Asysyariah
Asysyariah

perhiasan wanita di hadapan mahram

13 tahun yang lalu
baca 12 menit
Perhiasan Wanita Di Hadapan Mahram

Syariat memiliki aturan bahwa wanita adalah makhluk yang memiliki kewajiban untuk menutup keindahan yang ada pada dirinya ketika berhadapan dengan laki-laki. Namun tidak semua laki-laki diharamkan untuk melihat seorang wanita. Mereka adalah para mahram bagi wanita tersebut. Sebatas mana seorang wanita boleh menampakkan diri di hadapan mahramnya?

Dimaklumi, wanita diciptakan senang berhias dan tumbuh dalam keadaan berperhiasan. Perhiasannya ini ada yang berasal dari dirinya (tubuhnya) sendiri yang merupakan asal penciptaannya seperti rambut, wajah, dan semisalnya. Ada pula perhiasan yang diambilnya dari luar dirinya kemudian dikenakan untuk memperindah diri seperti anting-anting, cincin, gelang kaki, pewarna kuku (daun pacar), dan selainnya.

cincin

Kedua jenis perhiasan ini tidak boleh diperlihatkan di hadapan lelaki yang bukan mahram (ajnabi) karena syariat menetapkan hanya pihak-pihak tertentu yang diperkenankan melihat perhiasan si wanita sebagaimana tersebut dalam ayat Allah subhanahu wa ta’ala:

وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوۡ ءَابَآئِهِنَّ أَوۡ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآئِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ إِخۡوَٰنِهِنَّ أَوۡ بَنِيٓ إِخۡوَٰنِهِنَّ أَوۡ بَنِيٓ أَخَوَٰتِهِنَّ أَوۡ نِسَآئِهِنَّ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُنَّ أَوِ ٱلتَّٰبِعِينَ غَيۡرِ أُوْلِي ٱلۡإِرۡبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ أَوِ ٱلطِّفۡلِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يَظۡهَرُواْ عَلَىٰ عَوۡرَٰتِ ٱلنِّسَآءِۖ

“Dan janganlah mereka (para wanita) menampakkan perhiasan mereka kecuali di hadapan suami-suami mereka, ayah-ayah mereka, ayah mertua mereka, di hadapan putra-putra mereka, putra-putra suami mereka, saudara laki-laki mereka, putra-putra saudara laki-laki mereka (keponakan laki-laki), putra-putra saudara perempuan mereka, di hadapan wanita-wanita mereka, budak yang mereka miliki, laki-laki yang tidak punya syahwat terhadap wanita, atau anak laki-laki kecil yang belum mengerti aurat wanita.(an-Nur: 31)

 

Perhiasan yang Boleh Ditampakkan di Hadapan Mahram

Suami, ayah, kakek dan seterusnya ke atas, bapak mertua, kakek mertua, dan seterusnya ke atas, anak laki-laki, cucu laki-laki dan seterusnya ke bawah, anak laki-laki suami, cucu laki-laki suami, dan seterusnya ke bawah, saudara laki-laki baik seayah seibu ataupun seayah saja atau seibu saja, keponakan laki-laki, cucu keponakan, dan seterusnya ke bawah,[1] wanita, budak yang dimiliki, laki-laki yang tidak bersyahwat terhadap wanita dan anak kecil merupakan pihak-pihak yang dibolehkan melihat perhiasan seorang wanita dengan batasan yang ditetapkan oleh syariat, sama saja apakah perhiasan itu merupakan bagian dari tubuhnya (asal penciptaannya) atau dari luar dirinya.

Abu Salamah bin Abdirrahman berkata, “Aku dan saudara laki-laki Aisyah sepersusuan masuk menemui Aisyah. Lalu saudaranya ini bertanya tentang tata cara mandi janabahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aisyah pun meminta sebuah bejana yang berisi air sekitar satu sha’[2], lalu Aisyah mandi dan menuangkan air di atas kepalanya sementara antara kami dan Aisyah ada hijab.” (HR. al-Bukhari no. 251 dan Muslim no. 320)

Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Dzahir hadits ini menunjukkan keduanya melihat apa yang dilakukan Aisyah pada kepalanya dan bagian atas tubuhnya dalam batasan yang halal bagi mahram untuk memandangnya karena Aisyah adalah bibi susu Abu Salamah. Ia disusui oleh Ummu Kultsum bintu Abi Bakar saudara perempuan Aisyah. Aisyah hanya menutupi bagian bawah tubuhnya yang tidak halal bagi mahram untuk melihatnya.”

