Asysyariah
Asysyariah

perhiasan yang sempurna

9 tahun yang lalu
baca 10 menit
Perhiasan yang Sempurna

Sudah menjadi tabiat wanita senang berperhiasan sebagaimana halnya ini dinyatakan dalam al-Qur’an. Namun, tahukah Anda, hampir-hampir tidak ada wanita yang tahu bentuk perhiasan yang paling sempurna, selain orang yang dirahmati oleh Allah subhanahu wa ta’ala dengan diberi ilmu dan pemahaman tentangnya.

Yang jamak, kaum wanita berlomba-lomba menghiasi dirinya dengan berbagai bentuk, model, dan macam perhiasan yang lazim kita ketahui. Adapun perhiasan yang paling sempurna dan paling bernilai, jumlah wanita yang memerhatikannya bisa dihitung dengan jari.

Bagaimana halnya dengan diri Anda? Apakah Anda termasuk wanita yang memiliki pengetahuan tentangnya? Sukakah Anda mengenakan perhiasan yang paling sempurna sehingga setiap orang yang melihat akan menyenangi dan mengagumimu?

Sudah pasti jawaban Anda, ya.

Jika demikian, Anda harus berpegang dengan ash-shirath al-mustaqim (jalan yang lurus).

Herankah Anda dengan pernyataan ini? “Lho, apa hubungannya perhiasan dengan ash-shirath al-mustaqim?” Bisajadi, itu pertanyaan yang terucap.

Ketahuilah, sungguh tidak ada di dunia ini yang lebih indah daripada seseorang berjalan di atas ash-shirath al-mustaqim, yaitu taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dengannya, seseorang akan meraih cinta Allah subhanahu wa ta’ala, cinta Jibril q, cinta penduduk langit dan penduduk bumi, termasuk di antara mereka adalah karib kerabat dan suami. Inilah yang dipahami dari firman Allah subhanahu wa ta’ala,

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menjadikan rasa cinta untuk mereka.” (Maryam: 96)

Menurut al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, hamba-hamba yang beriman dan mengerjakan amal saleh yang diridhai dan mengikuti syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah subhanahu wa ta’ala akan menanamkan rasa cinta dan kasih sayang untuk mereka dalam kalbu para hamba-Nya yang saleh. Hal ini pasti, tidak mungkin tidak, sebagaimana ditekankan oleh sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menyebutkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا دَعَا جِبْرِيلَ فَقَالَ: يَا جِبْرِيْلُ، إِنِّي أُحِبُّ فُلاَنًا فَأَحِبَّهُ. قَالَ: فَيُحِبُّهُ جِبْرِيْلُ. قَالَ: ثُمَّ يُنَادِي فِي أَهْلِ الْسَّمَاءِ: إِنَّ اللهَ يُحِبُّ فُلاَنًا فَأَحِبُّوْهُ. قَالَ: فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ، ثُمَّ يُوْضَعُ لَهُ الْقَبُوْلُ فِي الْأَرْضِ

 Sungguh, apabila Allah subhanahu wa ta’ala mencintai seorang hamba, Allah subhanahu wa ta’ala memanggil Jibril lalu berkata, “Wahai Jibril, sungguh aku mencintai Fulan, maka cintailah dia.” Jibril pun mencintai si Fulan. Kemudian Jibril menyeru penduduk langit, “Sungguh Allah mencintai Fulan, maka cintailah dia.” Penduduk langit pun mencintainya. Kemudian diletakkanlah penerimaan (rasa cinta) penghuni bumi terhadap si Fulan. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Al-Imam Mujahid rahimahullah berkata bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan menjadikan si hamba dicintai oleh manusia di muka bumi. Said bin Jubair, adh-Dhahak, dan selainnya rahimahumullah juga mengatakan yang senada, yakni si hamba mencintai mereka dan Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan para hamba-Nya yang beriman mencintainya.

Harram bin Hayyan rahimahullah menerangkan, “Tidaklah seorang hamba menghadapkan kalbunya kepada Allah subhanahu wa ta’ala kecuali Allah subhanahu wa ta’ala akan menghadapkan kalbu orang-orang beriman kepadanya, hingga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan rezeki berupa rasa cinta dan kasih sayang mereka kepadanya.” (Tafsir al-Qur’an al-Azhim, 5/198—199)

Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan orang-orang yang mengumpulkan keimanan dan amal saleh ini mendapatkan cinta karena mereka mencintai-Nya, maka balasannya Dia jadikan mereka dicintai oleh para wali-Nya dan kekasih-kekasih-Nya. (Taisir al-Karim ar-Rahman, hlm. 501)

Jadi, tidaklah berlebihan apabila kita katakan bahwa ketaatan seorang wanita kepada Allah subhanahu wa ta’ala —dengan menjalankan apa yang diperintahkan dan menahan diri dari apa yang dilarang dan diperingatkan-Nya— merupakan kecantikan, kebagusan, dan perhiasan bagi si wanita. Hal ini akan menarik kecintaan orang lain kepadanya. Bukankah tujuan berhias, mempercantik, dan memperindah diri adalah agar orang lain cinta kepada kita, tertarik, memberi perhatian dan senang ketika melihat kita? Demikian pula keinginan agar mereka senang duduk-duduk atau berdekatan dengan kita.

