Asysyariah
Asysyariah

perdukunan dan para eite politik

13 tahun yang lalu
baca 7 menit

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf)

 

Panggung politik adalah ajang terbuka bagi para politisi untuk bertarung merebut kekuasaan, maka kerja politik adalah kerja yang berorientasi meraih jabatan dan kedudukan.

Dalam wacana modernitas, praktik politik selalu bertumpu pada rasionalitas, menggunakan kalkulasi yang masuk akal, dan mengikuti kaidah politik yang dapat dicerna oleh penalaran logis.

Namun demikian, di luar langkah itu, menjelang Pemilu 2009 kemarin, banyak politisi yang terobsesi pada kekuasaan, justru bertumpu pada hal-hal yang irasional.

Persaingan yang sangat ketat menjadi wakil rakyat membuat sejumlah pihak menghalalkan segala cara, dari mulai menyambangi dukun, minta diterawang nasib dan peruntungan mereka melalui jalan mistik, hingga berkumpul di sisi makam yang dianggap keramat. (Kompas Online, 23/2)

Praktik perdukunan dalam pertarungan politik bertujuan ganda, yaitu merebut atau mempertahankan kekuasaan. Banyak pihak meyakini, hampir tak ada seorang pun yang berhasil menaiki tangga kekuasaan tanpa bantuan dukun.

Ini adalah salah satu gejala frustasi politik bagi para caleg, di mana caleg yang kere mencoba mengundi nasib mengandalkan kekuatan magis para dukun.

Dikabarkan, ratusan caleg di kota Padang mendatangi dukun bernama Ni Ita. Mereka menerawangkan peluangnya menuju parlemen. (http://www.padang.today.com/27/03)

Ki Joko Bodo dan Mama Lauren, 74 tahun, yang bernama lengkap Laurentina Sri Kumala –keduanya merupakan dukun/paranormal terkenal– memberikan pengakuan, sejak Juli 2008, klien yang mereka terima kebanyakan dari caleg. Caleg yang mendatangi mereka bukan saja dari partai-partai kecil tapi juga partai besar. (KoranTempo.com, 2009)

Secara teori, tidak ada korelasi (hubungan) antara politik dan dukun. Tetapi karena sudah kalap mata, inilah cara yang mereka anggap jitu menuju kekuasaan. Rakyat memilih atau tidak adalah sebuah pilihan sadar. Kecuali orang-orang bodoh yang mau dibayar untuk kepentingan-kepentingan sesaat caleg dan pemilih yang kurang akal.

Di Bandar Lampung, sejumlah caleg kerap mendatangi puncak Gunung Betung untuk melakukan kegiatan irasional itu. Di gunung tersebut, seorang kuncen (juru kunci, red.) yang ingin disebut Mbah Betung, 65 tahun, mengaku kerap didatangi para caleg pada pemilu ini. Ia mengatakan, “Yang datang cukup banyak. Bahkan ada beberapa caleg dari partai Islam.” (okezone.com)

Di Jakarta Timur misalnya, tepatnya di makam keramat Pangeran Jayakarta yang terletak di Jatinegara Kaum, Pulogadung, hampir setiap malam Jum’at diramaikan peziarah. Yang tak disangka, di antaranya terdapat calon anggota dewan/caleg.

Biasanya caleg tersebut datang tidak sendiri. Mereka datang dengan “guru spiritual”nya dan ajudan. Biasanya sang guru spiritual memimpin caleg untuk membacakan doa bagi Habib Husain. Habib Husain sendiri adalah seorang yang kononnya shalih, meninggal dunia pada 24 Juni 1756. (okezone.com)

Memandang jabatan sebagai sebuah kehormatan bahkan menuhankannya, adalah hal yang menyebabkan terkikisnya nilai-nilai keteladanan serta menunjukkan betapa tidak bertuhannya orang-orang yang katanya akan memimpin negeri ini. Karena semua kepercayaan dan keyakinan di atas adalah syirik dalam agama Islam.

Tapi memang demikianlah potret politik dan para politisi di tanah air kita yang mayoritas penduduknya muslimin. Bermunculannya partai politik atau parpol hanyalah sarana untuk mengejar kekuasaan dan jabatan, tak peduli itu partai “Islam” atau bukan.

Sebuah partai misalnya, sangat bangga dengan nomor urut 8, karena angka 8 adalah angka hoki, angka 8 merata gemuknya. Tidak seperti angka 9 yang gemuknya di atas dan tidak merata. Partai yang katanya bersih, peduli, dan profesional ini ternyata bermain-main di tempat yang kotor dan sangat tidak profesional. Mereka demikian percaya jika angka 8 dapat memberikan kebangkitan pada perolehan suara di Pemilu 2009.

Apakah angka 8 ada rahasianya dalam ajaran Islam? Yang pasti, penting dicatat bahwa dalam budaya Tionghoa (baca: kafir), angka 8 memang diasosiasikan sebagai angka kemakmuran dan keberuntungan yang tiada habisnya, merujuk bentuk angka 8 yang tidak putus. (detik.com)

Luar biasa parah dan buruknya kelakuan para elite politik negeri ini. Mereka rela mengorbankan diri dan agamanya demi memuaskan ambisinya. Tidakkah mereka takut bahwa perbuatan-perbuatannya, seperti mendatangi dukun, menanyakan berbagai hal kepadanya, memercayainya, serta memberikan bayaran kepadanya adalah haram, dosa, bahkan bisa menyeret pada kekufuran.