Al-Qadhi juga menyatakan, “Seandainya keduanya tidak menyaksikan hal itu dan tidak melihatnya maka tidak ada maknanya Aisyah meminta air dan thaharah di hadapan keduanya, karena bila Aisyah melakukan hal itu semua dalam keadaan tertutup dari keduanya niscaya hal itu adalah kesia-siaan. Adapun penutup yang dikenakan Aisyah adalah untuk menutupi bagian bawah tubuhnya yang tidak halal bagi mahram untuk melihatnya.” (Fathul Bari 1/456, Syarah Shahih Muslim 4/4)

Fathimah putri Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah datang menemui ayahnya untuk meminta seorang pembantu guna meringankan pekerjaannya sementara ia menderita lecet pada tangannya karena sering digunakan untuk menggiling tepung. Namun, Fathimah radhiallahu ‘anha tidak berjumpa dengan sang ayah, akhirnya ia menceritakan keperluannya kepada Aisyah radhiallahu ‘anha.

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, Aisyah pun menceritakan keperluan Fathimah. Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, suami Fathimah, bertutur, “Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mendatangi kami, ketika itu kami telah berbaring di pembaringan. Aku bermaksud bangkit namun beliau berkata, “Tetaplah di tempatmu.” Kemudian beliau duduk di antara kami hingga aku merasakan dinginnya kedua telapak kaki beliau di dadaku. Beliau pun bersabda,

أَلاَ أَدُلُّكُمَا عَلَى مَا هُوَ خَيْرٌ لَكُمَا مِنْ خَادِمٍ؟ إِذَا أَوَيْتُمَا إِلَى فِرَاشِكُمَا أَوْ أَخَذْتُمَا مَضَاجِعَكُمَا فَكَبَّرَا أًَرْبَعًا وَثَلاَثِيْنَ وَسَبَّحَا ثَلاَثًا وَثَلاَثِيْنَ وَحَمِّدَا ثَلاثًا وَثَلاثِيْنَ، فَهَذَا خَيْرٌ لَكُمَا مِنْ خَادِمٍ

“Maukah aku tunjukkan kepada kalian berdua apa yang lebih baik bagi kalian daripada seorang pembantu? Apabila kalian mendatangi tempat tidur kalian atau ingin berbaring, bacalah Allahu Akbar 34 kali, Subhanallah 33 kali, dan Alhamdulillah 33 kali. Ini lebih baik bagi kalian daripada seorang pembantu.” (HR. al-Bukhari no. 6318 dan Muslim no. 2727)

Hadits di atas dalam riwayat Ubaidah bin Amr dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh Ibnu Hibban ada tambahan, “Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kami sementara kami telah (berbaring di tempat tidur dengan) mengenakan selimut, jika kami memakainya dengan membujur keluar darinya (tidak tertutup) lambung kami (bagian samping tubuh) dan bila kami mengenakannya dengan melintang keluar darinya (tidak tertutup) kepala dan telapak kaki kami.”

Dalam riwayat as-Saib, “Ali dan Fathimah kembali lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi keduanya sementara keduanya telah masuk ke dalam selimut yang jika ditutupkan ke kepala akan tersingkap telapak kaki keduanya dan bila ditutupkan ke telapak kaki niscaya tersingkap kepala keduanya.” (Fathul Bari, 11/124)

Riwayat Ibnu Hibban ini menunjukkan bolehnya wanita membuka kepala dan telapak kakinya di hadapan ayahnya.

Ketika Aflah saudara Abil Quais[3], bapak susu Aisyah radhiallahu ‘anha, meminta izin untuk bertemu Aisyah setelah turunnya ayat hijab, Aisyah enggan mengizinkannya. Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang Aisyah pun menceritakan hal ini, maka beliau memerintahkan Aisyah untuk mengizinkan Aflah. (HR. al- Bukhari no. 5239)

Dalam riwayat Muslim (no. 1445), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَحْتَجِبِي مِنْهُ فَإِنَّهُ يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ

“Janganlah engkau berhijab darinya sebab apa yang diharamkan karena nasab (keturunan) juga haram karena penyusuan.”

