Asysyariah
Asysyariah

perjalanan ini belum berakhir

13 tahun yang lalu
baca 16 menit
Perjalanan Ini Belum Berakhir

Suatu ketika Rasul yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang pundak Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma seraya berpesan dengan pesannya yang agung,

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ

“Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan orang asing atau orang yang sekadar melewati jalan (musafir).”

Mendapat titah yang mulia seperti ini, Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma pun menasihati saudaranya seagama,

إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ.

“Apabila engkau berada di sore hari, janganlah engkau menanti datangnya pagi. Sebaliknya, apabila engkau berada di pagi hari, janganlah engkau menanti datangnya sore. Ambillah (manfaatkanlah) waktu sehatmu sebelum engkau terbaring sakit, dan gunakanlah masa hidupmu untuk beramal sebelum datang kematianmu.”

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah dalam Shahih-nya (no. 6416) dari guru besar beliau, ‘Ali ibnul Madini, dari Muhammad bin Abdurrahman, dari al-A’masy, dari Mujahid, dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

 

Kedudukan Hadits

Hadits ini adalah landasan pokok untuk membatasi angan-angan terhadap kehidupan dunia. Tidak pantas bagi seorang mukmin untuk menjadikan dunia ini sebagai negeri dan tempat tinggalnya yang abadi, yang dengannya ia merasa tenang. Justru sebaliknya, ia harus memosisikan diri terhadap kehidupan dunia ini sebagai seorang yang berjalan (musafir) yang dia hanya sekadar mempersiapkan perbekalannya guna melanjutkan perjalanan. (Jami‘ul ‘Ulum, 2/377)

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata, “Hadits ini adalah asas yang menekankan kepada seorang hamba untuk mengosongkan hatinya terhadap dunia, zuhud terhadapnya, menghinakannya, merendahkannya, dan qana’ah (merasa cukup) dari dunia dengan bekal yang sekadarnya dalam menjalani hidupnya.” (Fathul Bari, 11/238)

Hadits ini juga menjadi kehidupan bagi hati para hamba, karena apabila kandungannya diamalkan, hati akan menjauh dari tipuan dunia, baik dengan masa mudanya, kesehatannya, umurnya, maupun apa yang ada di sekelilingnya. (kaset Durus al-Arba‘in, asy-Syaikh Shalih Alusy Syaikh)

 

Hakikat Dunia dan Gemerlapnya

Allah subhanahu wa ta’ala dalam banyak ayat dari kitab-Nya yang mulia menyebutkan permisalan dunia yang semuanya menunjukkan bahwa dunia itu nilainya sangat rendah dan hina, sedangkan itu kehidupan dan kesenangannya hanya bersifat fana. Allah Yang Mahasuci berfirman,

ٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَا لَعِبٞ وَلَهۡوٞ وَزِينَةٞ وَتَفَاخُرُۢ بَيۡنَكُمۡ وَتَكَاثُرٞ فِي ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَوۡلَٰدِۖ كَمَثَلِ غَيۡثٍ أَعۡجَبَ ٱلۡكُفَّارَ نَبَاتُهُۥ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَىٰهُ مُصۡفَرّٗا ثُمَّ يَكُونُ حُطَٰمٗاۖ وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِ عَذَابٞ شَدِيدٞ وَمَغۡفِرَةٞ مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضۡوَٰنٞۚ وَمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلۡغُرُورِ ٢٠

“Ketahuilah oleh kalian, kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan, serta tempat kalian bermegah-megah dan berbangga-bangga akan banyaknya harta dan anak. Permisalannya seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya menguning kemudian hancur. Dan di akhirat kelak ada azab yang pedih dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (al-Hadid: 20)

Dalam ayat lain, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَٱضۡرِبۡ لَهُم مَّثَلَ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا كَمَآءٍ أَنزَلۡنَٰهُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ فَٱخۡتَلَطَ بِهِۦ نَبَاتُ ٱلۡأَرۡضِ فَأَصۡبَحَ هَشِيمٗا تَذۡرُوهُ ٱلرِّيَٰحُۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ مُّقۡتَدِرًا ٤٥

