Asysyariah
Asysyariah

perang badr kubra (1)

4 tahun yang lalu
baca 11 menit
Perang Badr Kubra (1)

Perang Badr adalah peperangan besar pertama yang dihadapi kaum muslimin menghadapi orang-orang kafir Qurays. Rasulullah dan para sahabatnya mempersiapkan segala sesuatunya sebaik mungkin, termasuk strategi perang yang akan digunakan. Dalam peristiwa ini semakin terlihat kebenaran iman para sahabat kepada Allah dan Rasul-Nya.

Sebab-Sebab Pertempuran

Pada bulan Ramadhan tahun 2 Hijriah, sampai berita kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa kafilah dagang orang-orang kafir Quraisy bertolak dari negeri Syam. Kafilah itu dipimpin oleh Abu Sufyan bersama sekitar empat puluh orang laki-laki. Kafilah tersebut membawa harta benda hartawan Quraisy yang cukup besar. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengajak kaum muslimin untuk berangkat mencegat kafilah tersebut.

Berangkatlah sekitar tiga ratus orang lebih menyertai Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Pasukan ini terdiri dari 2 ekor kuda milik Zubair bin al-‘Awwam dan Miqdad bin al-Aswad al-Kindi dan 70 ekor unta yang dikendarai oleh dua atau tiga orang secara bergantian. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sendiri mengendarai unta bersama Ali dan Martsad bin Abil Martsad al-Ghanawi.

Ibnu Mas’ud meriwayatkan sebagai berikut.

Pada peristiwa Badr, kami setiap tiga orang bergantian mengendarai seekor unta. Abu Lubabah dan Ali bin Abi Thalib bergantian dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Pada keadaan mereka ini, keduanya berkata kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Kami berjalan kaki saja (Engkau saja yang mengendarainya).”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengatakan,

مَا أَنْتُمَا بِأَقْوَى مِنِّي وَلَا أَنَا بِأَغْنَى عَنِ الْأَجْرِ مِنْكُمَا

“Kalian berdua tidaklah lebih kuat daripada saya. Saya juga tidaklah merasa lebih cukup pahalanya dari kalian berdua.” (HR. Ahmad, dinilai sahih oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi)

Abu Bakr, Umar dan Abdurrahman bin Auf bergantian pula.

Sementara itu, di Madinah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengangkat Ibnu Ummi Maktum untuk menjadi imam shalat menggantikan beliau. Sesampainya di Rauha (sekitar 40 mil dari Madinah) beliau mengangkat Lubabah bin Abdil Mundzir memimpin kota Madinah. Bendera beliau serahkan kepada Mush’ab bin Umair, yang lain kepada Ali dan Sa’d bin Mu’adz radhiyallahu anhum.

Ketika Abu Sufyan dan kafilah dagang Quraisy mendekati daerah Hijaz (sekarang Madinah dan Makkah serta sekitarnya), dia mengirim mata-mata untuk mencari berita. Akhirnya mereka mendapat kabar bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengerahkan kaum muslimin untuk menghadang kafilah dagang Quraisy yang baru pulang dari Syam. Mendengar hal ini, Abu Sufyan segera mengutus Dhamdham bin Amr al-Ghifari ke Makkah agar memberitahukan orang-orang supaya bersiap-siap membela kafilah dagang mereka.

Mimpi Atikah Binti Abdil Muththalib

Ibnu Ishaq menceritakan bahwa tiga hari sebelum Dhamdham tiba di Makkah, Atikah binti Abdil Muththalib bermimpi sangat mengerikan. Seolah-olah dia melihat kebinasaan bangsa Quraisy. Berita mimpi itu terdengar oleh masyarakat Quraisy. Mereka semakin memojokkan Bani Abdil Muththalib, bahkan para wanitanya demikian juga. Kata mereka, “Wahai Bani Abdil Muththalib, apa masih kurang ada laki-laki yang mengaku nabi di kalangan kalian, sekarang yang perempuan juga mengaku nabi?”

Abbas bertanya, “Apa persoalannya?”

Abu Jahal ketika itu mengatakan, “Mimpi yang dilihat Atikah. Kalau mimpi itu dusta, kami akan buat satu ketetapan bahwa kalian Bani Abdil Muththalib adalah keluarga yang paling hebat kedustaannya.”

Ternyata, tiga hari kemudian datanglah Dhamdham. Dia berteriak di atas untanya yang telah dilukai sebagian tubuhnya, merobek bajunya, “Wahai bangsa Quraisy, celaka. Harta benda kalian yang ada bersama Abu Sufyan dihadang oleh Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Selamatkanlah!”

Mereka dengan segera bersiap-siap. Kalaupun ada yang tidak ikut, dia mewakilkan kepada orang lain. Masyarakat Quraisy menganggap aib jika ada pembesar atau pemuka mereka yang tertinggal. Akhirnya tidak ada yang tertinggal di kalangan mereka kecuali Abu Lahab karena dia mewakilkan kepada Al-Ash bin Hasyim bin al-Mughirah.

Mulanya Umayyah bin Khalaf ingin tinggal bersama beberapa orang. Akan tetapi, datanglah Uqbah bin Abi Mu’ith membawa pedupaan. Dia berkata, “Wahai Abu Ali (kuniah Umayyah), silakan gunakan pedupaan ini karena kamu adalah perempuan.”

Umayyah dengan berang membentak, “Semoga Allah memburukkan mukamu dan memburukkan apa yang kau bawa.” Akhirnya dia pun berangkat.

Rasulullah Mempersiapkan Pasukan

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mulai bergerak. Setibanya di satu tempat, beliau mengirim Bisbas bin Amr dan Abu Zaghba` mencari berita tentang Abu Sufyan dan kafilah Quraisy. Mereka tiba di Badr dan mendengar berita bahwa esok hari kafilah akan tiba di Badr. Kemudian mereka sampaikan berita itu kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Abu Sufyan tiba di daerah tersebut. Ketika dilaporkan ada dua orang yang tiba di sana, Abu Sufyan minta diambilkan sebagian kotoran hewan mereka. Ketika dilihatnya ada biji-biji kurma, dia segera tahu bahwa mereka dari Madinah dan tentunya sedang mencari berita tentang keadaannya. Serta merta dia bangkit dan membelokkan arah kendaraannya menjauh dari daerah Badr.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun tiba di Badr. Beliau mendengar berita bahwa orang-orang Quraisy telah menyiapkan pasukan mnghadapi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan kaum muslimin demi membela harta benda mereka. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengajak para sahabatnya bermusyawarah.

Abu Bakr dan Umar mulai mengeluarkan pendapat mereka dengan baik. Kemudian Miqdad mulai berbicara,

“Wahai Rasulullah, agaknya kami yang engkau maksudkan. Berangkatlah menurut apa yang diperlihatkan Allah kepadamu. Kami akan bersamamu. Kami tidak akan berkata seperti orang-orang Bani Israil berkata kepada Musa alaihissalam, ‘Pergilah engkau bersama Rabbmu, biar kami duduk menunggu di sini.’

Berangkatlah engkau dan Rabbmu berperang. Kami akan bersama engkau berperang di sebelah kanan dan kirimu, di belakang dan di depanmu. Demi Dzat Yang mengutusmu membawa al-haq, seandainya engkau membawa kami sampai ke Barkil Ghamad, niscaya kami tetap bersamamu.”

Beliau hanya mengatakan (sesuatu yang) baik dan berdoa untuknya. Kemudian beliau masih meminta buah pikiran para sahabatnya, “Wahai manusia, keluarkanlah pendapat kalian.”

Yang beliau maksud adalah orang-orang Anshar karena mereka telah berjanji dan bersumpah setia kepada beliau di Aqabah. Beliau khawatir mereka hanya akan membelanya di tempat tinggal mereka (Madinah), sebagaimana janji dan sumpah mereka.

Baca juga:

Kisah Baiat Aqabah

Melihat hal ini, Sa’d bin Mu’adz menegaskan, “Demi Allah, seakan-akan engkau maksudkan kami, wahai Rasulullah?”

“Betul,” kata beliau.

“Kami telah beriman dan membenarkan engkau. Telah kami saksikan bahwa apa yang engkau bawa adalah haq. Untuk itu kami telah serahkan janji dan sumpah setia kami kepadamu agar tetap mendengar dan menaatimu. Karena itu, berangkatlah, wahai Rasulullah, menuju apa yang Anda mau, niscaya kami tetap bersamamu. Demi Dzat Yang mengutusmu membawa al-haq, andaikata Anda membawa kami menyelami lautan, niscaya kami akan menyelam bersamamu. Tidak akan ada seorang pun tertinggal di antara kami. Kami tidak benci bertemu musuh esok hari. Kami adalah orang-orang yang jujur dan tabah dalam peperangan. Semoga Allah memperlihatkan kepadamu apa yang menyenangkan hatimu dari kami. Berangkatlah dengan berkah Allah, wahai Rasulullah.”

Mendengar ucapan Sa’d ini, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sangat gembira dan bersemangat. Beliau berkata, “Gembiralah kalian. Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadaku salah satu dari dua kelompok itu (pasukan Quraisy atau kafilah dagang). Demi Allah, seolah-olah saya melihat tempat kematian mereka.”

Demikian diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq. Riwayat ini mempunyai beberapa syawahid (penguat), di antaranya yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari.

Akhirnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersama para sahabat meneruskan perjalanan sampai di Badr.

Setiba di Badr, pasukan muslimin menangkap pencari air bagi orang-orang Quraisy dan memaksanya memberitahukan di mana Abu Sufyan dan rombongan. Sementara itu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sedang shalat. Kalau dia ditanya di mana Abu Sufyan, dia menjawab, “Tidak tahu, tetapi ini ada Abu Jahl bersama pasukan Quraisy.”

Ketika menerangkan hal itu dia dipukuli. Tatkala dipukuli dia justru mengatakan, “Ya, ini Abu Sufyan.”

Setelah selesai, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mendekati dan berkata kepada para sahabatnya, “Kalau dia jujur, kalian pukuli. Kalau dia berdusta, kalian lepaskan dia.”

Kemudian beliau menyebutkan satu per satu tempat terbunuhnya si Fulan, si Fulan, dan beberapa tokoh Quraisy lainnya (dan semua terbukti). Seperti ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dari jalan Abu Bakr dari Affan.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menegaskan bahwa budak tersebut memang dari rombongan Quraisy. Kemudian beliau bertanya tentang jumlah pasukan. Budak tersebut mengatakan tidak tahu pasti.

Beliau lalu bertanya jumlah unta yang mereka sembelih setiap hari. Budak itu menjawab sembilan sampai sepuluh ekor. Berdasarkan keterangan ini Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memperkirakan bahwa jumlah pasukan Quraisy antara 900 sampai 1.000 orang.

Setelah itu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menanyakan pula siapa saja tokoh Quraisy yang ikut dalam pasukan tersebut. Budak itu menyebutkan beberapa nama, di antaranya Abul Bakhtari bin Hisyam, Hakim bin Hizam, Umayyah bin Khalaf, Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, dan Abu Jahl.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam segera mengatakan, “Gembiralah kalian. Inilah Makkah telah menyodorkan jantung hatinya kepada kalian.”

Kafilah Abu Sufyan Selamat

Setelah melihat rombongan kafilah yang dipimpinnya selamat dari kejaran Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya, Abu Sufyan mengutus orang untuk menyampaikan kepada pasukan Quraisy yang dipimpin oleh Abu Jahl agar kembali saja ke Makkah.

Akan tetapi, Abu Jahl dengan kesombongannya menolak dan berkata, “Demi Allah, kita tidak akan kembali sampai tiba di Badr. Kita akan tinggal di sana tiga hari, menyembelih ternak yang kita bawa, makan dan minum khamr serta dihibur oleh para biduan kita. Agar orang-orang Arab tahu keadaan kita dan tetap gentar kepada kita.”

Ternyata, tidak semua rombongan setuju. Di antara Bani Zuhrah ada yang menukas, “Hai Bani Zuhrah. Harta kalian sudah diselamatkan oleh Allah. Tidak ada lagi kepentingan kalian di sini, maka pulanglah.” Akhirnya, tidak ada seorang pun dari Bani Zuhrah yang ikut dalam pasukan tersebut.

Sebetulnya, tidak pula semua kabilah Quraisy ikut serta dalam rombongan itu. Bani Adi (kabilah Umar) sama sekali tidak ada yang ikut serta dalam pasukan yang dipimpin oleh Abu Jahl itu.

Ibnu Ishaq menceritakan bahwa pasukan yang dipimpin Abu Jahl kemudian melanjutkan perjalanannya sampai di pinggir lembah yang jauh di belakang ‘Aqanqal, sedangkan perut lembah dengan sumur Badr berada di pinggir terdekat dengan Madinah.

Kata Ibnu Katsir, sehubungan dengan hal ini, Allah berfirman,

إِذۡ أَنتُم بِٱلۡعُدۡوَةِ ٱلدُّنۡيَا وَهُم بِٱلۡعُدۡوَةِ ٱلۡقُصۡوَىٰ وَٱلرَّكۡبُ أَسۡفَلَ مِنكُمۡۚ

“(Yaitu di hari) ketika kamu berada di pinggir lembah yang dekat dan mereka berada di pinggir lembah yang jauh, sedangkan kafilah itu berada di bawah kamu….”

Yakni, di sebelah pantai. Firman Allah selanjutnya,

وَلَوۡ تَوَاعَدتُّمۡ لَٱخۡتَلَفۡتُمۡ فِي ٱلۡمِيعَٰدِ وَلَٰكِن لِّيَقۡضِيَ ٱللَّهُ أَمۡرًا كَانَ مَفۡعُولًا لِّيَهۡلِكَ مَنۡ هَلَكَ عَنۢ بَيِّنَةٍ وَيَحۡيَىٰ مَنۡ حَيَّ عَنۢ بَيِّنَةٍۗ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَسَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Sekiranya kamu mengadakan persetujuan (untuk menentukan hari pertempuran), pastilah kamu tidak sependapat dalam menentukan hari pertempuran itu, akan tetapi (Allah mempertemukan dua pasukan itu) agar Dia melakukan suatu urusan yang mesti dilaksanakan, yaitu agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula). Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Anfal: 42)

Kemudian Allah menurunkan hujan membasahi bumi di bawah tapak kaki Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat. Tanah pun mengeras dan memantapkan mereka untuk bergerak. Sementara itu, orang-orang Quraisy yang ditimpa hujan justru gerak mereka terhambat.

Tentang hal ini, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِذۡ يُغَشِّيكُمُ ٱلنُّعَاسَ أَمَنَةً مِّنۡهُ وَيُنَزِّلُ عَلَيۡكُم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءً لِّيُطَهِّرَكُم بِهِۦ وَيُذۡهِبَ عَنكُمۡ رِجۡزَ ٱلشَّيۡطَٰنِ وَلِيَرۡبِطَ عَلَىٰ قُلُوبِكُمۡ وَيُثَبِّتَ بِهِ ٱلۡأَقۡدَامَ

“(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman dari-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan setan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya telapak kaki (mu).” (al-Anfal: 11)

Dalam ayat ini, Allah tegaskan bahwa Dia menyucikan mereka lahir batin, memantapkan kedudukan mereka, membangkitkan keberanian dalam hati mereka, dan melenyapkan waswas serta rasa takut yang dihembuskan oleh setan.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mulai bergerak mendahului orang-orang Quraisy dan tiba di daerah yang terdekat dengan air di Badr. Ibnu Ishaq menceritakan, bahwa Hubab bin Mundzir bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, apakah tempat ini adalah tempat yang ditentukan oleh Allah untuk engkau,  sehingga kami tidak boleh membantahnya? Atau ini hanya sekadar taktik dan strategi perang?”

Kata beliau, “Bukan. Ini hanya sekadar taktik dan strategi perang.”

Katanya lagi, “Kalau begitu, ini bukan strategi yang tepat. Bawalah pasukan ini ke tempat air yang lebih dekat dengan mereka. Kemudian kita timbun sumur-sumur yang ada di belakangnya. Lalu kita buat tempat-tempat air sendiri dan kita isi penuh dengan air. Kita akan mempunyai bekal air untuk minum, sedangkan mereka tidak.”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memuji usul tersebut. Mereka pun beranjak ke tempat yang ditentukan.

Ibnu Ishaq menceritakan pula bahwa Sa’d bin Mu’adz mengusulkan,

“Wahai Rasulullah, bagaimana kalau kami buatkan tenda untukmu dan kami siapkan kendaraan. Kalau Allah muliakan kita dan memenangkan kita atas mereka, itulah yang kita harapkan. Kalau tidak, biar Rasulullah menyusul orang-orang yang tertinggal. Tidaklah kami merasa lebih hebat mencintaimu daripada mereka. Mereka tertinggal karena mereka menyangka bahwa engkau akan menghadang kafilah dagang, bukan untuk bertempur. Seandainya mereka tahu engkau akan bertempur, niscaya mereka tidak akan tertinggal.”

Ikuti kelanjutan kisahnya:

Perang Badr Kubra (2)

Ditulis oleh Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar

Sumber Tulisan:
Perang Badr Kubra (1)