Sebelumnya dikisahkan, di awal pertempuran, kaum muslimin sempat terdesak oleh pasukan musyrikin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berdoa kepada Allah untuk meminta pertolongan-Nya. Turunlah pasukan dari langit, yang dengan itu pasukan musyrikin porak-poranda. Termasuk Iblis yang bergabung dengan pasukan musyrikin memilih kabur dari medan pertempuran karena takut binasa. Berikut kisah lengkapnya.
Jumlah yang tidak seimbang itu ternyata tidak menyurutkan semangat para sahabat untuk terus maju menyerang musuh mereka. Akhirnya, satu demi satu tokoh-tokoh utama kaum musyrikin berjatuhan. Kekalahan mereka semakin membayang.
Bahkan Iblis yang menyertai barisan kafir Quraisy dengan menyamar sebagai Suraqah bin Malik, bangsawan Bani Kinanah, lari tunggang langgang meninggalkan medan pertempuran begitu kedua pasukan saling bertemu.
Demikian diterangkan oleh sebagian mufassir berkaitan dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala yang menceritakan hal ini,
“Dan ketika setan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan mereka dan mengatakan, ‘Tidak ada seorang manusiapun yang dapat menang terhadap kalian pada hari ini, dan sesungguhnya saya ini adalah pelindungmu.’ Maka ketika kedua pasukan itu telah dapat saling lihat melihat (berhadapan), setan itu balik ke belakang seraya berkata, ‘Sesungguhnya saya berlepas diri dari kalian; sesungguhnya saya dapat melihat apa yang kamu sekalian tidak dapat melihat; sesungguhnya saya takut kepada Allah.’ Dan Allah sangat keras siksa-Nya.” (al-Anfal: 48)
Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah menceritakan, diriwayatkan bahwa setan yang menyamar sebagai Suraqah bin Malik bin Ju’syum, dari Bani Bakr bin Kinanah yang ketika itu ditakuti Quraisy kalau-kalau menyerang dari belakang. Setelah menyamar di hadapan mereka, Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan tentang kejadian tersebut. Adh-Dhahhak berkata, “Iblis datang kepada mereka (pasukan musyrikin) pada peristiwa Badr membawa bendera dan sepasukan tentaranya. Dia memberikan keyakinan kepada mereka bahwa mereka tidak akan kalah, karena mereka berperang demi agama nenek moyang mereka.”
Ibnul Qayyim rahimahullah menceritakan (az-Zad, 3/181), “… Ketika musuh Allah subhanahu wa ta’ala itu melihat tentara Allah subhanahu wa ta’ala turun dari langit, dia melarikan diri berbalik ke belakang. Kaum musyrikin bertanya, ‘Hai Suraqah, mau ke mana? Bukankah kau sudah mengatakan bahwa kau pelindung kami, tidak akan meninggalkan kami?’
Iblis menyahut, ‘Sungguh, aku melihat apa yang tidak kalian lihat, aku takut kepada Allah, dan Allah sangat keras siksa-Nya’.”
Dia benar ketika mengatakan “Aku melihat apa yang tidak kalian lihat,” tapi dusta ketika mengatakan aku takut kepada Allah. Yang benar, dikatakan bahwa dia sebetulnya takut kalau binasa di tangan tentara Allah tersebut. Inilah yang jelas.[1]
Tewasnya Abu Jahl dan Umayyah bin Khalaf
Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
“Siapa yang melihat apa yang diperbuat Abu Jahl?” Maka berangkatlah Ibnu Mas’ud, dan ternyata dia temukan Abu Jahl telah cedera akibat pukulan dua orang putra ‘Afra’ sampai sekarat.
Ibnu Mas’ud berkata, “Apakah kau yang bernama Abu Jahl?” Kemudian dia menarik jenggotnya.
Abu Jahl berkata, “Adakah yang lebih mulia dari orang yang dibunuh oleh bangsanya sendiri? Atau kalian telah membunuhnya?”
Di bagian lain, beliau (al-Imam Al-Bukhari) meriwayatkan dari Abdurrahman bin ‘Auf radhiallahu ‘anhu,
“Sesungguhnya saya berada dalam satu barisan ketika perang Badr, ketika saya menoleh ternyata di kanan dan kiri saya ada dua orang pemuda, saya merasa cemas melihat posisi keduanya. Tiba-tiba salah satunya berkata perlahan-lahan agar tidak terdengar oleh yang lain, “Hai paman, tunjukkanlah kepadaku yang mana Abu Jahl.”
Saya bertanya, “Apa yang akan kau lakukan terhadapnya?”