“Dan berikanlah kepada mereka permisalan tentang kehidupan dunia, yaitu seperti air yang Kami turunkan dari langit. Maka karenanya menjadi subur tumbuhan-tumbuhan di muka bumi. Kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (al-Kahfi: 45)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّ وَعۡدَ ٱللَّهِ حَقّٞۖ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُم بِٱللَّهِ ٱلۡغَرُورُ ٥

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya janji Allah itu benar. Maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia itu memerdaya kalian dan janganlah sekali-kali orang yang pandai menipu memerdaya kalian tentang Allah.” (Fathir: 5)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Dunia adalah perhiasan yang akan binasa dan merupakan tipuan bagi orang yang cenderung kepadanya. Dia tertipu dengan dunia dan menjadi terlena karenanya, sehingga meyakini bahwa dunia adalah negeri yang tidak ada negeri selainnya dan kehidupan yang tidak ada lagi kehidupan setelahnya. Padahal dunia ini sangat rendah dan hina, teramat kecil bila dibandingkan dengan kehidupan akhirat.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/335)

Demikianlah hakikat dunia, ia adalah permainan, sesuatu yang melalaikan diri dan hati. Ini terlihat pada orang-orang yang menghamba dunia yang cenderung menghabiskan umurnya dengan segala hal yang melalaikan hati dan melupakan dari berzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala, lalai akan janji dan ancaman-Nya. Malah, mereka menjadikan agama sebagai ajang olok-olokan dan gurauan. Berbeda keadaannya dengan orang-orang yang hidup hatinya dengan zikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala, mengenal dan mencintai-Nya, sehingga mereka pun memburu akhirat sebagai negeri yang kekal nan abadi. (Taisir al-Karimirir Rahman, hlm. 840—841)

Sahabat yang mulia, Jabir radhiallahu ‘anhu, mengabarkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah lewat di sebuah pasar dengan dikelilingi orang-orang. Lalu beliau melewati bangkai anak kambing yang cacat telinganya. Beliau mengambilnya dan memegang telinganya seraya bersabda, “Siapa di antara kalian yang mau memiliki anak kambing ini dengan harga satu dirham?”

Para sahabat menjawab, “Kami tidak mau anak kambing itu menjadi milik kami walau dengan harga murah. Lagi pula apa yang dapat kami perbuat dengan bangkai ini?”

Kemudian beliau berkata lagi, “Apakah kalian suka anak kambing ini menjadi milik kalian?”

Mereka menjawab, “Demi Allah, seandainya pun anak kambing ini hidup, dia cacat telinganya, apalagi dia dalam keadaan mati?”

Mendengar pernyataan mereka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَوَ اللهِ، لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ

“Demi Allah, sungguh dunia ini lebih rendah dan hina bagi Allah subhanahu wa ta’ala daripada bangkai anak kambing ini bagi kalian (dalam penilaian kalian).” (HR. Muslim no. 2957)

Apabila hakikat dunia adalah sebagaimana digambarkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah di atas, lalu masih tersisakah cinta yang berlebihan kepadanya?

 

Dunia Itu Fana

Dunia dengan sifat yang telah disebutkan adalah fana. Demikian yang Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan dalam banyak ayat al-Qur’an, di antaranya,

كُلُّ مَنۡ عَلَيۡهَا فَانٖ ٢٦

“Setiap yang ada di atas bumi ini fana (tidak kekal).” (ar-Rahman: 26)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menghikayatkan ucapan seseorang yang beriman dari kalangan keluarga Fir‘aun,

يَٰقَوۡمِ إِنَّمَا هَٰذِهِ ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَا مَتَٰعٞ وَإِنَّ ٱلۡأٓخِرَةَ هِيَ دَارُ ٱلۡقَرَارِ ٣٩

“Wahai kaumku, kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan sementara, dan sesungguhnya negeri akhirat itulah negeri yang kekal.” (Ghafir: 39)

Di sisi lain, kematian adalah suatu kepastian, dan setiap yang hidup pasti akan mengalaminya.