Sungguh beruntung orang-orang yang mendapatkan taufik, dapat memahami ajaran dan petunjuk dari agama ini.

Allah l berfirman:

“Dan barangsiapa yang tidak diberi cahaya oleh Allah. Maka tidaklah ia mempunyai cahaya sedikit pun.” (An-Nur: 40)

 

Bayaran Dukun

Berkenaan dengan bayaran yang diberikan kepada para dukun, maka Al-Imam Muslim t dalam kitab Shahihnya meriwayatkan hadits dari Abu Mas’ud Al-Anshari z:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ n نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِيِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ

“Sesungguhnya Rasulullah n melarang keuntungan/uang hasil dari penjualan anjing, upah yang diterima pezina dari hasil zina, serta bayaran bagi dukun.” (HR. Muslim no. 1567 bab Tahrimu Tsamanil Kalbi wa Hulwanil Kahin)

Al-Baghawi dan Al-Qadhi Iyadh rahimahumallah mengatakan, “Kaum muslimin sepakat akan haramnya bayaran (hulwan) yang diberikan kepada dukun atas jasa perdukunannya. Karena hal itu merupakan timbal balik dari perkara yang diharamkan serta termasuk dalam kategori makan harta secara batil.” (Syarah Shahih Muslim jilid 6 hal. 76)

Haramnya memberi bayaran kepada dukun merupakan peringatan yang mengisyaratkan diharamkannya memberi bayaran kepada ahli nujum dan tukang ramal, baik yang menggunakan kartu atau menggunakan batu kerikil, dan sejenisnya. Yaitu mereka yang biasa dimintai informasi tentang masalah-masalah ghaib. Rasulullah n sendiri telah melarang mendatangi para dukun.

Beliau bersabda:

مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ عَرَّافًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Barangsiapa mendatangi dukun atau paranormal, lalu membenarkan perkataannya, berarti telah kufur kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad n.”

Al-Imam Al-Khaththabi t berkata, “Bayaran untuk paranormal juga haram.” (Syarah Shahih Muslim, 6/76)

Entah berapa ratus juta atau bahkan mungkin sampai pada miliaran rupiah dana yang dihamburkan para elite politik untuk meraih tempat di parlemen, dari mulai pasang iklan, lobi, suap sana-sini sampai menyerahkan sejumlah uang kepada para dukun.

Nyata, negeri ini dipenuhi dengan para elite politik syirik. Kita memohon kepada Allah agar memberikan hidayah kepada mereka. Islam tidak pernah mengajari model politik yang seperti ini. Politik bukanlah kekuasaan dan jabatan bukanlah segala-galanya.

 

Tujuan Politik Dalam Islam

Islam adalah agama yang sempurna, hubungannya sangat erat dengan segala sisi kehidupan manusia. Islam hadir bukan hanya sekadar agama atau kepercayaan, tetapi Islam meliputi daulah (negara) dan siyasah (politik).

Untuk itu, politik di dalam Islam memiliki makna yang sangat luhur. Politik bukanlah ambisi mengejar kekuasaan, popularitas, dan jabatan yang semuanya berorientasi kepada dunia. Tujuan utama siyasah (politik) dalam Islam adalah sebagai berikut:

Pertama: menegakkan agama dan mewujudkan peribadatan (ubudiyah) kepada Allah Rabbul ‘alamin.

Ini adalah tujuan yang sangat mendasar, di mana pemerintah dan seluruh jajarannya bertanggung jawab untuk mewujudkannya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Tujuan yang utama dari sebuah pemerintahan adalah memperbaiki kondisi keagamaan seluruh rakyat. Bila mereka mengabaikannya maka akan memperoleh kerugian yang nyata. Kenikmatan yang selama ini mereka rasakan di dunia tidak akan memberi manfaat.” (Majmu’ Al-Fatawa 28/262)

Al-Imam Asy-Syaukani t mengemukakan, “Sesungguhnya yang paling penting dari ditetapkannya para pemimpin negara/wakil-wakil rakyat adalah menegakkan syiar-syiar agama, mengokohkan manusia di atas jalan yang lurus serta mencegah mereka dari berbagai pelanggaran dan pernyelisihan, baik sukarela ataupun terpaksa. Berikutnya, mengayomi kaum muslimin dalam menggapai kemaslahatan dan menghindar dari kemadharatan.”

Allah l berfirman:

“Demikianlah Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, mewahyukan kepada kamu dan kepada orang-orang yang sebelum kamu.” (Asy-Syura: 3)

Kedua: Menegakkan keadilan.

Dalam hadits riwayat Muslim t, Rasulullah n bersabda:

إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا

“Sesungguhnya para muqsithin (orang-orang yang adil) di sisi Allah, berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya, di kanan Allah k. Dan kedua tangan-Nya Allah kanan. Para muqsithin adalah mereka yang menegakkan keadilan dalam keputusan hukumnya, di tengah-tengah keluarganya dan terhadap siapa yang mereka pimpin.”

Ketiga: memperbaiki kondisi kehidupan manusia.

Yang meliputi perbaikan di bidang ekonomi, sosial, pendidikan, pengetahuan, pertahanan dan keamanan, dan lain-lain. (Fiqh Siyasah Asy-Syar’iyah, hal. 52-55)

Demikianlah dan semoga Allah l memberi taufik kita semua kepada apa yang dicintai dan diridhai-Nya.

Wal ‘ilmu indallah.