Asysyariah
Asysyariah

perbedaan antara darah haid, istihadhah, dan darah nifas

13 tahun yang lalu
baca 5 menit
Apa perbedaan antara darah haid, istihadhah, dan darah nifas?
Jawab:
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t menjawab secara panjang lebar yang kami ringkaskan sebagai berikut, “Tiga macam darah yang ditanyakan keluar dari satu jalan. Namun namanya berbeda, begitu pula hukum-hukumnya, karena perbedaan sebab keluarnya.
Adapun darah nifas sebabnya jelas, yaitu darah yang keluar dari seorang wanita karena melahirkan. Darah nifas ini merupakan sisa darah yang tertahan di dalam rahim sewaktu hamil. Bila seorang wanita telah melahirkan kandungannya, darah itu pun keluar sedikit demi sedikit. Bisa jadi waktu keluarnya lama/panjang, dan terkadang singkat. Tidak ada batasan minimal waktu nifas ini. Adapun waktu maksimalnya menurut mazhab Hambali adalah 40 hari, dan bila lebih dari 40 hari darah masih keluar sementara tidak bertepatan dengan kebiasaan datangnya waktu haid maka darah tersebut adalah darah istihadhah. Namun menurut pendapat yang shahih, tidak ada pula batasan waktu maksimal dari nifas ini.
Darah yang keluar bukan karena sebab melahirkan adalah darah haid sebagai suatu ketetapan dan sunnatullah atas seorang wanita. Di mana bila si wanita sudah dapat hamil dan melahirkan maka secara umum akan datang kepadanya haid di waktu-waktu tertentu, sesuai dengan keadaan dan kebiasaan si wanita. Bila seorang wanita hamil umumnya ia tidak mengalami haid, karena janin yang dikandungnya beroleh sari-sari makanan dengan darah yang tertahan tersebut.
Keluarnya darah haid menunjukkan sehat dan normalnya si wanita. Sebaliknya tidak keluarnya darah haid menunjukkan ketidaksehatan dan ketidaknormalan seorang wanita. Makna ini disepakati oleh ahli ilmi syar’i dan ilmu kedokteran, bahkan dimaklumi oleh pengetahuan dan kebiasaan manusia. Pengalaman mereka menunjukkan akan hal tersebut. Karena itulah ketika memberikan definisi haid, ulama berkata bahwa haid adalah darah alami yang keluar dari seorang wanita pada waktu-waktu yang dimaklumi.
Menurut pendapat yang shahih, tidak ada batasan umur minimal seorang wanita mendapatkan haid. Begitu pula batasan waktu minimal lamanya haid, sebagaimana tidak ada batasan maksimalnya. Tidak ada pula batasan minimal masa suci di antara dua haid. Bahkan yang disebut haid adalah adanya darah, dan yang disebut suci adalah tidak adanya darah. Walaupun waktunya bertambah atau berkurang, mundur ataupun maju, berdasarkan zahir nash-nash syar’i yang ada, dan zahir dari amalan kaum muslimin. Juga karena tidak melapangkan bagi wanita untuk mengamalkan selain pendapat ini.
Adapun istihadhah adalah darah yang keluar dari seorang wanita di luar kebiasaan dan kewajaran, karena sakit atau semisalnya.
Bila seorang wanita terus menerus keluar darah dari kemaluannya, tanpa berhenti, maka untuk mengetahui apakah darah tersebut darah haid ataukah darah istihadhah bisa dengan tiga cara berikut ini secara berurutan.
(1) Apabila sebelum mengalami hal tersebut ia memiliki kebiasaan (‘adah) haid maka ia kembali pada kebiasaannya (‘adah-nya). Ia teranggap haid di waktu-waktu ‘adah tersebut, adapun selebihnya berarti istihadhah. Selesai masa ‘adah-nya ia mandi dan boleh melakukan ibadah puasa dan shalat (walau darahnya terus keluar karena wanita istihadhah pada umumnya sama hukumnya dengan wanita yang suci, pent.).
(2) Bila ternyata si wanita tidak memiliki ‘adah dan darahnya bisa dibedakan, di sebagian waktu darahnya pekat/kental dan di waktu lain tipis/encer, atau di sebagian waktu darahnya berwarna hitam, di waktu lain merah, atau di sebagian waktu darahnya berbau busuk/tidak sedap dan di waktu lain tidak busuk, maka darah yang pekat/kental, berwarna hitam, dan berbau busuk itu adalah darah haid. Yang selainnya adalah darah istihadhah.
(3) Apabila si wanita tidak memiliki ‘adah dan tidak dapat membedakan darah yang keluar dari kemaluannya, maka di setiap bulannya (di masa-masa keluarnya darah) ia berhaid selama enam atau tujuh hari karena adanya hadits-hadits yang tsabit dalam hal ini. Kemudian ia mandi setelah selesai enam atau tujuh hari tersebut walaupun darahnya masih terus keluar. Sedapat mungkin ia menyumpal tempat keluarnya darah (bila darah terus mengalir) dan berwudhu setiap kali ingin menunaikan shalat.” (Al-Irsyad ila Ma’rifatil Ahkam, hal. 23-26 sebagaimana dinukil dalam Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 263-265)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Bila Kebiasaan (‘Adah) Haid Berubah-ubah