كُلُّ نَفۡسٖ ذَآئِقَةُ ٱلۡمَوۡتِۗ

“Setiap jiwa pasti akan merasakan kematian.” (Ali ‘Imran: 185)

Dengan demikian, perpisahan dengan dunia adalah suatu kemestian, lalu apa yang sepantasnya dilakukan seorang hamba dengan sepenggal kisah hidupnya di dunia yang fana ini? Pikirkan dan renungkanlah, wahai saudaraku!

 

Hamba yang Cerdas dengan Kehidupan Dunianya

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan,

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ

“Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan orang asing atau orang yang sekadar melewati jalan (musafir).”

Ath-Thibi rahimahullah berkata, “Kata أَوْ (atau) dalam hadits ini tidak menunjukkan keraguan (mana yang benar di antara keduanya), tetapi menunjukkan pilihan dan kebolehan (yakni seseorang boleh memilih untuk menjadi orang asing atau musafir, keduanya dibolehkan). Hanya saja, yang paling baik adalah apabila kata ini dimaknakan dengan ‘bahkan’[1].” (Fathul Bari, 11/238)

Ketika menjelaskan hadits ini, para ulama berkata, “Makna ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas adalah janganlah engkau condong kepada dunia dan janganlah engkau menjadikannya sebagai negeri tempat tinggal. Jangan terbetik di hatimu untuk bermukim lama di dalamnya dan jangan terlalu bergelut dengannya.

Jangan terikat dengannya kecuali sekadar terikatnya orang yang asing di negeri yang asing (persinggahannya). Jangan pula menyibukkan diri dengannya sebagaimana orang asing yang tidak menyibukkan dirinya ketika dia ingin pulang untuk menjumpai keluarganya.” (Riyadhus Shalihin, al-Imam an-Nawawi, hlm. 187, Fathul Bari, 11/238)

Orang asing dan musafir tidak menjadikan negeri yang asing atau negeri persinggahannya sebagai tempat menetap. (at-Ta‘liqat ‘ala al-Arba‘in an-Nawawiyyah, asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, hlm. 107)

Apabila dunia bagi seorang mukmin bukan negeri tempat menetap dan bukan pula tanah airnya, maka sepantasnya seorang mukmin di dunia ini berada di atas salah satu dari dua keadaan yang ada, sebagaimana wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ibnu ‘Umar agar ia berada di dunia di atas salah satu dari dua keadaan tersebut.

Pertama: Seorang mukmin menempatkan dirinya seakan-akan ia orang asing di dunia. Ia menetap di dunia, namun dunia sebagai negeri yang asing baginya. Maka dari itu, hatinya tidak terpaut dengan negeri yang asing ini, tetapi hanya terpaut dengan tanah airnya yang ia akan kembali padanya. Dia berdiam di dunia sekadar mengumpulkan bekal untuk kembali ke negeri asalnya.

Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Seorang mukmin di dunia ini merasa sedih (dengan keberadaannya yang belum sampai ke negeri asalnya), keinginannya hanyalah mempersiapkan bekalnya menuju negeri tersebut.”

Kedua: Seorang mukmin menempatkan dirinya seakan-akan sebagai musafir yang tidak pernah bermukim sama sekali, namun ia terusmenerus berjalan sampai akhir hidupnya yakni saat kematian menjemput. (Jami‘ul Ulum, 2/378—382)

“Ukurlah dan dudukkan dirimu sebagaimana orang asing atau seorang musafir. Bahkan, jadilah engkau di dunia ini sebagai seorang musafir karena orang asing terkadang menjadikan negeri tersebut sebagai tempat kediamannya. Berbeda halnya dengan musafir, ia akan terus berjalan menempuh jarak yang ada sampai ke tujuannya, dan tujuannya adalah kembali kepada Allah subhanahu wa ta’ala, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَأَنَّ إِلَىٰ رَبِّكَ ٱلۡمُنتَهَىٰ ٤٢

“Dan sesungguhnya hanya kepada Rabbmulah akhir/kesudahan segala sesuatu”. (an-Najm: 42)

Demikian secara makna dari ucapan al-Imam ash-Shan‘ani rahimahullah dalam Subulus Salam (2/266).

Wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma ini adalah wasiat agung yang sesuai dengan kenyataan seandainya manusia memahaminya. Manusia mengawali kehidupannya di jannah (surga) dan ia turun ke bumi sebagai ujian sehingga dia adalah orang asing atau musafir di muka bumi ini. Sebab, tempatnya yang hakiki, apabila ia memiliki iman, ketakwaan, dan mentauhidkan Allah subhanahu wa ta’ala serta ikhlas padanya, adalah jannah.

Hal ini harus ditanamkan oleh seorang muslim dalam hatinya karena ia tidak menjadikan dunia sebagai negerinya. Adapun ia bermukim di dunia hanyalah menjalani ujian. (kaset Durus al-Arba’in)

 

Nasihat Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma

Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma menasihatkan, “Apabila engkau berada di sore hari, janganlah engkau menanti datangnya pagi. Sebaliknya, apabila engkau berada di pagi hari, janganlah engkau menanti datangnya sore. Ambillah (manfaatkanlah) waktu sehatmu sebelum engkau terbaring sakit, dan gunakanlah masa hidupmu untuk beramal sebelum datang kematianmu.”

Dari nasihat yang sangat berharga di atas dipahami bahwa seseorang hendaknya bersegera mengambil kesempatan untuk beramal saleh hingga tiada lagi kesempatan. Sementara itu, umur yang ada tidak lepas dari masa sehat dan masa sakit. Dengan demikian, bersegeralah beramal ketika sehat sebelum datang sakit, karena ketika sehat mudah baginya untuk beramal dan lapang jiwanya, sedangkan orang yang sakit dan sempit dadanya, lemah dan tidak mudah untuk beramal.

Kesehatan adalah nikmat dari Allah subhanahu wa ta’ala yang banyak dilupakan oleh manusia, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

“Ada dua kenikmatan yang manusia banyak tertipu padanya: kesehatan dan waktu luang.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 6412)

Bersegeralah pula beramal ketika masih hidup, mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya sebelum kematian menjemput.

وَلۡتَنظُرۡ نَفۡسٞ مَّا قَدَّمَتۡ لِغَد

“Hendaklah setiap jiwa memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (al-Hasyr: 18)

Sebab, apabila kematian telah datang, terputuslah amalan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا مَاتَ ا نِْإلْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ

“Apabila seseorang meninggal, terputuslah amalannya selain tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” (Sahih, HR. Muslim no. 1631)

Ketika kematian datang menjemput, ia tidak dapat kembali ke dunia untuk beramal, sebagaimana penyesalan orang yang berkata,

حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءَ أَحَدَهُمُ ٱلۡمَوۡتُ قَالَ رَبِّ ٱرۡجِعُونِ ٩٩ لَعَلِّيٓ أَعۡمَلُ صَٰلِحٗا فِيمَا تَرَكۡتُۚ

“Hingga tatkala kematian telah menghampiri salah seorang dari mereka, ia pun berkata, ‘Wahai Rabbku, kembalikanlah aku ke dunia agar aku dapat beramal saleh yang dahulunya aku tinggalkan’.” (al-Mu’minun: 99—100)

Dengan demikian, seorang mukmin harus selalu bersiap menjemput kematian yang mungkin datang secara tiba-tiba dan kematian itu dipersiapkan dengan amalan saleh. Ulama kita yang terdahulu selalu bersiap untuk menjemput kematian dengan memperbanyak amalan. Sampai-sampai apabila dikatakan kepadanya, “Engkau akan meninggal malam ini,” niscaya ia tidak sanggup lagi menambah amalannya karena ia senantiasa menunaikan hak Allah subhanahu wa ta’ala. (at-Ta’liqat ‘ala al-Arba’in an-Nawawiyah, hlm. 107—108, Syarhul Arba’in an-Nawawiyyah, hlm. 106, Syarhul Arba’in Haditsan an-Nawawiyyah, hlm. 106, Fathul Bari, 11/238, kaset Durus al-Arba’in)

