwa ketika beliau menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, lantas kita boleh menanyakan kepada beliau, mana dalil bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah mengharamkannya. Cukuplah sabda beliau sebagai dalil. Kita tahu bahwa apa pun yang dihalalkan atau diharamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala, seperti pada hadits,

“Wahai manusia, tidak boleh bagiku untuk mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untukku. Akan tetapi, itu adalah sebuah tanaman yang aku tidak menyukai baunya.” (HR. Muslim)

Hadits di atas menunjukkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, utusan Allah subhanahu wa ta’ala, tidak berkuasa untuk mengharamkan sesuatu. Hal ini juga ditunjukkan oleh al-Qur’an, seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala,

 وَلَوۡ تَقَوَّلَ عَلَيۡنَا بَعۡضَ ٱلۡأَقَاوِيلِ ٤٤ لَأَخَذۡنَا مِنۡهُ بِٱلۡيَمِينِ ٤٥  ثُمَّ لَقَطَعۡنَا مِنۡهُ ٱلۡوَتِينَ ٤٦ فَمَا مِنكُم مِّنۡ أَحَدٍ عَنۡهُ حَٰجِزِينَ ٤٧

“Dan seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya, kemudian benar-benar Kami potong urat nadi jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorang pun dari kamu yang menghalangi (Kami) dari pemotongan urat nadi itu.” (al-Haqqah: 44—47)

Ini berarti bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terjaga dari mengada-ada terhadap Allah subhanahu wa ta’ala. Artinya, apabila Allah subhanahu wa ta’ala tidak mengizinkan beliau untuk menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, beliau tidak akan menghalalkan atau mengharamkannya. (Dinukil dari Fath Dzil Jalali wal Ikram 1/123)

Hal ini menerangkan kepada kita bahwa pengharaman sesuatu bukan hanya semata-mata yang diharamkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam al-Qur’an, namun meliputi juga apa yang diharamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda-sabda beliau (hadits). Di antaranya adalah semua binatang buas yang bertaring, burung yang berkaki penyambar, keledai negeri (piaraan), dan yang lain.

Demikian pula segala sesuatu yang najis, sebagaimana kaidah yang ditetapkan oleh para ulama, yaitu “Setiap yang najis itu haram, namun tidak setiap yang haram itu najis”. Dalilnya adalah ayat yang tersebut dalam surat al-An’am: 145 di atas.

Wallahu a’lam bish-shawab.