Katanya, “Saya telah berjanji kepada Allah, kalau saya melihatnya, saya akan membunuhnya atau saya gugur karenanya.”
Yang lain berkata pula lebih perlahan dari temannya agar tidak terdengar oleh yang lain seperti itu juga. ‘Abdurrahman berkata, “Tidak ada yang menyenangkan aku berada di antara dua orang pemuda seperti ini, maka saya tunjukkan kepada mereka.” Lalu keduanya segera menyerang Abu Jahl bagaikan sepasang rajawali menyambar, hingga keduanya berhasil melumpuhkannya. Keduanya adalah putra ‘Afra’.”
Adapun Umayyah, salah seorang gembong Quraisy yang sangat hebat permusuhan dan penyiksaannya terhadap kaum muslimin, tewas di tangan Bilal bin Rabah, bekas budaknya bersama beberapa sahabat Anshar. al-Imam Al-Bukhari rahimahullah menceritakan hal ini dalam Shahih-nya dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiallahu ‘anhu,
“Saya pernah membuat kesepakatan dengan Umayyah bin Khalaf agar dia menjaga shaghiyah[2] saya di Makkah dan saya menjaga shaghiyah-nya di Madinah. Ketika aku menyebut Ar-Rahman, dia berkata, ‘Aku tidak mengenal Ar-Rahman. Buatlah perjanjian dengan namamu di waktu jahiliah (sebelum Islam).’ Sayapun menuliskan nama Abd ‘Amr.
Pada waktu peristiwa Badr saya naik ke sebuah bukit untuk menjaganya ketika orang-orang sedang tidur. Ternyata Bilal melihatnya, dan dia pun keluar sampai berhenti di sebuah majelis orang-orang Anshar, seraya berkata, ‘(Itu) Umayyah bin Khalaf. Saya tidak selamat kalau dia selamat.’
Maka keluarlah bersamanya sekelompok sahabat Anshar mengejar kami. Ketika saya merasa takut mereka menyusul kami, saya tinggalkan anak Umayyah agar mereka sibuk dengannya, tetapi mereka berhasil membunuhnya. Mereka tidak berhenti mengejar. Hingga akhirnya berhasil menyusul kami. Sementara Umayyah laki-laki yang gemuk dan lamban maka saya berkata kepadanya: ‘Tiaraplah.’ Kemudian saya jatuhkan tubuh saya di atas tubuhnya untuk mencegah mereka menyerang Umayyah. Tetapi mereka tetap mencari celah di bawah tubuhku sehingga berhasil menusukkan pedangnya dan membunuh Umayyah. Bahkan salah seorang ternyata melukai kakiku.” Kata (rawi): Dan ‘Abdurrahman memperlihatkan bekasnya kepada kami.”
Lebih lanjut Ibnul Qayyim rahimahullah mengisahkan, pada waktu itu terjadi berbagai keajaiban sebagai tanda nubuwwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pedang ‘Ukasyah bin Mihshan putus, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ganti dengan sebatang kayu: “Ambillah ini!”
Setelah berada dalam genggamannya, dia menggerakkannya dan berubah menjadi sebilah pedang putih yang sangat tajam dan terus menyertainya dalam setiap peperangan sampai dia syahid pada waktu menumpas orang-orang murtad pada masa pemerintahan Abu Bakr ash-Shiddiq. Kisah ini dinukil dari Sirah Ibnu Ishaq tanpa sanad, demikian diterangkan oleh muhaqqiq Zadul Ma’ad.
Setelah pertempuran berhenti, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar melemparkan sekitar duapuluh empat bangkai pentolan kaum musyrikin ke dalam beberapa sumur Badr. Beliau tinggal di sana selama tiga hari.
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan hal ini dalam Shahihnya, dari Anas dari Abu Thalhah:
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil nama mereka dan nama bapak mereka: Hai Fulan bin Fulan, hai Fulan bin Fulan, bukankah menyenangkan kalian (kalau) kalian taat kepada Allah dan Rasul-Nya? Sesungguhnya kami telah melihat bahwa apa yang dijanjikan kepada kami oleh Rabb kami adalah benar. Apakah kalian telah mendapatkan apa yang dijanjikan oleh Rabb kalian juga benar?”
‘Umar berkata, “Ya Rasulullah, anda tidaklah mengajak bicara kecuali bangkai yang telah tidak bernyawa lagi.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Demi Dzat Yang jiwaku di Tangan-Nya. Kamu tidaklah lebih mendengar apa yang saya katakan dibandingkan mereka.”
Kata Qatadah (perawi): “Allah subhanahu wa ta’ala menghidupkan mereka sehingga mendengar apa yang diucapkan beliau sebagai penghinaan, pelecehan dan hukuman terhadap mereka, serta penyesalan.”
Keutamaan Syuhada Badr
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat kembali dengan kemenangan membawa tujuh puluh tawanan berikut sejumlah harta rampasan perang. Setibanya di Shafra’, harta dibagi-bagikan, An-Nadhr bin Al-Harits bin Kaladah dihukum penggal. Setelah tiba di Al-’Irqi Azh-Zhabyah, leher ‘Uqbah bin Abi Mu’aith pun ditebas.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke Madinah dengan kekuatan dan kemenangan yang menimbulkan rasa takut pada diri musuh-musuh beliau yang ada di Madinah dan sekitarnya. Akhirnya sejumlah suku di sekitar Madinah masuk Islam dan pada masa itu pula Abdullah bin Ubai bin Salul, gembong munafik Madinah, menampakakkan diri masuk Islam.
Kaum muslimin yang ikut dalam perang Badr ini sekitar 317 orang, terdiri dari Muhajirin 86 orang, dari Aus 61 orang dan Khazraj 170. Adapun yang gugur sebagai syuhada’ sekitar 14 orang, 6 dari Muhajirin dan 6 dari Khazraj dan 2 dari Aus.
Berikut ini, kami nukilkan dua hadits yang menerangkan sebagian keutamaan sahabat yang ikut perang Badr.
Haritsah gugur pada peristiwa Badr, sedangkan dia adalah seorang pemuda. Datanglah ibunya menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Ya Rasulullah, anda tahu bagaimana kedudukan Haritsah di sisiku. Kalau dia di jannah, aku akan bersabar dan mengharap pahala. Kalau dia dapatkan yang lain, anda akan lihat apa yang kulakukan.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Celaka kamu, apakah kamu meratapi kematian anakmu, atau kamu anggap jannah itu satu? Jannah itu beberapa tingkat dan putramu di Jannah Firdaus.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus saya, Abu Martsad al-Ghanawi dan az-Zubair bin al-‘Awwam, dan kami semua berkuda. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Pergilah sampai ke Raudhatu Khakh, di sana ada seorang wanita musyrik membawa sepucuk surat dari Hathib bin Abi Balta’ah untuk kaum musyrikin.” Maka kami pun menemukan wanita itu mengendarai untanya seperti yang dikatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu kami berkata, “Keluarkan surat itu.”
Wanita itu menjawab, “Tidak ada surat pada kami.” Lalu kami menyingkirkannya dan mulai mencari namun tidak menemukan apa-apa. Kami berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berdusta. Kau keluarkan surat itu atau kami telanjangi kau.”
Melihat keseriusan kami, wanita itu mengeluarkan sesuatu dari ikat pinggangnya, tersembunyi dalam sebuah kantung kemudian dia menyerahkan surat itu kepada kami.
Lalu kami pun berangkat membawa surat itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba ‘Umar berkata, “Ya Rasulullah, dia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya, biarkan aku tebas lehernya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Ya Hathib, apa yang mendorongmu berbuat seperti ini?”
“Ya Rasulullah, bukan apa-apa. Aku tetaplah seorang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak mengubah agamaku apalagi menukarnya (dengan apa pun). Saya hanya ingin sedikit punya andil terhadap orang Quraisy, yang dengan itu Allah menyelamatkan keluarga dan hartaku. Karena tidak seorang pun sahabatmu melainkan mereka masih punya kerabat yang Allah lindungi dengan kerabat itu keluarga dan hartanya.”
“Dia benar. Jangan kalian berkata apa pun kepadanya kecuali yang baik,” kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. ‘Umar bin al-Khaththab berkata, “Dia sudah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya serta kaum mukminin. Jadi biarkan saya tebas lehernya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Bukankah dia termasuk orang yang ikut perang Badr? Mudah-mudahan Allah telah mengetahui perihal mereka yang ikut perang Badr dan berkata, ‘Berbuatlah apa yang kalian kehendaki, sungguh Aku telah memastikan jannah bagi kalian atau Aku telah mengampuni kalian.’ Mendengar hal ini mengalirlah air mata ‘Umar dan dia berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”
Inilah sebagian hadits yang menerangkan keutamaan sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga tidak ada yang pantas bagi orang yang menjatuhkan kehormatan para sahabat kecuali permusuhan dan kebencian serta kutukan, sampai orang tersebut bertaubat kepada Allah dan mendoakan agar para sahabat dirahmati Allah subhanahu wa ta’ala.
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar
[1] Tafsir Ibnu Katsir, 2/386
[2] Harta benda dan keluarga yang khusus. Wallahu a’lam.