 

Selamat Tinggal Duniaku, Selamat Datang Akhiratku

‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya dunia telah berlalu jauh ke belakang, sedangkan akhirat datang menjelang. Masing-masing memiliki anak (yakni hamba dunia dan hamba akhirat). Jadilah kalian anak-anak akhirat dan jangan menjadi anak-anak dunia. Sebab, hari ini yang ada hanyalah amal dan belum ada hisab (perhitungan amal), sementara itu esok (hari akhir) yang ada hanyalah hisab dan bukan saat beramal.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2/378, Fathul Bari, 11/239)

Di mana penduduk negeri kaum Nuh?

Kemudian di mana kaum ‘Ad dan kaum Tsamud setelahnya?

Tatkala sedang bersenang-senang

Di atas bantal-bantal dan sutra

Tiba-tiba mereka diantarkan ke dalam tanah

Berapa banyak orang yang sehat menjenguk orang yang sakit

Ternyata orang yang sehat itu lebih dekat kepada kematian

Daripada orang yang dijenguknya

Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah pernah berkata kepada seseorang, “Berapa usia yang telah mendatangimu?”

Orang itu menjawab, “60 tahun.”

Al-Fudhail berkata, “Berarti sejak 60 tahun engkau berjalan menuju Rabbmu dan hampir-hampir engkau akan sampai kepada-Nya.”

Mendengar hal itu, orang tersebut berkata, “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.”

Al-Fudhail rahimahullah berkata lagi, “Tahukah engkau tafsir dari kalimat yang engkau ucapkan? Engkau katakan bahwa aku adalah hamba Allah subhanahu wa ta’ala dan akan kembali kepada-Nya. Siapa yang mengetahui bahwa dia adalah hamba Allah subhanahu wa ta’ala dan dia akan kembali kepada-Nya, hendaklah ia mengetahui bahwa ia akan dibangkitkan di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala kelak. Siapa yang tahu bahwa ia akan dibangkitkan, hendaklah ia mengetahui bahwa ia akan ditanya. Siapa yang tahu bahwa ia akan ditanya, hendaklah ia mempersiapkan jawaban.”

Orang itu bertanya, “Lalu apa jalan keluarnya?”

Al-Fudhail rahimahullah menjawab, “Mudah.”

“Apa itu?” tanya laki-laki tersebut.

Al-Fudhail rahimahullah berkata, “Engkau berbuat baik pada umurmu yang tersisa, niscaya akan diampuni bagimu apa yang telah lewat. Sebab, apabila engkau berbuat jelek pada umurmu yang tersisa, engkau akan disiksa karena kejelekan yang telah lalu dan yang akan engkau perbuat dalam sisa umurmu.” (Jami’ul Ulum, 2/383)

Ketika kusadari dunia itu fana sementara negeri akhirat itu kekal

maka segera ku berucap selamat tinggal kefanaan

dan selamat datang negeri keabadian

Teladan kita yang mulia, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mengutamakan kehidupan akhirat sehingga bersahaja kehidupannya di dunia, padahal beliau adalah kekasih Allah subhanahu wa ta’ala, makhluk-Nya yang paling mulia, dan pemimpin anak Adam.

Sahabat yang mulia, ‘Umar radhiallahu ‘anhu, pernah mengatakan, “Aku pernah masuk ke rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku dapati beliau sedang berbaring di atas tikar tipis yang dianyam tanpa beralaskan kasur hingga tampak berbekas pada punggung beliau yang mulia. Beliau bertelekan pada bantal kulit yang diisi dengan sabut. Melihat hal itu, aku pun menangis.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Apa yang membuatmu menangis, wahai Umar?