Semua tujuan ini bisa didapatkan apabila kita dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala berdasarkan hadits di atas. Karena itulah, kita perlu mengetahui bagaimana cara mendapatkan cinta Alah subhanahu wa ta’ala, selanjutnya cinta Jibril ‘alaihissalam dan para malaikat lainnya di atas langit sana, serta seluruh orang yang kita inginkan cintanya.

Ya, tidak perlu merogoh saku dalam-dalam alias mengeluarkan banyak duit. Tidak perlu bercapek-capek keluar masuk mall untuk mencarinya. Caranya mudah bagi orang yang dimudahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, dan tentu saja sulit bagi orang yang Allah subhanahu wa ta’ala tidak ingin memberinya hidayah-Nya. Mari kita simak caranya berikut ini.

 

  1. Berperilaku dengan sifat-sifat orang yang Allah subhanahu wa ta’ala cintai

Siapakah mereka? Mereka adalah orang-orang yang muhsin (berbuat baik), yang bertobat, dan yang menyucikan diri. Mereka adalah yang bertakwa, yang bersabar, yang bertawakal, yang adil, yang berlaku lembut terhadap orangorang beriman dan penuh kasih kepada mereka, serta banyak melakukan ibadah sunnah.

Inilah sifat-sifat wali Allah subhanahu wa ta’ala yang dinyatakan dalam hadits qudsi,

مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا افْتُرِضَ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ

“Siapa yang memusuhi wali-Ku, sungguh Aku telah mengumumkan perang terhadapnya. Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu amalan yang lebih Aku cintai daripada amalan yang diwajibkan kepadanya. Terus menerus hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan nafilah (sunnah) hingga Aku mencintainya.” (HR. al-Bukhari)

Termasuk sifat yang pemiliknya dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala adalah malu dan menutup aib (cacat dan cela) diri sendiri dan aib orang lain yang memang tidak pantas dibeberkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ حَيِيٌّ سِتِّيْرٌ يُحِبُّ الْحَيَاءَ وَالسِّتْرَ

“Sesungguhnya Allah Mahamalu lagi Maha Menutup. Dia menyukai sifat malu dan menutup[1].” (HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih dalam Shahih Abi Dawud)

 

  1. Menjauhi perangai yang pelakunya dibenci oleh Allah subhanahu wa ta’ala

Termasuk yang dibenci adalah orang-orang yang melampaui batas, suka ingkar lagi pendosa, orangorang zalim, sombong, suka berbuat fajir, berkhianat, gemar melakukan kejahatan, suka merusak, menghamburhamburkan uang, takabur, dan sifat-sifat buruk lainnya yang diperingatkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.

Karena itu, wahai saudariku seiman, berpeganglah Anda dengan sifat yang dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Menjauhlah dari seluruh sifat yang dibenci oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Dengan demikian, Anda akan meraih ridha Rabb, kemudian mendapatkan cinta semua orang baik yang Anda harapkan.

 

Malu, Perhiasan yang Paling Bercahaya

Malu adalah salah satu cabang iman sebagaimana dalam hadits,

الْإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيْمَانِِ

“Iman itu ada tujuh puluh lebih cabangnya, dan malu adalah satu cabang dari keimanan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Malu merupakan perhiasan dan keindahan, sebagaimana sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَا كَانَ الْفُحشُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ، وَ كَانَ الْحَيَاءُ فِي شَيْءٍ قَطُّ إِلاَّ زَانَهُ

“Tidaklah kekejian (tidak punya malu dalam hal ucapan dan perbuatan) ada pada sesuatu kecuali akan membuatnya jelek, dan tidaklah sifat malu ada pada sesuatu kecuali akan membuatnya indah.” (HR. Ibnu Majah, dinyatakan sahih dalam Shahih Ibnu Majah)

Apabila benda mati bisa memiliki rasa malu, niscaya rasa malu akan memperindahnya. Lebih-lebih lagi ketika anak Adam (manusia) yang berhias dengannya. Bagaimana pula halnya apabila putri Hawa (wanita) yang berhias dengannya?