Apa yang harus dilakukan seorang wanita apabila ‘adah haidnya berubah-ubah, terkadang maju, terkadang mundur, atau terkadang bertambah dan di kali lain berkurang?
Jawab:
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t menjawab, “Menurut mazhab Hambali, wanita yang mengalami kejadian seperti itu tetap berpegang dengan kebiasaan (‘adah) haid sebelumnya. Dia tidak beralih pada ‘adah yang baru sampai ‘adah yang baru tersebut berulang1. Namun pendapat ini tidak dapat diamalkan, karena amalan manusia terus menerus berjalan di atas pendapat yang shahih yang disebutkan di dalam kitab Al-Inshaf. Tidak ada yang melapangkan bagi wanita selain mengamalkan pendapat yang shahih ini, yaitu bila seorang wanita melihat keluarnya darah haid dari kemaluannya maka ia berhenti dari mengerjakan shalat dan puasa. Bila ia melihat dirinya telah suci (darahnya tidak lagi keluar) dengan jelas, maka ia pun bersuci dengan mandi dan setelahnya boleh mengerjakan shalat. Sama saja dalam hal ini apakah ‘adahnya maju ataupun mundur. Sama saja apakah waktu haidnya bertambah (ataupun berkurang).
Misalnya, ‘adah (kebiasaan haid) si wanita lima hari namun ia melihat darahnya masih keluar sampai hari ketujuh, maka ‘adahnya sekarang beralih menjadi tujuh hari, tanpa menunggu berulangnya kejadian seperti ini pada masa haid di bulan berikutnya.
Inilah yang diamalkan oleh para wanita dari kalangan sahabat Rasulullah n, semoga Allah l meridhai mereka semuanya. Demikian pula wanita dari kalangan tabi’in. Sampaipun yang kami dapatkan dari guru-guru kami. Mereka tidaklah berfatwa kecuali dengan pendapat ini. Karena pendapat yang menyatakan seorang wanita tidak boleh beralih kepada ‘adah yang baru sampai ‘adah yang baru tersebut berulang sebanyak tiga kali merupakan pendapat yang tidak memiliki sandaran dalil, bahkan menyelisihi dalil.
Demikian pula menurut pendapat yang shahih, tidak ada batasan umur seorang wanita mengalami haid, walaupun usianya di bawah 9 tahun atau lebih dari 50 tahun. Selama si wanita melihat darah keluar, maka ia berhenti dari mengerjakan ibadah. Karena darah haid ini merupakan asal (mesti dialami oleh setiap wanita yang sehat/normal dan keluarnya rutin), sementara darah istihadhah keluarnya karena satu dan lain hal (tidak mesti keluarnya dan tidak mesti dialami oleh semua wanita).” (Al-Fatawa As-Sa’diyyah, hal. 135, 136 sebagaimana dinukil dalam Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 267)