‘Umar menjawab, “Demi Allah, wahai Rasulullah, tidak ada yang membuatku menangis selain karena aku mengetahui bahwa engkau lebih mulia di sisi Allah daripada Kisra (penguasa Persia) dan Kaisar (penguasa Romawi). Keduanya hidup bergelimang kemewahan dan gemerlapnya dunia, sedangkan engkau, wahai Rasulullah, berada pada tempat yang seperti aku lihat saat ini!’

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Tidakkah engkau ridha wahai ‘Umar, mereka mendapatkan dunia dan kita mendapatkan negeri akhirat?

Aku menjawab, ‘Tentu, wahai Rasulullah.’

        Beliau mengatakan, ‘Demikianlah keadaannya, wahai Umar’.” (Sahih, HR.  al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad. Asy-Syaikh al-Albani berkata dalam Shahih al-Adabul Mufrad no. 1163, “Hasan sahih.”)

Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Apabila demikian halnya, menjadi jelaslah bagi seorang mukmin untuk menggunakan sisa umurnya guna mengumpulkan amalan kebajikan. Benarlah orang yang berkata, ‘Sisa umur seorang mukmin tidaklah ternilai harganya’.” (Jami’ul Ulum, 2/391)

Hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang cendekia

Mereka menceraikan dunia dan takut akan fitnahnya

Ketika dunia mereka amati

Ternyata dunia bukanlah tempat tinggal untuk orang yang hidup

Jadilah dunia sebagai samudra mereka

Dan amal saleh sebagai bahteranya

 

Faedah Hadits

  1. Bolehnya seorang guru menyentuh orang yang diajarinya (yang sesama jenis, ) ketika menyampaikan ilmu dan nasihat untuk menunjukkan kasih sayang terhadapnya serta mengharapkan perhatiannya terhadap apa yang akan disampaikan. Demikianlah sepantasnya seorang guru melakukan sebab-sebab yang dapat membangkitkan perhatian muridnya.
  2. Keutamaan Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyempatkan diri untuk memberikan nasihat ini kepadanya.
  3. Semangat dan kesungguhan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menyampaikan kebaikan kepada umatnya.
  4. Penekanan untuk zuhud terhadap dunia dan mencukupkan dengan apa yang ada tanpa berlebihan, sebagaimana musafir yang hanya membawa bekal seperlunya, serta meninggalkan bawaan dan beban yang akan memberatkan serta menyulitkan perjalanannya sampai ke tujuan.
  5. Seorang mukmin adalah orang asing di dunia karena surga adalah negeri asalnya, sementara itu Adam, bapak manusia, keluar darinya karena makar setan musuhnya.
  6. Bersegera beramal tanpa menundanya.
  7. Anjuran untuk menggunakan kesempatan yang ada guna menambah amalan ketaatan.
  8. Kesehatan dan kehidupan adalah kesempatan bagi seorang mukmin sehingga ia harus memanfaatkannya untuk amalan kebajikan. Tidak sepantasnya ia sia-siakan untuk perkara yang tidak memberi manfaat bagi akhiratnya.
  9. Dalam hadits ini ada dalil untuk membatasi angan-angan, segera bertobat, dan bersiap menjemput kematian.

Seandainya pun ia berangan-angan, hendaknya ia mengatakan ‘insya Allah’, karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَا تَقُولَنَّ لِشَاْيۡءٍ إِنِّي فَاعِلٞ ذَٰلِكَ غَدًا ٢٣ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُۚ

“Janganlah sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, aku akan melakukannya besok, kecuali engkau katakan, ‘insya Allah’ (apabila Allah menghendaki).” (al-Kahfi: 23—24)

  1. Penekanan untuk mempersedikit bergaul dengan manusia selain dalam urusan yang mendatangkan kebaikan dan tidak menyibukkan diri mengumpulkan harta.

Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

 

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Ishaq Muslim al-Atsari


[1] Jadi, artinya, “Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan orang asing, bahkan jadilah engkau orang yang sekadar melewati jalan (musafir).”