Aisyah radhiallahu ‘anha pernah memperlihatkan bagaimana tata cara wudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan Abu Abdillah Salim Sablan[4], dan Salim ini biasa bertanya langsung di hadapan Aisyah bila ada masalah yang tidak jelas baginya. Demikian sampai akhirnya Salim merdeka dari statusnya sebagai budak dan setelah itu Aisyah pun mengenakan hijab di hadapannya, hingga kata Salim, “Aku tidak pernah lagi melihat Aisyah setelah hari itu.” (HR. an-Nasai no. 99, dinyatakan sahih sanadnya oleh asy-Syaikh Albani rahimahullah dalam Shahih an-Nasai no. 97)

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkisah,

أَنَّ النَّبِيَّ أَتَى فَاطِمَةَ بِعَبْدٍ قَدْ وَهَبَهُ لَهَا. قَالَ: وَعَلَى فَاطِمَةَ ثَوْبٌ إِذَا قَنَعَتْ بِهِ رَأْسَهَا لَمْ يَبْلُغْ رِجْلَيْهَا، وَإِذَا غَطَّتْ بِهِ رِجْلَيْهَا لَمْ يَبْلُغْ رَأْسَهَا، فَلَمَّا رَأَى النَّبِيّ مَا تَلْقَى قَالَ: إِنَّهُ لَيْسَ عَلَيْكَ بَأْسٌ، إِنَّمَا هُوَ أَبُوكِ وَغُلامُكِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi Fathimah bersama seorang budak yang beliau hadiahkan kepada Fathimah. Ketika itu Fathimah mengenakan pakaian (pendek) yang bila ia tutupkan ke kepalanya, pakaian itu tidak mencapai kedua kakinya. Jika ia tutupkan ke kedua kakinya maka tidak menutupi kepalanya. Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat apa yang dijumpai[5] Fathimah, beliau bersabda, “Tidak apa-apa bagimu (untuk menampakkan kepala dan kedua kaki, pen) karena yang ada di hadapanmu hanyalah ayah dan budakmu.” (HR. Abu Dawud no. 3582, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam al-Jamiu’sh Shahih, 4/313)

Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah  membawakan hadits ini dalam kitabnya al-Jami‘us Shahih dan beliau beri judul Yajuzu lil Mar’ati an Taksyifa Ra’saha wa Saqaiha ‘inda Abiha wa Mamlukiha idza Uminatil Fitnah (Boleh bagi seorang wanita membuka kepala/rambutnya dan dua betisnya di hadapan ayah dan budak laki-lakinya apabila aman dari fitnah).

Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah berkata, “Di dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya budak laki-laki melihat majikan wanitanya. Budak ini memang termasuk mahram si wanita sehingga ia boleh berduaan dengannya dan safar bersamanya serta boleh memandangnya dalam batasan yang diperkenankan untuk dilihat oleh mahramnya.” (Tahdzibus Sunan, dengan catatan kaki ‘Aunul Ma’bud, 11/111)

Dari beberapa hadits yang disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa boleh bagi seorang wanita untuk menampakkan kepala/rambut, leher, anggota-anggota wudhu, betis dan kedua telapak kakinya—beserta perhiasan dari luar tubuhnya yang ia letakkan pada bagian-bagian tubuh tersebut—di depan ayah, saudara laki-laki, paman, keponakan laki-laki dan mahramnya yang lain.

 

Kekhususan Suami

Di antara yang diperkenankan melihat perhiasan seorang wanita, suami memiliki kekhususan karena dibolehkan bagi suami melihat seluruh perhiasan istrinya yang berarti melihat seluruh tubuh istrinya sampaipun auratnya yang paling tertutup (kemaluan), halal bagi suami, dengan dalil berikut ini.

Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,

كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُوْلُ اللهِ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ مِنْ قَدَحٍ يُقَالُ لَهُ الْفَرَقُ

“Aku dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi bersama dari satu bejana yang dinamakan faraq[6].” (HR. al-Bukhari no. 250 dan Muslim no. 319)

bejana-tanah-liat

Dalam riwayat Muslim (no. 321) disebutkan, “Tangan kami saling berselisih (bergantian menciduk) padanya.”

Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menyatakan, “Ad-Dawudi berdalil dengan hadits ini untuk menyatakan bolehnya seorang suami melihat aurat istrinya dan sebaliknya. Yang menguatkan hal ini adalah riwayat Ibnu Hibban dari jalan Sulaiman bin Musa, ia pernah ditanya tentang seorang lelaki yang melihat kemaluan istrinya maka ia menjawab, “Aku pernah bertanya kepada ‘Atha, maka ia berkata, Aku pernah bertanya kepada Aisyah lalu Aisyah menyebutkan hadits ini dengan maknanya. Dengan demikian, hadits ini adalah jawaban dalam masalah ini, wallahu a’lam.” (Fathul Bari, 1/455)

Dengan hadits ini pula menjadi jelas batilnya hadits Aisyah radhiallahu ‘anha,

مَا رَأَيْتُ عَوْرَةَ رَسُوْلِ اللهِ قَطُّ

“Aku tidak pernah sama sekali melihat aurat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. ath- Thabarani dalam ash-Shaghir, 1/53) Hadits ini lemah karena ada di antara rawinya yang dikenal pendusta dan pemalsu hadits (Adabuz Zafaf, hlm. 34)

Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Masalah suami dan tuan (pemilik budak) boleh melihat perhiasan istri/budak wanitanya bahkan lebih dari perhiasan itu karena semua bagian tubuhnya halal bagi suami untuk dinikmati dan dipandang. Karena itulah, dalam ayat (surat an-Nur:31, ketika menyebutkan pihak-pihak yang diperkenankan melihat perhiasan wanita, –pen.) Allah subhanahu wa ta’ala mulai dari suami karena kebolehan mereka untuk memandang lebih besar dari sekadar melihat perhiasan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya,

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak wanita yang mereka miliki, maka sungguh dalam hal ini mereka tidaklah tercela.” (al-Mukminun:5) (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 12/154)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلاَّ مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِيْنُكَ

“Jagalah auratmu[7] kecuali dari istri atau budak wanitamu.”[8] (HR. Abu Dawud no. 3501, dinyatakan hasan oleh sanadnya oleh asy-Syaikh Albani rahimahullah dalam Adabuz Zafaf, hlm. 36)

Ibnu Urwah al-Hambali rahimahullah dalam al-Kawakib berkata, “Dibolehkan masing-masing dari suami dan istri untuk melihat seluruh tubuh pasangannya dan menyentuhnya sampaipun daerah kemaluannya berdasarkan hadits ini.

Begitu pula karena dihalalkan suami untuk ‘bernikmat-nikmat’ dengan kemaluan istri, maka tentunya boleh pula melihat kemaluan tersebut dan menyentuh kemaluan dibolehkan seperti halnya menyentuh anggota tubuh yang lain.” (Adabuz Zafaf, hlm. 35)

Memang dalam masalah suami memandang kemaluan istrinya ada perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi, antara yang membolehkan dan yang melarang. Namun, wallahu a‘lam, yang rajih (kuat) adalah pendapat yang membolehkan. Demikian mazhab al- Imam Malik rahimahullah dan selain beliau.

Dalilnya telah disebutkan di atas. Selain itu, hadits yang melarang melihat kemaluan adalah hadits yang lemah seperti hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا جَامَعَ أَحَدُكُمْ زَوجَتَهُ أَوْ جَارِيتَهُ فَلاَ يَنْظُرْ إِلَى فَرْجِهَا فَإِنَّ ذَلِكَ يُوْرِثُ الْعَمَى

“Apabila salah seorang dari kalian menggauli istri atau budak wanitanya, janganlah ia melihat kemaluan istri/budak wanitanya karena hal itu mewariskan kebutaan.”

Hadits ini palsu (maudhu‘) kata Asy-Syaikh Albani rahimahullah. (Silsilah al- Ahadits adh-Dha’ifah no. 196, Adabuz Zafaf hlm. 35)

Dengan penjelasan di atas pahamlah kita bahwasanya tidak ada batasan aurat antara suami dengan istrinya.

Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah


[1] Termasuk dalam hal ini mahram karena susuan, seperti ayah susu, anak susu, saudara susu, dan sebagainya.

[2] Satu sha’ sama dengan 4 mud, sedangkan ukuran 1 mud sama dengan sepenuh dua telapak tangan sedang yang digabungkan, tidak digenggam dan tidak pula dibentangkan.

[3] Jadi, Aflah adalah paman susu Aisyah radhiallahu ‘anha.

[4] Kata al-Imam as-Sindi rahimahullah dalam Hasyiyah-nya ketika mengomentari hadits ini, “Bisa jadi, Salim adalah budak dari sebagian keluarga dekat Aisyah. Sementara Aisyah berpendapat boleh budak laki-laki masuk menemui majikan wanitanya dan kerabat-kerabatnya, wallahu a’lam.” (Sunan an-Nasa’i, 1/73)

[5] Yakni melihat kebingungan dan rasa malu Fathimah, dan bagaimana ia kesulitan menutupi tubuhnya dengan menarik pakaiannya dari kaki agar menutupi kepala dan dari kepala agar menutupi kakinya karena rasa malu. (‘Aunul Ma’bud, 11/111)

[6] Sufyan berkata, “Faraq adalah tiga sha’.”

[7] Yakni tutuplah.

[8] Di sini menunjukkan istri dan budak wanita boleh melihat kemaluan suami atau tuannya dan sebaliknya suami/ tuan boleh melihat kemaluan keduanya. (Aunul Ma’bud, 11/39)