Apabila lelaki saja membutuhkan bersifat malu, tentu para wanita lebih membutuhkan dan lebih pantas memiliki rasa malu karena sesuai dengan tabiatnya. Ketika para sahabat menyebutkan sifat malu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka membandingkannya dengan sifat malu wanita. Kata Abu Said al- Khudri radhiallahu ‘anhu,

“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih kuat rasa malunya daripada gadis perawan dalam pingitannya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Malu dan kecantikan wanita adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Alangkah manisnya ‘rona merah’ malu pada seorang wanita yang menghindar dari bercampur baur dengan lelaki ajnabi, tidak mau bersenda gurau dengan lelaki yang bukan mahramnya, enggan pula mengucapkan atau mendengarkan ucapan-ucapan yang menghilangkanrasa malunya.

Tidaklah mungkin Anda beroleh kecantikan dan keindahan yang sejati tanpa menyandang sifat malu yang merupakan perhiasan paling bersinar bagi wanita. Andai rasa malu ini telah tercabut dari seorang wanita, apa lagi yang tersisa pada dirinya? Betapa banyak wanita yang cantik rupawan, namun kecantikannya tiada bermakna dan tanpa ruh tatkala telah tercabut darinya sifat malu. Sebaliknya, betapa banyak wanita yang bertambah-tambah kecantikannya karena sifat malunya.

Wanita yang paling cantik sekalipun, andai hilang darinya rasa malu, sungguh Anda tidak dapati ada orang yang menoleh kepadanya, kecuali wanita yang juga sedikit rasa malunya. Lelaki baik-baik yang ingin menikah untuk membantu dirinya taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, pastilah akan mengamalkan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

“Utamakan wanita yang memiliki agama, (jika tidak) dirimu merugi.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Semakin bertambah rasa malu seorang wanita, semakin bertambah pula bagiannya dari sifat yang disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘memiliki agama’, karena malu itu bagian dari iman. Selain itu, malu adalah akhlak Islam sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ لِكُلِّ الدِّينِ خُلُقًا، وَخُلُقُ الْإِسْلاَمِ الْحَيَاءُ

“Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak agama Islam adalah malu.” (HR. Ibnu Majah, dinyatakan sahih dalam Shahih Ibnu Majah)

Wanita yang menjaga rasa malu ketika berucap dan berbuat berarti telah menempuh salah satu sebab mendapatkan kecintaan Allah subhanahu wa ta’ala, kemudian kecintaan manusia. Wanita yang malu menampakkan perhiasannya kepada selain mahramnya dan menutup dirinya dari pandangan ajnabi, dia telah menempuh salah satu sebab mendapatkan mahabbah sang Khaliq, kemudian cinta makhluk.

Sementara itu, wanita yang tidak tahu malu ketika berucap dan berbuat, suka memamerkan perhiasannya kepada selain mahramnya, dan tidak menutup dirinya dari pandangan ajnabi, dia telah menjauh dari sifat malu, dan paling jauh dari perhiasan yang sempurna.

Ketahuilah, malu itu ada dua macam. Ada yang merupakan sifat bawaan dan ada pula yang diupayakan. Orang yang tidak dianugerahi sifat malu bawaan, dia masih berkesempatan menyempurnakan dirinya dan imannya dengan malu yang diupayakan.

Apakah malu bisa diupayakan? Jawabannya pasti ya. Sebab, apabila malu tidak bisa diupayakan, bagaimana kita dituntut untuk memiliki sifat malu? Bagaimana bisa malu menjadi salah satu cabang keimanan?

Cara mengupayakannya adalah dengan latihan dan usaha berperangai dengannya dalam keadaan-keadaan yang memang menuntut, tanpa berputus asa mengupayakannya. Termasuk cara mengupayakannya adalah bermajelis dengan orang-orang yang memiliki sifat yang indah ini dan sering bergaul dengan mereka. Sebaliknya, harus dihindari sejauh-jauhnya orang yang tidak punya rasa malu, suka berbuat keji, tidak malu kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh.

Hal lain yang bisa kita lakukan adalah membaca kisah perjalanan hidup orangorang yang punya sifat malu, menelisik berita mereka, dan mempelajari perilaku mereka. Selain itu, tentu saja membaca atau mendengarkan keutamaan sifat malu, kedudukannya, faedahnya dan maknanya yang hakiki, serta agungnya pahala yang didapatkan pemiliknya.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

(Sumber: Asrar al- Jamal wa az- Zinah li al -Mar ’ah al -Muslimah, penyusun Ummu Nurani dan lainnya)

Ditulis oleh Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah


[1] Maksudnya adalah menutupi aurat. Sebab, hadits ini diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkaitan dengan seseorang yang mandi tanpa menutup auratnya dari pandangan orang lain yang tidak halal melihatnya. Termasuk dalam hal ini ialah menutupi kesalahan orang yang tidak sepantasnya dibeberkan kesalahan atau kealpaannya karena dia adalah seorang mukmin yang menjaga kehormatan dirinya, bukan orang yang terangterangan berbuat dosa dan maksiat. (Lihat Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud)