Tikaman dan pengkhianatan Yahudi yang dirasakan oleh kaum muslimin saat terkepung pasukan sekutu musyrikin, tak pelak menyulut api peperangan kembali. Untuk kesekian kalinya, kaum muslimin mengangkat pedang guna menumpas ‘duri dalam daging’ yang selama ini hidup damai dan tinggal dalam naungan serta lindungan Islam.
Beliau salah seorang tokoh sahabat Anshar yang terkemuka dan disegani. Saad bin Muadz termasuk orang yang bersegera beriman sebelum Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat hijrah ke Madinah. Beliau selalu menyertai peperangan bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Yang terakhir adalah peristiwa Khandaq dan menumpas Bani Quraizhah yang berkhianat.
Ibnu Ishaq meriwayatkan dalam Sirah-nya dari Aisyah radhiallahu anha yang ketika itu berada dalam benteng Bani Haritsah, salah satu benteng kota Madinah. Waktu itu, ibu Saad bin Muadz radhiallahu anhu juga berada dalam benteng tersebut. Kata beliau, “Ketika itu sebelum diwajibkan hijab, Saad yang mengenakan baju besi melewati kami. Baju besi itu tidak menutupi seluruh lengannya. Saad berjalan menggenggam sebilah tombak.”
Sebagaimana diceritakan, antara kaum muslimin dan orang-orang musyrikin hanya terjadi saling lempar dengan panah dan batu. Aisyah berkata kepada ibu Saad bin Muadz, “Demi Allah, saya ingin kalau bisa baju besi Saad lebih menutupi lagi. Saya khawatir dia terkena tembakan panah.”
Terjadilah apa yang dikehendaki Allah subhanahu wa ta’ala. Saad terkena sebatang panah yang dilepaskan oleh Ibnul Araqah. Seusai melepaskan panahnya yang lantas mengenai Saad, dia berkata, “Makanlah olehmu, itu dari Ibnul Araqah.”
Saad membalas, “Semoga Allah benamkan wajahmu di neraka. Ya Allah, seandainya masih Engkau sisakan peperangan antara kami dan (kafir) Quraisy, panjangkan umurku. Sebab, tidak ada kaum yang paling senang aku perangi daripada mereka yang telah menyakiti dan mengusir Rasul-Mu. Jika Engkau menghentikan peperangan antara kami dan mereka, jadikanlah aku sebagai syuhada. Jangan Engkau matikan aku sampai Engkau senangkan aku dengan (membalas) Bani Quraizhah.”
Saad terluka cukup parah dan dirawat di dalam sebuah tenda di Masjid Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Ternyata doa Saad dikabulkan oleh Allah azza wa jalla. Setelah kaum muslimin mendengar seruan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, bersiaplah mereka menuju perkampungan Bani Quraizhah.
Imam al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda pada Perang Ahzab,
لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ. فَأَدْرَكَ بَعْضُهُمْ الْعَصْرَ فِي الطَّرِيقِ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَا نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا. وَقَالَ بَعْضُهُمْ: بَلْ نُصَلِّي، لَمْ يُرِدْ مِنَّا ذَلِكَ. فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ
“Janganlah ada seorang pun yang shalat Asar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” Di antara mereka ada yang mendapati waktu Asar di tengah jalan. Sebagian mereka berkata, “Kita tidak shalat sampai tiba di sana.” Yang lain mengatakan, “Kita shalat saat ini juga. Bukan itu yang beliau inginkan dari kita.” Kemudian hal itu disampaikan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, tetapi beliau tidak mencela salah satunya.
Baca juga: Waktu-Waktu Shalat
Setelah menerangkan sebagian isi hadits ini, Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah (dalam Fathul Bari) mengatakan,
“Kesimpulan dari kisah ini ialah bahwa para sahabat ada yang memahami larangan ini berdasarkan hakikatnya. Mereka tidak memedulikan habisnya waktu sebagai penguat larangan yang kedua terhadap larangan pertama, yaitu menunda shalat sampai akhir waktunya. Mereka menjadikan hadits ini sebagai dalil bolehnya menunda waktu shalat karena disibukkan oleh peperangan, sama halnya dengan kejadian pada masa itu, dalam peristiwa Khandaq. Telah disebutkan juga dalam hadits Jabir radhiallahu anhu bahwa mereka shalat Asar setelah matahari terbenam karena sibuk berperang …
Yang lain memahaminya sebagai kiasan untuk mendorong mereka agar bersegera menuju Bani Quraizhah.
Dari hadits ini, jumhur ulama mengambil kesimpulan bahwa tidak ada dosa atas mereka yang sudah berijtihad. Sebab, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak mencela salah satu dari dua kelompok sahabat tersebut.”
Baca juga: Perselisihan dan Adabnya
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan (Zadul Ma’ad, 3/131), “Ahli fikih berselisih pendapat, mana dari kedua kelompok ini yang benar. Satu kelompok menyatakan bahwa yang benar adalah mereka yang menundanya. Seandainya kita bersama mereka tentulah kita tunda seperti mereka menundanya. Kita tidak mengerjakannya kecuali di perkampungan Bani Quraizhah karena mengikuti perintah beliau sekaligus meninggalkan takwilan yang bertentangan dengan zahir hadits tersebut.
Yang lain mengatakan bahwa yang benar adalah yang melakukan shalat di jalan, pada waktunya. Mereka memperoleh dua keutamaan; bersegera mengerjakan perintah untuk berangkat menuju Bani Quraizhah dan segera menuju keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala dengan mendirikan shalat pada waktunya lalu menyusul rombongan. Mereka mendapatkan dua keutamaan; keutamaan jihad dan shalat pada waktunya …
Adapun mereka yang mengakhirkan shalat Asar, paling mungkin adalah mereka uzur, bahkan menerima satu pahala karena bersandar kepada zahir dalil tersebut. Niat mereka hanyalah menjalankan perintah. Akan tetapi, untuk dikatakan bahwa mereka benar, sementara yang segera mengerjakan shalat dan berangkat jihad adalah salah, adalah tidak mungkin. Mereka yang shalat di jalan berarti mengumpulkan dua dalil. Mereka memperoleh dua keutamaan sehingga menerima dua pahala. Yang lain juga menerima pahala, radhiallahu anhum.”
Wallahu a’lam.
Baca juga: Kedudukan Para Sahabat di Sisi Allah dan Rasul-Nya serta Kaum Mukminin
Kemudian, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyerahkan bendera perang kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu. Beliau juga mengangkat Ibnu Ummi Maktum radhiallahu anhu sebagai pengganti beliau di Madinah.
Akhirnya, pasukan muslimin tiba di perbentengan Bani Quraizhah.
Ibnu Katsir rahimahullah menceritakan, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabatnya, apakah ada seseorang yang melewati mereka. Para sahabat menjawab bahwa yang melewati mereka adalah Dihyah al-Kalbi. Beliau pun mengatakan bahwa itu adalah Jibril yang menuju perkampungan Bani Quraizhah untuk menggoncang bumi yang mereka pijak dan melemparkan rasa takut ke dalam hati mereka. (as-Sirah, 3/226)
Akhirnya, kaum muslimin mengepung kompleks benteng tersebut selama 25 malam. Setelah sekian lama pengepungan dan merasakan tekanan, pemimpin Bani Quraizhah, Kaab bin Asad, berbicara kepada orang-orang Yahudi tersebut menawarkan tiga hal; (1) mereka masuk Islam dan beriman kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, atau (2) membunuh anak cucu mereka, lalu menyerang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan kaum muslimin sampai menang atau mati; atau (3) mereka langsung menyerang pada hari Sabtu karena mereka merasa aman untuk berperang pada hari itu.
Akan tetapi, ketiga tawaran itu tidak satu pun yang mereka terima. Akhirnya, mereka meminta agar Abu Lubabah diizinkan masuk menemui mereka untuk bermusyawarah. Begitu melihatnya, mereka semua menangis di hadapan Abu Lubabah. Kata mereka, “Wahai Abu Lubabah, apakah kami harus tunduk dengan keputusan Muhammad (shallallahu alaihi wa sallam)?”
Abu Lubabah menjawab, “Ya.” Lalu, dia mengisyaratkan tangannya ke leher, yakni disembelih.
Baca juga: Agungkan Sunnah, Penuhi Seruan Rasulullah
Akan tetapi, Abu Lubabah segera sadar bahwa dia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Dia pun berlalu dari situ dan tidak datang menemui Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sampai tiba di masjid Nabi di Madinah. Setelah itu, dia mengikat dirinya di salah satu tiang masjid dan bersumpah tidak akan melepasnya kecuali Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sendiri yang membebaskannya dengan tangan beliau. Beliau juga bersumpah tidak akan pernah lagi memasuki kampung Bani Quraizhah selama-lamanya.
Berita itu pun sampai kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Beliau bertanya-tanya, mengapa Abu Lubabah terlambat menemui beliau. Setelah mendengar kisahnya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengatakan bahwa kalau dia datang menemui beliau, tentulah akan dimintakan ampun untuknya. Akan tetapi, karena dia telah melakukan seperti itu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membiarkannya sampai Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan keputusan tentang tobatnya.
Allah subhanahu wa ta’ala pun menerima tobat Abu Lubabah. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sendiri yang melepaskannya.
Setelah berjalan beberapa hari dan semakin tertekan, akhirnya orang-orang Yahudi harus tunduk menerima keputusan hukum Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Baca juga: Yahudi dan Nasrani adalah Orang-Orang Kafir
Beberapa tokoh Aus datang menemui Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam seraya mengatakan, “Wahai Rasulullah, Anda sudah memutuskan perkara Bani Qainuqa’ sebagaimana Anda ketahui. Mereka adalah sekutu saudara kami dari Khazraj. Adapun mereka ini (Bani Quraizhah) adalah mawali (sekutu kami), maka berbuat baiklah terhadap mereka.”
Beliau pun menjawab, “Tidakkah kalian ridha kalau yang memutuskan perkara mereka ini adalah salah seorang dari kalangan kalian sendiri?”
Mereka berkata, “Tentu.”
Kata beliau pula, “Itu adalah hak Saad bin Muadz.”
Kata mereka, “Kami ridha.”
Setelah itu, mereka menemui Saad yang ketika itu masih di Madinah karena luka panah yang dideritanya.
Saad kemudian dinaikkan ke atas seekor keledai untuk pergi menghadap Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Mulailah tokoh-tokoh Aus membujuknya, “Wahai Saad, berbuat baiklah kepada mawali-mu. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah mengangkatmu sebagai hakim tentang urusan mereka, maka berbuat baiklah kepada mereka.”
Saad tetap diam dan tidak menanggapi perkataan mereka. Setelah mereka terus-menerus membujuknya, dia berkata, “Sungguh, sudah tiba waktunya bagi Saad untuk tidak takut celaan para pencela di jalan Allah subhanahu wa ta’ala.”
Mendengar jawaban Saad ini, sebagian mereka segera kembali ke Madinah lalu meratapi orang-orang Yahudi (akan nasib mereka).
Baca juga: Seperti Menggenggam Bara Api
Setelah Saad tiba di hadapan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, beliau berkata kepada para sahabat,
قُومُوا إِلَى سَيِّدِكُمْ
“Berdirilah kepada sayyid (pemimpin) kalian.” (HR. al-Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud)
Setelah mereka menurunkan Saad dari atas keledai, mereka pun berkata, “Wahai Saad, sesungguhnya orang-orang ini tunduk kepada keputusanmu.” Saad balik bertanya, “Apakah keputusan hukumku berlaku atas orang-orang ini?”
Mereka (Aus) mengatakan, “Ya.”
Saad berkata pula, “Juga atas kaum muslimin?”
Mereka menjawab, “Ya.”
“Juga atas beliau yang ada di sini?” kata Saad pula sambil menghadapkan wajahnya memberi isyarat ke arah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebagai bentuk pemuliaan dan penghormatan kepada beliau.
Mereka pun menjawab, “Ya.”
Kata Saad pula, “Juga atas diriku?”
Lalu, Saad mengatakan, “Saya putuskan bahwa yang laki-laki, semuanya dibunuh, anak cucu mereka dijadikan tawanan, dan harta mereka dibagi-bagi!”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun mengatakan, “Sungguh, engkau telah menetapkan keputusan tentang mereka sesuai dengan hukum Allah dari tujuh lapis langit.”
Dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim dengan lafaz, “Engkau sudah menetapkan keputusan atas mereka sesuai dengan hukum Allah azza wa jalla.”
Setelah itu, dibuatlah lubang-lubang parit di pasar Madinah. Digiringlah mereka sebagian demi sebagian untuk menerima hukuman mati. Ini sangat pantas dilakukan terhadap mereka karena pengkhianatan mereka memang sangat berbahaya. Jumlah mereka yang dibunuh ketika itu adalah 600 sampai 700 orang laki-laki dan seorang perempuan Yahudi yang melemparkan batu gilingan ke arah Suwaid hingga membunuhnya.
Baca juga: Berkah Allah dalam Hukum Had
Demikianlah watak Yahudi. Jangankan perjanjian mereka dengan sesama manusia yang mereka langgar dan mereka ingkari. Bahkan, perintah-perintah Allah subhanahu wa ta’ala yang ditetapkan atas mereka dengan sumpah dan janji yang berat pun mereka langgar.
Kisah Yahudi ini Allah subhanahu wa ta’ala abadikan di dalam Al-Qur’an. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَنزَلَ ٱلَّذِينَ ظَٰهَرُوهُم مِّنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ مِن صَيَاصِيهِمۡ وَقَذَفَ فِي قُلُوبِهِمُ ٱلرُّعۡبَ فَرِيقًا تَقۡتُلُونَ وَتَأۡسِرُونَ فَرِيقًا
“Dan Dia menurunkan orang-orang ahli kitab (Bani Quraizhah) yang membantu golongan-golongan yang bersekutu dari benteng-benteng mereka, dan Dia memasukkan rasa takut dalam hati mereka. Sebagian mereka kamu bunuh dan sebagian yang lain kamu tawan.” (al-Ahzab: 26)
Inilah salah satu yang melatarbelakangi dendam dan kedengkian bangsa Yahudi terhadap bangsa Arab dan kaum muslimin umumnya. Maka dari itu, hendaknya ini menjadi pelajaran sekaligus peringatan bagi mereka yang terlalu memuja dan silau dengan “kemajuan” mereka.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
لَا يَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ فِي ٱلۡبِلَٰدِ ١٩٦ مَتَٰعٌ قَلِيلٌ ثُمَّ مَأۡوَىٰهُمۡ جَهَنَّمُۖ وَبِئۡسَ ٱلۡمِهَادُ ١٩٧
“Janganlah sekali-kali kamu teperdaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya.” (Ali Imran: 196—197)
Ingat pula firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَلَن تَرۡضَىٰ عَنكَ ٱلۡيَهُودُ وَلَا ٱلنَّصَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمۡۗ قُلۡ إِنَّ هُدَى ٱللَّهِ هُوَ ٱلۡهُدَىٰۗ وَلَئِنِ ٱتَّبَعۡتَ أَهۡوَآءَهُم بَعۡدَ ٱلَّذِي جَآءَكَ مِنَ ٱلۡعِلۡمِ مَا لَكَ مِنَ ٱللَّهِ مِن وَلِيّٖ وَلَا نَصِيرٍ
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar).” Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (al-Baqarah: 120)
(Selanjutnya: Perjanjian Hudaibiyah)